ASIAWEEK INVESTIGATION
TEN DAYS THAT SHOOK INDONESIA
New evidence indicates that the riots that convulsed Jakarta during May were masterminded
BY SUSAN BERFIELD AND DEWI LOVEARD
Mulanya,
4 Perwira Polisi Hilang Misterius Bulan Mei 1998, sejarah dunia
mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya
Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan
juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu
kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu. Laporan
investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari Asiaweek mengungkap,
kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya menyimpulkan,
kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi. Berikut
intisarinya. “SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia.” Begitu majalah
berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia
selama Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei.
Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta,
ditembak mati oleh oknum aparat keamanan. Dalam tempo 24 jam, insiden
penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah
program anti-Cina dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan
Cina berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah
“zona perang”. Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur.
Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas.
Sampai detik
terjadinya kerusuhan “batu merajam bangunan mewah dan api melahap
mobil-mobil“, rakyat semula banyak mengira itu sebuah spontanitas massa.
Massa yang marah terhadap penguasa yang terlalu lama memerintah.
Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal? Sejarah Indonesia
memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa
penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah
sosok-sosok “pemimpin bayangan”. Siapa mereka, tidak seorang pun berani
membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum
pun seolah anti menjamahnya. Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan
gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer
sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja,
sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya “kambing
hitam”. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi
kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan
penuh Asiaweek “termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer,
pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata”
menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi
pemerkosaan terhadap para wanita Cina itu benar-benar sudah
direncanakan. Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah
hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari
sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari
tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian. Belum
cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini
dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk
memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa
untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa
markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei
lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu
pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah
gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan
serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI
Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa
kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas. Namun,
Fadli Zon “aktivis muslim yang dekat dengan Prabowo“ menilai, sang
letjen itu hanyalah korban “pembunuhan karakter”. Beberapa hari setelah
kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu. Lewat
perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek.
Tetapi, sampai kini janji wawancara itu tidak pernah terwujud. Mengapa
harus Prabowo? Banyak alasan yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah
luas dikenal sebagai sosok ambisius. Dia memiliki berbagai sarana untuk
menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya, dia juga mampu memerintahkan
beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah, termasuk beberapa
oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum paramiliter, dan beberapa perkumpulan
pemuda melaksanakan saja apa yang dia perintahkan. Beberapa di
antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah mapan. Sumber-sumber
militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain dalam kerusuhan di
Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang dikepalai para
preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu kota.
“Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa satu-satunya cara bisa memerintah
Indonesia adalah dengan tipu muslihat militer. Dengan cara itu, dia
yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya meraih kekuasaan dari
Soekarno” ujar salah seorang perwira militer senior. Dia menjelaskan,
Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat
itu) KSAD Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan. Harapan
Prabowo adalah Soeharto, yang ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir,
memberlakukan undang-undang darurat. Sebagai panglima Kostrad, satuan
inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah yang bisa mengendalikan
situasi. Inilah teorinya. Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja
menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo
mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi
kemudian?
Prabowo kehilangan pelindung sekaligus komandonya.
Negaranya menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya 1.188
orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes
dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri
sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
INSIDEN TRISAKTI 12 MEI 1998
12
MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB, mahasiswa mulai berkumpul di pelataran
parkir di luar kampus Universitas Trisakti yang megah dengan bentuk M
berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo terbesar pertama yang
dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal dari bermacam
golongan dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat,
dan bahkan anak orang militer. Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang,
Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa
yang protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00
WIB, bendera Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu,
mahasiswa dan dosen menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka
mengheningkan cipta sesaat sebelum akhirnya berteriak meminta Soeharto
mundur. Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000 mahasiwa bergerak menuju
jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad melakukan long march
menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti “Dekan Fakultas Hukum Adi
Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat
Mahasiwa Julianto Hendro“melakukan negosiasi dengan aparat keamanan.
Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB. Perwakilan Trisakti
itu meminta aparat mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat
sejauh 5 km. Tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa
dan duduk-duduk sambil terus beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan
penyesalannya karena keinginan bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi, lagu kebangsaan, dan pekik protes
terus berlangsung meski hujan mengguyur. Beberapa demonstran malah
dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para polisi yang
berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok yang
merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri
tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada
mahasiswa yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal
menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi
keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah
jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai
kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi
dan tidak mau kembali ke kampus. Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai.
Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter.
Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di
jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi
jalan. Ketua Senat Mahasiswa Julianto Hendro tampak menenggak air
kemasan. Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas
ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andoyo pun bertolak
pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri
di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan
protes. Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai
menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis
polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa
Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud
adalah orangnya. Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun,
Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan
rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45
WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi
deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa
menolak seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi. Menurut
Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur.
Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati
garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut
kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya
mulai tenang. Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke
udara. Polisi pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata,
memukulkan tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian
berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja
minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga
ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi,
peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung
Julianto yang saat itu sudah di depan kantor senat. Menghadapi keadaan
itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan
batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang
diberondongkan kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa
polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi
demonstrasi. Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan
untuk mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis
kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan;
lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan
stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah
tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis
keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor
yang bersenjatakan senapan air. Pada hari itu, dua komandan polisi
kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai amunisi
hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi
dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing
diisi lima gas kanister. Namun, “seseorang” benar-benar memakai peluru
nyata. Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor
melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus
Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil
(Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum
demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu
membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat
mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
KERUSUHAN MEREBAK TANPA ADA GAS AIR MATA
Sementara
itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka
berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban
gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri
secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan
yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu gerbang kampus
itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya. Dalam
perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur. Elang Mulya Lesmana, 19
tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21
tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery
Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari
untuk membersihkan perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di
kampus itu. Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan
militer, peluru yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm
MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi
yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu
tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni
lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat. Empat
nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan
sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat
kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga
sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan
luka di dada yang juga menggores ginjalnya. Pukul 20.00 WIB, Intan,
mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian
putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus
butuh pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika
itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya
polisi menolak memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para
korban itu. Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu
dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab,
peluru yang dipakai terbuat dari karet. Beberapa saat setelah penembakan
Trisakti itu, kawasan etnis Cina di Sunter dalam keadaan siaga. Malam
itu, Imam Suyitno “warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan
tentara dalam keadaan darurat“ diperintahkan mengorganisasi pemantauan
keamanan. Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat
perbelanjaan di kawasan itu bersama rekan-rekannya. Malam itu, mereka
melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20
orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi,
kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari
seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam. 13
MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa
di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di atas jalan
setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di sana hampir
semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi. Kaum
“selebriti” politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang.
Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat. Kerumunan massa
yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai
meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu,
mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar
menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka
menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat Mal Citraland. Dua
boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan meluas di wilayah
Jakarta Barat, lalu terus meluas. Ketika asap membumbung dari
bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan
Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka
bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang
menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan
beberapa aktivis politik. Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal
itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto.
Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak
tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak
dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto. Kerusuhan terus meluas di
luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira
tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Syafrie
Syamsuddin agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang
kian luas itu. Syafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan.
Namun, ternyata dia tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya
di beberapa wilayah yang sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia
tidak memberikan perintah yang jelas kepada pasukannya itu. Menurut
sumber perwira tinggi itu, Syafrie malah membuat pasukannya bingung.
Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi
mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo
mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite
cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak. Sekitar pukul 19.00 WIB,
Wiranto melakukan inspeksi dengan Syafrie. Saat itulah, Wiranto merasa
tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Syafrie. Karena itu,
Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo
dan perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa
mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari
Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja
tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan
terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo. Kerusuhan di
Jakarta pada 13 Mei 1998 itu benar-benar mencekam. Pengendalian
huru-hara itu pun terkesan tidak terpadu sehingga membuka pintu bagi
aksi-aksi lain di wilayah ibu kota. Jakarta merana, merah padam disulut
api oleh orang-orang kalap. Di tengah kegerahan inilah, beberapa WNI
Tionghoa meronta karena diperlakukan tidak manusiawi.
SUSI DISELAMATKAN OLEH WARGA JAKARTA YANG TIDAK DIKENAL
KEPUKUL
18.30 WIB: Susi, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kawasan
Jakarta Pusat, berniat pulang. Seperti biasa, Susi menumpang sebuah bus
dengan rute yang melintasi Citraland dan Universitas Trisakti. Ketika
bus sampai di Mal Citraland, puluhan massa mengepung dan memaksa sopir
menghentikan busnya. Massa meneriaki seluruh penumpang agar turun. Bila
tidak mau, mereka pun siap membakar bus itu. Akhirnya, sekitar 50
penumpang bus tersebut turun juga. Tetapi, massa yang kalap itu masih
juga membakar bus tersebut. Tidak ada cara lain bagi Susi kecuali pulang
dengan berjalan kaki. Dicekam ketakutan, langkah mahasiswi keturunan
Cina ini kian cepat. Seolah dia dikejar seseorang. Menyusuri kegelapan
malam, tidak ada lentera kecuali nyala dan jilat api mobil serta sepeda
motor yang dibakar di jalan. Kerumunan massa semakin brutal. Jumlah
mereka sudah mencapai ratusan. Seolah berpesta, mereka mem**** buta
melakukan perusakan. Sedangkan ratusan lainnya menatap di pinggir jalan.
Seorang lelaki tak bersenjata berusaha merampok Susi. Namun, mahasiswi
ini berusaha bertahan untuk tidak menyerahkan dompetnya. Susi berlari
kencang. Lelaki yang bermaksud jahat itu pun mengejarnya. Ketika lelaki
itu mendekat, Susi berusaha mencari perlindungan dengan merangkul
seorang lelaki yang dekat dengannya. Lelaki itu bernama Wahyu. Wahyu
mengaku tak mampu memberikan perlindungan kepada Susi. Dengan demikian,
lelaki jahat itu pun dengan gampang meminta uang Susi. Susi bersumpah
hanya punya uang Rp 10 ribu. Menurut Susi, uang sejumlah itu pun diambil
oleh lelaki tadi. Malahan, dia masih mengumpat Susi dengan kata-kata,
“Gadis Cina edan.” Wahyu memikirkan cara bagaimana menyelamatkan Susi.
Akhirnya, dia memberikan topinya kepada Susi. Mahasiswi ini kemudian
menutupi raut wajahnya dengan topi itu sesuai dengan saran Wahyu. Karena
sama-sama satu arah, Wahyu dan Susi berjalan bersama. Di perjalanan,
Susi mengatakan melihat sebuah mobil dibakar bersama penumpangnya. Dia
juga mendengar pekikan “Enyahkan Cina.” Di seberang jalan, dia malah
menatap gadis-gadis yang sudah ditelanjangi. Orang berusaha melihat,
tetapi Susi berusaha tak acuh. Sekitar pukul 21.00 WIB, Susi dan Wahyu
berhasil meninggalkan jalan yang mencekam tadi. Mereka kemudian berhenti
di sebuah kedai teh. Anak lelaki pemilik kedai datang. Dia baru saja
melihat kerusuhan di jalan. Anak pemilik kedai ini mengatakan bahwa
mereka (massa) sudah melakukan perbuatan yang mengerikan bagi warga
keturunan Cina. Suami-istri pemilik kedai teh itu menawarkan inapan.
Susi pun tak bisa menampik. Pagi-pagi sekali, mereka menghubungi seorang
temannya untuk mengantarkan Susi pulang. Sebelum pulang, suami-istri
itu menyodorkan jilbab agar Susi mau memakainya. Tetapi, Susi lebih suka
memakai topi pemberian Wahyu. Ketika jarum jam siap menyentuh 09.30 WIB
(14 Mei), Susi tiba dengan selamat di rumah. Tetapi, dia tidak lagi
bisa menyaksikan pemandangan yang serupa dengan pemandangan saat dia
berangkat ke kampus sehari sebelumnya. Soalnya, toko-toko yang ada di
sekitarnya sudah jadi arang. Toko-toko yang ditempeli tulisan “Milik
Muslim” di pintu maupun pintu gerbang umumnya selamat. Namun, ibu Susi
“yang membuka toko kosmetik“ tidak mau memasang tulisan itu. Sepekan
setelah peristiwa itu, warga di lingkungan Susi tinggal
mengorganisasikan pengamanan bersama setiap malam. Masing-masing orang
melengkapi diri dengan alat pengaman, dari stik golf sampai pedang
samurai. Hampir bersamaan dengan waktu Susi meninggalkan kampus tadi,
seorang pengusaha keturunan Cina tiba di rumahnya di Jembatan Lima,
kawasan yang didominasi etnis Cina. Istri pengusaha itulah yang meminta
sang suami secepatnya pulang. Sang istri itu merasa ngeri melihat
kerumunan orang yang tidak dia kenal dan berteriak di jalanan sambil
membawa batu. Ipar lelaki pengusaha itu mengaku melihat sekitar lima
orang berpenampilan serem melempar jendela-jendela bangunan dengan batu
untuk menarik perhatian. Ketika gelombang massa mulai berdatangan dari
kampung sekitarnya, kelima orang berpenampilan garang itu mempengaruhi
massa agar masuk sebuah gudang air mineral. Massa diserukan agar
mengambil apa saja yang mereka suka, lalu bakar benda-benda yang tidak
bisa dibawa. Lalu, kelima orang tadi berteriak, “Mari kita serbu tempat
lain!” Dan, massa yang kesetanan itu pun pergi. Malam itu juga bank di
wilayah itu dirusak, mobil-mobil dibakar, dan sebuah toko emas habis
dikuras. Sebuah pasar makanan juga dihancurkan. Warga menelepon pos
polisi dan militer untuk meminta bantuan. Tapi, tak seorang pun menjawab
panggilan telepon itu. Menjelang tengah malam, ujar seorang relawan
kemanusiaan bernama Karyo, seorang godfather memberikan perintah kepada
sekumpulan anggota geng anak muda dan pecandu narkotika agar bertemu
pagi harinya untuk merayakan “pesta jalanan.” Karyo mengakui tahu soal
perintah itu karena salah seorang dari anggota geng tadi memberi tahu
dia. Kepada Karyo, pemuda itu mengatakan bahwa perintah godfather tidak
mungkin ditolak. Pemuda itu diminta mengenakan seragam sekolah, lalu
datang ke kawasan Klender untuk memancing perkelahian. Namun, tutur
Karyo, pemuda itu pisah dengan kelompoknya sebelum sampai di tujuan. 14
MEI: Sekitar pukul 02.00 dini hari, kata seorang perwira militer, (kala
itu) Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Syamsoeddin mengeluarkan instruksi bagi
kelompok-kelompok yang ada di jalanan. Sepanjang hari itu, orang-orang
di markas Sjafrie mendengar perintah ke mana orang-orang di jalanan itu
harus pergi. Akhirnya, frekuensi radio itu berhasil di-jam (dicegat).
Padahal, hanya satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan
intelijen AD- lah yang bisa melakukannya. Menurut sumber lain yang juga
militer, setelah fajar, gangsters dari Lampung, Sumatera Selatan,
dipandu memasuki wilayah ibu kota oleh pasukan Kopassus “satuan yang
dipimpin Prabowo mulai 1995 sampai Februari lalu. Seorang pegawai sipil
di markas militer mengatakan, sepekan sebelum kerusuhan meletus, ratusan
pemuda Timtim dibawa dan dilatih oleh Kopassus. Mereka dibawa dengan
pesawat carteran dari Dili ke Yogyakarta. Dari Yogyakarta, ratusan
pemuda Timtim itu dibawa ke Jakarta dengan kereta api. Saat dimintai
konfirmasi oleh Asiaweek, maskapai yang mengangkut pemuda Timor Timur
itu menolak buka suara. Menurut mereka, adalah kebijakan untuk tidak
membicarakan penerbangan tersebut. Pagi-pagi sekali, Karyo menerima
telepon dari seorang tak dikenal. Menurut si penelepon, hari itu
Jatinegara Plaza di kawasan Jakarta Timur akan dibakar. Saksi mata
mengatakan, setelah telepon itu, delapan lelaki tiba di Jatinegara.
Seorang di antara mereka berusaha menarik perhatian massa dari kampung
sekitar dengan membakar ban mobil. Ketika massa sudah berkumpul, empat
dari delapan lelaki tadi mengajak mereka menuju plaza yang sedang
melakukan aktivitas bisnis. Mereka merusak, tapi aparat keamanan hanya
bisa menatap. Beberapa jam kemudian, seseorang menembakkan gas air mata
di lantai dasar Jatinegara Plaza. Dua saksi mata melihat, saat itu
seorang lelaki menyiramkan bensin di pintu masuk, lalu membakarnya. Di
lantai tiga, seorang lelaki lain terlihat membakar gulungan kain. Dia
lalu meninggalkan tempat itu dengan turun melewati pipa udara. Sebanyak
70 orang, termasuk beberapa pekerja di plaza itu, tewas terbakar. Namun,
satuan pemadam kebakaran dan polisi tidak bereaksi. Bergerak jauh ke
arah timur Klender, Yogya Plaza juga diserbu. Saksi mata mengatakan,
sekelompok lelaki memimpin massa yang ada di jalanan dan mempersilakan
mereka mengambil apa pun yang mereka suka. Sekelompok lelaki penyulut
tadi berpotongan rambut cepak, badan tegap, dibungkus jaket hitam.
Lelaki-lelaki ini mengaku sebagai mahasiswa. Setelah beberapa jam
menyerbu, merusak, dan menjarah Yogya Plaza, seorang di antara lelaki
tadi berteriak kepada para penjarah agar secepatnya keluar dari plaza
itu. Lalu, lelaki ini dan tiga rekannya mencelupkan sepotong kain lebar
ke dalam bensin, kemudian menyulutnya dengan korek api. Kain yang
terbakar itu dilemparkan ke plaza. Lelaki-lelaki berjaket hitam itu pun
pergi. Tapi, sekitar 100 orang mati terpanggang. Di Jakarta Barat, massa
berkumpul di Meruya. Mereka sudah mendengar rumor bahwa pasar di
wilayah tetangga akan dijadikan abu. Beberapa saat kemudian, kata saksi
mata, dua minibus tiba di Meruya. Dua minibus itu mengangkut para lelaki
berseragam sekolah. Ada kejanggalan. Lelaki-lelaki berseragam itu
sebenarnya sudah tidak tampak sebagai pemuda belasan tahun.
Lelaki-lelaki berseragam ini memakai bom molotov untuk menyulut api. Api
menjalar. Lelaki-lelaki berseragam itu pun cepat lenyap. Masih pagi
hari pada 14 Mei, sekelompok lelaki yang tampak terlalu tua dan terlalu
besar untuk mengenakan seragam SMU, mulai memancing keributan dengan
berkelahi di jalan raya utama Sunter. Mereka kemudian juga mulai
membakar ban-ban. Setidaknya, tiga pengendara sepeda motor terlihat
berputar-putar di sekelilingnya. Seolah tampak kebingungan. Saat itu,
Suyitno “penghubung militer-warga“ menunjukkan satu arah kepada
pengendara sepeda motor tadi. Namun, para pengendara itu malah memacu
sepeda motornya menjauh. Sejak kerusuhan meletup, sudah dua hari Suyitno
melakukan kontak dengan pos komando militer setempat. Saat kontak itu,
kata Suyitno, seseorang di markas memberi tahu dia, “Bila kamu dilempari
batu oleh para perusuh, balaslah dengan senyum. Saya perintahkan kamu
hanya tersenyum, cukup itu saja.” Para perwira di wilayah Sunter mengaku
juga menerima perintah yang sama dengan Suyitno. Beberapa mengaku sama
sekali tidak menerima perintah. Ketika beberapa perwira berinisiatif
melapor kepada atasan tentang aksi yang kian meluas, mereka hanya
dibalas dengan perintah agar tetap siaga. Menjawab fenomena aneh ini,
seorang perwira berkata kepada Suyitno, “Saya rasa sama-sama ada
ketidakjelasan perintah di Jatinegara dan Klender.” Sementara itu, kata
seorang sumber yang dekat dengan (saat itu) Kapolda Mayjen Hamami Nata,
beberapa satuan polisi diminta berkumpul di markas, tapi diperintahkan
tetap di tempat. Menurut sumber itu, hampir semua polisi di sana tidak
ada yang berani meninggalkan tempat karena mereka tidak yakin benar
perintah siapa yang akan diikuti. Satuan pemadam kebakaran juga
diperintahkan agar tidak bekerja. Glodok Plaza, kawasan komersial yang
berdiri megah di tengah Jakarta itu, akhirnya juga tidak luput dari
serangan api dan serbuan batu. Muladi, seorang satpam, menyaksikan
sendiri bagaimana aksi perusakan dan penjarahan itu terjadi. Saat itu
sekitar pukul 16.00 WIB, Muladi melihat lebih dari 2.000 orang dengan
tas-tas penuh batu dan alat pencongkel pintu secara paksa bergerak
menuju Glodok. Beberapa orang lain membawa bom molotov. Polisi
memberikan tembakan ke udara sebagai peringatan, tapi massa tidak
menggubris. Polisi kemudian tampak pasrah dan minggir. Glodok Plaza
diserbu, dijarah, dan dilumatkan. Orang-orang tampak bersemangat
mengusung komputer, kulkas, televisi, dan barang lain dari pusat
perbelanjaan elektronik itu. Pesta itu terus berlangsung sebelum api
mulai tampak melahap sekitar pukul 19.00 WIB. Tidak tampak seorang pun
berusaha memadamkan kobaran api. “Lebih mengerikan dibandingkan dengan
perang karena kami tak bisa meminta bala bantuan” kenang Muladi. Sebelum
Glodok Plaza dirajam api, petangnya, si jago merah juga melahap rumah
seorang pengusaha keturunan Cina yang ada di wilayah tetangganya. Massa
meruak masuk, mengambil barang-barang dari rumah itu. Saat itu, sejumlah
personel militer hanya bisa menatap. Sedangkan si pengusaha yang cemas
terpaksa tertahan di jalanan. Dia menggigil ketakutan ketika massa
berteriak untuk menghancurkan rumahnya. Akhirnya, dia pun terpaksa
menyusuri tapak jalan dengan berjalan kaki. Baru menjelang tengah malam,
dia sampai di kediamannya yang sudah menjadi arang. Dia hanya bisa
menatap sisa-sisa miliknya disantap api. Baru pada pagi hari,
konglomerat ini bisa memasuki areal rumahnya dengan ditemani dua orang
perwira polisi militer. Lantai satu dan dua rumah itu sudah rata dengan
tanah. Dengan perasaan pedih, dia naik ke tangga tiga yang selama itu
dijadikan apartemen keluarga. Ternyata, di sana tidak kalah mengenaskan.
Perabot mahal yang ada di ruang tamu amblas. Di kamar tidur, di atas
ranjang, lelaki pengusaha itu mendapati istrinya sudah tewas
terpanggang. Di kolong ranjang, anak gadisnya yang berusia 17 tahun juga
sudah menjadi mayat. Sementara itu, kakak wanita gadis itu yang berusia
18 tahun pun sudah tidak bernyawa. Jasadnya ada di lemari pakaian
dengan tangan menggengam telepon selular dan Injil. Menurut Rosita Noer,
dokter yang juga aktivis hak asasi manusia, sepanjang hari pada 14 Mei
itu, setidaknya, sudah 468 wanita diserang sekelompok lelaki di 15
tempat. Di 10 wilayah, sekelompok wanita juga dikerjai. Umumnya, korban
diserang ketika berada di toko, rumah, dan di dalam mobil mereka. Yang
memilukan, justru pelaku kerap memperlakukan korban secara tidak
manusiawi. Mereka menelanjangi, lalu melihat tubuh wanita-wanita
korbannya. Beberapa lagi malah memperkosanya. Para pelaku itu memang
asing di mata korban, yang umumnya keturunan Cina. Korban lain
diperkirakan akibat salah sasaran karena mirip Cina atau bekerja pada
keluarga keturunan Cina. Sedikitnya, 20 wanita tewas atau dibunuh
setelah diperkosa itu, beberapa lagi nekat bunuh diri. Menurut penuturan
Ita Nadia, Kepala Pusat Studi Wanita Kalyanamitra, telah terjadi 10
lelaki memaksa beberapa wanita masuk ke sebuah rumah. Di sana, mereka
mengobrak-abrik isi rumah itu, lalu menelentangkan korbannya. Mereka
memperkosa ibu dan anak perempuan di depan ayah dan anak lelakinya.
Seorang nenek mengaku melihat kemaluan cucu wanitanya ditusuk dengan
botol. Di tempat lain, seorang ibu mencoba bunuh diri karena tidak tahan
melihat anak gadisnya yang berusia belasan tahun diperkosa di
hadapannya. Seorang ayah malah memberi anaknya Baygon untuk memudahkan
jalan anak gadisnya itu bunuh diri setelah dia diperkosa. Juga, seorang
ibu yang mengidap serangan jantung langsung tewas begitu mendengar anak
gadisnya telah diperkosa. Di sebuah apartemen berlantai 15 di kawasan
Pluit, Jakarta Utara, beberapa kelompok lelaki bergerak secara
sistematis menyerang wanita-wanita Cina yang ada di setiap lantai. Aksi
ini dimulai pukul 09.00 WIB sampai petang hari. Para lelaki itu bisa
bergerak leluasa karena mereka benar-benar sudah menguasai apartemen
itu. Diperkirakan, mereka sudah memperkosa lebih dari 40 gadis dan
wanita. Tiga gadis bersaudara sedang menunggu toko milik keluarga ketika
tujuh lelaki berkulit legam dan tegap yang tidak mereka kenal menyerang
sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis-gadis itu kemudian berhamburan menuju
apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki tersebut memburu dan
berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa, sedangkan si
sulung hanya diberi tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa. Lalu,
mereka menyulut lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis yang
mahkotanya sudah direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api dan
tewas. Namun, si sulung dapat diselamatkan oleh para tetangga. Tidak
berhenti di sini, kekerasan dan pemerkosaan terus menjalar ke segenap
wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB, sejumlah wanita telah diperkosa
dan kawasan itu dibumihanguskan. Di tiga kawasan pecinan di Jakarta
Barat, antara pukul 17.00 hingga 20.00 WIB, sejumlah lelaki menyeret
ratusan gadis ke jalanan, menelanjangi, dan memaksa mereka menari
bersama massa. Menurut Dokter Noer, 20 orang diperkosa dan beberapa lagi
dibakar hidup-hidup. Dokter wanita itu juga mengakui dirinya tengah
mempelajari kasus perkosaan enam gadis berusia 14รข€“20 tahun di beberapa
wilayah Jakarta. Empat di antara enam gadis itu mengaku telah digilir
tujuh lelaki yang tidak mereka kenal. Malah, (maaf) wilayah kelamin
gadis-gadis itu “mulai vagina sampai anus“ dirobek hingga menganga.
“Secara fisik memang bisa disembuhkan. Tetapi, peristiwa ini akan
menghantui mereka selamanya,” tutur Noer. Jakarta masih mencekam. Pukul
19.30 WIB, Jenderal Wiranto muncul di layar televisi dan mengatakan
bahwa aparat keamanan sudah berhasil mengendalikan situasi. Tetapi,
tidak adanya aparat keamanan di jalan-jalan mendorong beberapa kedutaan
asing menyerukan perintah evakuasi. Dan, ribuan warga asing “termasuk
etnis Cina“ mulai meninggalkan Jakarta yang membara dan berhias
kebrutalan. Ketika aksi perkosaan dan penjarahan masih berlangsung,
Prabowo sedang berada di markas Kostrad. Di sana, menantu Soeharto itu
sedang menerima utusan kelompok pemuda dan organisasi muslim. Menurut
seseorang yang ada di tempat itu, Prabowo meminta mereka membantu
menenangkan situasi dengan memberikan dukungan kepada Sjafrie. Prabowo
memang tegang, kata orang dekatnya, namun tampak masih bisa
mengendalikan diri. Mereka memesan makanan dan santap malam bersama.
Karena situasi masih kacau, pesanan makanan itu pun harus diambil dengan
kendaraan bersenjata. Sekitar pukul 01.00 WIB (15 Mei), Prabowo
mengunjungi Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di
kediamannya. Lalu, Prabowo kembali ke markas Kostrad, yang ternyata
kemudian hanya memberinya kesempatan bertahan di sana cuma hingga
sepekan berikutnya.
LENGSERNYA SUHARTO
19 MEI: Selama empat hari
berikutnya, aksi kekerasan dan berbagai drama pilu itu masih menghantui
jalanan. Pukul 04.40 WIB pada 15 Mei, Soeharto tiba dari Kairo, Mesir,
dan mendarat di landasan militer Halim di kawasan Jakarta Timur. Konvoi
yang terdiri atas 100 kendaraan bersenjata mengawal Soeharto menuju
kediamannya di Cendana. Setelah itu, tank-tank Scorpion pertama dan
beberapa batalion pasukan bergerak memasuki pusat kota. Jalanan masih
dihiasi pecahan kaca, mobil-mobil yang sudah jadi rongsokan arang,
televisi yang porak-poranda, dan puing-puing barang yang sebelumnya
begitu berharga. Bank, pusat perkantoran, gedung pemerintahan, dan
sekolah-sekolah tutup. Hanya bandara internasional yang tetap
melaksanakan aktivitas. Di tengah kebisuan Jakarta itu, satuan pemadam
kebakaran mulai beraksi memadamkan toko-toko dan bangunan-bangunan yang
masih mengeluarkan asap. Seketika itu pula, mayat-mayat sudah bisa
dihitung. Tapi, masih banyak yang belum terbilang. Para ayah sibuk
mencari anaknya. Ibu-ibu berbondong ke rumah sakit untuk mengenali
jasad-jasad, yang mungkin di antara mereka ada jasad suaminya. Sungguh
sayang. Mayat-mayat itu tidak bisa lagi dikenali karena rusak terbakar.
Akhirnya, korban-korban aksi kekerasan Mei ini dikubur masal. Paramedis
dari tim relawan untuk kemanusiaan berhasil menolong seorang lelaki yang
terluka parah di luar markas militer, di kawasan Jakarta Timur. Lelaki
itu kemudian dibawa paramedis tersebut ke posnya. Luka di kepala lelaki
itu diobati. Di sana, kata Romo Sandyawan, “salah seorang pendiri tim
relawan tersebut“ lelaki itu mengakui bahwa dia telah direkrut dan
dilatih bagaimana memancing kerusuhan. Menurut lelaki itu, mula-mula dia
menerima uang muka 2 dolar AS (perhitungan kurs rupiah saat itu sekitar
Rp 35 ribu) dan diangkut ke Jatinegara oleh beberapa lelaki yang sulit
dikenali. Lelaki ini juga berkata, dia direkrut dalam rombongan
beranggota delapan orang dari Jawa Barat. Setelah dilatih, dia diberi
batu dan bom molotov dari bensin. Menurut dia, dalam rombongan
beranggota delapan orang tadi, mungkin dialah satu-satunya yang bertahan
hidup akibat kerusuhan. Romo Sandyawan menuturkan, pemuda dari Jawa
Barat itu diasramakan dan dibrifing selama dua pekan di markas militer
di pinggiran selatan Jakarta. Romo Sandyawan mengaku percaya pada
penuturan pemuda itu, tetapi belum bisa menjamin penuh akurasinya karena
pemuda tadi mengalami cedera syaraf. Eksodus warga asing terus
berlangsung. Ribuan WNI keturunan Cina dan warga asing lain bertolak
lewat jalur udara. Jalur air juga tak haram, yang penting cepat keluar
dari Jakarta. Pukul 05.00 WIB pada 17 Mei, seorang wanita asing dan bayi
perempuannya dikawal menuju bandara dengan perlindungan diplomatik. Di
setiap ujung jalan, sopir selalu memberikan sinyal yang sudah
disepakati. Dan, serdadu yang bersembunyi di balik barikadenya
membiarkan mobil itu lewat. Beberapa orang yakin bahwa pasukan-pasukan
itu pasti sudah diberi tahu agar tidak berdiri dan tampak dalam keadaan
siaga penuh. Sebab, para komandannya tentu cemas akan terjadi serangan
yang mungkin dari pasukan lain. Pukul 10.00 WIB, pada 17 Mei, Prabowo
mengunjungi rumah Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang gugur ditembak
pada aksi demo 12 Mei. Ketika orang tua Hery menatapnya, Prabowo
mengangkat Alquran ke atas kepalanya dan bersumpah bahwa dirinya tidak
memerintahkan pembunuhan di Trisakti itu. Ayah almarhum Hery, Sjahrir
Muljo Utomo “yang juga seorang purnawirawan AD“ mengaku tak tahu pasti:
percaya atau tidak mempercayai sumpah Prabowo itu. Ketika warga Jakarta
mulai bersih-bersih, sekutu-sekutu Soeharto mulai kelimpungan mencari
jalan menyelamatkan muka. Mereka pun berusaha meyakinkan Soeharto agar
mundur. Para ketua parlemen (DPR) mulai berani bicara soal penyimpangan
penguasa, tetapi meminta Soeharto mundur dengan jalan mereka adalah
tidak konstitusional. Hal yang bisa mengancam munculnya konfrontasi
antara militer dan parlemen. Ketika tanda-tanda "pertentangan" itu
dicemaskan terjadi, ketegangan muncul juga antara militer dan mahasiswa
yang sudah merencanakan menggelar aksi masal sejuta orang pada 20 Mei.
Wiranto memantapkan diri mendukung Soeharto. Namun, Wiranto juga meminta
Soeharto membentuk kabinet baru dan melaksanakan reformasi. Sementara
itu, mahasiswa yang sudah makin berani setelah melihat Soeharto kian tak
berdaya memutuskan siap menggelar aksi ke tempat yang telah memberikan
amanah kepada Soeharto itu, apalagi kalau bukan gedung DPR/MPR.
Mahasiswa demonstran gelombang pertama tiba diangkut kendaraan militer
pada 19 Mei pagi hari. Mereka memakai jaket almamater dan menunjukkan
identitas ketika melintasi pintu gerbang gedung wakil rakyat itu. Pukul
11.00 WIB, tidak seperti biasanya, Soeharto muncul di layar televisi
nasional. Membaca naskah, sosok yang sudah 32 tahun memerintah Indonesia
itu bersumpah siap meninggalkan kantor sesegera mungkin. Dia juga
menjanjikan pemilihan umum baru dengan undang-undang yang baru pula
untuk mengisi keanggotaan parlemen. Saat itu pula, Soeharto berjanji
bahwa antara dia dan Habibie (saat itu Wapres) tidak akan mencalonkan
diri untuk periode jabatan berikutnya. Untuk mewujudkan semua rencana
itu, Soeharto akan membentuk sebuah dewan yang merumuskan arah reformasi
politik. Tetapi, mahasiswa yang sudah menduduki parlemen bersumpah
tidak akan pergi, kecuali bila Soeharto mau mundur. Malam itu, sekitar
3.000 mahasiswa tetap bertahan di area DPR/MPR. Mereka tidur di
tenda-tenda atau di atas tikar plastik. Para penyokong aksi mahasiswa
ini, yang umumnya kalangan menengah, memberikan dukungan berupa makanan
dan air kemasan. Malam itu, menurut orang-orang dekatnya, Habibie
menelepon Soeharto. Habibie mengungkapkan kecemasannya bahwa karier
politik Pak Harto akan berakhir prematur pada esok hari yang sudah
menjelang. Tetapi, Soeharto berjanji akan melaksanakan pemilu daripada
menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden seperti Habibie. Habibie,
kata koleganya, sangat terluka. Dia yakin Soeharto tidak akan lama
bertahan. Itulah satu-satunya pilihan saat itu. Sebab, cara-cara lain
tampaknya sudah tidak rasional. 21 MEI: Beberapa jam menjelang fajar,
Jakarta tampak sebagai kota di bawah pendudukan. Ratusan tentara
bersenjata senapan laras dan tank-tank ringan serta personel artileri
melakukan patroli di ibu kota. Jalan-jalan menuju Monumen Nasional
(Monas), tempat yang sudah diplot sebagai venue aksi sejuta massa pada
20 Mei, sudah diblokade dengan kawat berduri dan artileri berat. Tidak
ada jalan lain, aksi masal itu pun dibatalkan. Sore itu, Wiranto
menyarankan kepada Soeharto bahwa satu-satunya cara konstitusional
transfer kekuasaan adalah menyerahkan jabatan presiden itu kepada Wapres
Habibie. Wiranto kemudian mengajukan tiga tuntutan kepada Habibie.
Yakni, dia tetap sebagai panglima ABRI, lalu Habibie harus komitmen
terhadap reformasi, serta jabatan Prabowo harus diganti. Tapi, kata
sahabat dekatnya, Habibie sudah sekian lama mengenal Prabowo. Mereka
berdua tinggal cukup lama di luar negeri. Mereka saling berbagi
kepentingan dalam memajukan kepentingan muslim. Pendeknya, satu sama
lain saling membutuhkan. Prabowo-lah yang banyak membantu Habibie
bersahabat dengan para perwira senior. Katakanlah, lanjut sumber tadi,
dalam pekan genting itu Prabowo dan Habibie bekerja sama membujuk
Soeharto agar mundur. Sebagai imbalan, Habibie siap memberi Prabowo
jabatan kepala staf Angkatan Darat (KSAD). Pukul 09.00 WIB pada 21 Mei,
lewat siaran televisi nasional, Soeharto mengumumkan lengser keprabon.
Setelah tiga dasawarsa lebih memerintah Indonesia, dia meminta maaf
kepada rakyat atas segala kesalahan dan kekurangan. Dan, Habibie tampak
ragu-ragu sebelum diambil sumpahnya sebagai presiden ketiga sejak
Indonesia merdeka. Hampir tengah malam setelah pengunduran Soeharto,
Prabowo muncul di Istana Kepresidenan dengan pasukan siap tempur.
Berbekal pistol otomatis dan beberapa truk pasukan Kostrad yang sudah
menanggalkan tanda resimennya, Prabowo menagih jabatan KSAD yang sudah
dijanjikan Habibie. Saat itulah pengawal Habibie memanggil Wiranto dan
Feisal Tanjung, mantan Pangab, ke istana. Feisal mengingatkan Habibie
bahwa Prabowo adalah sosok yang terlalu bahaya bila harus memimpin AD.
Kepada orang, Habibie kemudian hanya bisa berkata bahwa malam itu dia
memang takut akan keselamatan nyawanya.
EPILOG
Habibie mengumumkan
kabinetnya di 10:30 pada 22 Mei. Mahasiswa masih menduduki Gedung DPR,
menuntut agar ia mengundurkan diri. Beberapa ribu anggota organisasi
pemuda Muslim, pendukung Habibie dan dilindungi oleh pasukan Prabowo,
tiba di kompleks sore itu. Konfrontasi itu tegang, tapi tidak berubah
menjadi liar. Tengah malam, tentara berhasil menguasai kembali Gedung
DPR. Militer mengumumkan pada 6 Juni bahwa mereka memecat dua komandan
polisi dari Brimob yang tidak mematuhi perintah dan tidak mengendalikan
pasukan mereka di Trisakti. Mereka menghadapi hukuman maksimum 28 bulan
penjara. Lima belas tersangka lainnya menunggu pengadilan militer.
Kemudian Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, membantah tuduhan pasukannya
bertanggung jawab atas kematian empat siswa. Dia mengatakan pada 7 Juni:
"Kami telah memeriksa dengan setiap perwira yang ditugaskan di sana dan
memastikan bahwa tidak ada anggota kami menggunakan peluru tajam." Pada
tanggal 24 Juni Wiranto memindahkannya, bersama dengan komandan
militer, menyebutnya sebagai rotasi rutin. Orang dalam kepolisian
mengatakan Kapolri kehilangan jabatannya karena ia menolak dituduh
bertanggung jawab atas penembakan Tri Sakti. Setelah bertemu dengan
empat orang tua mahasiswa Trisakti yang ditembak tsb selama 30 menit
tanggal 22 Juni, Habibie menyebut almarhum sebagai "pahlawan reformasi."
Di Mabes Polri, tiga mahasiswa Trisakti dan sekuriti resmi menjaga
peluru yang diambil dari tubuh Hery Hartanto tanggal 7 Juni. Saat peluru
diambil dari kotak besi untuk tes, tim merekam video, dan memberi
tanda-tanda untuk memastikan peluru tersebut tidak ditukar kelak. Polisi
berjanji untuk tidak membuka kotak besi tanpa perwakilan universitas di
sana. Secara teoritis memang mungkin untuk mengidentifikasi senapan
yang digunakan saat menembakkan peluru yang menewaskan Hartanto. Tapi
dalam prakteknya mungkin tidak. Militer Indonesia memiliki lebih dari
2.000 senapan Steyr (senjata yang telah digunakan dalam pembunuhan) dan
Militer menolak penyelidikan terbuka. Lagi pula sangat mungkin untuk
membeli Steyrs di pasar gelap. Pihak berwenang telah menyita 21 senjata
dari petugas yang bertugas tanggal 12 Mei tetapi belum menyerahkannya
kepada penyidik. Adnan Buyung Nasution, pengacara ternama dan seorang
aktivis hak asasi manusia terkemuka, mengatakan: "Terlalu dini untuk
membuat kesimpulan tentang siapa yang bertanggung jawab, dan militer
telah berusaha membatasi penyelidikan." Dia mengatakan, berulang kali,
bahwa persidangan telah "direkayasa." Hakim militer erat mempertanyakan
kesaksian terdakwa, tapi saksi untuk penuntut jarang dilakukan.
Ketidaksenangan hakim militer thd Buyung jelas. Ada kejadian dimana
keduanya berteriak satu sama lain di pengadilan, memaksa penjaga
keamanan di sekitar ruangan ikut melerai. Dan lebih dari sekali hakim
mengancam akan mengusir Buyung dari persidangan. Pada tanggal 28 Mei,
saat Prabowo ditugaskan sebagai pimpinan sekolah tentara di Bandung, ia
mengatakan tuduhan laporan bahwa ia mencoba kudeta itu adalah "sampah,
sampah, sampah." Tetapi seorang perwira senior militer mengatakan
Suharto menolak untuk berbicara dengan Prabowo, bahkan ketika Prabowo
mengunjungi ayah mertuanya pada tanggal 8 Juni, ulang tahun ke-77
Soeharto. Syafrie mengaku pada 13 Juni bahwa di Jakarta, beberapa
kerusuhan itu "secara sporadis diorganisir" oleh kelompok. Syafrie,
sebagai komandan militer di Jakarta saat kerusuhan, yang juga sekutu
Prabowo, dipindahkan 24 Juni, setelah menjabat selama delapan bulan.
Kepolisian Jakarta telah memanggil mantan narapidana dan preman Cina
yang beralih menjadi pendakwah Islam untuk ditanyai tentang perannya
dalam kerusuhan itu. Anton Medan berada di jalanan Jakarta 14 Mei, dia
mengatakan ada di jalan untuk mencegah orang berbuat kekerasan, katanya.
Sebuah sumber yang dekat dengan militer yakin Anton pernah ditawari
uang untuk mengirim pengikutnya untuk membuat rusuh, tapi ia menolak.
Sebab itu, menurut sumber tsb, itulah mengapa seseorang mengkambing
hitamkan Anton Medan kepada pihak berwenang. Sejauh ini, dia adalah
satu-satunya tersangka yang diserahkan pihak militer. Angkatan
bersenjata melakukan investigasi sendiri dan mengatakan tidak menemukan
bukti perkosaan dan tidak ada korban pemerkosaan yang muncul menjadi
saksi. Menteri Negara Urusan Wanita Tutty Alawiyah juga pada awalnya
membantah bahwa perempuan diperkosa saat kerusuhan. Tapi pada tanggal 8
Juli ia membentuk tim wanita untuk membantu korban yang dilecehkam.
Clementino dos Reis Amaral, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
tanggal 9 Juli memperingatkan adanya upaya menutup kasus ini dan
beberapa korban pemerkosaan telah diperingatkan untuk tutup mulut.
Komisi itu telah menyerukan penyelidikan independen atas kerusuhan
penembakan dan pemerkosaan dan permintaan maaf resmi dari pemerintah.
Pada tanggal 13 Juli, Habibie membentuk tim untuk menyelidiki kerusuhan,
yang termasuk Wiranto, Jaksa Agung dan , foreign and justice ministers .
Keesokan harinya, Kepala Kepolisian Militer Mayjen. Syamsu Djalal
mengatakan tujuh tentara Kopassus telah ditangkap atas penculikan
aktivis prodemokrasi diculik awal tahun ini. Pada tanggal 15 Juli
Habibie mengutuk kekerasan Mei. Sebuah sumber yang dekat dengan militer
mengatakan bahwa, pada awal Juli, 74 prajurit Kopassus menghilang dari
barak mereka. Sumber tersebut yakin 74 prajurit tsb berada di jalanan
Jakarta, mengumpulkan informasi dan menutupi jejak mereka. Dua aktivis
hak asasi manusia, Pastor Sandyawan dan Ita Nadia, telah diperingatkan
(dengan ancaman granat hidup) untuk mengakhiri penyelidikan mereka ke
dalam kerusuhan dan perkosaan.THE ENDSUMBER MAJALAH ASIAWEEKS
http://www-cgi.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/98/0724/cs1.html
Mantan KSAL Ungkap Kerusuhan Mei 1998
Jakarta,
Kompas - Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn)
Arief Kusharyadi mengungkap Tragedi Kerusuhan Mei 1998 yang diwarnai
oleh konflik elite militer. Arief mengungkapkan hal itu ketika memenuhi
panggilan Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998 Komisi Nasional HAM, Kamis
(19/6). "Penjelasan Pak Arief selama satu setengah jam di depan
kami-Ester Indahyani Yusuf, MM Billah, dan Philips Jusuf, sangat penting
untuk mengungkap, apa sebenarnya yang terjadi di balik kerusuhan Mei
yang diduga diwarnai oleh konflik elite militer itu, sekaligus menunjuk
siapa saja yang harus bertanggung jawab atas tragedi itu," tutur Ester
di Jakarta, Jumat, 20 Juni. Ester lalu menjelaskan secara umum apa yang
diungkap Arief. "Ini pun hanya sebatas apa yang diizinkan Pak Arief.
Rinciannya tak bisa saya kemukakan," ujar Ester. Kepada ketiga anggota
tim, Arief menjelaskan, waktu kerusuhan terjadi tanggal 14 Mei 1998,
Arief berkeliling Jakarta dan tak melihat adanya pasukan di lapangan.
Padahal, jumlah pasukan yang di bawah kendali operasi di Jakarta kala
itu 110 satuan setingkat kompi. Pasukan tersebut terdiri dari pasukan
Yonif 327 Brawijaya, Grup I Kopassus, Kostrad, marinir, dan tiga
skuadron helikopter TNI Angkatan Udara. Melihat kejanggalan itu, Arief
lalu mendatangi lokasi parkir panser-panser marinir. Di tempat ini pun
tak seorang marinir ditemukan. Karena khawatir, Arief lalu memerintahkan
pasukan marinir di Surabaya datang di Jakarta. Pasukan yang tiba di
Halim Perdanakusuma ditempatkan di Cilandak. Dari markas marinir di
Jakarta tersebut, pasukan disebar. "Pasukan tiba sebelum Jenderal
Wiranto ke Malang," ujar Ester menirukan penjelasan Arief. (win) Kompas
Sabtu, 21 Juni 2003
No comments:
Post a Comment