Pertempuran antara Israel dan Kelompok Hamas, yang menguasai Gaza,
sebenarnya adalah rangkaian dari sebuah konflik panjang yang berakar
sejak lama. Bahkan jika dirunut lagi ke belakang, konflik dua bangsa ini
sudah terjadi di zaman para nabi. Masih ingat kisah Daud melawan
Goliat? Nah, Goliat itu adalah perwakilan bangsa Filistin yang
kemungkinan besar adalah nama kuno bangsa Palestina. Jadi, bisa
dibayangkan betapa kunonya konflik kedua bangsa ini.
Namun,
berbicara soal konflik modern Israel-Palestina mungkin bisa dirunut
hingga akhir abad ke-19, sebelum pecahnya Perang Dunia I. Saat itu,
Timur Tengah merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki selama
lebih dari 400 tahun. Menjelang akhir abad ke-19, Palestina atau saat
itu disebut Suriah Selatan dipecah menjadi Provinsi Suriah, Beirut,
serta Jerusalem oleh penguasa Ottoman.
Saat itu Palestina
didominasi warga Arab Muslim dengan sedikit warga Kristen Arab, Druze,
Sirkasian, dan Yahudi. Meski hidup di bawah penjajahan bangsa Turki,
tetapi kehidupan di kawasan ini bisa dikatakan jauh dari konflik dan
kekerasan.
Sementara itu, nun di Benua Biru, warga Yahudi yang
banyak tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur sudah sejak lama
memimpikan "kembali ke Zion" atau sederhananya adalah kembali ke tanah
yang dijanjikan Tuhan. Namun, imigrasi ke Palestina atau yang mereka
sebut sebagai Tanah Israel baru dilakukan secara sendiri-sendiri atau
kelompok-kelompok kecil dan niat mendirikan sebuah negara Yahudi belum
tebersit.
Niat mendirikan negara Yahudi muncul sekitar 1859-1880
ketika gelombang anti-Semit mulai melanda Eropa dan Rusia. Inilah yang
memicu terbentuknya Gerakan Zionisme pada 1897. Gerakan ini menginginkan
pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai suaka untuk semua bangsa
Yahudi di berbagai pelosok dunia. Kelompok ini pernah mempertimbangkan
beberapa lokasi di Afrika dan Amerika sebelum akhirnya memilih Palestina
sebagai tujuan akhir.
Seperti disinggung di atas, Palestina saat
itu masih berupa kawasan yang menjadi kekuasaan Kekaisaran Ottoman
Turki. Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian
mendanai pembelian tanah di Palestina yang masih menjadi jajahan Ottoman
Turki untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi. Gelombang
imigrasi Yahudi, setelah terbentuknya Organisasi Zionis Dunia, kini
menjadi lebih terorganisasi dengan tujuan yang jauh lebih jelas di masa
mendatang.
Pada awalnya, imigrasi warga Yahudi ke Palestina tidak
menimbulkan masalah di Palestina. Namun, dengan semakin banyaknya
imigran Yahudi yang datang, semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan
untuk pembangunan permukiman. Konflik dan sengketa perebutan tanah tak
jarang terjadi antara kedua bangsa ini.
Semakin meningkatnya
jumlah imigran Yahudi di Palestina ternyata juga membuat Kekaisaran
Ottoman khawatir. Namun, kekhawatiran mereka lebih didasari fakta bahwa
kebanyakan imigran Yahudi itu datang dari Rusia yang adalah musuh utama
Ottoman dalam perebutan kekuasaan di kawasan Balkan.
Ottoman
khawatir para pendatang Yahudi dari Rusia ini akan menjadi perpanjangan
tangan negeri asalnya untuk melemahkan kekuasaan Ottoman di Timur
Tengah. Sehingga, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi
pada 1880-an di Palestina—khususnya yang dilakukan Turki Ottoman—adalah
karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena
mereka adalah Yahudi.
Langkah menentang imigran Yahudi pun
dilakukan para penduduk lokal, khususnya warga Arab. Mereka mulai
memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Atas aksi protes ini
akhirnya Kekaisaran Turki Ottoman menghentikan penjualan tanah kepada
para imigran dan orang asing. Meski demikian, pada 1914 jumlah warga
Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah para
pendatang baru.
Keruntuhan Ottoman dan Mandat Palestina
Ketika
Perang Dunia I pecah (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih
menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman Turki berseberangan dengan
Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.
Situasi
ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para
pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat
peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga
kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.
Di
sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan baik oleh kelompok
Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya
adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner
Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Inti dari
surat-menyurat yang terjadi antara 1914-1915 itu adalah bangsa Arab
berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat
perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.
Namun,
kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian
Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi
wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.
Gerilya
diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di
Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri
Inggris Arthur James Balfour.
Kemudian Balfour membuat
pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour"
yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah
bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak
keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.
Dengan isi
yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan
kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai
batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.
Mandat Palestina
Deklarasi
Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada
10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang
Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik
Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan
Kekaisaran Ottoman Turki.
Pembagian ini meliputi wilayah Mandat
Perancis seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada
di bawah Mandat Inggris. Inggris menempatkan Faisal—putra pemimpin
Mekkah Hussein bin Ali—sebagai Raja Irak.
Sedangkan Palestina
dibagi dua. Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada
Abdullah—putra lain Hussein bin Ali. Sedangkan bagian barat yang tetap
dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.
Selama
masa Mandat Palestina ini, imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh
secara signifikan. Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi
Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa, misalnya di
Ukraina yang mengakibatkan setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh
pada 1905.
Antara 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi
tiba di Palestina, mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi
yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh
agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.
Tak jarang pembelian
tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat
warga Arab Palestina merasa disingkirkan. Situasi ini ditambah keinginan
menentukan nasib sendiri, semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme
Palestina.
Selain itu, warga Arab Palestina menentang gelombang
imigrasi Yahudi ini karena mereka khawatir, semakin banyaknya warga
Yahudi akan mengancam identitas nasional mereka.
Akibatnya,
sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di
Palestina memanas dan bentrok kekerasan antara kedua kubu semakin sering
terjadi.
Konflik-konflik Awal di Mandat Palestina
Seperti
dibahas di tulisan sebelumnya, kekalahan Kekaisaran Ottoman Turki dalam
Perang Dunia I (1914-1918) membuat wilayah kerajaan itu jatuh ke tangan
Inggris dan Perancis. Salah satu wilayah yang menjadi "tanggung jawab"
Inggris adalah Mandat Palestina. Di bawah Inggris—berdasarkan Deklarasi
Balfour 1917—populasi imigran Yahudi di Palestina terus bertambah.
Pada
1920, Ulama Utama Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni (1897-1974)
menjadi pemimpin gerakan Palestina Arab dan memainkan peranan penting
dalam gerakan-gerakan awal menentang Deklarasi Balfour dan imigrasi
masif Yahudi ke Palestina.
Namun, kerusuhan besar pertama di
wilayah Mandat Palestina terjadi pada 1-7 Mei 1921 yang dikenal dengan
Kerusuhan Jaffa. Awalnya kerusuhan ini adalah antardua kelompok Yahudi
yang kemudian melebar hingga melibatkan kelompok penduduk Arab.
Kerusuhan
ini berawal saat Partai Komunis Yahudi pada 1 Mei 1921 mengajak bangsa
Arab dan Yahudi untuk menggulingkan kekuasaan Inggris di Palestina dan
mendirikan sebuah negara Palestina yang berafiliasi dengan Uni Soviet.
Partai
menyampaikan niat ini dalam sebuah parade dari kota Jaffa ke Tel Aviv
saat merayakan Hari Buruh Sedunia atau May Day. Parade ini melintasi
sebuah perkampungan bernama Manshiyya yang berpenghuni campuran Arab dan
Yahudi.
Ternyata ada parade May Day lain yang dilakukan kelompok
pesaing dari Tel Aviv, Ahdut HaAvoda. Kelompok ini melakukan parade
tanpa memberitahu polisi. Saat kedua kelompok bertemu, bentrokan tak
terelakkan.
Polisi berusaha memisahkan sekitar 50 orang pengunjuk
rasa komunis. Sementara warga Arab Kristen dan Islam ikut campur untuk
membantu polisi melawan orang Yahudi. Insiden ini dengan cepat menyebar
ke bagian selatan kota.
Warga Arab di Jaffa mengira terjadi
pemukulan terhadap saudara-saudaranya sambil membawa berbagai senjata
menyerang permukiman Yahudi. Selanjutnya kerusuhan berlanjut selama
beberapa hari di beberapa kota, seperti Rehovot, Kfar Sava, Petah Tikva,
dan Hadera.
Kerusuhan itu berakhir pada 7 Mei 1921 dan
mengakibatkan 47 orang Yahudi serta 48 orang Arab tewas. Selain itu, 146
orang Yahudi dan 73 Arab terluka. Ribuan warga Yahudi Jaffa akhirnya
meninggalkan kota itu dan mencari perlindungan di Tel Aviv yang pada
saat itu masih didominasi tenda dan rumah-rumah sementara di tepi
pantai.
Salah satu akibat dari kerusuhan Jaffa ini adalah
pembentukan Haganah—pasukan para militer Yahudi. Haganah inilah yang
menjadi cikal bakal angkatan bersenjata Israel kelak.
Kerusuhan Palestina 1929
Insiden
ini terjadi pada akhir Agustus 1929, akibat dari perebutan Tembok Barat
Jerusalem antara kelompok Arab dan Yahudi yang meningkat menjadi aksi
kekerasan.
Dalam kerusuhan yang terjadi pada 23-29 Agustus 1929
itu, sebanyak 133 warga Yahudi dan 110 warga Arab tewas serta lebih dari
600 orang dari kedua kubu terluka. Seusai kerusuhan, Pemerintah Mandat
Palestina mengajukan para tersangka provokator ke meja hijau.
Dari
hasil sidang itu, 26 warga Arab dan dua warga Yahudi terbukti membunuh
dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman denda juga dijatuhkan secara kolektif
kepada warga Arab di Hebron, Safed, dan sejumlah desa. Denda yang
terkumpul kemudian diberikan kepada para korban kerusuhan.
Kerusuhan
ini kemudian diselidiki sebuah komisi investigasi yang dibentuk
Pemerintah Inggris. Hasilnya, komisi investigasi menyarankan agar
Pemerintah Inggris meninjau ulang kebijakan imigrasi dan penjualan tanah
kepada bangsa Yahudi.
Setelah kerusuhan 1929, situasi politik di
Mandat Palestina, meski tidak mendingin, tetapi relatif terkendali.
Hingga pecahlah Revolusi Arab (1936-1939) di Palestina yang bertujuan
menentang kekuasaan Inggris dan mencegah imigrasi Yahudi yang kembali
masif.
Revolusi itu sendiri berakhir dengan kegagalan dan korban
jiwa yang besar. Akibat revolusi tiga tahun itu, 300 orang Yahudi, 5.000
warga Arab, dan 262 polisi Inggris tewas. Selain itu, lebih dari 15.000
orang luka-luka. Meski gagal, revolusi ini memberi dampak signifikan
bagi warga Yahudi, Arab, dan penguasa Inggris.
Revolusi Arab dan Sejumlah Upaya Solusi
Konflik
terbesar dalam sejarah Mandat Palestina adalah apa yang disebut dengan
Revolusi Arab (1936-1939). Revolusi ini dipimpin Imam Besar Jerusalem
Mohammad Amin al-Husayni.
Konflik ini diawali terbunuhnya seorang
ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam, pada November 1935. Al-Qassam
memang dikenal sebagai seorang ulama yang anti-Inggris dan
anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan
militer.
Pada November 1935, dua anak buah al-Qassam terlibat
bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Akibatnya,
polisi memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya'bad, Tepi
Barat. Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di
Palestina.
Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan
kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan
untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan
ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat.
Pada
1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa
bulan sebelum Revolusi Arab Pecah. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000
imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi
mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi
semakin panas.
Revolusi Arab benar-benar dimulai pada 15 April
1936, ketika konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan
menewaskan dua warga Yahudi. Sehari setelah serangan itu, kelompok
bersenjata Yahudi balas menyerang dan membunuh dua pekerja Arab di dekat
Petah Tikva. Aksi saling balas terus meluas dan sejumlah jenderal Arab
menyatakan perang.
Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan
untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina mendapat bantuan
dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939. Akibat
revolusi ini, 5.000 warga Arab, lebih dari 300 warga Yahudi, dan 262
tentara Inggris tewas. Selain itu, sedikitnya 15.000 warga Arab terluka.
Imam
Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil
mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Nazi Jerman.
Dampak Revolusi Arab
Apa dampak Revolusi Arab yang gagal ini dalam perkembangan Palestina?
Selama
upaya dan seusai memadamkan Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah
investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu.
Salah
satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah Komisi Peel
(1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua
negara. Komisi ini mengusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian
untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab.
Negara
Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah
Jezreel, Beit She'an, dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi
Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania, dan Negev.
Para
pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi
ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi
dua negara ini.
Pada Mei 1939—beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah—Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina.
Kali
ini adalah solusi satu negara Palestina. Di mana dalam jangka pendek
Pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa
memasuki Palestina. Di masa depan, jumlah kuota ini akan ditentukan
pemimpin Arab.
Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi
membeli tanah dari warga Arab demi mencegah gesekan sosial antara kedua
kubu. Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina
berakhir yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II.
Perang
Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan massal bangsa Yahudi
di Eropa membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan
Eropa. Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi
ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan
tersebut.
Holocaust dan Imigrasi Ilegal Bangsa Yahudi
Perang
Dunia II pecah, ditandai blitzkrieg atau serbuan kilat pasukan Nazi
Jerman ke Polandia, 1 September 1939. Sebelum Polandia, Jerman terlebih
dulu menduduki Austria dan Cekoslovakia.
Salah satu babak paling
kelam dalam Perang Dunia II adalah praktik Holocaust atau pemusnahan
massal bangsa Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Sejarah mencatat, 6 juta
orang Yahudi tewas dibantai di seluruh penjuru Eropa.
Kekejaman
Nazi Jerman pimpinan Hitler ini membuat semakin banyak warga Yahudi
ingin meninggalkan Eropa menuju ke Palestina. Namun, niatan itu
terhalang karena kebijakan Inggris yang beberapa bulan sebelum perang
pecah menerbitkan apa yang disebut dengan White Paper 1939.
Buku
putih ini adalah solusi lain dari hasil rekomendasi solusi dua negara
Palestina—seperti tercantum dalam rekomendasi Komisi Peel 1937—yang
ditolak kedua pihak. Dokumen ini pada intinya adalah Inggris
mempersiapkan sebuah negara Palestina yang akan dikelola warga Arab di
kemudian hari.
Selain itu, dokumen White Paper ini juga membatasi
jumlah dan imigrasi warga Yahudi ke Palestina. Sesuai dokumen ini,
jumlah imigran Yahudi ke Palestina akan dibatasi hanya 75.000 orang
hingga 1944. Rinciannya adalah kuota 10.000 imigran per tahun dan bisa
menjadi 25.000 orang jika dalam kondisi darurat pengungsi.
Dalam
bagian lain dokumen itu juga dijelaskan bahwa di masa depan, imigrasi
bangsa Yahudi harus mendapatkan izin penduduk mayoritas Arab dan
melarang imigran Yahudi membeli tanah dari bangsa Arab.
Imigrasi ilegal
Pemusnahan
massal dan sistematis bangsa Yahudi di Eropa membuat sejumlah
organisasi Yahudi mencoba melakukan imigrasi ilegal. Setidaknya 100.000
orang Yahudi menggunakan 120 kapal dalam 142 pelayaran mencoba
menyelundup ke Palestina.
Namun, Inggris yang menempatkan delapan
kapal perangnya untuk memblokade perairan di sekitar Palestina berhasil
menggagalkan sebagian besar upaya imigrasi ilegal itu.
Para
imigran yang gagal masuk Palestina itu kemudian dibawa dan ditahan di
kamp pengungsi di Siprus. Beberapa ribu lainnya ditahan di Palestina dan
Mauritius.
Sebanyak 50.000 imigran ditahan Inggris dan sekitar
1.600 imigran tewas tenggelam, serta hanya beberapa ribu orang yang
berhasil lolos ke Palestina di masa-masa itu.
Salah satu insiden
terkenal di masa-masa imigrasi ilegal ini adalah insiden kapal Patria.
Pada akhir 1940-an, kebijakan Nazi atas bangsa Yahudi adalah
mendeportasi mereka dari Eropa ke tempat lain, belum sampai pada taraf
memusnahkan.
Untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari Eropa, Nazi
Jerman menyewa tiga kapal di Romania, yaitu Atlantic, Pacific, dan
Milos, yang secara total mengangkut 3.600 orang Yahudi.
Kapal-kapal
ini meninggalkan Pelabuhan Tulcia, Romania, menuju Palestina. Seperti
telah diduga, ketiga kapal ini dicegat kapal-kapal perang Inggris dan
penumpangnya dipindahkan ke kapal Patria dan akan dibawa ke Mauritius.
Nah,
rencana memindahkan warga Yahudi ke Mauritius ini diketahui
Haganah—pasukan paramiliter Yahudi di Palestina. Untuk mencegah
pemindahan itu, aktivis Haganah memasang sebuah bom kecil di kapal
Patria dan berharap bisa merusak mesin kapal itu sehingga kapal itu akan
tertahan di Pelabuhan Haifa.
Celakanya, pada saat 130 penumpang
terakhir masuk ke Patria, bom meledak dan menimbulkan lubang besar di
lambung kapal. Akibatnya, kapal itu tenggelam dengan cepat dan
menewaskan 267 penumpangnya.
Meski di masa Perang Dunia II ini
imigrasi Yahudi ke Palestina tidak terlalu mudah, tetapi beberapa ribu
orang Yahudi masih bisa masuk ke Palestina dan selamat dari pembantaian
yang dilakukan Hitler.
Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme
Pembatasan
imigrasi Yahudi ke Palestina yang dituangkan dalam White Paper 1939,
ternyata membuat Organisasi Zionis berang. Akibatnya, para pemimpin
Zionis berkumpul di New York pada 1942 tepatnya di Hotel Biltmore. Saat
itulah secara resmi para pemimpin Zionis menetapkan Palestina sebagai
wilayah Persemakmuran Yahudi. Selain itu para pemimpin Yahudi kini
menganggap Inggris sebagai musuh yang harus diperangi.
Status
Inggris yang pernah menjadi 'harapan' bangsa Yahudi saat menerbitkan
Deklarasi Balfour 1917 seketika berubah. Berbagai kelompok bersenjata
Yahudi seperti Haganah, Irgun dan Lehi yang awalnya bersaing kini
bersatu dengan tujuan sama yaitu mendongkel kekuasaan Inggris di Mandat
Palestina.
Kelompok-kelompok bersenjata ini tak jarang melakukan
aksi terorisme seperti pembunuhan dan penculikan para petinggi Inggris
hingga meledakkan kereta api milik Inggris. Salah satu insiden yang
patut dicatat adalah pembunuhan Menteri Negara Urusan Timur Tengah, Lord
Moyne pada 6 November 1944 di Kairo, Mesir, oleh dua anggota gerakan
bawah tanah Yahudi, Eliyahu Bet-Zuri dan Eliyahu Hakim.
Lord
Moyne dikenal sebagai salah seorang pejabat Inggris yang sangat
anti-Zionis dan sangat memegang teguh aturan pembatasan imigrasi Yahudi
ke Palestina seperti diatur dalam dokumen White Paper 1939.
Namun,
pembunuhan Lord Moyne itu tidak mengubah kebijakan Inggris di
Palestina. Justru, aksi itu malah berdampak buruk bagi gerakan Zionisme.
Sebab, Lord Moyne adalah sahabat dekat Perdana Menteri Inggris saat itu
Winston Churchill. Akibatnya, Churchill mempertimbangkan kembali
dukungan Inggris terhadap Zionisme. Sementara itu, Inggris berhasil
menangkap kedua pembunuh Lord Moyne dan keduanya dihukum gantung pada
1945.
Mandat Inggris Berakhir
Sementara itu,
di Eropa, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman. Salah satu
dampaknya adalah masih terdapat 250.000 orang Yahudi tersebar di
berbagai kamp konsentrasi milik Jerman. Dan, para pemimpin Zionis ingin
membawa rekan-rekan sebangsanya itu ke Palestina. Masalahnya, Inggris
masih membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina sesuai mandat White Paper
1939.
Situasi ini membuat perlawanan kelompok-kelompok bersenjata
Yahudi di Palestina semakin keras dan semakin menebar teror. Mereka
mengebom kereta api, stasiun kereta api bahkan markas militer Inggris di
Hotel King David di Jerusalem pada 22 Juli 1946. Aksi teror yang
dilakukan kelompok sayap kanan Zionis, Irgun ini menewaskan 91 orang dan
46 orang lainnya terluka.
Kondisi yang semakin buruk di Mandat
Palestina ini menjadi berita utama berbagai koran di Inggris. Akibatnya,
para politisi mendesak pemerintah Inggris untuk segera mengatasi
konflik di Palestina untuk menyelamatkan nyawa warga dan pasukan Inggris
di Palestina.
Desakan terhadap Inggris juga datang dari Amerika
Serikat dan sejumlah negara yang meminta Inggris segera membuka keran
imigrasi Yahudi yang selama ini ditutup. Berbagai investigasi pun
digelar untuk memastikan kondisi sebenarnya di Palestina. Akhirnya
sebuah Komite Gabungan Inggris-AS bentukan PBB pada 20 April 1946
merekomendasikan imigrasi 100.000 orang Yahudi bisa dilakukan sesegera
mungkin ke Palestina.
Rekomendasi ini ditolak para pemimpin Arab
dan Inggris segera menyadari mereka tak mampu lagi mengatasi keadaan di
Palestina. Akhirnya Inggris mengembalikan mandat mengelola Palestina
yang mereka pegang sejak 1920 kepada PBB terhitung 14 Mei 1948. Inilah
yang kemudian berujung pada berdirinya Negara Israel.
Akhir Mandat Palestina dan Berdirinya Israel
Aksi
kekerasan yang terus terjadi di Palestina berujung pembentukan Komite
Investigasi Anglo-Amerika pada 1946. Pembentukan komite ini diharapkan
bisa menyelesaikan berbagai masalah, khususnya terkait imigrasi Yahudi
ke Palestina.
Komite ini kemudian menyetujui rekomendasi AS
terkait pemindahan segera 100.000 pengungsi Yahudi di Eropa ke
Palestina. Komisi ini juga merekomendasikan tak ada negara Arab atau
Yahudi di Palestina.
Namun, implementasi rekomendasi ini ternyata
tak semudah yang dibayangkan. Bahkan, Presiden AS Harry S Truman
membuat Partai Buruh Inggris berang karena dukungannya terhadap imigrasi
100.000 pengungsi Yahudi, tetapi menolak temuan komite lainnya. Kondisi
inilah yang membuat Inggris mengumumkan niatnya menyerahkan Mandat
Palestina ke tangan PBB.
Akibat niat Inggris ini, PBB membentuk
Komite Khusus untuk Palestina (UNSCOP) pada 15 Mei 1947. UNSCOP yang
terdiri dari 11 negara ini melakukan sidang dan kunjungan ke Palestina
untuk melakukan investigasi. Pada 31 Agustus 1947, UNSCOP memaparkan
laporannya.
Dalam salah satu bagian laporannya, UNSCOP
merekomendasikan kepada Sidang Umum PBB sebuah skema pembagian wilayah
Palestina dalam masa transisi selama dua tahun yang dimulai pada 1
September 1947.
Pembagian itu terdiri atas negara Arab merdeka
(11.000 km persegi), negara Yahudi (15.000 km persegi). Sementara kota
Jerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali PBB.
Usulan
ini tidak memuaskan kelompok Yahudi maupun Arab. Bangsa Yahudi kecewa
karena kehilangan Jerusalem. Namun, kelompok Yahudi moderat menerima
tawaran ini dan hanya kelompok-kelompok Yahudi radikal yang menolak.
Sementara itu, kelompok Arab khawatir pembagian ini akan mengganggu
hak-hak warga mayoritas Arab di Palestina.
Dalam pertemuan di
Kairo, Mesir, pada November dan Desember 1947, Liga Arab mengeluarkan
resolusi yang menyetujui solusi militer untuk mengakhiri masalah ini.
Dalam kenyataannya, sejumlah negara Arab memiliki agenda tersendiri.
Jordania ingin menguasai Tepi Barat, sementara Suriah menginginkan
bagian utara Palestina, termasuk wilayah yang diperuntukkan bagi Yahudi
dan Arab.
Berdirinya Israel
Lalu bagaimana
dengan Inggris? Meski menerima usulan pembagian ini, Inggris enggan
menerapkannya di lapangan karena jelas-jelas tidak diterima kedua pihak.
Inggris juga enggan memerintah Palestina bersama PBB di masa transisi.
Pada September 1947, Inggris mengumumkan kekuasaan mereka di Mandat
Palestina akan berakhir pada 14 Mei 1948 tengah malam.
Sebagai
respons pernyataan Inggris ini, Presiden AS Harry Truman mengajukan
proposal baru yang membatalkan rencana pembagian Palestina. Dalam
proposal itu, AS mengusulkan PBB langsung memerintah Palestina.
Kekacauan tak terelakkan yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan di
mana-mana. Hingga akhir Maret 1948, setidaknya 2.000 orang meninggal
dunia dan 4.000 orang terluka.
Pada 14 Mei 1948, atau sehari
sebelum Mandat Inggris di Palestina berakhir, Ketua Yishuv (Komunitas
Yahudi di Palestina), David Ben Gurion, di hadapan 250 orang undangan di
Museum Tel Aviv, mendeklarasikan berdirinya negara Israel.
Dalam
deklarasi itu, Ben Gurion sama sekali tidak menyebutkan batas-batas
negara Israel. Sejumlah catatan menyebut, para pendiri Israel sepakat
tidak menyebutkan batas negara itu karena negara-negara Arab di sekitar
Israel pasti tidak akan menyetujuinya.
Beberapa hari setelah
deklarasi berdirinya negara Israel, sebanyak 700 orang Lebanon, 1.876
orang Suriah, 4.000 orang Irak, dan 2.800 orang Mesir menyerbu
Palestina.
Sementara itu, sekitar 4.500 pasukan Transjordania
dipimpin 38 perwira Inggris yang mengundurkan diri dari kesatuannya
menyerbu Jerusalem. Perang Arab-Israel pertama.
Palestina Usai Perang Arab-Israel 1948
Hanya
berselang sehari setelah David Ben Gurion dkk mendeklarasikan
berdirinya negara Israel, deklarasi perang datang dari Mesir, Suriah,
Irak, Lebanon, Jordania dan Arab Saudi. Deklarasi perang ini diikuti
invasi pasukan Arab ke wilayah Yahudi. Pada 15 Mei 1948 pecahlah perang
Arab-Israel pertama.
Pada awalnya pasukan Arab dengan jumlah
pasukan lebih banyak dan persenjataan yang lebih baik dengan mudah
menguasai wilayah-wilayah yang ditempati bangsa Yahudi.
Pasukan
Suriah, Lebanon, Jordania dan Irak menyerang Galilea dan Haifa.
Sementara di selatan pasukan Mesir maju hingga mencapai Tel Aviv. Namun,
kordinasi antar pasukan Arab ternyata tidak terlalu baik dan di
saat-saat akhir, Lebanon menarik mundur pasukannya.
Untuk
menghadapi serbuan pasukan koalisi Arab ini, Israel pada 26 Mei 1948
membentuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang anggotanya adalah leburan
dari berbagai milisi seperti Haganah, Palmach, Irgun dan Lehi.
Dalam
perkembangannya, IDF justru berhasil mengerahkan lebih banyak pasukan
ketimbang pasukan koalisi Arab. Pada awal 1949, Israel memiliki 115.000
tentara sedangkan koalisi Arab hanya sekitar 55.000 personel saja.
Setelah
bertempur selama sembilan bulan, akhirnya pada 1949, tercapai gencatan
senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Jordania dan Suriah. Hasil
dari perang ini, Israel berhasil menguasai 78 persen wilayah Mandat
Palestina. Sementara Mesir menguasai Jalur Gaza dan Jordania mendapatkan
Tepi Barat. Jordania juga menguasai Jerusalem Timur sementara Israel
memerintah Jerusalem Barat. Pada 1950, Tepi Barat resmi menjadi wilayah
Jordania.
Pengungsi Palestina
Dampak lain
perang ini adalah para pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai
lokasi. Setidaknya 750.000 warga Palestina yang mengungsi keluar dari
wilayah yang menjadi bagian Israel tak diizinkan kembali ke wilayah
Israel dan ke wilayah negara-negara Arab lainnya. Mereka inilah yang
kemudian disebut sebagai pengungsi Palestina.
Setelah perang
1948, para pengungsi Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di
Tepi Barat (Jordania), Jalur Gaza (Mesir) dan Suriah berusaha kembali
masuk ke wilayah Israel. Mereka ini jika tertangkap akan dideportasi ke
tempat asal mereka.
Dalam suratnya ke PBB pada 2 Agustus 1949, PM
Israel David Ben-Gurion menolak kembalinya para pengungsi Palestina ke
wilayah Israel. Pemerintah Israel mengatakan solusi untuk pengungsi
Palestina adalah penempatan kembali di negara lain dan bukan
mengembalikan mereka ke Israel.
Penolakan ini membuat perlawanan
bangsa Palestina terhadap Israel meningkat. Mesir yang pada awalnya
tidak ikut campur, akhirnya aktif melatih dan mempersenjatai para
sukarelawan Palestina dari Jalur Gaza yang disebut Fedayeen. Kelompok
ini yang kemudian aktif melakukan berbagai serangan di wilayah Israel.
Pada
1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri. Tujuan PLO adalah
memerdekakan Palestina dengan perjuangan bersenjata. Cita-cita PLO
adalah mendirikan negara Palestina sesuai dengan tapal batas Mandat
Palestina sebelum perang 1948. Selain itu, PLO juga bertujuan
melenyapkan Zionisme dari Palestina dan ingin menentukan sendiri nasib
Palestina.
Di saat yang sama, Mesir terus mendanai dan melatih
para sukarelawan Palestina. Selain itu, Mesir juga secara reguler
menambah jumlah pasukannya di Gurun Sinai di dekat perbatasan dengan
Israel.
Tak hanya Mesir, sejumlah negara Arab seperti Jordania
dan Suriah, juga menunjukkan gelagat mengancam. Akibatnya, Israel
memutuskan untuk terlebih dulu menyerang Mesir pada 5 Juni 1967.
Pecahlah perang enam hari yang juga akan mengubah wajah Palestina.
Perang Enam Hari dan Pendudukan Palestina
Pada
5 Juni 1967, Israel menyerbu posisi pasukan Mesir di Gurun Sinai.
Pecahlah perang enam hari yang terkenal itu. Israel mengawali perang
dengan dua gelombang serangan udara yang menghancurkan 286 pesawat
tempur Mesir. Anehnya, respons militer Mesir sangat minim dan menjelang
tengah hari, AU Israel berani memastikan bahwa AU Mesir sudah lumpuh.
Sementara
itu, pasukan darat Israel juga mulai menusuk di Gurun Sinai dan hanya
dalam tiga hari pasukan Israel berhasil menguasai Sinai. Pada 8 Juni
1967 malam, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser menyepakati gencatan
senjata.
Pada hari pertama perang, militer Jordania juga
menembaki Jerusalem meski Israel meminta Jordania untuk tidak ikut
campur. Artileri Jordania juga menembaki Tel Aviv serta AU Jordania
menyerang sejumlah kota Israel. Setelah upaya gencatan senjata ditolak
Jordania, Israel menyerang negeri itu. Pada 8 Juni 1967, Israel akhirnya
bisa menguasai Tepi Barat dan Jerusalem.
Pada saat bersamaan
dengan serangan awal Jordania, Suriah juga ikut terjun ke dalam
peperangan ini. Artileri Suriah di Dataran Tinggi Golan menghujani
wilayah Israel dengan tembakan. Setelah mampu mengatasi Mesir, militer
Israel akhirnya dikerahkan untuk menanggapi serangan Suriah. Pada 10
Juni 1967, Israel sepakat melakukan gencatan senjata dengan Suriah
setelah berhasil menguasai dataran tinggi Golan.
Perang enam hari
usai dengan kemenangan mutlak di tangan Israel. Hasil dari perang ini,
Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Dari
Jordania, Israel merebut Tepi Barat dan menguasai dataran tinggi Golan.
Dampak perang
Dampak
pasti perang enam hari ini adalah pendudukan Israel atas Jalur Gaza dan
Tepi Barat yang banyak dihuni pengungsi Palestina hasil perang
Arab-Israel 1948. Setidaknya, satu juta warga Palestina kini berada di
bawah kekuasaan Israel pada 1967.
Pascaperang enam hari, fokus
kelompok-kelompok perlawanan Palestina sedikit berubah, yaitu
membebaskan Jalur Gaza dan Tepi Barat dari pendudukan Israel sebagai
langkah awal kemerdekaan seluruh Palestina.
Salah satu masalah
besar dalam konflik Israel-Palestina adalah status Jerusalem. Pada 1980,
Israel menyatukan Jerusalem Barat dan Timur sekaligus mengklaim kota
itu sebagai ibu kota negara Yahudi tersebut. Namun, Palestina juga
mengklaim Jerusalem sebagai ibu kota mereka. Saling klaim Jerusalem ini
menjadi salah satu ganjalan dalam proses perdamaian di Timur Tengah
hingga kini.
Ganjalan lain yang menghambat proses perdamaian
antara Israel dan Palestina adalah kebijakan Israel membangun permukiman
Yahudi di wilayah pendudukannya. Kebijakan ini dilakukan sejak Partai
Likud berkuasa di Israel pada 1977. Hingga 2003, terdapat sekitar
220.000 warga Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Selain itu, masih
ditambah sekitar 200.000 warga Yahudi di Jerusalem dan wilayah yang
diduduki sejak 1967.
Dari Camp David hingga Perjanjian Oslo
Banyak yang terjadi seusai Perang Enam Hari yang mengubah nasib bangsa Palestina. Berbagai konflik bersenjata terus mewarnai "hubungan" Palestina dan Israel. Namun, perlu juga dicatat bahwa berbagai upaya untuk mendamaikan kedua bangsa ini juga terus diupayakan meski kerap berakhir dengan kegagalan.
Salah satu proses perdamaian yang cukup signifikan adalah perjanjian Camp David pada 17 September 1978. Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin menandatangani perjanjian damai yang digelar di rumah peristirahatan Presiden AS, Camp David.
Berdasarkan perjanjian Camp David inilah akhirnya pada Maret 1979, Mesir dan Israel menandatangani pakta perdamaian. Berdasarkan perjanjian damai ini, Israel mengembalikan Semenanjung Sinai yang direbut dalam Perang Enam Hari 1967 kepada Mesir.
Selain itu, perjanjian damai ini juga membahas pembentukan pemerintahan otonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, upaya pembicaraan masa depan Palestina ini gagal. Sebab, Palestina tidak menerima proposal otonomi terbatas untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti diajukan Israel.
Sementara itu, Israel juga menolak melakukan negosiasi dengan PLO, meski PLO sudah diakui PBB sebagai entitas perwakilan bangsa Palestina. Kebuntuan ini berujung dengan berbagai kekerasan, misalnya Perang Lebanon 1982 dan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.
Pada 1987, pecahlah apa yang disebut dengan Intifada Pertama. Intifada ini adalah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur. Intifada ini berlangsung hingga 1993, saat perjanjian Oslo ditandatangani.
Perjanjian Oslo
Pada awal 1990-an, PLO mengubah taktik perjuangannya. PLO mulai meninggalkan cara-cara keras menggunakan senjata dan mulai mencoba cara-cara diplomasi. Pada awal 1993, para perunding Israel dan PLO melakukan serangkaian pembicaraan rahasia di Oslo, Norwegia.
Pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin. Isi surat itu adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.
Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC yang kemudian menjadi dasar negosiasi yang berlangsung di Oslo, Norwegia. Setelah melalui jalan panjang, proses perdamaian Oslo dimulai.
Selama proses perdamaian Oslo, kedua pihak diwajibkan merundingkan solusi dua negara. Namun, pembicaraan menuju solusi dua negara gagal dan PLO-Israel mencoba mencari kesepakatan yang saling menguntungkan. Proses pembicaraan ini akhirnya selesai pada 20 Agustus 1993.
Meskipun namanya adalah perjanjian Oslo, tetapi kesepakatan antara PLO dan Israel ini ditandatangani Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Washington DC dengan disaksikan Presiden AS Bill Clinton. Saat itulah terjadi jabat tangan bersejarah Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin.
Salah satu bagian penting Perjanjian Oslo ini adalah terbentuknya pemerintahan Otorita Palestina yang membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Di bawah perjanjian ini Palestina mulai mendapat wewenang memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Palestina bahkan sudah bisa membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi pemerintahan lain. Balasannya, Otorita Palestina harus mempromosikan toleransi terhadap Israel dan mengakui hak Israel untuk tetap eksis.
Pada 28 September 1995, Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Interim Israel-Palestina. Di bawah kesepakatan ini, para pemimpin PLO bisa kembali ke daerah pendudukan dan memberikan otonomi kepada bangsa Palestina. Imbalannya tetap sama, yaitu mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam perjuangan.
Namun, kesepakatan ini ditentang Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang siap melakukan perjuangan bersenjata, termasuk aksi bom bunuh diri di Israel demi membebaskan Palestina.
No comments:
Post a Comment