The death of Samurai
Robohnya sony, panasonic, sharp, toshiba dan sanyo
Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China . Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.
What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.
Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.
Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.
Ketika Orang Jawa Menyangkal Asal Muasalnya
Saya bukan seorang antropolog, juga bukan seorang etnolog. Meski berlatar belakang pendidikan politik pemerintahan, perhatian saya pada politik sudah lama surut. Tetapi tulisan Annie Sabri dengan judul “Keturunan Cina Diancam!” (Tak Boleh Ikut Pilkada Jakarta) membuat saya tergerak untuk memunculkan kembali kesadaran yang tertidur dalam mimpi buruk anti ras.
Sejatinya, setiap kita sadar, bahwa politik adalah persoalan berjuang memperoleh kekuasaan, menggunakan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Karena itu, semua orang sudah mahfum, bahwa perjuangan politik senantiasa disertai dengan intrik dan taktik, dan jika belum juga berhasil maka agitasi dan propaganda juga bukan hal yang diharamkan dalam politik.
Kepribadian Ganda?
Aksi yang merupakan reaksi pasangan Foke-Nara atas kekalahan putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta 2012 sekarang menampilkan pada massa rakyat bahwa politik memang semata-mata untuk kekuasaan. Termasuk ketika perbedaan agama dan ras dijadikan senjata utama pasangan ini menghadapi lawan mereka, Jokowi-Ahok, petahana terlihat lebih sebagai psikopat politik daripada seorang yang sedang berusaha mempertahankan kekuasaan.
Lima tahun lalu, saya datang ke bilik suara dan memilih Fauzi Bowo-Prijanto karena slogan kampanye mereka yang meneduhkan hati “Jakarta untuk semua”. Foke-Prijanto kala itu menyingkirkan Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang diusung PKS yang gegap-gempita, dengan perolehan suara 57,9%(2.091.909 suara) berbanding 42,1% (1.521.831). Sebagai oang Jakarta, saya pikir, bukan karena Foke pernah menduduki jabatan Wakil Gubernur atau Sekretaris Wilayah Daerah maka ia pantas menjadi Gubernur. Pilihan rasional saya adalah ia berdiri di atas kepentingan semua kelompok.
Ironis, bahwa sepanjang pertengahan tahun 2012, saya menemukan Foke yang lain dari apa yang nampak 5 tahun silam. Saya jadi bertanya-tanya:”apakah Foke sudah berubah? Apakah politik memungkinkan orang membelakangi kepribadiannya sendiri? Ataukah memang Foke adalah manusia politik berkepribadian ganda? Pertanyaan saya tentu saja menjadi penting karena Aristoteles menetapkan bahwa manusia ialah “zoon politikon“. Manusia merupakan mahluk yang secara naluriah mengejar ikatan kebersamaan. Saya hanya dapat menduga, inikah Foke yang sebenarnya? Apakah pribadi Foke yang seperti ini yang menyebabkan Prijanto mengundurkan diri dari posisi wakil gubernur beberapa saat sebelum akhir masa jabatan?
Perubahan sikap Foke pada slogan politiknya “Jakarta untuk semua” belum seberapa mengejutkan jika dibandingkan dengan aksi politik pendampingnya, Nachrowi Ramli. Pernyataan-pernyataan politiknya menjelang pemilihan putaran kedua lebih menegaskan figurnya sebagai seorang yang haus kekuasaan daripada seorang pensiunan militer berbintang dua. Semua orang militer, mengalir dalam jiwanya sapta marga dan sumpah prajurit. Karenanya, sikap dan laku berdiri di atas kepentingan semua pihak merupakan ciri khas insan militer. Serangan-serangan Nachrowi terhadap Jokowi-Ahok membuat siapa saja yang tidak mengenal karir pensiunan Mayor Jenderal ini menduga bahwa ia dibesarkan melalui kaderisasi partai sektarian.
Saya pribadi tidak terlalu risau siapa yang akan memenangkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Sebagai warga, saya hanya ingin agar ikatan antar warga tetap bertahan dan tidak goyah. Serangan pasangan Foke-Nara khususnya terhadap isu rasis bukanlah hal yang patut bagi seorang yang kelak memimpin Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyangkali Muasal
Memalukan jika orang Jawa (termasuk dalam istilah ini orang Sunda dan Betawi) menyerang orang Cina. Anak sekolah dasar pun tahu, nenek moyang orang Jawa berasal dari daerah Selatan Cina. Semua ciri dasar ras mongolid ada pada orang Jawa. Kulit kuning, mata yang lebih kecil, rambut lurus, tubuh lebih pendek dibanding ras negroid, dan seterusnya. Andaikata ada lima orang yang bertemu di sebuah cafe: orang Thailand, orang Malaysia, orang Vietnam, orang Jawa, dan orang Myanmar – dan kelimanya sama-sama diam – maka sukar bagi kita untuk mengatakan darimana mereka berasal.
Orang-orang Jawa, Sulawesi, dan Sumatera memiliki nenek moyang yang sama dengan orang-orang Asia Tenggara. Nenek moyang orang Jawa modern datang setelah masa percampuran antara ras Austro-Melanesoid dan ras Mongoloid di wilayah nusantara pada periode 11.000 tahun sebelum masehi. Ciri utama dari ras baru ini adalah mereka memiliki ciri Mongoloid yang lebih dominan, memiliki induk bahasa yang sama dan mengenal kebudayaan bercocok tanam.
Gelombang orang Proto-Austonesia yang lain memasuki wilayah bagian barat Indonesia melalui semenanjung Melayu. Dari tempatnya di lembah-lembah sungai di Cina Selatan, mereka bergerak ke arah selatan, masuk ke arah hilir sungai besar, terus ke semenanjung Melayu, menduduki Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Flores, Sulawesi dan masuk ke Filipina. Tetapi gelombang orang ini tidak pernah mencapai Indonesia bagian timur. Dari gelombang manusia inilah induk bahasa melayu berasal.
Wilayah tempat tinggal dan proses peradaban yang menyebabkan ras ini membentuk identitias-identitas baru mereka. Pembentukan struktur sosial, adat istiadat dan kepercayaan semakin mempertegas identitas baru. Dari semua unsur itu, penjajahan mungkin merupakan variabel determinan penguatan ikatan dalam sekaligus penegasan batas “kami-mereka”. Dalam kasus Indonesia, penjajahan kolonial memang memberikan ruang hidup istimewa pada golongan asia timur, termasuk Cina, daripada golongan pribumi. Inilah titik dimana orang Jawa, hampir secara keseluruhan, tidak lagi mengenali muasal mereka. Perasaan ditinggalkan dan diperhambakan lebih dominan daripada ingatan akan kesamaan bentuk fisik dan pola dasar kebudayaan.
Kesadaran versus Kepentingan
Orang Jakarta terlalu pandai untuk dipolitisasi. Bahkan ditengah-tengah upaya pemerintah untuk menghadirkan para pemilih di bilik suara pada 20 September 2012, banyak orang yang sudah “memilih untuk tidak memilih”. Perubahan Jakarta secara kasat mata hanya diukur dari 3 indikator, kata sahabat saya Bung Gunung : tidak macet, tidak banjir, dan tidak miskin. Fakta bahwa penduduk Jakarta menghabiskan 2-3 jam hidup mereka setiap hari ditengah-tengah kemacetan hampir mengubur kepercayaan mereka bahwa kemacetan dapat diurai. Demikian halnya dengan kegagalan kerjasama daerah yang menyebabkan Jakarta dapat dilanda banjir kapan saja meski Jakarta sama sekali tidak sedang hujan, membuat orang bertanya: mana sih ahlinya? Jangan pula bertanya tentang kemiskinan dan kekumuhan yang tersembunyi di balik gedung pencakar langit dan diberi label penyakit masyarakat oleh peraturan daerah DKI Jakarta.
Semua masalah di atas lebih penting daripada isu SARA demi kepentingan politik. Saya heran bahwa Foke berupaya menutupi kesadaran orang Jakarta akan hak pelayanan dasar mereka dengan isu SARA. Demikian juga Nara yang sama sekali tidak menunjukkan jiwa patriot militernya. Untuk calon pemimpin seperti ini, saya tidak perlu membayar apapun. Demikian pula anda.
Pemilihan Gubernur hanyalah mekanisme lima tahunan untuk mengganti pemimpin. Siapa saja layak untuk ikut sebagai kontestan. Siapa saja layak untuk menang. Proses demokrasi, meminjam istilah Sydney Hook, adalah proses memilih pemimpin manusia. Semuanya memiliki kelemahan. Tapi juga semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Jika kita semua adalah malaikat, maka kita tidak membutuhkan demokrasi. Karena kita adalah manusia, kekuasaan harus dibatasi. Dan cara membatasinya adalah melalui proses demokrasi.
Pemilukada bukan segala-galanya. Ia hanya media pemilihan pemimpin. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Sejatinya, setiap kita sadar, bahwa politik adalah persoalan berjuang memperoleh kekuasaan, menggunakan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Karena itu, semua orang sudah mahfum, bahwa perjuangan politik senantiasa disertai dengan intrik dan taktik, dan jika belum juga berhasil maka agitasi dan propaganda juga bukan hal yang diharamkan dalam politik.
Kepribadian Ganda?
Aksi yang merupakan reaksi pasangan Foke-Nara atas kekalahan putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta 2012 sekarang menampilkan pada massa rakyat bahwa politik memang semata-mata untuk kekuasaan. Termasuk ketika perbedaan agama dan ras dijadikan senjata utama pasangan ini menghadapi lawan mereka, Jokowi-Ahok, petahana terlihat lebih sebagai psikopat politik daripada seorang yang sedang berusaha mempertahankan kekuasaan.
Lima tahun lalu, saya datang ke bilik suara dan memilih Fauzi Bowo-Prijanto karena slogan kampanye mereka yang meneduhkan hati “Jakarta untuk semua”. Foke-Prijanto kala itu menyingkirkan Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang diusung PKS yang gegap-gempita, dengan perolehan suara 57,9%(2.091.909 suara) berbanding 42,1% (1.521.831). Sebagai oang Jakarta, saya pikir, bukan karena Foke pernah menduduki jabatan Wakil Gubernur atau Sekretaris Wilayah Daerah maka ia pantas menjadi Gubernur. Pilihan rasional saya adalah ia berdiri di atas kepentingan semua kelompok.
Ironis, bahwa sepanjang pertengahan tahun 2012, saya menemukan Foke yang lain dari apa yang nampak 5 tahun silam. Saya jadi bertanya-tanya:”apakah Foke sudah berubah? Apakah politik memungkinkan orang membelakangi kepribadiannya sendiri? Ataukah memang Foke adalah manusia politik berkepribadian ganda? Pertanyaan saya tentu saja menjadi penting karena Aristoteles menetapkan bahwa manusia ialah “zoon politikon“. Manusia merupakan mahluk yang secara naluriah mengejar ikatan kebersamaan. Saya hanya dapat menduga, inikah Foke yang sebenarnya? Apakah pribadi Foke yang seperti ini yang menyebabkan Prijanto mengundurkan diri dari posisi wakil gubernur beberapa saat sebelum akhir masa jabatan?
Perubahan sikap Foke pada slogan politiknya “Jakarta untuk semua” belum seberapa mengejutkan jika dibandingkan dengan aksi politik pendampingnya, Nachrowi Ramli. Pernyataan-pernyataan politiknya menjelang pemilihan putaran kedua lebih menegaskan figurnya sebagai seorang yang haus kekuasaan daripada seorang pensiunan militer berbintang dua. Semua orang militer, mengalir dalam jiwanya sapta marga dan sumpah prajurit. Karenanya, sikap dan laku berdiri di atas kepentingan semua pihak merupakan ciri khas insan militer. Serangan-serangan Nachrowi terhadap Jokowi-Ahok membuat siapa saja yang tidak mengenal karir pensiunan Mayor Jenderal ini menduga bahwa ia dibesarkan melalui kaderisasi partai sektarian.
Saya pribadi tidak terlalu risau siapa yang akan memenangkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Sebagai warga, saya hanya ingin agar ikatan antar warga tetap bertahan dan tidak goyah. Serangan pasangan Foke-Nara khususnya terhadap isu rasis bukanlah hal yang patut bagi seorang yang kelak memimpin Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyangkali Muasal
Memalukan jika orang Jawa (termasuk dalam istilah ini orang Sunda dan Betawi) menyerang orang Cina. Anak sekolah dasar pun tahu, nenek moyang orang Jawa berasal dari daerah Selatan Cina. Semua ciri dasar ras mongolid ada pada orang Jawa. Kulit kuning, mata yang lebih kecil, rambut lurus, tubuh lebih pendek dibanding ras negroid, dan seterusnya. Andaikata ada lima orang yang bertemu di sebuah cafe: orang Thailand, orang Malaysia, orang Vietnam, orang Jawa, dan orang Myanmar – dan kelimanya sama-sama diam – maka sukar bagi kita untuk mengatakan darimana mereka berasal.
Orang-orang Jawa, Sulawesi, dan Sumatera memiliki nenek moyang yang sama dengan orang-orang Asia Tenggara. Nenek moyang orang Jawa modern datang setelah masa percampuran antara ras Austro-Melanesoid dan ras Mongoloid di wilayah nusantara pada periode 11.000 tahun sebelum masehi. Ciri utama dari ras baru ini adalah mereka memiliki ciri Mongoloid yang lebih dominan, memiliki induk bahasa yang sama dan mengenal kebudayaan bercocok tanam.
Gelombang orang Proto-Austonesia yang lain memasuki wilayah bagian barat Indonesia melalui semenanjung Melayu. Dari tempatnya di lembah-lembah sungai di Cina Selatan, mereka bergerak ke arah selatan, masuk ke arah hilir sungai besar, terus ke semenanjung Melayu, menduduki Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Flores, Sulawesi dan masuk ke Filipina. Tetapi gelombang orang ini tidak pernah mencapai Indonesia bagian timur. Dari gelombang manusia inilah induk bahasa melayu berasal.
Wilayah tempat tinggal dan proses peradaban yang menyebabkan ras ini membentuk identitias-identitas baru mereka. Pembentukan struktur sosial, adat istiadat dan kepercayaan semakin mempertegas identitas baru. Dari semua unsur itu, penjajahan mungkin merupakan variabel determinan penguatan ikatan dalam sekaligus penegasan batas “kami-mereka”. Dalam kasus Indonesia, penjajahan kolonial memang memberikan ruang hidup istimewa pada golongan asia timur, termasuk Cina, daripada golongan pribumi. Inilah titik dimana orang Jawa, hampir secara keseluruhan, tidak lagi mengenali muasal mereka. Perasaan ditinggalkan dan diperhambakan lebih dominan daripada ingatan akan kesamaan bentuk fisik dan pola dasar kebudayaan.
Kesadaran versus Kepentingan
Orang Jakarta terlalu pandai untuk dipolitisasi. Bahkan ditengah-tengah upaya pemerintah untuk menghadirkan para pemilih di bilik suara pada 20 September 2012, banyak orang yang sudah “memilih untuk tidak memilih”. Perubahan Jakarta secara kasat mata hanya diukur dari 3 indikator, kata sahabat saya Bung Gunung : tidak macet, tidak banjir, dan tidak miskin. Fakta bahwa penduduk Jakarta menghabiskan 2-3 jam hidup mereka setiap hari ditengah-tengah kemacetan hampir mengubur kepercayaan mereka bahwa kemacetan dapat diurai. Demikian halnya dengan kegagalan kerjasama daerah yang menyebabkan Jakarta dapat dilanda banjir kapan saja meski Jakarta sama sekali tidak sedang hujan, membuat orang bertanya: mana sih ahlinya? Jangan pula bertanya tentang kemiskinan dan kekumuhan yang tersembunyi di balik gedung pencakar langit dan diberi label penyakit masyarakat oleh peraturan daerah DKI Jakarta.
Semua masalah di atas lebih penting daripada isu SARA demi kepentingan politik. Saya heran bahwa Foke berupaya menutupi kesadaran orang Jakarta akan hak pelayanan dasar mereka dengan isu SARA. Demikian juga Nara yang sama sekali tidak menunjukkan jiwa patriot militernya. Untuk calon pemimpin seperti ini, saya tidak perlu membayar apapun. Demikian pula anda.
Pemilihan Gubernur hanyalah mekanisme lima tahunan untuk mengganti pemimpin. Siapa saja layak untuk ikut sebagai kontestan. Siapa saja layak untuk menang. Proses demokrasi, meminjam istilah Sydney Hook, adalah proses memilih pemimpin manusia. Semuanya memiliki kelemahan. Tapi juga semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Jika kita semua adalah malaikat, maka kita tidak membutuhkan demokrasi. Karena kita adalah manusia, kekuasaan harus dibatasi. Dan cara membatasinya adalah melalui proses demokrasi.
Pemilukada bukan segala-galanya. Ia hanya media pemilihan pemimpin. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Kejayaan Lan Fang, Republik Pertama di Indonesia, yang "Berlanjut" di Singapura
Nenek Lee Kuan Yew Orang Hakka dari Pontianak
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew termasuk keturunan Lan Fang. Sayang, restorasi jejak kebesaran republik pertama di Nusantara tersebut justru lebih gencar dilakukan di Negeri Singa.
DHIMAS GINANJAR, Pontianak
LAN Fang memang sudah hancur sejak 1884. Namun, “kelanjutan” republik”kendati tak secara langsung yang didirikan oleh Lo Fang Pak di Kalimantan Barat itu bisa dilihat di Singapura sekarang ini. Setidaknya dalam bentuk banyaknya warga Negeri Singa itu yang merupakan keturunan dari warga republik pertama di tanah air tersebut dan menduduki posisi penting disana.
Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah dimana Lan Fang berada, menolak untuk dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang saat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir setelah sempat bertahan selama empat atau lima tahun bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera lantas ke Medan.
Beberapa kemudian melanjutkan pelarian hingga ke Singapura dan melanjutkan pembangunan. Dan, tentu beranak pinak. Salah satunya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY), sosok yang membuat negeri jiran Indonesia itu maju dan makmur seperti saat ini. “Chua Kim Teng (kakek LKY) lahir di Singapura pada 1865. Setelah istri pertama dan kedua meninggal, dia menikah dengan Neo Ah Soon, nenek saya, seorang Hakka dari Pontianak yang saat itu dikuasai Belanda. Dia berbicara dengan dialek Hakka dan bahasa Indonesia melayu,” ujar LKY.
Ucapan itu disampaikan “Bapak Pembangunan Singapura” itu pada bukunya yang berjudul: From Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew. Adapun menurut Kao Chung Xi dalam bukunya tentang orang Hakka, Jews of the Orient, orang Hakka minoritas di Singapura. Tapi, memainkan peran penting dalam mendirikan Kongsi Lan Fang yang kedua di Singapura.
Seperti pernah diturunkan secara bersambung di harian ini pada 15-17 Agustus lalu, Lan Fang yang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka tumbuh menjadi semacam “negara di dalam negara.” Lan Fang yang berdiri pada 1777 itu memang masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom.
Karena tata pemerintahannya sangat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak langsung Lan Fang pun mendapat julukan “republik.” Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik yang dipimpin Lo Fang Pak tersebut. Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk memilih “presiden.” Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan Hukum sendiri. Republik ini mampu bertahan hidup selama 107 tahun.
Kisah sejarah Republik Lan Fang sejatinya mulai direstorasi oleh berbagai pihak. Salah satunya, adalah situs lanfangchronicles.wordpress.co m yang tiga tahun ini sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura. Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi.
Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga membuat pagelaran puisi tentang perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.
Soedarto, sejarawan Kalbar saat ditemui Jawa Pos di Pontianak pertengahan bulan ini memaklumi hal itu. Sebab, arsip-arsip tentang Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya. “Semuanya ada di luar, dibawa Raffles ke Inggris (Thomas Stamford Bingley Raffles, mantan Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia dan pendiri Singapura, red),” katanya.
Dia menyebutkan kalau arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau Indonesia mau menelusuri perjalanan sejarah bangsa secara utuh, arsip-arsip itu harus dikembalikan. Jika masih berada di museum Royal London, penelusuran itu sangat sulit dilakukan.
Bercerita tentang ketidakpedulian akan sejarah bisa jadi sudah membosankan. Itulah kenapa, Soedarti hanya bisa diam saat mengingat beberapa arsip tentang masa lalu Kalbar sudah menghilang. “Termasuk syair Perang Kenceng, bagian dari perang antar kongsi, itu kini ada di Malaysia,” gumamnya.
Dia ingat, hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi saat era penjajahan saja. Pasca kemerdekaan juga ada, prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Atas dasar itulah, Soedarto mengaku tak tahu banyak tentang keturunan Lo Fang Pak. Yang bisa dia pastikan adalah, para pemimpin Lan Fang harus murni orang Hakka. Benar-benar pure orang Tionghoa dari tanah Tiongkok. Mereka yang lahir di tanah Borneo dapat dipastikan tak bisa duduk di puncak pimpinan.
Terkait keabsahan keturunan orang-orang Lan Fang di Singapura, Soedarto yang mantan guru sejarah itu menjawab bisa jadi seperti itu. Kuatnya Lan Fang menjadi daya tarik bagi perantauan Tiongkok untuk terus datang. Bahkan Pontianak dulunya menjadi tempat transit bagi mereka yang ingin ke Mandor, ibu kota Lan Fang.
“Sampai sekarang, semuanya tersebar sampai kemana-mana,” terangnya. Bagaimana dengan peninggalan budaya” Soedarto mengatakan ada. Namun, dia tidak sepakat kalau itu kebudayaan yang dibuat khusus oleh Lo Fang Pak dan pemimpin Lan Fang lainnya. Sebab, mereka hanya “menularkan” kebiasaan itu ke Kalbar.
Seperti halnya konsep tea house atau rumah minum teh. Warga keturunan dulu pasti punya tempat khusus untuk minum teh. Entah di rumah mereka atau di sekitar perkampungannya. Meski sekarang tea house mungkin sudah tak ada, bentuk lain dari kebudayaan itu masih bisa ditemui.
“Budaya warung kopi itu sebenarnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya minum bersama banyak orang sambil membicarakan banyak hal,” tandasnya. Efek lainnya ada pada orang-orang Tionghoa saat ini, versi Soedarto, mereka masih disebut peranakan karena tetap konsisten dengan budayanya.
Padahal, warga Tionghoa asli Kalbar saat ini bisa dipastikan sudah melakukan akulturasi, terutama dengan orang Dayak. Itu bisa dipastikan karena saat datang ke Kalbar pada 1770an mereka datang sebagai bujangan. Kolonial dan Kesultanan tidak memperbolehkan mereka membawa istri.
Kalaupun mereka kemudian mencoba mempertahankan kemurnian dengan menikah sesama Tionghoa, tetap saja nenek mereka adalah orang Dayak. Karena itu, Soedarto agak kurang sreg menyebut warga Tionghoa di Kalbar yang mencapai 12 persen sebagai “peranakan.”
“Banyak yang sudah campuran, apalagi generasi sekarang juga makin membuka diri,” tuturnya.
Budayawan lain, Xaverius Fuad Asali, juga menyebut kalau peninggalan budaya Lo Fang Pak sama dengan kebudayaan Tiongkok sendiri. Itulah kenapa, dia menyebut tak ada budaya dengan ciri khas khusus yang dibawa Lo Fang Pak.
Dia lantas menjelaskan ciri khas orang Hakka yang menginjakkan kaki di Kalbar. Semuanya datang seorang diri alias bujangan, tanpa membawa istri. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu karena orang-orang Hakka dikenal rajin dan hemat. “Kalau buyut saya masuk tahun 1850an,” ingatnya.
Kedatangan orang-orang Hakka semacam Lo Fang Pak dan teman-temannya relatif tidak menimbulkan gesekan sosial. Sebab, orang Hakka dikenal mampu membawa diri, ibarat pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di samping itu, sebagai pendatang, mereka juga punya keterampilan.
X.F Asali menyebut keterampilan itu adalah bertani. Ada juga yang datang sebagai guru seperti Lo Fang Pak, tukang besi, emas, kayu, hingga kerajinan tangan. Kemampuan melebur itu terbukti hingga sekarang, tak pernah ada konflik besar. “Buyut perempuan saya juga orang Dayak,” akunya.
Itu sebabnya, kalau dikaitkan dengan pelarian orang-orang Hakka Kalbar ke Singapura dan melakukan pembangunan bisa jadi benar. Apalagi, Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebut orang-orang Lan Fang mampu berdagang ke beberapa daerah dan negara.
Berbagai referensi juga menyebut kalau Lan Fang memiliki hubungan perdagangan yang disebut dengan segitiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia, hingga Vietnam. “Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti membuat Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain,” tuturnya.
Embrio tersebarnya orang-orang Hakka yang menjadi penduduk Lan Fang terlihat jelas dari pola perdagangan itu. Memang masih perlu banyak pembuktian akan keterkaitan antara Singapura dan Lan Fang. Namun, itu bisa menjadi awal yang tepat bagi pemerintah untuk menggali lebih dalam tentang Lan Fang. Supaya kisah tesebut tetap besar di Indonesia, tidak hanya di negara tetangga
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew termasuk keturunan Lan Fang. Sayang, restorasi jejak kebesaran republik pertama di Nusantara tersebut justru lebih gencar dilakukan di Negeri Singa.
DHIMAS GINANJAR, Pontianak
LAN Fang memang sudah hancur sejak 1884. Namun, “kelanjutan” republik”kendati tak secara langsung yang didirikan oleh Lo Fang Pak di Kalimantan Barat itu bisa dilihat di Singapura sekarang ini. Setidaknya dalam bentuk banyaknya warga Negeri Singa itu yang merupakan keturunan dari warga republik pertama di tanah air tersebut dan menduduki posisi penting disana.
Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah dimana Lan Fang berada, menolak untuk dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang saat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir setelah sempat bertahan selama empat atau lima tahun bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera lantas ke Medan.
Beberapa kemudian melanjutkan pelarian hingga ke Singapura dan melanjutkan pembangunan. Dan, tentu beranak pinak. Salah satunya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY), sosok yang membuat negeri jiran Indonesia itu maju dan makmur seperti saat ini. “Chua Kim Teng (kakek LKY) lahir di Singapura pada 1865. Setelah istri pertama dan kedua meninggal, dia menikah dengan Neo Ah Soon, nenek saya, seorang Hakka dari Pontianak yang saat itu dikuasai Belanda. Dia berbicara dengan dialek Hakka dan bahasa Indonesia melayu,” ujar LKY.
Ucapan itu disampaikan “Bapak Pembangunan Singapura” itu pada bukunya yang berjudul: From Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew. Adapun menurut Kao Chung Xi dalam bukunya tentang orang Hakka, Jews of the Orient, orang Hakka minoritas di Singapura. Tapi, memainkan peran penting dalam mendirikan Kongsi Lan Fang yang kedua di Singapura.
Seperti pernah diturunkan secara bersambung di harian ini pada 15-17 Agustus lalu, Lan Fang yang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka tumbuh menjadi semacam “negara di dalam negara.” Lan Fang yang berdiri pada 1777 itu memang masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom.
Karena tata pemerintahannya sangat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak langsung Lan Fang pun mendapat julukan “republik.” Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik yang dipimpin Lo Fang Pak tersebut. Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk memilih “presiden.” Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan Hukum sendiri. Republik ini mampu bertahan hidup selama 107 tahun.
Kisah sejarah Republik Lan Fang sejatinya mulai direstorasi oleh berbagai pihak. Salah satunya, adalah situs lanfangchronicles.wordpress.co m yang tiga tahun ini sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura. Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi.
Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga membuat pagelaran puisi tentang perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.
Soedarto, sejarawan Kalbar saat ditemui Jawa Pos di Pontianak pertengahan bulan ini memaklumi hal itu. Sebab, arsip-arsip tentang Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya. “Semuanya ada di luar, dibawa Raffles ke Inggris (Thomas Stamford Bingley Raffles, mantan Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia dan pendiri Singapura, red),” katanya.
Dia menyebutkan kalau arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau Indonesia mau menelusuri perjalanan sejarah bangsa secara utuh, arsip-arsip itu harus dikembalikan. Jika masih berada di museum Royal London, penelusuran itu sangat sulit dilakukan.
Bercerita tentang ketidakpedulian akan sejarah bisa jadi sudah membosankan. Itulah kenapa, Soedarti hanya bisa diam saat mengingat beberapa arsip tentang masa lalu Kalbar sudah menghilang. “Termasuk syair Perang Kenceng, bagian dari perang antar kongsi, itu kini ada di Malaysia,” gumamnya.
Dia ingat, hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi saat era penjajahan saja. Pasca kemerdekaan juga ada, prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Atas dasar itulah, Soedarto mengaku tak tahu banyak tentang keturunan Lo Fang Pak. Yang bisa dia pastikan adalah, para pemimpin Lan Fang harus murni orang Hakka. Benar-benar pure orang Tionghoa dari tanah Tiongkok. Mereka yang lahir di tanah Borneo dapat dipastikan tak bisa duduk di puncak pimpinan.
Terkait keabsahan keturunan orang-orang Lan Fang di Singapura, Soedarto yang mantan guru sejarah itu menjawab bisa jadi seperti itu. Kuatnya Lan Fang menjadi daya tarik bagi perantauan Tiongkok untuk terus datang. Bahkan Pontianak dulunya menjadi tempat transit bagi mereka yang ingin ke Mandor, ibu kota Lan Fang.
“Sampai sekarang, semuanya tersebar sampai kemana-mana,” terangnya. Bagaimana dengan peninggalan budaya” Soedarto mengatakan ada. Namun, dia tidak sepakat kalau itu kebudayaan yang dibuat khusus oleh Lo Fang Pak dan pemimpin Lan Fang lainnya. Sebab, mereka hanya “menularkan” kebiasaan itu ke Kalbar.
Seperti halnya konsep tea house atau rumah minum teh. Warga keturunan dulu pasti punya tempat khusus untuk minum teh. Entah di rumah mereka atau di sekitar perkampungannya. Meski sekarang tea house mungkin sudah tak ada, bentuk lain dari kebudayaan itu masih bisa ditemui.
“Budaya warung kopi itu sebenarnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya minum bersama banyak orang sambil membicarakan banyak hal,” tandasnya. Efek lainnya ada pada orang-orang Tionghoa saat ini, versi Soedarto, mereka masih disebut peranakan karena tetap konsisten dengan budayanya.
Padahal, warga Tionghoa asli Kalbar saat ini bisa dipastikan sudah melakukan akulturasi, terutama dengan orang Dayak. Itu bisa dipastikan karena saat datang ke Kalbar pada 1770an mereka datang sebagai bujangan. Kolonial dan Kesultanan tidak memperbolehkan mereka membawa istri.
Kalaupun mereka kemudian mencoba mempertahankan kemurnian dengan menikah sesama Tionghoa, tetap saja nenek mereka adalah orang Dayak. Karena itu, Soedarto agak kurang sreg menyebut warga Tionghoa di Kalbar yang mencapai 12 persen sebagai “peranakan.”
“Banyak yang sudah campuran, apalagi generasi sekarang juga makin membuka diri,” tuturnya.
Budayawan lain, Xaverius Fuad Asali, juga menyebut kalau peninggalan budaya Lo Fang Pak sama dengan kebudayaan Tiongkok sendiri. Itulah kenapa, dia menyebut tak ada budaya dengan ciri khas khusus yang dibawa Lo Fang Pak.
Dia lantas menjelaskan ciri khas orang Hakka yang menginjakkan kaki di Kalbar. Semuanya datang seorang diri alias bujangan, tanpa membawa istri. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu karena orang-orang Hakka dikenal rajin dan hemat. “Kalau buyut saya masuk tahun 1850an,” ingatnya.
Kedatangan orang-orang Hakka semacam Lo Fang Pak dan teman-temannya relatif tidak menimbulkan gesekan sosial. Sebab, orang Hakka dikenal mampu membawa diri, ibarat pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di samping itu, sebagai pendatang, mereka juga punya keterampilan.
X.F Asali menyebut keterampilan itu adalah bertani. Ada juga yang datang sebagai guru seperti Lo Fang Pak, tukang besi, emas, kayu, hingga kerajinan tangan. Kemampuan melebur itu terbukti hingga sekarang, tak pernah ada konflik besar. “Buyut perempuan saya juga orang Dayak,” akunya.
Itu sebabnya, kalau dikaitkan dengan pelarian orang-orang Hakka Kalbar ke Singapura dan melakukan pembangunan bisa jadi benar. Apalagi, Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebut orang-orang Lan Fang mampu berdagang ke beberapa daerah dan negara.
Berbagai referensi juga menyebut kalau Lan Fang memiliki hubungan perdagangan yang disebut dengan segitiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia, hingga Vietnam. “Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti membuat Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain,” tuturnya.
Embrio tersebarnya orang-orang Hakka yang menjadi penduduk Lan Fang terlihat jelas dari pola perdagangan itu. Memang masih perlu banyak pembuktian akan keterkaitan antara Singapura dan Lan Fang. Namun, itu bisa menjadi awal yang tepat bagi pemerintah untuk menggali lebih dalam tentang Lan Fang. Supaya kisah tesebut tetap besar di Indonesia, tidak hanya di negara tetangga
Leluhur Gus Dur
Dalam kunjungan ke Beijing University , 3 Desember 1999, dalam kapasitas sebagai Presiden Republik Indonesia . Dia mendapat applaus yang meriah saat mengatakan kepada para mahasiswa Beijing University bahwa anaknya belajar bahasa Mandarin di sebuah universitas di Indonesia.
Leluhur Gus Dur bernama Tan Kim Han [Chen Ji Han] , asal Jinjiang didekat Quanzhou , Fujian di masa Dinasti Ming. Gus Dur memberikan otoritas kepada peneliti Tiongkok untuk melakukan riset tentang leluhurnya. Di Bulan September 2003. Silsilah singkat tentang Tan Kim Han muncul ketika terkumpul dua catatan silsilah , dari marga Tan cabang Meixi dan cabang Chizai yang dikompilasi di tahun 1576 dan 1907.Sebelum meninggalkan Beijing , Gus Dur menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan dengan Barat. Disisi lain Beijing merespond dengan mengirimkan tim dokter untuk ke Jakarta guna merawat mata Gus Dur dengan sistem pengobatan tradisional Tiongkok.
Tan Kim Han alias Tan Kwee Liang [Chen Ji Liang] hidup di sebuah desa yang disebut Shichun di Jinjiang County, dekat Quanzhou , provinsi Fujian . Ayahnya adalah Tan Teck [Chen De] , memiliki dua anak. Kakak tertuanya , Mengliang adalah seorang pejabat di Nanjing . Tan Kim Han lahir di tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di satu sekolah di Leizhou setelah lulus dalam ujian di tahun 1405.
Tan Kim Han ikut bersama Cheng Ho [Zheng He] dan berkunjung ke Lambri-Aceh yang setelah itu tidak ada catatan mengenai dirinya [Chizai Fang Jiapu , 1907]. Dalam catatan keluarga , Tan Kim Han juga merupakan umat dari kepercayaan asing , kemungkinan Islam.
Ma Huan menggambarkan Lambri di tahun 1413 telah menjadi kerajaan Islam. Memiliki populasi sekitar 1000 keluarga. Ma Huan mencatat bahwa semuanya Muslim dan mereka orang yang jujur. Raja di daerah itu juga beragama Muslim [Ma Huan 1997, pp 122-123]. Tan Kim Han mungkin tertarik terhadap komunitas Muslim yang hidup di Lambri dan memutuskan untuk tinggal disana. Dia menikah dengan wanita setempat dan membangun keluarga di Lambri.
Keluarga yang dibentuk Tan Kim Han mulai berkembang dan menjadi keluarga yang berpengaruh dikomunitas Muslim di Jawa Timur.
Tan Kim Han diberi panggilan Syekh Abdul Qodir Al-Shini. Berdasar penelitian seorang peneliti Prancis Louis-Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasi sebagai seorang tokoh yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur. Hasyim Asyari adalah kakek Gus Dur, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama [NU] . Sementara Bisri Syansuri adalah Muslim pertama yang memperkenalkan kelas untuk wanita. Ayah Gus Dur , Wahid Hasyim , terlibat dalam perjuangan nasional.
Gus Dur adalah pemimpin religi sekaligus politik yang akhirnya menjadi presiden ke 4 Republik Indonesia . Artikel Jawa Pos (2009) yang berjudul "Saya Keturunan Tan Kim Han" menyebutkan bahwa Gus Dur di beberapa kesempatan kerap mengungkapkan bahwa dirinya masih memiliki darah Tionghoa dan pembelaannya terhadap warga kelompok minoritas bukan semata-mata faktor keturunan"
Leluhur Gus Dur bernama Tan Kim Han [Chen Ji Han] , asal Jinjiang didekat Quanzhou , Fujian di masa Dinasti Ming. Gus Dur memberikan otoritas kepada peneliti Tiongkok untuk melakukan riset tentang leluhurnya. Di Bulan September 2003. Silsilah singkat tentang Tan Kim Han muncul ketika terkumpul dua catatan silsilah , dari marga Tan cabang Meixi dan cabang Chizai yang dikompilasi di tahun 1576 dan 1907.Sebelum meninggalkan Beijing , Gus Dur menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok untuk menciptakan keseimbangan dengan Barat. Disisi lain Beijing merespond dengan mengirimkan tim dokter untuk ke Jakarta guna merawat mata Gus Dur dengan sistem pengobatan tradisional Tiongkok.
Tan Kim Han alias Tan Kwee Liang [Chen Ji Liang] hidup di sebuah desa yang disebut Shichun di Jinjiang County, dekat Quanzhou , provinsi Fujian . Ayahnya adalah Tan Teck [Chen De] , memiliki dua anak. Kakak tertuanya , Mengliang adalah seorang pejabat di Nanjing . Tan Kim Han lahir di tahun 1383 pada masa pemerintahan Hongwu. Dia menikah tanpa anak dan mengajar di satu sekolah di Leizhou setelah lulus dalam ujian di tahun 1405.
Tan Kim Han ikut bersama Cheng Ho [Zheng He] dan berkunjung ke Lambri-Aceh yang setelah itu tidak ada catatan mengenai dirinya [Chizai Fang Jiapu , 1907]. Dalam catatan keluarga , Tan Kim Han juga merupakan umat dari kepercayaan asing , kemungkinan Islam.
Ma Huan menggambarkan Lambri di tahun 1413 telah menjadi kerajaan Islam. Memiliki populasi sekitar 1000 keluarga. Ma Huan mencatat bahwa semuanya Muslim dan mereka orang yang jujur. Raja di daerah itu juga beragama Muslim [Ma Huan 1997, pp 122-123]. Tan Kim Han mungkin tertarik terhadap komunitas Muslim yang hidup di Lambri dan memutuskan untuk tinggal disana. Dia menikah dengan wanita setempat dan membangun keluarga di Lambri.
Keluarga yang dibentuk Tan Kim Han mulai berkembang dan menjadi keluarga yang berpengaruh dikomunitas Muslim di Jawa Timur.
Tan Kim Han diberi panggilan Syekh Abdul Qodir Al-Shini. Berdasar penelitian seorang peneliti Prancis Louis-Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasi sebagai seorang tokoh yang makamnya ditemukan di Trowulan, Jawa Timur. Hasyim Asyari adalah kakek Gus Dur, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama [NU] . Sementara Bisri Syansuri adalah Muslim pertama yang memperkenalkan kelas untuk wanita. Ayah Gus Dur , Wahid Hasyim , terlibat dalam perjuangan nasional.
Gus Dur adalah pemimpin religi sekaligus politik yang akhirnya menjadi presiden ke 4 Republik Indonesia . Artikel Jawa Pos (2009) yang berjudul "Saya Keturunan Tan Kim Han" menyebutkan bahwa Gus Dur di beberapa kesempatan kerap mengungkapkan bahwa dirinya masih memiliki darah Tionghoa dan pembelaannya terhadap warga kelompok minoritas bukan semata-mata faktor keturunan"
Kesaksian Basuki Tjahaja Purnama
Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama telah memenangkan putaran pertama PILKADA DKI Jakarta 11 Juli 2012. Ini adalah kesaksian Basuki,
Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun demikian, karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak dewasa saya jarang ke gereja.
Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya kemudian mengajak Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi. Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya. Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.
Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja, tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa ???Tuhan, saya ingin mempercayai Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar rasa doang saya tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.
Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung. Saat itu Papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya. Saya takut perusahaan Papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan. Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti, tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan membaca Firman Tuhan.??Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.
Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, ???Kita enggak mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.?????Setelah sering membaca Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok dan dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.
Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya menjawab, ???Tuhan, utuslah aku???.
Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris yang saya baca (The Daily Bible ??? Harvest House Publishers), ayat 1-4 mengatakan God???s providential control,??jadi ini semua berada di dalam kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan Israel specially chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear,??saya yang saat itu merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada yat 17-20 dikatakan needs to be provided, segala kebutuhan kita akan disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh Allah kita luar biasa.
Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik bukan dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya tidak pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat. Tetapi saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin: yang pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya kepada masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di Belitung. Pernah satu hari sampai ada seribu orang lebih yang menghubungi saya, dan saya menjawab semua pertanyaan mereka satu per satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang membantu saya mengetik dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal dari saya.
Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia akan membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.
Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia, supaya 4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi pondasi untuk membangun rumah Indonesia untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya sudah berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan mengijinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.
Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa.??Tuhan memberkati Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.
Silahkan dibagikan, Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di dalam keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak kecil selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun demikian, karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak dewasa saya jarang ke gereja.
Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya kemudian mengajak Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi. Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya. Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.
Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja, tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa ???Tuhan, saya ingin mempercayai Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar rasa doang saya tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.
Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung. Saat itu Papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya. Saya takut perusahaan Papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan. Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti, tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan membaca Firman Tuhan.??Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.
Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, ???Kita enggak mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.?????Setelah sering membaca Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok dan dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.
Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya seorang keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya menjawab, ???Tuhan, utuslah aku???.
Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di perikop yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris yang saya baca (The Daily Bible ??? Harvest House Publishers), ayat 1-4 mengatakan God???s providential control,??jadi ini semua berada di dalam kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan Israel specially chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih saya. Pada ayat 11-16 dikatakan nothing to fear,??saya yang saat itu merasa takut dan gentar begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada yat 17-20 dikatakan needs to be provided, segala kebutuhan kita akan disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya dibaca sambil lalu saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh Allah kita luar biasa.
Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik bukan dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya tidak pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat. Tetapi saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin: yang pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya kepada masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di Belitung. Pernah satu hari sampai ada seribu orang lebih yang menghubungi saya, dan saya menjawab semua pertanyaan mereka satu per satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang membantu saya mengetik dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal dari saya.
Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia akan membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.
Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia, supaya 4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi pondasi untuk membangun rumah Indonesia untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya sudah berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan mengijinkan, saya ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.
Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa.??Tuhan memberkati Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.
Silahkan dibagikan, Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Merindu Nasionalisasi Indonesia
Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan ’wi’ telah menyekunderkan ’Joko’. ’Wi’ itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
”Jokowi” itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam ”harus jelek” bahkan ”miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo pula. Kalau ”Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum ”wong Jowo”.
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus ”mudik ke Jawa”.
Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.
Bukan kendali manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak linier, meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi ”Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah.”
Mencari asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur ”sangkan paran”, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Emha Ainun Nadjib Budayawan
Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan ’wi’ telah menyekunderkan ’Joko’. ’Wi’ itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.
Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
”Jokowi” itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam ”harus jelek” bahkan ”miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo pula. Kalau ”Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum ”wong Jowo”.
Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus ”mudik ke Jawa”.
Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.
Bukan kendali manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak linier, meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi ”Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah.”
Mencari asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur ”sangkan paran”, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.
Emha Ainun Nadjib Budayawan
Nama asing di daftar wisuda
Beberapa hari lalu saya diajak seorang teman menghadiri wisuda putranya dari Imperial College of Science, Technology and Medicine, sebuah perguruan tinggi yang prestisius di Inggris.
Anak teman ini sudah saya kenal sejak dia kecil, sekarang dalam usia sekitar 22 tahun, dia boleh mencantumkan gelar master di belakang namanya.
Karena begitu banyak mahasiswa yang wisuda, pihak universitas meminta hadirin agar tidak bertepuk tangan setiap nama wisudawan dipanggil ke panggung.
Tapi, begitu nama dia dipanggil, sebagai luapan kegembiraan saya langsung bersorak sendiri.
Setelah upacara selesai, si wisudawan mengatakan dia mendengar teriakan saya.
Agak malu juga saya, karena saya jauh sekali di atas panggung, kalau dia sampai dengar suara saya, berarti di tenggorokan ini ada amplifier alami.
Dalam sambutannya, Pak Rektor Imperial dengan bangga bercerita bahwa perguruan tinggi yang ia pimpin selalu masuk 10 besar universitas terbaik dunia... setara Harvard, Oxford, Cambridge... lulusannya bergaji besar dll dsb...pokoknya kecap nomor satulah.
Rupanya dimana-mana, sang rektor selalu punya alsan untuk membanggakan perguruan tinggi yang ia pimpin.
Di antara berbagai data yang menunjukkan kehebatan Imperial, ada dua angka yang menarik perhatian saya, 42 persen dosen Imperial berasal dari luar Inggris Raya, sedangkan 46 persen mahasiswanya berasal dari luar negeri.
Bersaing
Imperial bersaing dengan universitas-universitas terbaik di dunia, jadi mereka akan menerima mahasiswa dari empat penjuru dunia, asalkan dia cukup pandai dan bisa membayar biaya pendidikan.
Banyak mahasiswa asing belajar di universitas Inggris
Soal bayaran ini juga penting karena mahasiswa asing ditarik biaya kuliah yang lebih besar, dan Imperial seperti banyak perguruan tinggi di Inggris lainnya, tidak bisa mengandalkan dana pemerintah saja.
Memang kalau didengar nama-nama yang diwisuda, banyak sekali nama asing, terutama nama-nama oriental dan India.
Rasanya nama-nama eksotik lebih banyak daripada nama-nama tradisional Inggris seperrti Smith atau Jones.
Nama-nama Melayu Malaysia saya lihat di sana sini, saya juga melihat dua nama Indonesia Pranoto dan Gunawan dalam daftar wisudawan.
Terus terang saya terkagum-kagum mendengar banyaknya nama-nama Asia Timur yang dipanggil, terutama nama-nama Cina.
Bayangan saya mereka pasti pintar, dan orang tua atau negara mereka bersedia membayar biaya pendidikan yang mahal, agar mereka bisa mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi terkemuka di dunia.
Di Inggris sendiri para politisi dan pendidik sering mengeluh akan kurangnya minat siswa untuk belajar ilmu-ilmu seperti fisika, kimia dan biologi di perguruan tinggi.
Mereka membandingkan keadaan ini dengan India dan Cina yang setiap tahun menghasilkan lulusan bebeberapa kali lipat lebih banyak dari Inggris.
Kalau kemakmuran sebuah negara diukur dari tingkat pendidikan penduduknya, mestinya dua puluh tahun lagi Cina dan India akan semakin hebat lagi.
Anak teman ini sudah saya kenal sejak dia kecil, sekarang dalam usia sekitar 22 tahun, dia boleh mencantumkan gelar master di belakang namanya.
Karena begitu banyak mahasiswa yang wisuda, pihak universitas meminta hadirin agar tidak bertepuk tangan setiap nama wisudawan dipanggil ke panggung.
Tapi, begitu nama dia dipanggil, sebagai luapan kegembiraan saya langsung bersorak sendiri.
Setelah upacara selesai, si wisudawan mengatakan dia mendengar teriakan saya.
Agak malu juga saya, karena saya jauh sekali di atas panggung, kalau dia sampai dengar suara saya, berarti di tenggorokan ini ada amplifier alami.
Dalam sambutannya, Pak Rektor Imperial dengan bangga bercerita bahwa perguruan tinggi yang ia pimpin selalu masuk 10 besar universitas terbaik dunia... setara Harvard, Oxford, Cambridge... lulusannya bergaji besar dll dsb...pokoknya kecap nomor satulah.
Rupanya dimana-mana, sang rektor selalu punya alsan untuk membanggakan perguruan tinggi yang ia pimpin.
Di antara berbagai data yang menunjukkan kehebatan Imperial, ada dua angka yang menarik perhatian saya, 42 persen dosen Imperial berasal dari luar Inggris Raya, sedangkan 46 persen mahasiswanya berasal dari luar negeri.
Bersaing
Imperial bersaing dengan universitas-universitas terbaik di dunia, jadi mereka akan menerima mahasiswa dari empat penjuru dunia, asalkan dia cukup pandai dan bisa membayar biaya pendidikan.
Banyak mahasiswa asing belajar di universitas Inggris
Soal bayaran ini juga penting karena mahasiswa asing ditarik biaya kuliah yang lebih besar, dan Imperial seperti banyak perguruan tinggi di Inggris lainnya, tidak bisa mengandalkan dana pemerintah saja.
Memang kalau didengar nama-nama yang diwisuda, banyak sekali nama asing, terutama nama-nama oriental dan India.
Rasanya nama-nama eksotik lebih banyak daripada nama-nama tradisional Inggris seperrti Smith atau Jones.
Nama-nama Melayu Malaysia saya lihat di sana sini, saya juga melihat dua nama Indonesia Pranoto dan Gunawan dalam daftar wisudawan.
Terus terang saya terkagum-kagum mendengar banyaknya nama-nama Asia Timur yang dipanggil, terutama nama-nama Cina.
Bayangan saya mereka pasti pintar, dan orang tua atau negara mereka bersedia membayar biaya pendidikan yang mahal, agar mereka bisa mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi terkemuka di dunia.
Di Inggris sendiri para politisi dan pendidik sering mengeluh akan kurangnya minat siswa untuk belajar ilmu-ilmu seperti fisika, kimia dan biologi di perguruan tinggi.
Mereka membandingkan keadaan ini dengan India dan Cina yang setiap tahun menghasilkan lulusan bebeberapa kali lipat lebih banyak dari Inggris.
Kalau kemakmuran sebuah negara diukur dari tingkat pendidikan penduduknya, mestinya dua puluh tahun lagi Cina dan India akan semakin hebat lagi.
Etnis Etnis Cina
Etnis yang Berpopulasi di Atas 5 Juta
Etnis Han
Etnis Han adalah etnis yang paling banyak jumlah penduduknya di antara 56 etnis Tiongkok, dan juga adalah etnis yang paling banyak populasinya di dunia. Sekarang, jumlah orang etnis Han telah mencapai sekitar 1,2 milyar. Etnis Han pada zaman dahulu disebut penduduk Dataran Tengah Tionghoa, dan sampai sekarang telah mempunyai sejarah berkebudayaan selama 5 ribu tahun. Kemudian berangsur-angsur berbaur dan berpadu dengan berbagai etnis lain. Mulai dari Dinasti Han disebut etnis Han. Etnis Han mempunyai huruf bahasa sendiri. Bahasa Mandarin termasuk cabang bahasa Sino-Tibeto, dan terbagi atas 8 bahasa daerah, antara lain bahasa Utara, bahasa Wu atau daerah hilir Sungai Yangtze, bahasa Xiang atau Propinsi Hunan sekarang, bahasa Gan atau Propinsi Jiangxi sekarang, bahasa Hakka, bahasa Hokian Selatan, bahasa Hokian Utara dan bahasa Kanton, dan bahasa yang digunakan bersama ialah bahasa Mandarin yang baku. Huruf bahasa Mandarin adalah salah satu huruf yang paling kuno di dunia, dari huruf yang ditulis pada kulit keras kura-kura, tulang dan alat perunggu berangsur-angsur berkembang menjadi huruf Han atau huruf Tionghoa yang sekarang ini, dan mempunyai 80 ribu kata lebih, di antaranya 7 ribu kata yang lazim digunakan. Sekarang bahasa Mandarin menjadi salah satu bahasa umum internasional.
Struktur diet fundamental etnis Han ialah padi-padian sebagai makanan pokok, dan masakan daging binatang dan sayur sebagai lauk pauk atau makanan sampingan. Dalam proses perkembangan yang lama, etnis Han telah membentuk kebiasaan diet 3 kali makan setiap hari. Beras dan makanan dari tepung terigu adalah dua macam makanan utama etnsi Han. Selain itu, tanaman pangan lain, misalnya jagung, gandrung, jawawut dan ubi-ubian juga menjadi komponen makanan utama berbagai daerah berbeda. Dipengaruhi syarat banyak bidang, dalam adat kebiasaan makanan dan minum etnis Han terbentuk sayur dan lauk yang berbeda. Orang biasanya menyimpulkan rasa masakan etnis Han dan etnis-etnis terkait lainnya sebagai berikut: selatan manis, utara asin, sedang timur pedas dan barat asam. Sekarang telah terbentuk 8 macam masakan yang representatif di atas dasar rasa masakan rakyat berbagai tempat, yaitu masakan Xiang atau Propinsi Hunan, maskan Chuan atau Propinsi Sichuan, masakan timur laut, masakan Yue atau Kanton dan lain-lainnya.
Arak dan teh adalah dua macam minuman pokok etnis Han. Tiongkok sebagai kampung halaman teh, juga adalah salah satu negara yang paling dahulu menemukan teknologi produksi arak. Kebudayaan arak dan teh telah bersejarah lama di Tiongkok. Selain arak dan teh, sejumlah produk buah-buahan terntentu juga menjadi minuman orang di daerah berbeda dan pada musim berbeda. Etnis Han mempunyai banyak hari raya, di antaranya hari Tahun Baru Imlek ialah festival paling tradisional. Selain itu hari raya yang penting juga adalah Hari Capgome pada tanggal 15 Bulan Satu imlek, Hari Cengbeng pada tanggal 5 Bulan Empat, Hari Pehcun pada tanggal 5 Bulan Lima dan Hari Pertengahan Musim Rontok pada tanggal 15 Bulan Delapan Imlek dan lain sebagainya.
Etnis Zhuang
Etnis Zhuang Tiongkok adalah salah satu etnis yang paling banyak populasinya di antara etnis minoritas Tiongkok, dan terutama bermukim di Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi yang dibentuk pada tahun 1958. Mereka menggunakan bahasa Zhuang yang termasuk cabang bahasa Sino-Tibeto.
Etnis Zhuang terutama melaksanakan produksi pertanian, dan terutama menanam padi dan jagung. Orang etnis Zhuang suka menyanyi, dan kampung halaman etnis Zhuang diberi nama Lautan Lagu. Kain brokat etnis Zhuang yang cantik adalah barang seni kerajinan tradisional rakyat etnis Zhuang. Orang etnis Zhuang dulu kebanyakan menganut agama primitif yang alam menyembah dan banyak dewa. Setelah dinasti Tang dan Song, agama Buddha dan Tao berturut-turut memasuki daerah etnis Zhuang. Pada zaman modern, agama Kristen dan Katolik juga memasuki daerah etnis Zhuang, tapi tidak berpengaruh besar.
Etnis Man
Etnis Man tersebar di berbagai tempat seluruh negeri, di antaranya yang paling banyak bermukim di Propinsi Liaoning Tiongkok timur laut. Etnis Man menggunakan bahasa Man yang termasuk rumpun bahasa Altai. Karena tinggal berbaur dan erat hubungannya dengan etnis Han, maka kini penduduk etnis Man terbiasa menggunakan bahasa Mandarin, dan hanya di sejumlah kecil desa-desa permukiman yang terpencil dan sejumlah kecil orang lanjut usia masih bisa berbicara dalam bahasa Man. Penduduk etnis Man dulu pernah menganut agama Saman yang politeis. Etnis Man adalah etnis yang bersejarah lama, nenek moyang mereka dapat ditelusuri sampai 2.000 tahun yang lalu. Mereka bermukim di daerah yang luas di bagian hilir dan tengah Sungai Heilongjiang dan Daerah Aliran Sungai Wusuli di sebelah utara Gunung Changbai di Tiongkok timur laut. Pada abad ke-12, etnis Man yang ketika itu dinamakan "Nuzhen" mendirikan Dinasti Jin. Pada tahun 1583, Nurhach menyatukan semua marga Nuzhen, mendirikan sistem Baqi atau 8 bendera, menciptakan tulisan Manchu, dan pada tahun 1635 menetapkan nama etnis menjadi Manchu. Pada tahun 1636, Nurhach dinobatkan menjadi kaisar dan mengubah nama negara menjadi Dinasti Qing. Pada tahun 1644, tentara Qing memasuki benteng Shanhaiguan dan Dinasti Qing menjadi dinasti feodal terakhir rezim sentralis kesatuan di Tiongkok. Setelah revolusi tahun 1911, nama etnis Man diresmikan. Penduduk etnis Man telah memberikan sumbangan penting bagi kesatuan negara, perluasan wilayah, perkembangan ekonomi dan kebudayaan Tiongkok.
Etnis Hui
Populasi etnis Hui tercatat 9,8 juta orang, terutama bermukim di Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia, Tiongkok barat laut. Di tempat-tempat lain di Tiongkok juga terdapat banyak warga etnis Hui yang tinggal memusat atau terpencar, dapat dikatakan bahwa penduduk etnis Hui tersebar di seluruh negeri, merupakan etnis minoritas yang paling luas penyebarannya di Tiongkok. Penduduk etnis Hui hidup bersama dalam waktu panjang dengan etnis Han, maka kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Mandarin. Penduduk etnis Hui yang tinggal bersama dengan etnis-etnis lain juga bisa menggunakan bahasa etnis-etnis tersebut. Sejumlah warga etnis Hui paham bahasa Arab dan Persia. Asal usul etnis Hui dapat ditelusuri sampai abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu, saudagar-saudagar Arab dan Persia datang berdagang ke Tiongkok, dan tinggal menetap di daerah pantai tenggara Tiongkok seperti kota Guangzhou dan kota Quanzhou, mengalami perkembangan selama ratusan tahun, mereka berangsur-angsur menjadi bagian dari etnis Hui. Selain itu, pada awal abad ke-13, orang Asia Tengah, orang Persia dan orang Arab yang terpaksa hijrah ke Tiongkok barat laut karena perang, terus menerus berbaur dengan etnis-etnis Han, Uigur dan Mongol dan berangsur-angsur menjadi etnis Hui melalui perkawinan dan agama yang dianut. Penduduk etnis Hui menganut agama Islam. Di kota, kecamatan bahkan desa tempat permukiman etnis Hui terdapat mesjid dan masyarakat etnis Hui bermukim di sekitar mesjid. Mereka mempunyai kebiasaan makan tersendiri yang khas, maka di mana-mana ada restoran dan toko makanan yang memasang papan bertuliskan "Etnis Hui" atau "Halal", khusus melayani masyarakat etnis Hui. Taraf ekonomi dan kebudayaan etnis Hui relatif tinggi, dan memainkan peran penting bagi perkembangan sejarah Tiongkok.
Etnis Miao
Etnis Miao berpopulasi sekitar 8,94 juta jiwa dan terutama bermukim di propinsi-propinsi Guizhou , Yunan, Sichuan, Hunan, Hubei dan Guangdong serta Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi. Etnis Miao menggunakan bahasa Miao yang tergolong keluarga bahasa Cino-Tibetan. Dulu etnis Miao tidak memiliki huruf yang tunggal, tahun 1956 etnis Miao menciptakan atau mereformasi sistem tulisan menurut ejakan Latin dari 4 macam dialek, sehingga terbentuk huruf Miao yang tunggal . Etnis Miao adalah salah satu etnis tua yang sudah bersejarah panjang di Tiongkok, dan dalam kitab sejarah lebih 4000 tahun lalu sudah tercatat tentang etnis tersebut. Chiyou yang bergabung dan berperang dengan Kaisar Huangdi dan Kaisar Yendi yang dikisahkan dalam sejarah kuno adalah leluhur yang sembah orang etnis Miao. Orang etnis Miao kebanyakan menganut agama purbakala yang menganggap segala benda dan makhluk yang ada di dunia ini berjiwa. Rakyat etnis Miao berpencaharian bercocok tanam padi dan jagung.
Etnis Yi
Etnis Yi berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa, terutama bermukim di propinsi atau daerah Yunan, Sichuan, Guizhou dan Guangxi. Etnis Yi menggunakan bahasa Yi yang tergolong keluarga bahasa Cino-Tibetan. Orang etnis Yi yang bermukim di daerah etnis Han dan banyak bergaul dengan etnis Han dapat menggunakan bahasa Mandarin. Etnis Yi merupakan suatu etnis minoritas yang jumlahnya cukup banyak , tersebar cukup luas dan bersejarah panjang di Tiongkok. Lebih 2000 tahun lalu, kelompok etnis Di dan Qiang dari utara yang turun ke selatan terus menerus berbaur dengan suku pribumi di Tiongkok selatan dan membentuk etnis baru, yaitu etnis Yi. Suatu ciri penting dari etnis Yi dalam sejarah ialah tetap mempertahankan sistem pemilikan budak dalam jangka panjang. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, diadakan reformasi demokratis atas etnis tersebut dan sistem perbudakan yang masih tersisa dalam masyarakat etnis Yi baru berangsur-angsur dimusnahkan.
Etnis Mongol
Populasi etnis Mongol mencapai 5,8 juta orang, terutama bermukim di Daerah Otonom Mongol Dalam dan Daerah Otonom Uigur Xinjiang, Propinsi Qinghai, Gansu, Heilongjiang, Jilin serta Liaoning, keresidenan dan kabupaten otonom etnis Mongol propinsi dan daerah otonom. Etnis Mongol menggunakan bahasa Mongol, yang termasuk cabang bahasa Altai. Sebutan Mongol pertama kali muncul pada Dinasti Tang, pada waktu itu etnis Mongol hanya satu nama kelompok di antara banyak kelompok Mongol. Tempat asal kelompok itu di sekitar pantai timur Sungai Erguna, kemudian berangsur-angsur memindah ke barat. Di antara berbagai kelompok terjadi rebutan manusia, binatang dan kekayaan, akhirnya terbentuk perang antara kelompok yang tak habis-habisnya. Pada tahun 1206, Temuzhen dijunjung sebagai Kaisar Mongol, dengan nama Chengji Sihan, dan membentuk negara Mongol, setelah itu di Tiongkok utara pertama kali muncul satu etnis yang kuat, stabil dan berkembang terus, yaitu etnis Mongol. Kemudian, Chengji Sihan menyatukan semua kelompok etnis Mongol lainnya dan menyatukan Tiongkok, membentuk Dinasti Ming. Orang etnis Mongol kebanyakan menganut agama Lama. Etnis Mongol memberi sumbangan besar di bidang politik, militer, ekonomi, iptek, astronomi, kebudayaan dan kesenian serta ilmu kedokteran Tiongkok dan lain sebagainya.
Etnis Han
Etnis Han adalah etnis yang paling banyak jumlah penduduknya di antara 56 etnis Tiongkok, dan juga adalah etnis yang paling banyak populasinya di dunia. Sekarang, jumlah orang etnis Han telah mencapai sekitar 1,2 milyar. Etnis Han pada zaman dahulu disebut penduduk Dataran Tengah Tionghoa, dan sampai sekarang telah mempunyai sejarah berkebudayaan selama 5 ribu tahun. Kemudian berangsur-angsur berbaur dan berpadu dengan berbagai etnis lain. Mulai dari Dinasti Han disebut etnis Han. Etnis Han mempunyai huruf bahasa sendiri. Bahasa Mandarin termasuk cabang bahasa Sino-Tibeto, dan terbagi atas 8 bahasa daerah, antara lain bahasa Utara, bahasa Wu atau daerah hilir Sungai Yangtze, bahasa Xiang atau Propinsi Hunan sekarang, bahasa Gan atau Propinsi Jiangxi sekarang, bahasa Hakka, bahasa Hokian Selatan, bahasa Hokian Utara dan bahasa Kanton, dan bahasa yang digunakan bersama ialah bahasa Mandarin yang baku. Huruf bahasa Mandarin adalah salah satu huruf yang paling kuno di dunia, dari huruf yang ditulis pada kulit keras kura-kura, tulang dan alat perunggu berangsur-angsur berkembang menjadi huruf Han atau huruf Tionghoa yang sekarang ini, dan mempunyai 80 ribu kata lebih, di antaranya 7 ribu kata yang lazim digunakan. Sekarang bahasa Mandarin menjadi salah satu bahasa umum internasional.
Struktur diet fundamental etnis Han ialah padi-padian sebagai makanan pokok, dan masakan daging binatang dan sayur sebagai lauk pauk atau makanan sampingan. Dalam proses perkembangan yang lama, etnis Han telah membentuk kebiasaan diet 3 kali makan setiap hari. Beras dan makanan dari tepung terigu adalah dua macam makanan utama etnsi Han. Selain itu, tanaman pangan lain, misalnya jagung, gandrung, jawawut dan ubi-ubian juga menjadi komponen makanan utama berbagai daerah berbeda. Dipengaruhi syarat banyak bidang, dalam adat kebiasaan makanan dan minum etnis Han terbentuk sayur dan lauk yang berbeda. Orang biasanya menyimpulkan rasa masakan etnis Han dan etnis-etnis terkait lainnya sebagai berikut: selatan manis, utara asin, sedang timur pedas dan barat asam. Sekarang telah terbentuk 8 macam masakan yang representatif di atas dasar rasa masakan rakyat berbagai tempat, yaitu masakan Xiang atau Propinsi Hunan, maskan Chuan atau Propinsi Sichuan, masakan timur laut, masakan Yue atau Kanton dan lain-lainnya.
Arak dan teh adalah dua macam minuman pokok etnis Han. Tiongkok sebagai kampung halaman teh, juga adalah salah satu negara yang paling dahulu menemukan teknologi produksi arak. Kebudayaan arak dan teh telah bersejarah lama di Tiongkok. Selain arak dan teh, sejumlah produk buah-buahan terntentu juga menjadi minuman orang di daerah berbeda dan pada musim berbeda. Etnis Han mempunyai banyak hari raya, di antaranya hari Tahun Baru Imlek ialah festival paling tradisional. Selain itu hari raya yang penting juga adalah Hari Capgome pada tanggal 15 Bulan Satu imlek, Hari Cengbeng pada tanggal 5 Bulan Empat, Hari Pehcun pada tanggal 5 Bulan Lima dan Hari Pertengahan Musim Rontok pada tanggal 15 Bulan Delapan Imlek dan lain sebagainya.
Etnis Zhuang
Etnis Zhuang Tiongkok adalah salah satu etnis yang paling banyak populasinya di antara etnis minoritas Tiongkok, dan terutama bermukim di Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi yang dibentuk pada tahun 1958. Mereka menggunakan bahasa Zhuang yang termasuk cabang bahasa Sino-Tibeto.
Etnis Zhuang terutama melaksanakan produksi pertanian, dan terutama menanam padi dan jagung. Orang etnis Zhuang suka menyanyi, dan kampung halaman etnis Zhuang diberi nama Lautan Lagu. Kain brokat etnis Zhuang yang cantik adalah barang seni kerajinan tradisional rakyat etnis Zhuang. Orang etnis Zhuang dulu kebanyakan menganut agama primitif yang alam menyembah dan banyak dewa. Setelah dinasti Tang dan Song, agama Buddha dan Tao berturut-turut memasuki daerah etnis Zhuang. Pada zaman modern, agama Kristen dan Katolik juga memasuki daerah etnis Zhuang, tapi tidak berpengaruh besar.
Etnis Man
Etnis Man tersebar di berbagai tempat seluruh negeri, di antaranya yang paling banyak bermukim di Propinsi Liaoning Tiongkok timur laut. Etnis Man menggunakan bahasa Man yang termasuk rumpun bahasa Altai. Karena tinggal berbaur dan erat hubungannya dengan etnis Han, maka kini penduduk etnis Man terbiasa menggunakan bahasa Mandarin, dan hanya di sejumlah kecil desa-desa permukiman yang terpencil dan sejumlah kecil orang lanjut usia masih bisa berbicara dalam bahasa Man. Penduduk etnis Man dulu pernah menganut agama Saman yang politeis. Etnis Man adalah etnis yang bersejarah lama, nenek moyang mereka dapat ditelusuri sampai 2.000 tahun yang lalu. Mereka bermukim di daerah yang luas di bagian hilir dan tengah Sungai Heilongjiang dan Daerah Aliran Sungai Wusuli di sebelah utara Gunung Changbai di Tiongkok timur laut. Pada abad ke-12, etnis Man yang ketika itu dinamakan "Nuzhen" mendirikan Dinasti Jin. Pada tahun 1583, Nurhach menyatukan semua marga Nuzhen, mendirikan sistem Baqi atau 8 bendera, menciptakan tulisan Manchu, dan pada tahun 1635 menetapkan nama etnis menjadi Manchu. Pada tahun 1636, Nurhach dinobatkan menjadi kaisar dan mengubah nama negara menjadi Dinasti Qing. Pada tahun 1644, tentara Qing memasuki benteng Shanhaiguan dan Dinasti Qing menjadi dinasti feodal terakhir rezim sentralis kesatuan di Tiongkok. Setelah revolusi tahun 1911, nama etnis Man diresmikan. Penduduk etnis Man telah memberikan sumbangan penting bagi kesatuan negara, perluasan wilayah, perkembangan ekonomi dan kebudayaan Tiongkok.
Etnis Hui
Populasi etnis Hui tercatat 9,8 juta orang, terutama bermukim di Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia, Tiongkok barat laut. Di tempat-tempat lain di Tiongkok juga terdapat banyak warga etnis Hui yang tinggal memusat atau terpencar, dapat dikatakan bahwa penduduk etnis Hui tersebar di seluruh negeri, merupakan etnis minoritas yang paling luas penyebarannya di Tiongkok. Penduduk etnis Hui hidup bersama dalam waktu panjang dengan etnis Han, maka kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Mandarin. Penduduk etnis Hui yang tinggal bersama dengan etnis-etnis lain juga bisa menggunakan bahasa etnis-etnis tersebut. Sejumlah warga etnis Hui paham bahasa Arab dan Persia. Asal usul etnis Hui dapat ditelusuri sampai abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu, saudagar-saudagar Arab dan Persia datang berdagang ke Tiongkok, dan tinggal menetap di daerah pantai tenggara Tiongkok seperti kota Guangzhou dan kota Quanzhou, mengalami perkembangan selama ratusan tahun, mereka berangsur-angsur menjadi bagian dari etnis Hui. Selain itu, pada awal abad ke-13, orang Asia Tengah, orang Persia dan orang Arab yang terpaksa hijrah ke Tiongkok barat laut karena perang, terus menerus berbaur dengan etnis-etnis Han, Uigur dan Mongol dan berangsur-angsur menjadi etnis Hui melalui perkawinan dan agama yang dianut. Penduduk etnis Hui menganut agama Islam. Di kota, kecamatan bahkan desa tempat permukiman etnis Hui terdapat mesjid dan masyarakat etnis Hui bermukim di sekitar mesjid. Mereka mempunyai kebiasaan makan tersendiri yang khas, maka di mana-mana ada restoran dan toko makanan yang memasang papan bertuliskan "Etnis Hui" atau "Halal", khusus melayani masyarakat etnis Hui. Taraf ekonomi dan kebudayaan etnis Hui relatif tinggi, dan memainkan peran penting bagi perkembangan sejarah Tiongkok.
Etnis Miao
Etnis Miao berpopulasi sekitar 8,94 juta jiwa dan terutama bermukim di propinsi-propinsi Guizhou , Yunan, Sichuan, Hunan, Hubei dan Guangdong serta Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi. Etnis Miao menggunakan bahasa Miao yang tergolong keluarga bahasa Cino-Tibetan. Dulu etnis Miao tidak memiliki huruf yang tunggal, tahun 1956 etnis Miao menciptakan atau mereformasi sistem tulisan menurut ejakan Latin dari 4 macam dialek, sehingga terbentuk huruf Miao yang tunggal . Etnis Miao adalah salah satu etnis tua yang sudah bersejarah panjang di Tiongkok, dan dalam kitab sejarah lebih 4000 tahun lalu sudah tercatat tentang etnis tersebut. Chiyou yang bergabung dan berperang dengan Kaisar Huangdi dan Kaisar Yendi yang dikisahkan dalam sejarah kuno adalah leluhur yang sembah orang etnis Miao. Orang etnis Miao kebanyakan menganut agama purbakala yang menganggap segala benda dan makhluk yang ada di dunia ini berjiwa. Rakyat etnis Miao berpencaharian bercocok tanam padi dan jagung.
Etnis Yi
Etnis Yi berpenduduk sekitar 7,7 juta jiwa, terutama bermukim di propinsi atau daerah Yunan, Sichuan, Guizhou dan Guangxi. Etnis Yi menggunakan bahasa Yi yang tergolong keluarga bahasa Cino-Tibetan. Orang etnis Yi yang bermukim di daerah etnis Han dan banyak bergaul dengan etnis Han dapat menggunakan bahasa Mandarin. Etnis Yi merupakan suatu etnis minoritas yang jumlahnya cukup banyak , tersebar cukup luas dan bersejarah panjang di Tiongkok. Lebih 2000 tahun lalu, kelompok etnis Di dan Qiang dari utara yang turun ke selatan terus menerus berbaur dengan suku pribumi di Tiongkok selatan dan membentuk etnis baru, yaitu etnis Yi. Suatu ciri penting dari etnis Yi dalam sejarah ialah tetap mempertahankan sistem pemilikan budak dalam jangka panjang. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, diadakan reformasi demokratis atas etnis tersebut dan sistem perbudakan yang masih tersisa dalam masyarakat etnis Yi baru berangsur-angsur dimusnahkan.
Etnis Mongol
Populasi etnis Mongol mencapai 5,8 juta orang, terutama bermukim di Daerah Otonom Mongol Dalam dan Daerah Otonom Uigur Xinjiang, Propinsi Qinghai, Gansu, Heilongjiang, Jilin serta Liaoning, keresidenan dan kabupaten otonom etnis Mongol propinsi dan daerah otonom. Etnis Mongol menggunakan bahasa Mongol, yang termasuk cabang bahasa Altai. Sebutan Mongol pertama kali muncul pada Dinasti Tang, pada waktu itu etnis Mongol hanya satu nama kelompok di antara banyak kelompok Mongol. Tempat asal kelompok itu di sekitar pantai timur Sungai Erguna, kemudian berangsur-angsur memindah ke barat. Di antara berbagai kelompok terjadi rebutan manusia, binatang dan kekayaan, akhirnya terbentuk perang antara kelompok yang tak habis-habisnya. Pada tahun 1206, Temuzhen dijunjung sebagai Kaisar Mongol, dengan nama Chengji Sihan, dan membentuk negara Mongol, setelah itu di Tiongkok utara pertama kali muncul satu etnis yang kuat, stabil dan berkembang terus, yaitu etnis Mongol. Kemudian, Chengji Sihan menyatukan semua kelompok etnis Mongol lainnya dan menyatukan Tiongkok, membentuk Dinasti Ming. Orang etnis Mongol kebanyakan menganut agama Lama. Etnis Mongol memberi sumbangan besar di bidang politik, militer, ekonomi, iptek, astronomi, kebudayaan dan kesenian serta ilmu kedokteran Tiongkok dan lain sebagainya.
Cina Pun Sama Saja
SEPERTI Indonesia, Negeri Tirai Bambu tidak jauh berbeda dengan Tanah Air tercinta kita ini. Kalau pun ada perbedaan yang paling menonjol mungkin hanya terletak pada pemerintah kita yang terus-menerus menjual negara ini kepada asing, sementara Cina tidak.
Negara Cina yang terdiri dari sejumlah provinsi juga dihuni oleh berbagai jenis suku yang memiliki ragam bahasa yang berbeda pula. Suku terbesar yakni Suku Han yang tinggal di daerah Kang Lam. Daerah Kang Lam ini terbentang antara Sungai Hoang Ho dan Sungai Yangtze.
Dari daerah Kang Lam inilah muncul berbagai kerajaan besar di mana masyarakatnya bisa hidup makmur dan sejahtera. Dinasti kekaisaran di Cina pun lahirnya di daerah Kang Lam. Antara lain Dinasti Han, Sung, serta Dinasti Yunan yang berasal dari Mongol, Dinasti Ming dan Dinasti Cing, yang berasal dari Mancuria.
Pernah ada seorang kaisar bernama Lie She Ming dari Dinasti Tang yang kalah perang melawan pasukan Kerajaan Mongol pimpinan Kubilai Khan. Saat dikejar pasukan Mongol semua keturunannya melarikan diri ke daerah selatan.
Akibatnya sanak keluarga Kaisar terpencar-pencar, Lie She Ming pun masuk ke sebuah bio (kelenteng kecil) yang ditemui dalam pelariannya. Setelah sembahyang ia pun mengucapkan sumpahnya bahwa keturuannya kelak akan diberi tanda di kuku jari kaki kelingkingnya agar mereka kelak kalau bertemu bisa saling mengenal.
Tanda itu bisa berupa kuku jari kaki kelingking yang pecah atau berkerut-kerut. "Sebagian besar warga Cina, khususnya mereka yang bermarga (= she) Lie karena masih memiliki darah ningrat, masih percaya hal tersebut. Dan, memang kenyataannya pasti kuku jari kaki mereka tidak beres," tutur Tan Chian Hok, mantan pengurus kelenteng Tso Su Kong di Desa Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
WALAU banyak suku di daratan Cina tetapi she-nya yang tercatat hanya ada sekitar 100 she. Tetapi, yang masih dipergunakan hingga saat ini hanya sekitar 50 she saja.
Antara lain seperti Lie yang aslinya berasal dari daerah Lung Si, she Gou dari daerah Sen Ling, she Ong dari daerah Thay Yen, she Hoo dari daerah Lu Cian, she Tio dari daerah Cing Ho. Kalau she Tung dari Ci Nan ada juga she Tung-men yang berasal dari daerah Ci An.
Orang Cina yang datang ke Indonesia pun bisa ditandai dari suku mana mereka hanya dengan sekilas melihat kegiatan yang mereka lakukan. Seperti orang Shantung yang biasanya berpostur tubuh tinggi besar.
Di tempat asalnya mereka biasa makan bakpau tanpa isi (man tou) yang terbuat dari terigu. Mereka tidak makan nasi. Orang Shantung juga dikenal karena menguasai ilmu beladiri kuntau (silat) pakai toya serta ilmu tendangan selatan dan ilmu pukulan aliran utara.
Pada zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1950-an mereka dikenal sebagai penjual kain keliling. Sebagian dari orang Shantung ini juga menjadi penjual pangsit sui kiau yang di dalamnya berisi bangkuang.
Suku Hokian merupakan suku terbesar karena memang menempati daerah yang luas. Seperti yang tinggal di daerah pesisir Nan Am yang disebut suku Nia Men. Umumnya di Indonesia menjadi penjual ikan asin hingga sekarang.
Ada juga Hokian Hing Hua yang di Indonesia dari dulu dikenal sebagai pembuat sekaligus tukang memperbaiki becak dan sepeda. Sebagian orang Hing Hua ini menjadi juragan es lilin yang penjualnya akan dilengkapi dengan gerobak dorong.
Sekarang mereka sudah beralih profesi, walau tidak begitu jauh. Sebab merekalah yang menguasai perdagangan onderdil (spare part) berbagai kendaraan bermotor di hampir semua toko yang ada di Indonesia.
Begitu juga dengan suku Hokian Hok Cia, yang juga menjadi asal konglomerat utama Indonesia, Lim Siu Liong, dari dulu biasa berdagang kain dan kemudian berkembang menjadi pemilik pabrik kain. Mereka juga berusaha dalam hasil bumi yang kemudian dikenal juga sebagai tengkulak atau rentenir. Makanya belakangan mereka berkembang menjadi pemilik bank atau bergerak dalam bidang ekspor-impor.
Ada lagi suku Kwantung Kanton atau Kong Hu yang sejak dulu usahanya berhubungan dengan kayu. Biasa pemilik toko mebel itu berasal dari suku Kong Hu. Tetapi ada juga yang membuka restoran yang menawarkan berbagai jenis penganan.
Sedangkan, Suku Kwantung Hakka atau biasa disebut Kek, biasanya memilih sekolah untuk dapat mengecap pendidikan setinggi-tingginya. "Makanya kebanyakan istri mereka yang disuruh bekerja, sementara sang suami sekolah terus. Itu sebabnya suku lain jarang yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan orang Kek. Karena bakal disuruh kerja sementara suaminya belajar terus," jelas Krisna Warih, ahli feng shui yang mendalami budaya Cina.
Di daratan Cina sendiri kebanyakan orang Kek inilah yang mendominasi dunia politik. Kalau mereka tidak berpendidikan tinggi, yang di Indonesia biasa mereka menjadi perajin sepatu, membuka toko kelontong. Untuk yang sudah maju usaha kelontong mereka kembangkan dalam bentuk pasar swalayan.
Orang Hupe dan orang Hunan yang berada di Indonesia biasa menjadi pembuat gigi palsu. Sedangkan orang Shanghai biasanya merupakan pedagang hasil bumi dalam jumlah besar dan kemudian menguasai perdagangan hasil bumi ke luar negeri.
Negara Cina yang terdiri dari sejumlah provinsi juga dihuni oleh berbagai jenis suku yang memiliki ragam bahasa yang berbeda pula. Suku terbesar yakni Suku Han yang tinggal di daerah Kang Lam. Daerah Kang Lam ini terbentang antara Sungai Hoang Ho dan Sungai Yangtze.
Dari daerah Kang Lam inilah muncul berbagai kerajaan besar di mana masyarakatnya bisa hidup makmur dan sejahtera. Dinasti kekaisaran di Cina pun lahirnya di daerah Kang Lam. Antara lain Dinasti Han, Sung, serta Dinasti Yunan yang berasal dari Mongol, Dinasti Ming dan Dinasti Cing, yang berasal dari Mancuria.
Pernah ada seorang kaisar bernama Lie She Ming dari Dinasti Tang yang kalah perang melawan pasukan Kerajaan Mongol pimpinan Kubilai Khan. Saat dikejar pasukan Mongol semua keturunannya melarikan diri ke daerah selatan.
Akibatnya sanak keluarga Kaisar terpencar-pencar, Lie She Ming pun masuk ke sebuah bio (kelenteng kecil) yang ditemui dalam pelariannya. Setelah sembahyang ia pun mengucapkan sumpahnya bahwa keturuannya kelak akan diberi tanda di kuku jari kaki kelingkingnya agar mereka kelak kalau bertemu bisa saling mengenal.
Tanda itu bisa berupa kuku jari kaki kelingking yang pecah atau berkerut-kerut. "Sebagian besar warga Cina, khususnya mereka yang bermarga (= she) Lie karena masih memiliki darah ningrat, masih percaya hal tersebut. Dan, memang kenyataannya pasti kuku jari kaki mereka tidak beres," tutur Tan Chian Hok, mantan pengurus kelenteng Tso Su Kong di Desa Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
WALAU banyak suku di daratan Cina tetapi she-nya yang tercatat hanya ada sekitar 100 she. Tetapi, yang masih dipergunakan hingga saat ini hanya sekitar 50 she saja.
Antara lain seperti Lie yang aslinya berasal dari daerah Lung Si, she Gou dari daerah Sen Ling, she Ong dari daerah Thay Yen, she Hoo dari daerah Lu Cian, she Tio dari daerah Cing Ho. Kalau she Tung dari Ci Nan ada juga she Tung-men yang berasal dari daerah Ci An.
Orang Cina yang datang ke Indonesia pun bisa ditandai dari suku mana mereka hanya dengan sekilas melihat kegiatan yang mereka lakukan. Seperti orang Shantung yang biasanya berpostur tubuh tinggi besar.
Di tempat asalnya mereka biasa makan bakpau tanpa isi (man tou) yang terbuat dari terigu. Mereka tidak makan nasi. Orang Shantung juga dikenal karena menguasai ilmu beladiri kuntau (silat) pakai toya serta ilmu tendangan selatan dan ilmu pukulan aliran utara.
Pada zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1950-an mereka dikenal sebagai penjual kain keliling. Sebagian dari orang Shantung ini juga menjadi penjual pangsit sui kiau yang di dalamnya berisi bangkuang.
Suku Hokian merupakan suku terbesar karena memang menempati daerah yang luas. Seperti yang tinggal di daerah pesisir Nan Am yang disebut suku Nia Men. Umumnya di Indonesia menjadi penjual ikan asin hingga sekarang.
Ada juga Hokian Hing Hua yang di Indonesia dari dulu dikenal sebagai pembuat sekaligus tukang memperbaiki becak dan sepeda. Sebagian orang Hing Hua ini menjadi juragan es lilin yang penjualnya akan dilengkapi dengan gerobak dorong.
Sekarang mereka sudah beralih profesi, walau tidak begitu jauh. Sebab merekalah yang menguasai perdagangan onderdil (spare part) berbagai kendaraan bermotor di hampir semua toko yang ada di Indonesia.
Begitu juga dengan suku Hokian Hok Cia, yang juga menjadi asal konglomerat utama Indonesia, Lim Siu Liong, dari dulu biasa berdagang kain dan kemudian berkembang menjadi pemilik pabrik kain. Mereka juga berusaha dalam hasil bumi yang kemudian dikenal juga sebagai tengkulak atau rentenir. Makanya belakangan mereka berkembang menjadi pemilik bank atau bergerak dalam bidang ekspor-impor.
Ada lagi suku Kwantung Kanton atau Kong Hu yang sejak dulu usahanya berhubungan dengan kayu. Biasa pemilik toko mebel itu berasal dari suku Kong Hu. Tetapi ada juga yang membuka restoran yang menawarkan berbagai jenis penganan.
Sedangkan, Suku Kwantung Hakka atau biasa disebut Kek, biasanya memilih sekolah untuk dapat mengecap pendidikan setinggi-tingginya. "Makanya kebanyakan istri mereka yang disuruh bekerja, sementara sang suami sekolah terus. Itu sebabnya suku lain jarang yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan orang Kek. Karena bakal disuruh kerja sementara suaminya belajar terus," jelas Krisna Warih, ahli feng shui yang mendalami budaya Cina.
Di daratan Cina sendiri kebanyakan orang Kek inilah yang mendominasi dunia politik. Kalau mereka tidak berpendidikan tinggi, yang di Indonesia biasa mereka menjadi perajin sepatu, membuka toko kelontong. Untuk yang sudah maju usaha kelontong mereka kembangkan dalam bentuk pasar swalayan.
Orang Hupe dan orang Hunan yang berada di Indonesia biasa menjadi pembuat gigi palsu. Sedangkan orang Shanghai biasanya merupakan pedagang hasil bumi dalam jumlah besar dan kemudian menguasai perdagangan hasil bumi ke luar negeri.
Suku Tionghoa Di Indonesia
TIONGHOA - INDONESIA
SUKU TIONGHOA-INDONESIA
Jumlah populasi
1.739.000 (sensus 2000) ± 4-5 juta (perkiraan)
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan.
Bahasa : Hokkien, Hakka, Tiochiu, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya
Agama
Sebagian besar Buddha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas kecil ada yang beragama Islam
Kelompok etnis terdekat :Mayoritas suku Han dan minoritas suku Hui di Cina
Sukubangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti -prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5Agustus 1973, Malari1974 dan Kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Asal kata
Kata Tionghoa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina. Panggilan "Cina" ini, diduga berasal dari kosa kata "Ching (Qing)", yaitu nama dari Dinasti Ching yang kala itu berkuasa.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.[4] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[5]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[2]
Daerah asal di Cina
Peta distribusi daerah asal leluhur suku Tionghoa-Indonesia
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku: Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[rujukan?]
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Sejarah : Masa-masa awal
Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[6]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[7] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[8] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[9]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[rujukan?]. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[rujukan?]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[rujukan?] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [10][11][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta dan Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo.[rujukan?] Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan didepan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Peran ekonomi Tionghoa
Peran sosial budaya Tionghoa
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah.
SUKU TIONGHOA-INDONESIA
Jumlah populasi
1.739.000 (sensus 2000) ± 4-5 juta (perkiraan)
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan.
Bahasa : Hokkien, Hakka, Tiochiu, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya
Agama
Sebagian besar Buddha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas kecil ada yang beragama Islam
Kelompok etnis terdekat :Mayoritas suku Han dan minoritas suku Hui di Cina
Sukubangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti -prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5Agustus 1973, Malari1974 dan Kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Asal kata
Kata Tionghoa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina. Panggilan "Cina" ini, diduga berasal dari kosa kata "Ching (Qing)", yaitu nama dari Dinasti Ching yang kala itu berkuasa.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.[4] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[5]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[2]
Daerah asal di Cina
Peta distribusi daerah asal leluhur suku Tionghoa-Indonesia
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku: Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[rujukan?]
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Sejarah : Masa-masa awal
Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[6]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[7] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[8] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[9]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[rujukan?]. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[rujukan?]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[rujukan?] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [10][11][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta dan Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo.[rujukan?] Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan didepan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Peran ekonomi Tionghoa
Peran sosial budaya Tionghoa
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah.