Tanda

“Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?”  Jawab Yesus kepada mereka, Rombaklah  Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh. 2:  18 – 19).

Orang yang sedang bercinta pun sering menginginkan tanda bahwa yang dicintai juga mencintainya. Misalnya, mereka menantikan senyuman, lirikan mata, keinginan mau duduk bersama, membalas suratnya dengan amplop orange atau dengan gambar jantung hati.
Dalam kehidupan beriman dengan Tuhan, ternyata orang juga tidak dapat lepas dari tanda-tanda itu. Orang Israel diberi tanda akan kehadiran dan pernyataan Yahwe dengan dua loh batu yang membuat sepuluh perintah Allah. Itulah tanda kehadiran Alllah dan umat merasa aman tentram dan damai.

Maka juga tidak mustahil waktu Yesus berkarya dan mengusir orang-orang yang berjualan di kenisah, orang-orang minta tanda kepada-Nya. Mereka minta bukti bahwa Yesus memang yang diutus Allah, sehingga punya hak untuk mengusir mereka. Yang menarik adalah bahwa Yesus tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang mereka minta. Yesus tidak menunjukkan KTP. Ia tidak punya surat kuasa dari Bapa-Nya yang dapat ditunjukkan kepada mereka. Tanda yang diberikan Yesus adalah diri-Nya sendiri, “Rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”

Itulah tanda yang diberikan Yesus bahwa Diri-Nya sendiri akan dibunuh dan akan bangkit dalam tiga hari. Sayang, bahwa orang-orang Yahudi tidak menangkap tanda itu. Mereka tetap berpikir akan kenisah dan tidak mengerti yang dimaksudkan Yesus.
“Kami memberitakan Kristus yang tersalib, suatu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang bukan Yahudi. Tetapi bagi mereka yang dipanggil, baik Yahudi maupun bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan dan hikmah Allah ” ( 1 Kor 1: 23 – 24).

Waktu berkunjung  di rumah seorang sahabat  di kota Bitung (Sulawesi  Utara), kota yang  berada di kaki Gunung Duasudara yang subur itu, kami sempat dibuat kaget dengan salib di ruang tamu. Tangan kanan Corpus Yesus  pada kayu salib itu patah. Kemudian kami bertanya, “Saudara mengapa memasang salib yang sudah rusak?”
Jawabannya mengejutkan, “Salib ini memiliki sejarah yang panjang. Ketika anak kami masih kecil-kecil, mereka bermain-main dan tidak sengaja salib ini jatuh, sehingga tangan kanannya patah.  Istri saya memiliki ide, supaya salib ini sebagai ‘tanda’  agar keluarga kami rela menjadi tangan kanan Yesus. Setiap doa malam keluarga, anak-anak selalu diingatkan berani menjadi tangan kanan Yesus. Kini anak-anak sudah dewasa dan terpencar di mana-mana (Timika, Ternate, Jakarta dan Makasar). Mereka aktif sebagai anggota Gereja. Ada yang menjadi katekis dengan sukarela, ada  juga  yang menjadi prodiakon. Saya bersyukur kepada Tuhan atas semuanya itu.”

Setiap kita memiliki pengalaman masing-masing akan “tanda” seperti itu. Mari kita mohon pada Tuhan supaya memiliki hati yang peka dan nalar yang cermat supaya bisa membaca tanda-tanda itu. Siapa tahu, itulah tanda petujuk arah agar tidak tersesat dalam perjalanan hidup.

Sang Sahabat Sejati

“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13)
Tgl 17 Pebruari 1941 tentara Nazi Jerman menangkap Pastor Maximilian Kolbe karena dituduh memberi perlindungan kepada orang-orang Yahudi, lalu menjebloskannya ke penjara Auschwitz. Di sana dia ditahan di barak no. 16667 bersama banyak narapidana lainnya. Lima bulan kemudian 3 narapidana dari barak tsb melarikan diri. Sebagai sanksinya 10 rekan Pastor Kolbe harus dihukum mati, termasuk Franciszek Gajowniczek. Mengetahui Gajowniczek menangis karena terpaksa akan meninggalkan keluarganya, Pastor Kolbe dengan sukarela mengganti tempatnya. Lalu Pastor Kolbe dihukum mati dengan suntikan asam karbolik. Melihat kesaksian hidupnya serta keberanian mengorbankan nyawa untuk rekannya, tgl 10 Oktober 1982 Pastor Kolbe digelarkan “Santo” oleh Paus Yohanes Paulus II dan dihadiri oleh Gajowniczek, orang yang dia selamatkan nyawanya.
Bacaan Injil hari ini berbicara tentang “kasih seorang sahabat”. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13). Ada 3 hal yang ingin kita refleksikan dari ayat ini yakni memberikan, nyawa dan para sahabat. Pertama, kasih atau cinta itu adalah aktivitas “memberi”. Kita tidak bisa mengatakan “mengasihi” seseorang, kalau tidak diikuti dengan tindakan “memberi”. Kalau seseorang mencintai orang miskin, maka sikap itu harus disertai dengan tindakan “memberi” sesuatu kepada orang miskin. Cinta itu menjadi konkret kalau kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Cinta harus diungkapkan keluar. Kedua, cinta itu memberikan nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang paling berharga
yang kita miliki. Cinta itu adalah aktivitas memberikan apa yang paling berharga, yang paling bernilai, yang terbaik dari diri kita. Memberikan nyawa artinya memberikan segala-galanya. Apa bedanya kalau kita memberi hadiah berupa : baju, kalung, gelang kepada seseorang ? Bedanya ialah jika memberikan nyawa berarti memberikan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Kalau kita dengan tulus memberikan hidup kita kepada orang lain, itu berarti kita tidak memberi kesempatan orang lain untuk merespons. Orang mau balas atau tidak, bukanlah persoalannya. Jadi memberikan nyawa adalah aktivitas cinta yang tuntas. Ini yang dilakukan Allah kepada manusia, ketika Dia mengutus Putra TunggalNya untuk menyelamatkan manusia (Lht bacaan 2 : Allah adalah kasih – I Yoh 4,7-10) Ketiga, cinta sejati adalah memberikan nyawa kepada sahabatnya. Persahabatan adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, apa lagi tanpa sahabat. Orang yang saling bersahabat biasanya saling berbagi, peduli satu sama lain, saling membantu dalam kesulitan dan menikmati kegembiraan bersama. Seorang sahabat tidak akan meninggalkan sendiri sahabatnya dalam kemelut permasalahan, namun dia akan mendampingi. “Friend in need is friend indeed”. Sahabat yg setia ketika kita dalam kesulitan adalah sahabat yang sesungguhnya. Dalam persahabatan hubungan “aku-engkau” menemukan kepenuhan penjabarannya. Dalam persahabatan “engkau” tidak lagi sebagai pribadi yang “lain yang berbeda dari aku”, melainkan menjadi “aku yang lain”. Karena orang lain adalah aku yang lain, maka aneka pengalaman kegembiraan, harapan dan kecemasannya adalah kegembiraan, harapan dan kecemasanku juga. Kalau sahabatku susah, lapar, itu juga adalah kesusahan dan kelaparanku. “Untuk sahabat-sahabatnya” artinya untuk dia yang dengannya saya sungguh terlibat, seperasaan dan sehati. Dalam konteks yang lebih luas, memberikan nyawa kepada sahabat adalah memberikan seluruh diri kita, perhatian kita kepada orang lain, khususnya mereka yang menderita, yang miskin, yang terkena bencana. Mereka adalah “para sahabat” kita, kepada siapa kita bersedia memberikan apa yang kita miliki, termasuk apa yang paling berharga di dalam hidup kita. Itulah makna dari kasih sejati. Itu pula yang diajarkan kepada kita oleh Kristus – Sang Sahabat Sejati kita - dan kemudian ditunjukkan secara heroik oleh Pastor Kolbe ketika “memberikan nyawanya” untuk Gajownizcek. Maka pertanyaan reflektif buat kita : beranikah kita menjadi ‘SAHABAT SEJATI” bagi orang lain ( baca : istri / suami, anak, tetangga, rekan kerja, dll ) ? Semoga !

Mari membayar Pajak Kepada Tuhan

Rupanya membayar pajak selalu menjadi kontroversi (perbantahan) sejak dahulu kala. Apalagi bagi orang beragama yang mengaku hanya mau menyembah Tuhan YME sebagai satu-satunya Allah. Santo Agustinus membedakan dengan jelas antara civitas Dei (kota atau “wilayah” Tuhan) dan civitas terrena (kota dunia). Jadi, ada pembedaan yang jelas antara Tuhan dan Dunia. Membayar pajak dipandang sebagai mengakui kekuasaan lain selain Kuasa Tuhan sebagai satu-satunya Pemilik manusia dan dunianya. Sebagian orang Yahudi memang tidak mau membayar pajak kepada kaisar, karena dipandang mengakui ketundukan kepada penjajah Romawi. Sekarang ini pun, tetap ada pro dan kontra tentang membayar pajak “dengan jujur”. Ada kekhawatiran uang pajak itu disalah-gunakan atau dimanipulasi bukan untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan negara, tetapi kepentingan pribadi atau kelompok.
Tapi mari simak baik-baik, Yesus hanya mengatakan "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat 22: 21). Pajak seperti diperdebatkan oleh orang Yahudi zaman dulu dan orang pada zaman sekarang, bagi Yesus, harus dilihat dalam kerangka (hak) milik pihak lain yang harus dihormati oleh semua orang. Hak yang harus menjadi milik kaisar harus diberikan, demikian juga apa yang menjadi hak atau milik Allah. Memang, pengaturan dunia (pemerintahan dan sistem pajaknya sebagai ongkos untuk menjalankan tugasnya) merupakan otonomi yang harus diurus sendiri oleh manusia. Tetapi harus diingat, karena Allah adalah pemilik dunia dan isinya, maka semestinya hak milik kaisar maupun yang “bukan kaisar’ juga termasuk “yang hrs diberikan” kpd Allah. Lalu pertanyaannya adlh “pajak” spt apa yg hrs diberikan kpd Allah sbg pemilik dunia ini?
Karena segala milik yang dipunyai manusia di dunia adalah milik Allah sebagai Pencipta maka hak milik pribadi setiap manusia adalah milik Allah juga. Artinya, milik itu seharusnya memiliki fungsi sosial. Apa pun yang dimiliki harus ditujukan atau dipakai bukan hanya (sekali lagi: bukan hanya!) untuk memenuhi kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga memiliki fungsi sosial atau untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. Dengan itu, harta atau milik diabdikan sebagai bagian dari penyelenggaraan Allah (providentia Dei) agar manusia dan dunianya dapat tetap hidup. Kepemilikan uang dan harta benda harus dikembalikan kepada Allah, lewat tindakan-tindakan kasih (baik untuk “memberi ikan” maupun “memberi kail”-nya). Pengembalian milik Tuhan itu merupakan tindakan “tahu diri” atau mengenal diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang empunya seluruh dunia beserta isinya. Mengenal diri merupakan bagian dari kerendahan hati yang diperlukan untuk berkembang dalam iman kepada Yesus, yang berkorban dan mengabdikan seluruh hidup-Nya untuk keselamatan setiap manusia, termasuk kita.

Talenta yang harus dipertanggungjawabkan

Seseorang yang sadar bahwa dia punya hutang yang tidak mungkin terlunaskan tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk berbuat baik kepada pemberi utang, ibaratnya rela menjadi hamba, mau melakukan apa saja sesuai kehendak Sang Tuan. Apalagi kalau Sang Tuan yang baik hati itu justru mempercayakan hartanya untuk dikelola oleh hambanya itu, tentunya sang hamba harus berusaha sebaik-baiknya mengelola kepercayaan itu agar menghasilkan buah dan menyenangkan hati Sang Tuan!
Demikianlah perumpamaan mengenai Kerajaan Sorga yg diibaratkan spt seorang yg mau bepergian ke luar negeri, yg memanggil hamba2Nya & mempercayakan hartanya kpd mereka. (Mat 25:15). Maka, mengabaikan atau menyia2kan kepercayaan itu tentu hrs diartikan sbg kejahatan & kemalasan yg tdk bs diterima, apalagi kalau alasannya sgt kurang ajar dgn berkata: Tuan, aku tahu bhw tuan adalah manusia yg kejam yg menuai di tempat di mana tuan tdk menabur & yg memungut dr tempat di mana tuan tdk menanam. Karena itu aku takut & pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dlm tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan! (24-25). Oleh krn itu, dpt kita bayangkan betapa marahnya Sang Tuan kpd hambanya yg sangat tdk tahu diri itu; hamba itu lupa bhw dia punya hutang yg tak mungkin terlunaskan! Bukan hanya bonus kebaikan berupa pinjaman Talenta itu. Maka jawab tuannya itu: Hai kamu, hamba yg jahat & malas, jadi kamu sdh tahu, bhw aku menuai di tempat di mana aku tdk menabur & memungut dr tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya. Sebab itu ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu. Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan.Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. (mat 25:26-29).

Manusia diciptakan dengan penuh kasih, diberi derajat tinggi sampai serupa dengan Penciptanya sendiri; lalu, karena ketidaksetiaannya, mahluk yang dikasihi Allah itu jatuh kedalam kuasa dosa dan maut. Namun, Allah yang maha rahim itu rela menjelma dan mengutus Putranya untuk menebusnya dengan darahnya yang tertumpah di kayu salib; karena itu kita bukanlah milik kita lagi! Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu! (1 Kor 6:20).
Kita telah diberi talenta masing-masing menurut kesanggupan kita, tidak ada alasan untuk menyia-nyiakan karunia itu; seyogyanya kita bisa belajar dari si hamba yang jahat dan malas itu! Pertama-tama yang harus dilakukan adalah berusaha menjaga diri agar tidak mengumbar hawa nafsu, tidak korupsi, tdk iri-hati & tdk munafik! Menjalankan talenta tdk harus memakai uang atau kekuatan fisik; mendengarkan dgn perhatian bisa melegakan org stress, tersenyum dan bersikap ramah bisa membesarkan hati orang, bersabar & menahan diri bisa memadamkan amarah & pertengkaran, mendidik dengan kasih bisa memupuk kebenaran, kebaikan $ kebajikan, menghibur yg sedih & putus asa bisa memulihkan semangat hidup, dst.
Mari terus beraktivitas scr positif sebab pengangguran mengajar banyak kejahatan (Sir 33:28); karena kamu semua adalah anak2 terang dan anak2 siang. Kita bukanlah orang2 malam atau orang-orang kegelapan. Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar. (1Tes5:5-6).