Tersenyumlah Dengan Hatimu

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di sana. Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.
Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona."
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya." Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."
Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."
Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambaikan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.
"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Pentingnya Menentukan Tujuan Hidup

Alice : Bisa tolong beri tahu aku? jalan mana ya yang harus aku ambil dari sini
Kucing : Tergantung, kamu maunya ke mana?
Alice : Mmm, ke mana saja juga boleh deh.
Kucing : Ya kalau begitu, jalan mana pun yang kamu pilih, sama saja.
(diambil dari kisah :"Alice in Wonderland")


Kata Pengantar:
Menjelang ujian akhir, atau bahkan ketika baru aja naik kelas 12, biasanya orang bertanya: "Habis ini mau lanjutin kuliah dimana?" Pertanyaan tersebut sepertinya sangat sederhana. Tapi entah mengapa, sulit menjawabnya.

Seperti kisah "Alice In Wonderland" di atas, bila kita tidak tahu tujuan hidup kita, sekarang dan baru tersadar kehidupan yang kita miliki bukanlah kehidupan yang kita jadi tidak terarah. Bisa-bisa kita bangun 10 tahun dari sekarang dan baru tersadar, kehidupan yang kita miliki bukanlah kehidupan yang kita inginkan. Apa kita tahu, hendak jadi apa 5 tahun dari sekarang? 10 tahun dari sekarang? Maka dari itu, penting bagi seseorang untuk menentukan tujuan hidupnya.
Jangan bangun 10 tahun dari sekarang dan baru sadar, bukan hidup seperti ini yang ingin kita jalani...

Kita boleh saja memiliki prestasi menumpuk di banyak bidang tetapi jika kita tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, hidup kita akan seperti layang-layang putus yang tidak jelas hendak kemana.

1. Manfaat Tujuan Akhir

Hasil survey menunjukkan, banyak kegagalan terjadi karena hal-hal berikut ini:

    Tidak semua orang mengetahui tujuan hidupnya.
    Tidak semua orang mengetahui yang harus dikerjakan dalam mencapai tujuan hidupnya.
    Tidak semua orang mempunyai ukuran keberhasilan.

Oleh karena itu, milikilah tujuan hidupmu. Dengan mengetahui tujuan hidup, manfaat yang bisa kita ambil adalah berikut:

    1. Membantu mengambil keputusan
    Tanpa tujuan akhir, ktia cenderung mengikuti arus/menurut saja pada orang lain, meski sebenarnya kita tidak menyukai pilihan mereka. Padahal jalan yang sekarang kita pilih akan berpengaruh besar dalam hidup.

    2. Menguatkan motivasi
    Jalan hidup apapun yang kita pilih pasti memerlukan pengorbanan. Sesempurna apapun suatu kondisi, pastilah ada enak dan tidak enaknya. Memiliki tujuan akhir dapat membantu kita melewati berbagai kondisi sulit dan merasa yakin dapat mencapai apa yang benar-benar diinginkan.

2. Cara Menentukan Tujuan Akhir


Caranya sederhana saja. Merenung, carilah tempat di mana kita bisa sendirian tanpa terganggu, jauh dari tumpukan buku dan tugas, dari game komputer dan canda teman-teman. Ajukan beberapa pertanyaan pada diri sendiri, ke lubuk hari anda yang paling dalam.
Potensi apa sajakah yang saya miliki?
Apa yang akan membuat saya benar-benar bahagia? (bahagia yang abadi, bukan sesaat )
Apa yang tidak saya inginkan dalam hidup?
Prinsip apa sajakah yang sangat mendasar bagi saya?
Saya ingin menjadi orang seperti apa?
Apa yang harus saya lakukan di duinia ini?

Jika pertanyaan-pertanyaan mendasar ini bisa dijawab, maka kita telah memiliki modal yang cukup untuk membuat Visi.

3. Mengejar Tujuan Akhir


Setelah memiliki pernyataan visi, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkannya?

Tentunya kita tidak ingin sekedar memiliki kata-kata cantik sebagai semboyan bukan?

Untuk mencapai visi, lakukanlah hal-hal berikut:
1. Hitung pengorbanan
Misalnya kita ingin fasih berbahasa Inggris, maka pengorbanannya kita harus mengikuti les 3 kali seminggu. Tanyakanlah pada diri apakah kita bersedia melakukan pengorbanan tersebut?

2. Tuliskan
Tuliskan secara spesifik langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untik mencapai visi tersebut. Jika kita tidak menuliskannya maka kemungkinan besar kita akan melupakannya begitu saja. Kalau perlu kita harus membuat tulisan dan menempelkannya di setiap sudut kamar kita sehingga kita akan selalu teringat akan hal-hal yang harus kita lakukan.

3. Laksanakan !!!
Rencana sebagus apapun akan sia-sia bila tidak dilaksanakan. Lakukanlah langkah-langkah jangka pendek yang telah kita tulis sebelumnya. Jangan terlalu banyak memanjakan diri.

4. Evaluasi
Secara berkala, kajilah pelaksanaan langkah-langkah yang kita lakukan. Apakah perkembangannya sudah sesuai yang diharapkan? Apakah masih realistis? Apakah minat kita sudah berkurang?

5. Masuk Pada Lingkungan Kondusif (Mendukung)
Kita akan menjadi lebih kuat jika kita berada di linkungan yang kondusif untuk meraih cita-cita. Misalnya visi jangka pendek kita adalah meraih nilai 9, maka kita akan lebih mudah mencapainya jika kita berada dilingkungan orang yang menginginkan hal yang sama.

Memiliki tujuan akhir
dapat membantu kita melwati berbagai kondisi sulit karena merasa yakin pengorbanan itu pantas dilakukan

Paranoia Nazi

SoldatenKaffee dan Trauma Ke-Indonesia-an

Jika ada yang bertemu dengan pemilik SoldatenKaffee yang mengadopsi elemen-elemen Nazi, Anda bisa bertanya sembari berkelakar: “Anda Nazi? Kok kulitnya cokelat?”

Hitler, seperti yang sudah diketahui banyak orang, bukan hanya membenci ras Yahudi, tapi juga percaya bahwa ras Arya adalah ras yang paling superior. Semua orang Eropa berkulit putih, selama tak tercampur darah Yahudi, dimasukkan Hitler ke dalam ras Arya.

Di luar itu adalah ras kelas dua. Itu sebabnya rezim fasis Jerman saat itu melarang orang-orang Jerman melakukan perkawinan antar-ras. Sekali seorang Arya kawin dengan ras lain, maka keturunannya tak lagi murni.

Pandangan Hitler terhadap ras-ras selain Yahudi tidak begitu solid. Orang kulit hitam di Jerman tidak dibenci dengan level yang sama seperti Yahudi, tapi mereka banyak juga yang dieksekusi, dijadikan subjek eksperimen ilmiah, dan dianiaya.

Bagaimana dengan orang Asia? Sama saja. Tetap dianggap sebagai ras kelas dua. Kecuali bangsa Jepang. Orang-orang Jepang di Jerman saat itu diberi status kehormatan sebagai ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.

Itulah sebabnya, orang-orang kulit berwarna yang (katakanlah) senang berkumpul di SoldatenKaffee, boleh jadi akan masuk daftar pembantaian seandainya: 1) Hitler benar-benar jadi reich yang menguasai dunia dan 2) tak ada Jepang yang saat itu jadi kolega Jerman dalam mengusung ideologi fasisme.

(Tentu saja historiografi tak mengenal kata “seandainya”. Tapi, seperti yang pernah dikatakan Guru Besar Sejarah UGM Kuntowijoyo, “pengandaian” masih ada gunanya terutama untuk mempertajam perspektif kita terhadap sejarah.)

Di artikel sebelumnya, saya sudah menguraikan perspektif sejarah singkat mengapa tidak ada “tabu Nazi” di Indonesia. Saya tidak akan mengulangi perspektif yang saya pakai di artikel pertama. Anda tinggal membacanya kembali.

Kali ini, guna mempertajam argumentasi di artikel pertama, saya ingin mengatakan bahwa memang bukan pemilik SoldatenKaffee dan para pengunjung kafe itu yang berbahaya.

Toh mereka adalah orang-orang kulit berwarna — yang karenanya, dalam pandangan Hitler, tidak lebih baik dari Yahudi alias sama-sama ras kelas dua.

Dan itulah sebabnya mereka tak punya argumentasi untuk merasa lebih superior dari orang Yahudi, apalagi untuk membantainya. Jika mereka pergi ke negara-negara yang banyak dihuni kelompok neo-Nazi, mereka juga akan jadi sasaran kebencian, sebagaimana nasib semua pendatang.

Di Indonesia, tempat SoldatenKaffee berada, bukan pemilik dan pengunjung kafe itu yang menjadi ancaman bagi Yahudi atau Israel. Yang kerap menggunakan retorika anti-Yahudi justru antara lain kader-kader Partai Keadilan Sejahtera, Front Pembela Islam, dan kelompok Islam militan lainnya.

Sikap anti-Yahudi mereka kadang-kadang sukar dibedakan dengan kebencian yang membabibuta. Sedikit-sedikit menyalahkan Yahudi, sedikit-sedikit menyalahkan Israel, sedikit-sedikit menyalahkan zionisme.

Dan, bukan sekali-dua saya menemukan, kadang tak jelas lagi beda antara Yahudi, Israel dan zionisme. Pukul rata begitu saja. Mau bagaimana lagi? Orang yang enggan berpikir sering kali justru mahir menemukan alasan apa pun.

Di artikel pertama, saya menyebut SoldatenKaffee tak ubahnya seperti sebuah kartu pos bergambar fasisme. Karena di sini, di Indonesia ini, fasisme yang menggunakan simbol-simbol Nazi memang tidak ada. Fasisme Nazi tidak pernah menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia pascakemerdekaan.

Tabu Nazi adalah tabu Eropa dan trauma Nazi adalah trauma Eropa. Bukan sekadar karena korban terbesar Nazi juga terjadi di Eropa, tapi Nazi sendiri memang serupa “aib” yang jadi lubang hitam yang merongrong keagungan gagasan Pencerahan Eropa, tentang Eropa yang humanis, tentang Eropa yang beradab.

Bukan berarti saya setuju dengan pembantaian Yahudi yang dilakukan Hitler. Karena yang mati adalah Yahudi Eropa, maka kita tidak patut marah, bukan begitu.

Poinnya adalah: kita memang tidak patut mengalami trauma — apalagi jadi paranoid — untuk apa yang tidak kita alami (dalam hal ini kejahatan fasisme Nazi).

Saya menolak trauma dan paranoia terhadap simbol-simbol Nazi karena itu bukan trauma dan paranoia saya. Trauma dan paranoia tidak bisa dipaksakan, bukan?

Trauma dan paranoia saya adalah penguasa negeri ini yang membantai jutaan orang yang diduga komunis tanpa proses peradilan. Trauma dan paranoia saya adalah serbuan bersenjata terhadap orang Timor Leste dalam insiden Santa Cruz dua dekade lalu, juga terhadap orang-orang Aceh yang dibantai di masa Daerah Operasi Militer, juga terhadap orang dan aktivis Papua saat ini.

Trauma dan paranoia saya adalah militer yang dengan mudahnya membantai mereka yang bertato pada awal 1980-an dalam proyek keji Penembakan Misterius (Petrus). Trauma dan paranoia saya adalah negara yang bertindak keji pada orang-orang Islam di Talangsari, 1989, dan Tanjung Priok, 1984.

Trauma dan paranoia saya adalah massa buas nan rasis yang membakari toko-toko di Jakarta dan bahkan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa di jalanan pada Mei 1998.

Trauma dan paranoia saya adalah para suporter yang memukuli mobil dari kota lain atau suporter yang menyanyikan yel-yel kelompoknya saat masuk penjara gara-gara membunuh suporter lawan.

Trauma dan paranoia saya adalah mereka yang berteriak “Allahu akbar” saat membantai jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan membakari rumah milik umat Syiah di Sampang. Trauma dan paranoia saya adalah para laskar yang tanpa ba-bi-bu memukuli orang-orang yang makan di siang hari di bulan Ramadan.

Saya mengalami trauma dan jadi paranoid karena di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu siapa saja bisa jadi korban. Kemarin orang lain, hari ini kenalan jauh, besok mungkin saya, lusa mungkin Anda. Kita tak akan pernah tahu sampai kemudian mengalaminya. Semoga saja tidak.

Dan di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu, apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?

Saya berusaha tidak takut pada simbol, karena saya tak pernah ingin memuja simbol.

Ukuran kepintaran seseorang hanya Tuhan yang mengetahuinya

Suatu ketika seorang pengusaha sedang memotong rambutnya pada tukang cukur yang berdomisili tak jauh dari kantornya, mereka melihat ada seorang anak berusia 10 tahunan berlari-lari dan melompat-lompat di depan mereka.

Tukang cukur berkata, "Itu Benu, dia anak paling bodoh yang pernah saya kenal"

"Masak, apa iya?" jawab pengusaha

Lalu tukang cukur memanggil si Benu, ia lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan lembaran uang Rp.2.000 dan koin Rp.1.000, lalu menyuruh Benu memilih, "Benu, kamu boleh pilih & ambil salah satu uang ini, terserah kamu mau pilih yang mana, ayo ambil!"

Benu melihat ke tangan Tukang cukur dimana ada uang Rp.2.000 dan Rp.1.000, lalu dengan cepat tangannya bergerak mengambil uang Rp.1.000.

Tukang cukur dengan perasaan bangga lalu melirik dan berbalik kepada sang pengusaha dan berkata, "Benar kan yang saya katakan tadi, Benu itu memang anak terbodoh yang pernah saya temui. Sudah tak terhitung berapa kali saya ngetes dia seperti itu tadi dan dia selalu mengambil uang logam yang nilainya lebih kecil."

Setelah sang pengusaha selesai memotong rambutnya, di tengah perjalanan pulang dia bertemu dengan Benu. Karena merasa penasaran dengan apa yang dia lihat sebelumnya, dia pun memanggil Benu dan bertanya, "Benu, tadi saya melihat sewaktu tukang cukur menawarkan uang lembaran Rp.2.000 dan Rp.1.000, saya lihat kok yang kamu ambil uang yang Rp.1.000, kenapa tak ambil yang Rp.2.000, nilainya kan lebih besar 2 kali lipat dari yang Rp.1.000?"

Benu pun tertawa kecil berkata, "Saya tidak akan dapat lagi Rp.1.000 setiap hari, karena tukang cukur itu selalu penasaran kenapa saya tidak ambil yang seribu. Kalau saya ambil yang Rp.2.000, berarti permainannya selesai dan kapan lagi saya dapat uang jajan gratis setiap hari..."

Catatan : Banyak orang yang merasa lebih pintar dibandingkan orang lain, sehingga mereka sering menganggap remeh orang lain. Ukuran kepintaran seseorang hanya TUHAN yang mengetahuinya. Alangkah bijaksananya kita jika tidak menganggap diri sendiri lebih pintar dari orang lain. Di atas langit masih ada langit yang lain.

Bangun Masjid dan Gereja Bersama

Rindu Pada Keluarga Muslim, Warga Kristen Meko Bangun Masjid; Ingin Saudaranya kembali Warga Kapompa Muslim bantu Bangun Gereja

”Ide ini muncul bersama diantara kami.Keluarga kami yang muslim masih ada beberapa yang belum kembali kesini. Mungkin mereka masih takut, taulah, cerita yang beredar di luar sana aneh-aneh. Padahal tidak begitu yang terjadi di desa kami. Kami rindu keluarga kami pulang lagi kemari, sama-sama mengolah sawah. Tanah disini subur semuanya. Makanya kami berpikir salah satu caranya adalah membantu warga minoritas disini, warga muslim, untuk mendirikan mesjid. Warga muslim disini cuma 17 kepala keluarga. Tapi biarpun sedikit mereka juga sering sembahyang dan layak dapat tempat. Jadi, biar itu syarat pendirian rumah ibadah harus sekitar 60 orang, begitu yang saya dengar, itu tidak berlaku disini. Semua orang berhak beribadah pada Tuhannya.Makanya, kami berinisiatif awal mengajak warga lain yang umumnya pendatang yang beragama muslim untuk mendirikan mesjid. Kami rindu dengan keluarga kami, kami rindu dengar suara azan saat Ramadhan” cerita pak Gede.

”Kami tidak menyangka inisiatif itu justru muncul dari keluarga kami yang Kristen. Mereka bilang, ayo bikin mesjid supaya kamu bisa sembahyang dengan bagus. Ohya? Begitu ya?saya tidak tahu kalau syarat dirikan rumah ibadah harus 60 orang….Muslim disini hanya 17 kepala keluarga,jadi kami memang agama minoritas tapi sangat nyaman dan bahagia. Tidak takut. Mesjidnya memang sederhana, sementara ini masih berukuran 15 x 15 meter. Kami sangat senang dan bekerjasama, gotong royong bikin mesjid. Biarpun belum jadi 100 persen tetapi kami sudah bisa menggunakan mesjid ini sejak bulan Ramadhan kemarin. Disini mayoritas agama Kristen dan Hindu, mereka yang bantu kami menyisahkan waktu dan tenaga mereka untuk bangun sama-sama. Ini mempererat persaudaraan kami..belum ada nama. Nanti mungkin nama yang melambangkan perdamaian, toleransi antar umat beragama seperti yang diajarkan Nabi Muhamad SAW” Ungkap ibu M.
Sementara itu seorang pemuda agama Hindu mengatakan ” kami yakin sorga itu ada di bumi dimana kita ciptakan kenyamanan bagi semua. Dan sorga itu untuk semua. Jadi saya dan teman-teman pemuda lainnya, juga ibu-ibu dan bapak-bapak disini membantu dengan senang hati. Kami bangga, keluarga yang muslim bisa menggunakan mesjid itu saat Ramadhan kemarin. Rasanya bahagia sekali melihat mereka sembahyang disini. Karena kami tahu kami mengerjakannya untuk kebersamaan”
Pendirian mesjid bersama-sama ini terjadi di Desa Meko. Meko berjarak sekitar 70 kilometer sebelah selatan ibu kota Kabupaten Poso. Terletak di sebelah timur tepian danau Poso, desa ini menjadi ibu kota dari kecamatan Pamona Barat yang baru dimekarkan pada pertengahan tahun 2005. Dengan penduduk berjumlah 8.869 jiwa desa yang menjadi ibu kota kecamatan Baru ini merupakan salah satu sentra penghasil beras di kabupaten Poso.
***
Di wilayah lain di Kabupaten Poso,tepatnya di Desa Madale, dusun Kapompa, pada sekitar tahun 2006 warga muslim dusun Kalamalea membantu warga Kristen dusun Kapompa untuk mendirikan gereja sederhana. Diceritakan oleh salah satu majelis gereja:

” waktu itu memang masih mencekam, masih ada pembunuhan dan penembakan misterius termasuk masih trauma dengan mutilasi siswa SMU di Poso. Apalagi dusun kami ini di tengah hutan,tidak ada kendaraan lalu lalang dan disekitar dusun kami ini mayoritas Muslim. Jadi yang kembali ke dusun ini tahun 2006 masih sekitar 12 keluarga. Itupun masih pulang balik ke Tentena. Tapi karena sudah mulai menetap jadi kami dirikan gereja sederhana dan minta agar ada pendeta yang melayani. Waktu mendengar kami mau dirikan gereja, ada warga muslim Kalamalea yang datang ke kami dan menanyakan kami membutuhkan bantuan dalam bentuk apa? Mereka mau membantu. Waktu itu ada sekitar 4 orang yang datang bertanya. Singkat cerita, pas hari kerja mereka datang sekitar 10 orang bawa alat-alat tukang, ada juga yang bawa papan dan paku. Kami terharu sekali, papa Z bilang ke kami : kita semua ini ingin hidup damai, sudah jo bakalae (jangan lagi berkelahi-konflik), kami ini mau bantu bikin gereja supaya kamu orang pulang semua jo kemari bangun ulang kampungnya kita ini. Supaya kamu orang tahu, bukan kami yang bunuh-bunuh itu, kami ini juga mengungsi semuanya, kami ini tidak tahu juga siapa itu…jadi mari kita kase selesai (selesaikan-red)  ini gereja dan panggil ulang pulang keluarga kemari”…Kami jadi yakin sekali. Itu tidak terlupakan. Padahal, Dusun Kalamalea itu jaraknya sekitar 2 km dari dusun kami.Mereka datang membantu bangun gereja kami.Sampai sekarang kami lebih sering barter, mereka mengantar ikan, kami mengantar sayuran”

Saat ini Dusun Kapompa,Desa Madale sudah didiami kembali lebih dari 25 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk Dusun Kapompa beragama Kristen dan bermata pencaharian sebagai petani kebun, sementara penduduk Dusun Kalamale beragama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan.

Mukjizat Sang Paus


Ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal delapan tahun silam, para pendukungnya berteriak “Santo subito!” atau “Berikan gelar santo sekarang!”

Akhirnya keinginan para pendukung Paus Yohanes Paulus II berhasil terwujud. Vatikan baru-baru ini membenarkan bahwa Paus Yohanes Paulus II melakukan dua mukjizat. Sekarang tinggal menunggu upacara kanonisasi (proses menjadikan seseorang sebagai santo) resmi, yang sampai saat ini belum dijadwalkan. Proses pengesahan mukjizat di Gereja Katolik sudah berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan penyelidikan oleh pakar ilmu pengetahuan.
Mukjizat Jadi Tolok Ukur Vatikan untuk Berikan Gelar Santo

Meski agak aneh bagi orang luar, pengesahan mukjizat yang pernah terjadi bisa memperkuat keyakinan orang-orang, ujar Michael O’Neill, yang menjalankan situs MiracleHunter.com.

“Bahkan orang-orang yang percaya Tuhan tertarik untuk membuktikan keberadaan-Nya. Terkadang sepertinya Tuhan bersembunyi,” ucap O’Neill. “Mukjizat adalah sebuah cara membuktikan kepada orang-orang bahwa Tuhan menjamah dunia.”

Perjalanan panjang mendapatkan gelar santo
Dalam agama Katolik, santo adalah orang-orang yang berada di surga bersama Tuhan. Meskipun mungkin ada banyak orang di surga dan secara teknis merupakan santo, mereka yang dianggap sebagai santo gereja yang sesungguhnya adalah orang-orang yang diketahui gereja Katolik berada di surga. Selain itu, orang juga bisa berdoa kepada santo tersebut yang terkadang menjadi perantara Tuhan.

Namun, menentukan siapa yang masuk ke surga adalah persoalan yang pelik.

Begitulah mengapa mujizat diperlukan. Menurut gereja, mukjizat atau kejadian ilahi yang tidak memiliki penjelasan alami atau ilmiah, merupakan bukti bahwa orang tersebut berada di surga dan bisa menjadi perantara Tuhan untuk mengubah penyebab beberapa peristiwa.

Gereja Katolik menggunakan proses resmi untuk menentukan santo atau santa. Pertama-tama, kehidupan orang tersebut ditelusuri secara menyeluruh. Jika dianggap cukup saleh, orang tersebut dianggap sebagai hamba Tuhan. Jika mereka menunjukkan tingkat kebajikan heroik dalam hidup mereka, mereka dianggap sebagai orang mulia. Namun, untuk menjadi santo, mereka harus melakukan dua mukjizat setelah mereka wafat.

Komisi Mukjizat
Menjelang akhir proses pemberian gelar santo, Komisi Mukjizat yang ditunjuk Vatikan menyaring ratusan bahkan ribuan pernyataan mukjizat. Biasanya, komisi tersebut terdiri dari teolog dan pakar ilmu pengetahuan.

Hampir semua atau “99,9 persen dari pernyataan tersebut adalah mukjizat kesembuhan,” ungkap O’Neill. “Mukjizat tersebut haruslah penyembuhan yang tiba-tiba, seketika, dan pulih sepenuhnya. Dokter harus mengatakan, ‘Kami tidak memiliki penjelasan ilmiah tentang apa yang terjadi,’” ujar O’Neill.

Seorang perempuan yang sembuh dari kanker payudara tidak masuk hitungan, misalnya, jika ia memiliki kesempatan bertahan hidup sebesar 10 persen — ia harus pernah divonis tidak memiliki kesempatan sembuh sama sekali sebelum campur tangan ilahi terjadi, ujar Rev. Stephan Bevans, profesor teologi di Catholic Theological Union.

Pada 2010, mantan Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yohanes Paulus II secara ajaib menyembuhkan seorang biarawati Prancis yang menderita penyakit Parkinson. Gereja baru-baru ini mengonfirmasi mukjizat kedua, ketika cedera otak yang dialami seorang perempuan asal Kosta Rika tiba-tiba sembuh setelah berdoa kepada Yohanes Paulus II.

Mukjizat dianggap sah jika orang tersebut hanya berdoa kepada satu orang, misalnya Yohanes Paulus II, saat mereka mengalami penderitaan. Dengan begitu, tidak akan ada percampuran ketika ingin menentukan orang di surga manakah yang sudah menjadi perantara mereka, ujar O’Neill.

Tradisi baru

Proses mempertimbangkan mukjizat untuk menetapkan santo memiliki sejarah yang relatif singkat di Gereja Katolik. Sebelum 1531, ketika seorang petani asal Spanyol dilaporkan melihat gambar Perawan Maria di lereng di sekitar Mexico City, mukjizat tidak diperlukan dan pemberian gelar santo sebagian besar ditentukan lewat tradisi atau kemartiran, kata O’Neill kepada LiveScience.

Peraturan terkait mukjizat dan pemberian gelar santo berubah selama masa jabatan Yohanes Paulus II. Ia mengurangi jumlah mukjizat yang diperlukan menjadi dua, dari sebelumnya tiga.

Dan seperti yang sudah berulang kali dijelaskan ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun, banyak hal yang dianggap mukjizat pada masa lalu tidak lagi dipandang seperti itu, ungkap Bevans.

Meskipun demikian, mukjizat secara teknis masih dibutuhkan, “Menurut saya mukjizat sudah tidak begitu penting” sebagai kriteria untuk pemberian gelar santo, kata Bevans kepada LiveScience. “Seharusnya kekudusan hidup orang tersebutlah yang diperhitungkan.”

Kekudusan mungkin merupakan nilai utama dari para santo, ucap Bevans.

Yohanes Paulus II, contohnya, telah “melakukan keajaiban, begitulah yang dikatakan, namun orang-orang juga menemukan inspirasi luar biasa dari pribadinya. Kekudusannya begitu jelas,” kata Bevans.

Aspirasi Keagamaan Dan Pancasila

Ini jelas-jelas tantangan terhadap NKRI: kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berencana menggugat Pancasila sebagai Dasar Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka merasa telah ditipu oleh Pancasila. Selanjutnya, kelompok ini memperjuangkan Syariat Islam sebagai pengganti Pancasila.
Itu sih belum seberapa. Awal Juni lalu, bertepatan dengan momen bangsa Indonesia memperingati Hari Lahirnya Pancasila, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga melakukan show of force dengan menggelar Muktamar Khilafah di Stadion Gelora Bung Karno. Sebelumnya, HTI juga menggelar Muktamar Khilafah di puluhan kota di Indonesia.

Dua kejadian di atas hanya seuprit dari segudang usaha kelompok keagamaan tertentu di Indonesia untuk mengubah Negara Nasional menjadi Negara Agama. Memang, cara dan metode mereka sangat beraneka ragam. Saya sendiri mengidentifikasi ada dua metode besarnya. Pertama, melalui jalan damai, seperti propaganda, mobilisasi, memasuki kekuasaan, dan lain-lain. Kedua, melalui cara main kayu atau kekerasan, seperti razia, penyerangan terhadap minoritas, penutupan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.
Namun, mau lembut maupun keras, keduanya bertentangan dengan konsensus nasional kita: Negara Nasional, Ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Kemerdekaan Beragama (UUD 1945). Jika konsensus nasional ini diutak-atik, boleh jadi Indonesia sebagai sebuah bangsa akan pecah dan bubar.
Sebetulnya, perdebatan soal negara nasional atau negara agama ini sudah lama tutup buku. Ini seharusnya sudah selesai ketika Bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam pidato 1 Juni 1945, yang kemudian ditandai sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Bung Karno sudah menjelaskan landasan teoritis dan objektif mengapa kita mengambil bentuk negara nasional.

Di wilayah yang disebut Indonesia, ada sekitar 300-an etnit atau suku bangsa. Bahkan, survei Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu menemukan bahwa Indonesia ini memiliki 1.128 suku bangsa. Kemudian, berdasarkan penelitian Kemendikbud, jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Agama penduduknya juga beragam. Selain lima ajaran agama besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha, terdapat juga ratusan aliran kepercayaan warisan leluhur Bangsa Indonesia. Belum lagi, secara teritorial Indonesia adalah negara kepulauan. Teritori yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini memiliki 17.504 pulau. Dan hanya sekitar 12,38 persen atau sekitar 2.342 pulau saja yang berpenghuni.

Bagaimana menjahit sebuah bangsa yang sangat beragam itu dan sangat besar itu? Jelas, dasar agama tidak bisa menjahit bangsa yang begitu majemuk itu. Yang bisa menjahitnya, kata Bung Karno, hanyalah dasar kebangsaaan. Bagi Bung Karno, sebuah bangsa tidak hanya berdiri di atas kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi, dan kesepakatan psikologis. Namun, merujuk pada Ernest Renan, bangsa juga terbentuk karena adanya kehendak untuk hidup bersama (Le desir d’etre ensemble). Lalu, kata Otto Bauer, bangsa juga terbangun karena adanya persamaan watak atau karakater karena akumulasi persatuan pengalaman dan kesamaan nasib (een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemenschap vanlotgevallen).

Karena itu, raison d’ĂȘtre-nya Negara Republik Indonesia ini adalah “semua buat semua”. Jadi, seperti ditegaskan Bung Karno, negara ini adalah wadah bagi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka agama, beraneka adat-istiadat, dan beraneka suku. Lalu, di dalam wadah itu berlaku adat pergaulan yang disebut “Bhineka Tunggal Ika”.

Pertanyaannya: kalau kita menganut dasar negara nasional, apakah aspirasi atau perjuangan keagamaan masih diakui? Sangat diakui. Hanya saja, saluran memperjuangkan dan cara memperjuangkannya itu yang perlu diatur bersama. Hal itu mutlak diperlukan untuk mencegah aspirasi atau perjuangan keagamaan itu tidak meruntuhkan proyek kebangsaan.

Di dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno dengan sangat gamblang menjelaskan saluran dan cara untuk memperjuangkan aspirasi atau tuntutan keagamaan itu. Di situ Bung Karno mengatakan, “dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”
Cermatilah kata-kata Bung Karno itu. Pesannya sangat jelas: tuntutan berbau keagamaan harus diperjuangkan secara demokratis melalui Badan Perwakilan Rakyat. Kalau sekarang, ya, salurannya lewat perjuangan parlemen (DPR). Di situlah, kelompok agamawan seharusnya memperjuangkan nilai-nilai keagamannya, yakni melalui diskusi, debat, dan mufakat, untuk mempengaruhi kebijakan atau Undang-Undang agar selaras dengan nilai keagamaan.

Jadi, silahkan kelompok agamawan berjuang untuk menempatkan orangnya sebanyak mungkin di Badan Perwakilan (untuk sekarang: DPR). Silahkan mendirikan Partai Politik. Silahkan berkampanye tentang cita-cita keagaman kalian melalui pemilihan. Dan, di dalam Badan Parlemen nanti, silahkan berjuang sekeras-kerasnya untuk memenangkan gagasan-gagasan kalian untuk mempengaruhi isi kebijakan atau Undang-Undang.

Selain itu, di dalam pidato 1 Juni 1945 itu juga, Bung Karno menunjukkan prinsip atau tata-cara mempropagandakan tuntutan atau aspirasi keagamaan itu. Bung Karno menjelaskan sederhana: “Permufakatan, perwakilan, di situlah tempat kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara tidak onverdraagzaam (intoleran), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”

Saya kira, prinsip ini sudah jelas: silahkan memperjuangkan ide masing-masing, termasuk aspirasi keagamaan dan keyakinan, dengan cara yang beradab dan berkebudayaan. Di sini semua cara-cara intoleran dan tidak berkebudayaan dilarang: kekerasan, intimidasi, menghasut kebencian terhadap agama tertentu, fitnah, dan lain-lain. Tentu saja perilaku menyiramkan teh terhadap lawan diskusi juga bukan cara berkebudayaan.
Cara berpropaganda yang beradab dan berkebudayaan adalah: dakwah, mendirikan koran, mendirikan media, mendirikan sekolah-sekolah, diskusi-diskusi, famplet, tulisan, poster, dan lain-lain. Tetapi prinsipnya: isinya tidak boleh menghasut kebencian terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.

Itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan menurut Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 (Pancasila). Dan, saya kira, itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan di negara nasional seperti Republik Indonesia ini. Hanya dengan cara memperjuangkan aspirasi keagamaan seperti inilah NKRI tetap utuh dan kokoh.

Ikut Ujian Nasional Sambil Asuh Adiknya - Jangan Pernah Menyerah !!

Siswi SD ini Ikut UN sambil Asuh Adiknya

Kiki Agustian, 12 tahun, peserta UN dari SDN Kemurang Kulon II, Brebes menggendong adiknya, Aulia Putri di rumahnya
Kiki berpamitan kepada ibunya, Kastiah, 35 tahun, sebelum berangkat UN di SDN Kemurang Kulon II, Brebes (8/5). Karena ibunya bekerja, Kiki terpaksa mengasuh Aulia di sekolah.
Kiki berjalan kaki sambil menggendong adiknya yang berusia lima bulan dari rumah ke sekolah di daerah Brebes
Kiki dan adiknya disambut dua guru setiba di sekolah (8/5). Meskipun sedang menjalani ujian nasional, Kiki harus mengasuh dan membawa adiknya ke sekolah.
Kiki Agustian siswi peserta UN, memangku adiknya sesaat sebelum ujian dimulai di SDN Kemarang Kulon II, Brebes. Karena ibunya bekerja sebagai buruh tani, Kiki terpaksa mengasuh adiknya.
Lisa Lindawati, guru kelas VI SDN Kemurang Kulon II mengangkat Aulia dari pangkuan Kiki sebelum ujian nasional dimulai








Lakukan kepada orang lain, apa yang anda inginkan orang lain lakukan kepada anda

Suatu siang di Bandara Changi, Singapore.  Kami berempat berada di terminal 1, menunggu keberangkatan pesawat ke Jakarta.  Waktu boarding tinggal 35 menit lagi.  Tiba-tiba teringat titipan sepatu seorang teman, yang belum terbeli.  Diduga harganya lebih murah dibanding Jakarta.  Tolah-toleh, kesana-kemari, ternyata counter merek itu tidak ada di sana.  Saya cek ke bangku informasi, mendapat keterangan, ia berlokasi di terminal 2.  Apakah sempat menuju terminal 2, bolak-balik,  dalam sisa waktu sesingkat itu?
Tak banyak buang waktu, saya langsung lari  ke pemberhentian kereta-bandara.   Dalam tempo pas 4 menit, kereta tiba.  Tak lebih 4 menit kemudian, kereta mencapai terminal 2.   Tulisan merek yang dicari terpampang di sana.  Langsung saya menuju ke toko itu.  
Transaksi selesai tak lebih dari 10 menit.  Harganya 30% lebih murah dibanding Jakarta.   Amanah teman terpenuhi, dalam waktu yang sangat singkat.  Hitung-hitung,  saya memerlukan waktu hanya 25 menit untuk menyelesaikan seluruh proses pembelian barang titipan.  Prasarana dan infrastruktur Singapore mempercepat itu semua.  Kelengkapan informasi, kereta bandara, ketepatan waktu,  disediakan dengan saksama, membuat orang menjadi mudah.  Murah didapat kemudian.
Tanpa terasa, kami berempat sudah berada di perut pesawat “LA”, mengangkasa menuju bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.  Dua teman akan menggunakan penerbangan lanjutan menuju Semarang.  Mereka harus transit, sekitar 3 jam.

Tetapi, cerita sesungguhnya baru mulai di sini.  Lokasinya di terminal 2, bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Acara pertama adalah berdebat dengan petugas ground handling “LA”, tentang bagaimana bagasi harus dikeluarkan.  Kami ngotot, bagasi akan diterima langsung di Semarang, sesuai keterangan petugas “LA” di Singapore.  Slip bagasi  ditandai tulisan besar dan tebal, “SRG”.  Itu pasti singkatan “Semarang”.  Tetapi petugas “LA” tak kalah ngotot.  Kami sendiri yang harus membawanya ke terminal 1, untuk check in, di  counter penerbangan “LA” domestik.  Akhirnya pelanggan mengalah.  Kami nyangking 2 koper dari terminal 2, ke terminal 1.  Sudah terbayang, itu bukan suatu pekerjaan yang mudah dan ringan.
Acara kedua adalah menunggu bagasi keluar.  Tak kurang dari 45 menit  harus berdiri di pinggir ban berjalan.    Rasa sabar harus ditumbuhkan.  Apalagi kalau mengingat waktu boarding penerbangan lanjutan ke Semarang semakin dekat.  Singkat cerita, akhirnya bagasi  di tangan.  Kami menyeretnya ke lobi terminal.  Saya ulangi, itu membutuhkan waktu 45 menit.  Bukan sebentar untuk menenggang perasaan was-was ditinggal pesawat selanjutnya.
Acara ketiga adalah mencari transportasi umum yang bisa membawa ke terminal 1.  Bis shuttle tak kunjung tiba.  Taxi meter tak sudi membawa ke sana, karena jaraknya terlalu dekat.  Yang ada hanya  mobil omprengan.  Ongkosnya dipatok 150 ribu rupiah.  Itu pun ditandai dengan bisik-bisik, ketika menyebutkan harga.  Moda transportasi  yang tidak mahal dan tidak menyenangkan.
Setelah didesak waktu, karena sudah terbuang 30 menit, mobil omprengan dipilih.  Rasa deg-degan masih menggumpal di dalam sana.  Apakah ini suatu pilihan yang aman?  Wallahualam bisawab!.  Moga-moga doa bisa menuntun selamat sampai terminal 1.
Untung, sampai tujuan dengan aman.  Diselingi tersendat di perjalanan, karena macet.  Tetapi, jadilah.  Akhirnya 2 teman tadi tiba di depan counter  “LA”, terminal 1.  Itu saja sudah menelan waktu terbuang lebih dari 2 jam.  Plus ongkos transport, antar terminal.  Ditambah rasa  kemrungsung yang mendera karena takut ketinggalan pesawat.  Akhirnya take off juga, menuju Semarang.  Pesawat ”cuman” terlambat 25 menit, dari jadwal semula.


Kita bisa membandingkan 2 kisah di atas.   Berselang dalam waktu hanya 3 jam, cerita mirip tapi bertolak belakang.  Yang pertama terjadi di bandara Changi, Singapore.  Yang kedua di Soekarno-Hatta, Jakarta.  Yang pertama cerita mengenai kelengkapan prasarana dan kehebatan infrastruktur yang memudahkan pengguna.  Cerita kedua tentang amburadulnya pelayanan sebuah maskapai penerbangan terkenal di Indonesia dan miskinnya prasarana umum di bandara international, ibukota negara tercinta, Jakarta.
Kisah pertama tentang bagaimana publik diberi kemudahan maksimal.  Kedua tentang  suatu slogan yang berbunyi : “Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?”.
Kisah pertama tentang suatu kondisi yang mengedepankan “business like” dan profesionalisme.  Sementara kisah kedua  tentang sesuatu yang sembarangan dan amburadul.   
Kisah pertama mengenai ongkos yang lebih murah.  Kisah kedua mengenai high cost economy.  Kisah pertama mengajari kita bahwa mudah itu cepat.  Mudah itu murah.  Mudah itu menyenangkan.  Kisah kedua tentang pelajaran bahwa susah itu lama.  Susah itu menyedihkan.  Susah itu mahal.

Kontradiksi yang terjadi dari 2 kisah tadi, masih bisa  diteruskan dan diperpanjang sampai puluhan atau ratusan halaman.  Intinya sama, bahwa manusia semakin lama semakin menginginkan kemudahan, kecepatan, dan nilai tambah.  Manusia lebih memilih untuk “membeli” kemudahan dibanding kesulitan.  Manusia zaman sekarang senang akan hal yang praktis,  bukan yang berbelit-belit dan melelahkan.  Mengapa hal sesederhana ini tidak juga ditangkap penyedia dan penjual jasa di tanah air?  Entahlah, saya tidak tahu apa jawabnya.
Yang harus dilakukan adalah, seluruh fungsi, lini dan lapisan masyarakat harus menyadari tentang “mudah itu murah” dan “cepat itu menyenangkan”. Fasilitas, prasarana, infrastruktur, praktek yang memudahkan harus dibuat sebanyak-banyaknya.  Untuk hal apa saja. Oleh siapa saja.  Membuat mudah orang lain akan memudahkan diri kita sendiri.  Memudahkan kita semua.  Menyenangkan orang lain akan menyenangkan kita.

Sebetulnya, untuk memudahkan sesama, caranya sangat gampang.  Ikuti saja apa yang dikatakan “golden rule”, atau “kaidah emas”.  Pesannya sederhana, meski tak gampang diikuti.  “Lakukan kepada orang lain, apa yang anda inginkan orang lain lakukan kepada anda”.

Siapkan Hari Matimu

PROSES KEMATIAN DAN HANCURNYA TUBUH KITA ...
(Bikin Merinding ..!)
Sesaat sebelum mati, Anda akan merasakan jantung berhenti berdetak, nafas tertahan dan badan bergetar. Anda merasa dingin ditelinga. Darah berubah menjadi asam 'n tenggorokan berkontraksi.

0 Menit ...
Kematian secara medis terjadi ketika otak kehabisan supply oksigen.

1 Menit ...
Darah berubah warna n otot kehilangan kontraksi, isi kantung kemih keluar tanpa izin.

3 Menit ...
Sel-sel otak tewas secara masal. Saat ini otak benar-benar berhenti berpikir.

4 – 5 Menit ...
Pupil mata membesar n berselaput.
Bola mata mengkerut krn kehilangan tekanan darah.

7 – 9 Menit ...
Penghubung ke otak mulai mati.

1 – 4 Jam ...
Rigor Mortis (fase dimana keseluruhan
otot di tubuh menjadi kaku) membuat otot kaku n rambut berdiri, kesannya rambut tetap tumbuh setelah mati.

4 – 6 Jam ...
Rigor Mortis Terus beraksi. Darah yang berkumpul lalu mati dan warna kulit
menghitam.

6 Jam ...
Otot masih berkontraksi. Proses penghancuran, seperti efek alkohol
masih berjalan.

8 Jam ...
Suhu tubuh langsung menurun drastis.

24 – 72 Jam ...
Isi perut membusuk oleh mikroba dan
pankreas mulai mencerna dirinya sendiri.

36 – 48 Jam ...
Rigor Mortis berhenti, tubuh anda selentur penari balerina.

3 – 5 Hari ...
Pembusukan mengakibatkan luka skala besar, darah menetes keluar dari mulut dan hidung.

8 – 10 Hari ...
Warna tubuh berubah dari hijau ke merah sejalan dengan membusuknya darah.

Beberapa Minggu ..
Rambut, kuku dan gigi dengan mudahnya terlepas.

Satu Bulan ... Kulit Anda mulai mencair.

Satu Tahun ...
Tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh Anda. Anda yang sewaktu hidupnya cantik, gagah, ganteng, kaya dan berkuasa, sekarang hanyalah tumpukan tulang-belulang­­ yang
menyedihkan. Jadi, apa yg mau disombongkan org sebenarnya?….

BAGUS UNTUK DIRENUNGKAN ~

Kita tak membawa apapun juga saat kita meninggalkan dunia yg fana ini…
Jadilah manusia sebiasanya dan jangan merpersulit hidup orang lain ..

Martin Luther VS Gus Dur

 Martin Luther King dan Gus Dur

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Peta berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gusdur setataran dan se”wilayah jihad” dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya “memproklamasikan” itu dalam acara “Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.

Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan meletakkan saya yang ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme dan demokrasi – justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putrinya Gusdur sendiri.

Martin Luther terkenal dengan ungkapannya “I have a dream”, Gusdur termasyhur dengan statement “Gitu saja kok repot” yang “njangkungi” Indonesia, dunia dan kehidupan.

“Jangkung” artinya tinggi. “Njangkungi” atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, “dijangkungi” oleh Gusdur. Martin Luther King masih berposisi “Aku mendambakan”, Gusdur “sudah mencapai”. Gusdur berbaring sambil senyum-senyum dan nyeletuk “Gitu saja kok repot”.

Wakil dari komunitas Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gusdur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah, yang ber”nasab” Masyumi, mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi: “Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gusdur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gusdur…”

Saya menjawab, “itu justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat, sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman dan sinisme, supaya bangkit harga diri kalian”.

Peta politik, perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan kebodohan publik, yang menciptakan mapping gang-gang dan jejaring inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.

Maka kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: “Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal bosok, kotor seperti apapun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal”.

HAM
Di samping HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di sini. Yang pasti Martin Luther King adalah “Mbah”nya semangat HAM, Gusdur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap “da’wah bilisanil qoul” (menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur “amal bililasil-hal” (melakukan dan menteladani dengan perilaku).

Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther King tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap ummat manusia. Bukan “hitam”nya yang dibela, melainkan “hak kemanusiaan”nya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.

Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.

Gusdur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, namun sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri, dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu “diancup-ancupno ndik jeding” (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), “dibatek ilate” (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau “disambleki mbarek sabuk lulang” (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).

Diskriminasi.


Kehidupan ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universial seringkali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.

Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks-konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan atau posisi dalam peta kehidupan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh managemen logika manusia. Oleh karena itu kita tak boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.

Sampai hari ini yang kita capai baru “sorga seseorang adalah neraka bagi lainnya”. Orang Jawa bingung tidak ada kata asli Jawa untuk “adil”. Yang ada “pas” (akurat, tepat), “empan papan” (proporsional). Peradaban Jawa sangat beraksentuasi ke kebudayaan estetika atau “keindahan”, sementara “kebenaran” dan “kebaikan” adalah bagian dari rangkaian peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah “mamayu hayuning bawana”: memperindah keindahan jagat raya.

Sehingga dalam praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos “jangan mo-limo, nggak enak sama tetangga”, “silahkan maling, tapi jangan di sini”. Jadi akar masalahnya bukan pada hakekat kebenaran dan kebaikan, melainkan pada upaya untuk “tampak indah”. Yang disepakati adalah norma kolektif untuk tampak indah, bukan substansi nilai kebenarannya. Maka politik pencitraan sangat diterima dengan tenteram oleh jenis kebudayaan ini, meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan pemalsuan.

Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada “yang satu dapat gede, lainnya kecil”. Puluhan Parpol tidak lolos-KPU karena parameter teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.

Diskriminasi eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi kultural, teologis dan berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika kerbau diperlakukan sebagai kambing. Ketika Pemerintah disamakan dengan Negara. Ketika rakyat malah melayani Pemerintah. Ketika manusia diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan sebagai dongeng, atau ketika dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong buntutnya doang karena warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas di depan kamera yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di warung tidak ditulisi “Gula dapat menyebabkan sakit gula”.

Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.

Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara Bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi Gusdur, apalagi kita sedang mengalami “era abu-abu” di mana masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M. Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gusdur. Di Jombang semula akan diresmikan “Jalan Presiden Abdurahman Wahid”, sekarang kabarnya kata “Presiden”nya dihilangkan.

Utamanya kaum Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya ilmiah obyektif, penelitian yang seksama dan detail mengenai sejarah sosial Gusdur. Secara keseluruhan Ummat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana-wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pameo “sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar prosentasenya pada peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.

Para pecinta Gusdur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu ada semacam “Buku Besar Gusdur” tentang benar-salahnya beliau selama kepresidenannya dan impeachment atas kedudukan beliau. Dipertegas data-data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gusdur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan detail bahwa Gusdur adalah pluralis pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gusdur mendamaikan dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: “Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gusdur hadir”.

Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gusdur di alam barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab “Gitu aja kok repot!”. Di samping itu saya kawatir juga karena di alam sana Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang memanggilnya “Gus Martin”.

Jangan Kalah Sama Anjing !

Gunther IV, Anjing Terkaya Sedunia dengan Harta Rp 3,7 Triliun

 Sebagai bentuk rasa sayangnya, seorang bangsawan asal Jerman Karlotta Lieberstein mewariskan hartanya senilai US$ 372 juta atau sekitar Rp 3,7 triliun kepada anjingnya Gunther III.

Setelah Gunther III tewas, uang tersebut dialihkan pada anaknya Gunther IV, yang kini menjadi anjing terkaya di dunia.

Seperti dikutip dari therichest.com, Gunther IV saat ini memiliki beberapa properti atas namanya termasuk rumah bekas Madonna di Miami, Amerika Serikat. Tak hanya itu, Gunther IV juga bisa menikmati sebuah vila di Bahama lengkap dengan pelayan-pelayan handal.

Gunther IV tinggal dengan gaya hidup mewah dan steak menjadi makanannya sehari-hari. Dia merupakan anjing peliharaan paling beruntung, karena mendapat kasih sayang dan perawatan yang super elegan.

Lieberstein sendiri dikenal sebagai pencinta hewan sejati. Maka tak heran saat dia merelakan begitu saja seluruh hartanya jatuh ke tangan seekor anjing. Meski begitu, hal tersebut cukup mencengangkan dunia. Bayangkan saja, ada seekor anjing yang jumlah kekayaannya jauh melebihi yang Anda miliki.

Selain Gunther IV, terdapat beberapa anjing lain yang terdaftar dalam 10 hewan peliharaan terkaya di dunia. Diantaranya adalah Pontiac dengan jumlah harta US$ 5 juta, dan Trouble, US$ 2 juta. Tak hanya Gunther IV dan kawanan anjing lainnya, bahkan ayam pun masuk kedalam deretan peliharaan terkaya di dunia.

Doa Pujian Untuk Orangtua Kita

Berbahagialah mereka yang memandang aku dengan kasih sayang

Berbahagialah mereka yang memahami langkahku yang letih

Berbahagialah mereka yang berbicara dengan suara tinggi

Agar aku tidak tersinggung karena kurang kepekaan telinganku

Berbahagialah mereka yang dengan hangat

berjabat tanganku yang gemetar

Berbahagialah mereka yang menceriterakan

Mengenai masa mudaku

Berbahagialah mereka yang tidak merasa bosan mendengar

Cerita-cerita yang sering kuulangi

Berbahagialah mereka yang memahami kebutuhan hatiku

Berbahagialah mereka yang bersedia menempatkan

Waktu mereka bagiku

Berbahagialah mereka yang mengisi kesepianku

Berbahagialah mereka yang selalu dekat pada deritaku

Berbahagialah mereka yang menghibur hari-hari

Sisa  hidupku

Berbahagialah mereka yang dekat pada detik-detik

Peralihanku

Pada saat aku memasuki hidup abadi

Aku akan mendoai mereka pada Tuhan Yesus.

Hikayat Tombak Penusuk Yesus

Pedang Pembunuh Naga, dalam bahasa China disebut To Liong To . Oleh para jago silat Tiongkok di jaman dahulu, pedang ini dimitoskan sebagai simbul kedigdayaan Dengan memiliki pedang To Liong To, si jago silat akan sulit terkalahkan. Bagi penggemar buku silat tentunya To Liong To tidak asing lagi.

Di Eropa, para raja pada jaman setelah Masehi, mereka memitoskan Tombak Pembunuh Allah yang diperebutkan dari jaman ke jaman Ini adalah tombak yang diyakini telah digunakan untuk membunuh Yesus saat Dia disalib. Para Raja Eropa meyakini bahwa barangsiapa yang memiliki tombak sakti ini tidak akan bisa dikalahkan oleh siapa pun. Bagaimana tidak, Yesus putra Allah yang menjelma menjadi manusia saja bisa dikalahkan dan mati dibunuh oleh tombak ini apalagi sekedar manusia biasa. Begitulah mitosnya.

Yang dimaksud dengan tombak disini sebenarnya hanya ujung tombaknya saja yang berukuran 50,7 cm. Tombak tersebut pernah patah menjadi dua, tetapi akhirnya digabung lagi menjadi satu dengan dipasangnya paku ditengah tombak tersebut, dan paku yang dipasang disitu pun bukannya sekedar sembarang paku
biasa saja melainkan paku yang digunakan untuk menyalib Tuhan Yesus.
Untuk menutupi sambungannya, raja Karl IV membungkus mata ombak tersebut dengan emas dan mencantumkan tulisan LANCEA ET CLAVUS DOMINI yang artinya Tombak dan Paku Tuhan. Mata tombak itu diyakini telah digunakan oleh serdadu Romawi yang bernama Longinus untuk menusuk lambung Tuhan Yesus ketika Ia berada di kayu salib.

Bagi orang Eropa, kesaktian azimat ujung tombak ini, telah terbuktikan, sehingga mata tombak suci ini sejak ribuan tahun telah menjadi rebutan dari para penguasa dunia. Mulai dari Kaisar Romawi Konstantin, Alexander Agung, Napoleon, Hitler sampai dengan General Patton dari USA. Bahkan raja Heinrich I di th 921 telah bersedia menukar sebagian besar dari tanah kerajaannya hanya untuk mendapatkan ujung tombak suci ini. Menurut tradisi Jerman, Charlemagne telah bisa memenangkan peperangan sampai 47 kali karena ia memegang tombak suci tersebut pada saat ia berperang, Ketika ia meletakan tombak suci, ia pun mati terbunuh, walaupun itu hanya diletakkan beberapa menit saja. Hal yang serupa terjadi dengan Kaisar Fredriech Barbarosa.

Hitler merampok tombak suci dari Hapsburg dan ia menyimpannya di dalam gereja St Catarina, tetapi pada tgl 30 April 1945 jam 14.10 ujung tombak suci tersebut diambil oleh Lt. Walter William Horn (Ser. No. 01326328) dari tentara AS, dan aneh tapi nyata tepatnya 80 menit kemudian setelah tombak suci itu diambil alih, pada hari yang sama di Berlin jam 15.30 Hitler bunuh diri di tempat persembunyiannya. Apakah ini ada kaitannya dengan tombak suci tersebut yang sudah tidak dimiliknya lagi?

General George S. Patton dari AS gusar sekali ketika ia mengetahui bahwa General Eisenhower ingin mengembalikan tombak suci tersebut kepada pemiliknya di Vienna. Oleh sebab itulah banyak orang menduga ia membuat duplikat dari tombak suci tersebut, sedangkan originalnya disimpan oleh dia pribadi. Hal inilah yg menyebabkan General Patton menjadi seorang jenderal yang terhebat di dunia, sehingga di tahun 1970 perusahaan film Twentieth Century Fox's telah membuat film khusus mengenai dia yang telah menghasilkan 8 oscar.

Menurut kepercayaan orang Yahudi, tulang memuat kekuatan. Untuk menghilangkan kekuatan seseorang tulangnya harus dipatahkan dan diremukkan. Begitu juga ketika Yesus disalib, tulangnya harus diremukkan sampai wafat. Untuk membuktikan bahwa Yesus telah benar-benar wafat, lambungNya ditusuk oleh tombak. Dari sinilah mulai timbul kepercayaan bahwa orang yang memiliki mata ombak itu tidak akan bisa terkalahkan, karena ujung tombak tersebut telah disucikan oleh darah Yesus.

Longinus adalah tentara Romawi yang baru mengawali tugasnya sebagai bintara Rumawi. Ia ditugaskan untuk menjaga Yesus dibukit Golgatha. Dia belum pernah menggunakan tombaknya untuk perang maupun membunuh. Menusuk lambung Yesus ketika berada dikayu salib merupakan pertama kalinya tombak itu digunakan.
Ujung tombak tersebut sebenarnya bukan untuk membunuh Yesus, sebab pada saat ujung tombak ditusukan ke lambung, sesungguhnya Yesus telah wafat. Hal itu untuk membuktikan bahwa Yesus telah benar-benar wafat. Ketika mereka sampai kepada Yesus, mereka melihat Ia sudah meninggal. Jadi mereka tidak mematahkan kaki-Nya tetapi lambung Yesus ditusuk dengan tombak oleh seorang dari prajurit-prajurit itu; dan segera keluarlah darah dan air (Yohanes 19:33-34)

Setelah Yusuf dari Arimathea membawa jenazah Yesus untuk di makamkan, Pilatus memerintahkan Longinus untuk menjaga kuburanNya. Pada hari ketiga ketika Yesus bangkit dari kematian-Nya. Longinus segera pergi ke kota untuk menyebar luaskan berita, tentang kebangkitan Yesus, hal ini tentu saja ditentang oleh orang-orang Farisi yang tidak menginginkan terbuktinya bahwa Yesus adalah benar Mesias atau Putera Allah. Maka dari itu Longinus segera ditangkap dan dibunuh dengan dipancung kepalanya oleh rekan-rekannya sendiri atas perintah dari orang Farisi.

Longinus, walaupun ia telah menusuk lambung Yesus dengan tombak, tetapi akhirnya ia percaya bahwa Yesus telah benar-benar bangkit dari kematian,. Ia kemudian menjadi martir pertama dari para pengikut Kristus. Oleh sebab itu Bernini telah membuat patung dari Longinus di St Peter – Vatikan.

Hanya sayangnya sampai detik ini tidak bisa dipastikan apakah ujung tombak yg berada di Wina itu adalah ujung tombak yang asli ataukah yang palsu, sebab di Polandia juga ada ujung tombak yang dinyatakan sebagai tombak dari Longinus.

Rahasia Cara Raup Banyak Uang Selain Bekerja

5 Cara Raup Banyak Uang, Selain dari Bekerja

Liputan6.com, Los Angeles : Uang selalu terdengar menarik dan penting di telinga kebanyakan orang. Namun pandangan setiap orang tentang uang memang berbeda. Saat beberapa orang menganggapnya tak begitu penting, sebagian lainnya justru berusaha sekuat tenaga mendapatkannya.

Seperti dilansir dari magforwomen.com, bekerja adalah cara yang paling biasa dan sering dilakukan untuk menghasilkan uang. Selain itu, membuka bisnis sendiri juga bisa menjadi cara pencetak uang.

Di era serba maju ini, ada sejuta cara menghasilkan uang. Beberapa pilihannya, bisa membuat Anda mendadak kaya raya. Tapi siapa yang tahu, ternyata ada 5 cara untuk mendulang banyak uang seperti berikut:

1. Warisan

Cara ini sudah biasa membuat banyak orang jadi lebih kaya di berbagai negara. Jika Anda bercita-cita jadi miliarder, maka menjadi keturunan keluarga kaya dan sejahtera bisa membantu Anda mewujudkannya.

Secara konvensional, kebanyakan orang kaya adalah pewaris harta dan kekayaan nenek moyangnya. Harta kekayaan tersebut diwariskan secara turun menurun.

2. Ide cemerlang di waktu yang tepat

Hampir setiap orang punya ide cemerlang yang mungkin bernilai miliaran rupiah. Namun ide tersebut tak akan berarti apa-apa jika tak diwujudkan di saat yang tepat. Selama ini, warga dunia terus menerus menyaksikan kesuksesan sejumlah cemerlang mencetak uang miliaran rupiah.

Sayangnya, ide cemerlang yang Anda miliki bisa sia-sia jika diterapkan di waktu yang kurang tepat, sementara orang lain bisa meraup keuntungan karena melakukannya di saat yang tepat.

Contohnya, Seatte Computer Works yang menjadi otak di belakang pengembangan MS-DOS pada 1970-an, namun IBM yang justru meraih keuntungan darinya karena tahu kapan menerapkannya.

3. Real Estate

Memiliki satu properti bisa membuat Anda hidup nyaman. Namun tumpukan aset dengan berbagai properti berbeda bisa menjamin Anda hidup bagaikan raja.

Real estate merupakan bisnis yang menjanjikan di berbagai belahan dunia. Tak hanya itu harga-harga properti juga melambung tinggi. Orang-orang beruntung adalah yang bisa mengelola investasi kecil di awal tahun dan menyulapnya menjadi miliaran harta di waktu dan tempat yang tepat.

4. Menciptakan monopoli

Beberapa monopoli berkembanga dan menyebar dengan cepat beberapa dekade belakangan ini. Saat terdapat permintaan besar untuk satu produk di suatu daerah dan minimnya persaingan pasar di sana, diperkirakan bisa melipatgandakan keuntungan bisnis.

Namun, cara ini tak akan bertahan lama, karena para pelaku bisnis lain akan berdatangan. Cara untuk bertahan dan mengelola bisnis Anda adalah dengan terus berinovasi.

5. Berbisnis dengan `pengusaha kakap`

Pengusaha kakap adalah pencetak uang besar. Tapi, Anda perlu tahu, pengusaha-pengusaha kelas teri juga bisa mendapat keuntungan besar dalam suatu kesepakatan bisnis.

Fokuslah pada area usaha tertentu dan target-target yang menguntungkan.

Kunci keberhasilan sebenarnya tak hanya bekerja dan berinovasi. Keberuntungan juga memegang peranan penting saat Anda berusaha mendapatkan banyak uang.

Ahli Numismatik Indonesia

Adi Pratomo, Satu di Antara Sedikit Peneliti Rupiah

Dalam Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-2005, ada ucapan selamat dari Adi Pratomo. Di bawah namanya tertulis Jurnal Rupiah lengkap dengan alamat rumah. Siapa Adi dan apa hubungannya dengan uang?

RUMAH di Jalan Raya Darmo Permai Selatan itu seperti tak berpenghuni. Cat pagarnya sudah melepuh, digantikan kerak hitam di sana-sini. Rumput-rumput liar meninggi hampir selutut. Sampah bekas peralatan rumah tangga berserak hampir memenuhi sepertiga halaman. Langit-langit di atap beranda juga banyak yang jebol dengan noda warna cokelat.

Tulisan Awas Ada Anjing Galak yang ditempel di kaca depan hampir tidak terbaca. Kertasnya yang cokelat seukuran buku tulis sudah sangat kusam. Tinta birunya pun sudah luntur.

Di ruang tamu, aroma lembap bekas hujan begitu terasa. Isi ruangan berukuran 5 x 5 itu didominasi puluhan buku pelajaran SMP dan SMA yang diletakkan begitu saja di sudut kiri, dalam rak terbuka berwarna putih kecokelatan. Tidak ada meja tamu. Hanya sebuah kursi yang bisa menampung tiga orang. Warnanya campuran biru, merah, dan kuning. ”Beginilah keadaan saya,” kata Adi Pratomo, pemilik rumah lantas tersenyum.

Sambil mengisap dalam-dalam sebatang rokok keretek, Adi melanjutkan, ”Anda sekarang berhadapan dengan pria yang ketika sekolah mendapatkan angka 10 untuk sejarah. Juga seorang setan matematika,” ujarnya, ekspresinya datar.

Dia kemudian bercerita tentang sejarah peradaban besar dunia.

Namun, pria 58 tahun itu memfokuskan analisisnya pada masalah ekonomi. ”Sejarah politik kekuasaan adalah sejarah kaum ningrat, sedangkan soal ekonomi lebih dekat pada pergulatan kerakyatan,” paparnya. ”Sejauh menyangkut nilai uang, satuan timbang dan perdagangan, kita bisa melacak sejarah dengan cara pandang yang kaya,” lanjutnya.

Bapak empat putri itu mencontohkan, seseorang bisa lebih dalam mengetahui asal-usul Indonesia dari kata satuan mata uang rupiah. ”Tidak banyak orang Indonesia yang tahu mengapa rupiah dipilih sebagai nama. Apakah ini nama lokal atau baru saja dicetuskan?” katanya seolah bertanya. Sambil menggelengkan kepala, Adi menjawab pertanyaannya sendiri. ”Kata rupiah hidup sejak abad kelima atau enam Masehi.”

Rupiah, lanjut dia, berasal dari bahasa Mongolia, rupia, yang berarti perak. Waktu itu, Mongolia di bawah Genghis Khan, dilanjutkan Timur Leng, dan Kubilai Khan melakukan serangkaian invasi sampai ke negara-negara selatan. Di antaranya, India, Afghanistan, dan Pakistan serta negara utara, Rusia dan beberapa negara Eropa Timur lainnya.

Nama rupiah kemudian menyebar. Sebab, negara-negara bekas jajahan Mongolia itu melakukan perdagangan ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. ”Makanya, saudara rupiah itu sebetulnya adalah rubel, mata uang Rusia,” jelasnya.

Atas dasar itulah Adi menolak jika ada anggapan bahwa rupiah berasal dari satuan uang India, rupee. Kedua mata uang tersebut, kata dia, sejatinya sama. Hanya pelafalannya berbeda. Pada awal 1500-an, ketika kolonialisme Eropa mulai mekar di Asia dan Afrika, perbedaan itu muncul. Inggris lantas melafalkan rupia menjadi rupee, Prancis (rouple), Jerman (rupie), dan Portugis tetap melafalkan rupia.

Kata rupiah paling dekat dengan lafal Portugis. Alasannya, bahasa Indonesia mengambil bahasa Melayu pasar sebagai bahasa persatuan. Sedangkan bangsa Portugis bercokol amat lama, 130 tahun (1511-1641) di Malaka. ” Tinggal menambahi huruf H saja, jadi sudah. Kan sesuai dengan lidah Jawa,” terang Adi.

Pengetahuan semacam itu tidak datang tiba-tiba. Butuh kerja keras dan napas panjang untuk konsisten membaca, menganalisis, juga merenung. Lulusan teknik kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut memang gandrung pada ilmu pengetahuan.

Tidak hanya membaca buku, dia juga menggali dari prangko. Karena itu, pria yang lulus dari UGM pada 1980 tersebut gemar mengoleksi prangko. ”Filateli itu mengajarkan pengetahuan yang lebih luas ketimbang buku-buku arus utama yang berkembang,” ujarnya. ”Ada pelukis yang katanya hebat di Indonesia, tahunya hanya seniman Amerika. Coba tanyakan siapa pelukis top dari Zimbabwe. Pasti dia tidak tahu karena bacaannya itu-itu saja. Kalau di prangko, itu ada,” sambungnya.

Tidak hanya mengoleksi, Adi juga memperjualbelikan prangko. Sayang, makin tahun harga prangko makin turun, bahkan hampir tidak berharga lagi.

Dia baru meneliti uang -terutama uang kertas- sejak 1993. ”Waktu itu, saya lihat iklan di Jawa Pos, ada pertemuan tentang uang kertas kuno, kalau tidak salah di Unair. Saya tertarik dan ikut,” ungkapnya.

Perhatiannya kemudian hanya tercurah pada uang kertas kuno. Terutama uang yang beredar di Nusantara yang dimulai pada 1782. Pilihan tersebut, karena selain cakupannya di negeri sendiri, juga karena peneliti uang asing sudah sangat banyak. ”Sedangkan peneliti uang Indonesia masih sangat sedikit. Hanya hitungan jari,” tegasnya.

Meski menggilai uang kuno, Adi bukan kolektor, hanya peneliti. Sekali-sekali saja dia berjual beli karena koleksinya sangat terbatas. Apalagi, penghasilannya sebagai analis kimia di perusahaan cat hanya cukup untuk hidup sehari-hari.

Untuk meneliti ratusan lembar uang itu, dia meminjam dari beberapa kolektor kenalannya. Dia ingin mengetahui cerita di balik produksi uang tersebut. ”Cerita sangat penting. Kalau jualan benda kuno, sebetulnya kan kita jual cerita,” katanya.

Pernah, penelitian tersebut membuahkan rasa geram pada Adi. Itu karena dia menilai harga uang yang diproduksi pemerintah Indonesia pada zaman revolusi (1946 sampai 1949) sangat murah. Padahal, uang yang dikenal dengan nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) tersebut sangat langka di pasaran. Nilai historisnya pun tinggi, meski kertasnya buruk, cetakannya jelek, dan gambarnya asal-asalan. Ada lima seri ORI yang sempat keluar. Cetakannya hampir seragam, belepotan.

Dia menunjuk sebuah pecahan Rp 250 warna cokelat kemerahan bergambar Soekarno dan petani. Secara artistik, uang itu kalah jauh dari uang bikinan Belanda, De Javasche Bank, yang beredar pada waktu sama. Gambarnya mulus, lukisannya pas, dan kertasnya nomor satu.

Di pasar uang kertas kuno, saat ini produksi De Javasche Bank itu termasuk salah satu yang paling mahal. ”Padahal, uang tersebut banyak di mana-mana. Saya heran, yang langka kok malah murah,” tuturnya.

Adi lantas melakukan penelitian mendalam pada ORI itu. Berbulan-bulan dia bergelut dengan ratusan lembaran uang yang dia pinjam dari sana-sini. Hingga pada suatu hari pada 1995, dia menemukan kode ORI.

Kode tersebut berupa pasangan huruf dan angka yang tersinkronisasi secara sistematis. Khususnya pada semua pecahan ORI cetakan pertama tanggal 17 Oktober 1945 dan 1 Januari 1947, kecuali pecahan 0,5 rupiah.

Kode itu misalnya, kalau abjad AB dan C, angka pertamanya pasti 5. DEF, angka pertamanya 1. GHI sama dengan 6 dan KLM adalah 2. Begitu seterusnya. Abjad yang tidak terpakai adalah J dan Q. Contohnya, huruf M akan selalu berpasangan dengan 2897 atau 2459 atau 2781. ”Selalu seperti itu. Ketika pertama kali menemukan, orang mengira saya sedang main sulap,” kenang Adi, lalu tertawa.

Dengan bekal itu, dia tahu bahwa ada uang palsu dan uang jadi-jadian beredar di pasar. ”Uang palsu itu uang yang dipalsukan, sedangkan uang jadi-jadian, nggak ada tapi diada-adakan,” terang Adi. Di katalog terbitan Belanda pun, tercantum ORI palsu. ”Tapi, tidak ada yang tahu bahwa itu palsu. Itulah kebanggaan saya karena katalog saya lebih lengkap dan akurat,” ujarnya.

Meski begitu, tidak ada apresiasi khusus atas temuan Adi itu, selain penghargaan kecil di Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996 dan 1782-2005 tersebut. Katalog itu memang terbit dua edisi, sesuai perkembangan uang di Indonesia. ”Memang tidak banyak yang mengenal saya (sebagai penemu kode ORI, Red),” ungkapnya.

Padahal, Adi pernah menerbitkan sebuah jurnal sepuluh halaman bernama Rupiah pada 1994 hingga 2003. Isinya tentang sejarah keuangan dan perdagangan. Bentuknya sederhana, hanya berupa fotokopi. Bahkan, edisi-edisi awal, Adi hanya menulis dengan tangan.

Namun, peredaran jurnal itu cukup luas. Sampai Belanda dan Australia. ”Museum Bank Indonesia juga punya edisi lengkapnya. Harganya hanya Rp 2.000, untuk beli rokok saja tidak bisa,” katanya, lalu tertawa lebar. ”Suatu saat saya akan membuat lagi,” tambahnya.

Untuk menghidupi keluarganya, Adi kini hanya memberikan les pada beberapa murid SMP dan SMA. Mata pelajarannya meliputi matematika, fisika, dan kimia. Sebab, saat krisis moneter pada 1998, dia kena PHK dari tempat kerjanya di pabrik cat. ”Yang pasti ngelesin lebih stabil dapat uang, ketimbang jualan uang,” kata suami Mimi itu dengan tetap senyum.

Senyum bisa jadi tanda bersyukur. Dan, Adi memang pantas bersyukur karena dua putrinya mendapat beasiswa S-1 di Nanyang University of Singapore (NUS). Dua-duanya mengikuti jejak ayahnya, mengambil jurusan kimia. Dua putrinya yang lain masih duduk di bangku SMA dan SMP. (

Pemilik Peternakan Raksasa asal Indonesia di Australia

Siapa Nisin Sunito Sang Pemilik Peternakan 'Raksasa' Seukuran 2 Pulau Bali di Australia?

Jakarta - Pengusaha asal Indonesia Nisin Sunito disebut-sebut sebagai pemilik peternakan sangat luas di Australia. Bahkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi, mengatakan Nisin Sunito mengelola lahan peternakan seluas 2 kali Pulau Bali. Siapakah Nisin Sunito?

Dikutip dari situs resmi perusahaan miliknya Oceanic Multitrading Pty Limited, www.omt.com.au, Nisin mulai merintis bisnisnya di Australia dengan mendirikan Oceanic pada tahun 1992.

Kini Oceanic sukses menggarap beberapa bisnis antaralain stasiun ternak sapi, impor kertas, limbah kertas, bisnis properti.

Mengenai bisnis peternakan dan pembibitan sapi, dimulai ketika Oceanic mengakuisisi peternakan Kiana pada Juli 2005, yang sudah berdiri sejak 20 tahun sebelumnya. Lokasi peternakan berada 1.132 Km tenggara Kota Darwin Australia.

Total luas peternakan Kiana mencapai 331.800 hektar. Luas peternakan ini setara dengan 4,8 kali luas Negara Singapura. Peternakan Kiana memiliki kapasitas 15.800 sapi, yang mayoritasnya sapi Brahman dan Droughmaster.

Selain sebagai pengusaha multi bisnis, ia juga aktif dalam beberapa pengurus wadah organisasi pengusaha di Australia, antaralain lain Ketua NSW Australia Indonesia Business Council.

Nisin berasal dari Pangkalan Bun Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Sejak lulus SD ia mengikuti orang tuanya pindah ke Surabaya, Jawa Timur.

Orangnya tuanya memberikan keleluasaan kepadanya dalam hal pendidikan termasuk studi ke Australia. Nisin dan adiknya yang bernama Iwan Sunito juga sukses sebagai pengusaha properti di Australia melalui Crown Group yang gencar menawarkan apartemen-apartemen mewah di Sydney Australia.

Dari Papua ke sekolah Islam di Jawa

Anak-anak Papua sementara dibawa dari Papua ke sekolah-sekolah Islam di Jawa untuk “dididik kembali”, tulis Michael Bachelard.

Johanes Lokobal duduk di atas rumput yang menjadi alas dari lantai kayu rumah kecilnya yang hanya terdiri atas satu ruangan. Dia menghangatkan tangannya pada perapian yang terletak di tengah ruangan. Sementara itu dari waktu ke waktu seekor babi, tidak tampak karena berada di ruangan sebelah, menjerit dan membentur-benturkan tubuhnya dengan keras ke dinding rumah.
Kampung Megapura yang terletak di tengah pegunungan di provinsi paling timur Indonesia yaitu papua barat merupakan kampung yang sangat terpencil sehingga penyedian barang-barang hanya dapat dilakukan melalui perjalanan udara atau dengan berjalan kaki. Johanes Lokobal telah tinggal di sana sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu dengan tepat berapa usianya, “Tua saja” katanya dengan suara parau. Ia juga miskin. “Saya bekerja di kebun. Pendapatan saya kira-kira Rp. 20.000 per hari. Saya juga membersihkan halaman sekolah.” Tetapi di kehidupannya yang sudah berat, terjadi kemalangan yang paling menyakiti dia. Pada tahun 2005, putra tunggalnya, Yope, dibawa pergi ke Jakarta. Lokobal tidak ingin Yope pergi. Anak itu masih berumur sekitar 14 tahun, tapi dia berbadan besar dan kuat, seorang pekerja yang baik. Namun orang-orang itu tetap membawa dia pergi. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal. Tidak ada yang bisa mengatakan kepada Lokobal bagaimana atau kapan tepatnya anaknya meninggal, dan dia juga tidak tahu di mana anaknya dimakamkan. Yang dia tahu secara pasti adalah, bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi.
“Jika anak saya masih hidup, dia yang akan merawat keluarga,” kata Lokobal. “Dia yang akan pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga. Ini membuat saya sedih.
”Orang-orang yang membawa Yope pergi adalah bagian dari kelompok perdagangan anak-anak Papua Barat yang terorganisir. Investigasi yang dilakukan selama enam bulan oleh Good Weekend telah mengkonfirmasikan bahwa anak-anak, yang mungkin berjumlah ribuan, telah dibawa pergi dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih dengan janji akan mendapatkan pendidikan gratis. Di provinsi di mana sekolah-sekolah sangat minim dan banyak keluarga tidak mampu, sekolah gratis bisa menjadi tawaran yang sulit ditolak.
Tetapi untuk beberapa anak, yang masih berusia sekitar lima tahun, ketika mereka tiba barulah mereka menyadari bahwa mereka telah direkrut oleh “pesantren”, sekolah Islam berasrama, dimana hanya sebagian kecil waktu digunakan untuk belajar matematika, ilmu pengetahuan alam atau bahasa karena digantikan dengan belajar di mesjid selama berjam-jam. Di sana, seperti yang dikatakan oleh salah satu pimpinan pesantren, “Mereka belajar untuk menghormati Allah, itu merupakan hal utama.” Pesantren-pesantren ini memiliki satu tujuan: mengirim para lulusan kembali ke Papua yang mayoritas penduduknya beragama kristen untuk menyebarkan ajaran islam mereka yang keras.
Tanyakanlah kepada 100 anak laki-laki dan perempuan Papua yang berada di Pesantren Daarur Rasul di pinggiran Jakarta apa cita-cita mereka ketika dewasa nanti dan mereka akan berteriak “Ustad! Ustad!”
Di Papua, terutama di kawasan pegunungan, masalah identitas agama dan budaya merupakan isu yang panas. Data sensus selama lebih dari empat puluh tahun terakhir menunjukan bahwa penduduk asli saat ini jumlahnya sama dengan jumlah penduduk pendatang yang sebagian besar beragama Islam, yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Penguasaan pendatang baru terhadap bidang ekonomi, cukup efektif dalam meminggirkan penduduk asli.
Migrasi ini berarti bahwa masyarakat asli Papua memiliki ketakutan yang nyata dan realistis bahwa mereka akan menjadi etnis dan agama minoritas di tanah mereka sendiri. Sejumlah kisah tentang orang-orang yang membawa pergi anak-anak mereka menambah ketegangan emosional dan memiliki potensi untuk mengobarkan ketegangan di wilayah yang sudah rentan.

Dalam kurun waktu lima puluh tahun, pemberontakan kaum separatis telah aktif di Papua dan ratusan ribu orang meninggal dalam upaya mereka untuk meraih kemerdekaan Papua. Kekristenan , yang dibawa oleh para misionaris dari Belanda dan Jerman, adalah kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk asli dan juga bagian penting dari identitas mereka. Agama Islam sebenarnya memiliki sejarah yang lebih panjang di Papua dibandingkan dengan agama Kristen, tetapi yang diajarkan adalah ajaran (Islam) yang lebih ramah dibandingkan dengan yang dikothbahkan di mesjid-mesjid di Jawa yang semakin hari cenderung semakin menunjukkan kesan beraliran keras, dan setidaknya untuk sampai saat ini, Islam masih merupakan agama minoritas di Papua. Tetapi ketika anak-anak pesantren kembali dari Jawa, kepercayaan mereka telah berubah. “Mereka telah menjadi orang yang berbeda,” kata pemimpin Kristen Papua, Benny Giay, kepada saya. “Otak mereka telah dicuci.”
Sekolah-sekolah ini bersikeras bahwa mereka hanya merekrut murid-murid yang memang sudah beragama islam, tapi jelas kalau mereka tidak terlalu teliti. Di Daarur Rasul, saya dengan cepat menemukan dua bocah kecil, Filipus dan Aldi, yang telah menjadi mualaf – baru pindah agama dari Kristen ke Islam. Salah satu organisasi Islam radikal, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN) tidak segan-segan untuk menyembunyikan tujuannya yaitu mengubah kepercayaan seseorang serta menggunakan agama demi tujuan politik. Pemimpin AFKN, Fadzlan Garamatan mengatakan bahwa AFKN telah membawa 2200 anak-anak keluar dari Papua sebagai bagian dari program nasional mereka “Mengislamkan”. “Ketika [orang Papua] berpindah agama menjadi Islam, keinginan mereka untuk merdeka berkurang,” kata Fadzlan di akun internet AFKN.

Di Papua yang bergolak, pergerakan anak-anak dan perpindahan kepercayaan mereka merupakan persoalan yang mudah meledak secara politik. Kami telah diperingatkan berkali-kali untuk tidak melanjutkan investigasi terhadap kisah ini. Hal ini tidak pernah diberitakan di pers Indonesia. Kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, Bambang Darmono, yang berkantor pusat di Jakarta hanya mengatakan bahwa ini adalah satu dari “banyak masalah di Papua”, dan direktur Pesantren di Kementerian Agama, Saefudin, mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar tentang hal tersebut. Tetapi upaya saya untuk menelurusuri kehidupan dan kematian salah satu anak Papua telah mengungkapkan bahwa perdagangan itu terus berlangsung. Dan, dalam upaya untuk mengabdi kepada kepentingan agama dan politik yang luhur adakalanya kehidupan anak-anak belia usia tercampakkan.

Elias Lokobal tersenyum sendiri ketika ia berbicara tentang adik tirinya yang selalu bersemangat, namun yang kini telah meninggal, tetapi ketika pembicaraan beralih ke Amir Lani, ekspresi wajahnya berubah menjadi gusar. Lani adalah seorang ulama lokal di Megapura dan beberapa kampung lain di sekitar Wamena. Saat itu sekitar tahun 2005 ketika dia dan Aloysius Kowenip, kepala polisi Yahukimo, sebuah kabupaten tetangga, mulai mendekati beberapa keluarga untuk merekrut anak-anak mereka. Keduanya berkerja untuk membawa lima anak laki-laki masing-masing dari lima kampung, yang berasal dari keluarga tidak mampu, dan mengirim mereka ke Jawa untuk pemperoleh pendidikan. Kowenip, seorang yang beragama Kristen, mengatakan bahwa itu merupakan idenya untuk “membantu” anak-anak terserbut, dan bahwa dananya berasal dari “pemerintah daerah dan sebuah oranganisasi Islam” yang namanya tidak dapat dia ingat. Dia mengatakan bahwa dia mencari anak-anak yang hanya memiliki satu orang tua karena “tidak ada yang membimbing mereka”

Yope yang masih kecil masuk dalam kategori anak-anak seperti itu. Meskipun dia memiliki ibu tiri, ibu kandungnya telah meninggal. Keluarganya adalah keluarga muslim, meskipun Yope terkadang pergi ke gereja bersama pamannya. Baik Lani atau Kowenip tidak pernah datang mengunjungi ayah Yope, Johanes Lokobal, untuk menjelaskan rencana mereka. Hal ini masih mengusiknya.
“Orang-orang itu seharusnya meminta izin kepada orang tua,” kata Lokobal. Sebaliknya mereka hanya bertanya kepada Yope muda saja, yang sangat bersemangat terhadap petualangan ini. Beberapa temannya telah pergi tahun sebelumnya dan dia tertarik untuk bergabung dengan mereka.
Ketika tiba saatnya bagi Yope untuk berangkat, semuanya terjadi sangat cepat, kenang Elias, kakak tirinya. “Saya pergi ke sekolah dan ketika saya kembali sudah tidak ada orang dirumah.”

Andreas Asso juga bagian dari kelompok yang sama.

Dia sekarang adalah seorang pemuda yang pemalu yang berjuang untuk mencari nafkah di Jayapura, ibu kota Papua, dia mungkin baru berumur 15 tahun saat itu. Sama seperti Yope, Andreas hanya memiliki satu orang tua. Ayahnya telah meninggal dan, meskipun ibu kandungnya masih hidup, Andreas tinggal dengan ibu tirinya. Sama seperti Yope, dia didekati secara langsung. “Mereka bertanya apakah saya ingin melanjudkan pendidikan saya di Jakarta secara gratis,” kata Andreas.

“Kepala polisi itu tidak pernah berbicara dengan ibu tiri saya tapi dia berbicara dengan paman saya, saudara ayah saya, dan dia (paman) setuju. Saya dilahirkan sebagai seorang beragama Kristen dan saya akan terus menjadi pemeluk Kristen. Kepala polisi itu hanya berkata bahwa kami akan ditempatkan di sebuah asrama… Seandainya dia bilang bahwa asrama yang dimaksudkan adalah pesantren, tidak satupun dari kami yang akan mau pergi”

Ketika tiba harinya untuk berangkat, Andreas mengatakan bahwa sekelompok anak laki-laki berjumlah 19 orang dimasukan kedalam pesawat Angkatan Udara Indonesia, Hercules C-130 di Wamena. Berdasarkan sejumlah kesaksian, yang termuda dari mereka baru berusia lima tahun. Pesawat itu diawaki oleh orang-orang berseragam. Sulit untuk dibuktikan apakah ada keterlibatan pihak militer, tetapi seorang mantan panglima militer di Papua mengatakan bahwa warga sipil diperbolehkan untuk membeli tiket murah untuk terbang dengan pesawat militer sebagai bagian dari “Kepedulian Sosial” militer. “kami tidak berbicara dengan tentara-tentara itu,” kenang Andreas. “Kami takut.”

Butuh waktu dua hari bagi pesawat itu untuk sampai di Jakarta dan, “kami tidak di beri makan atau ditawari minuman. Beberapa dari kami, terutama yang masih kecil, jatuh sakit… ada beberapa yang muntah-muntah,” kata Andreas. “Ketika mereka datang ke kampung saya, saat itu saya pikir saya ingin pergi. Tetapi ketika saya sudah berada di pesawat, yang bisa saya pikirkan adalah, ‘saya ingin kembali ke kampung saya.’” Ketika mereka mendarat di Jakarta, anak-anak tersebut dibawa dengan kendaraan dan menempuh perjalanan selama tiga jam ke rumah baru mereka – Pesantren Jamiyyah Al-Wafa Al Islamiyah di atas lereng gunung berapi, Gunung Salak, di sisi belakang kota Bogor. Kepala sekolah yayasan Al-Wafa, Harun Al Rasyid, masih ingat akan Andreas Asso dan anak-anak dari Wamena, dan orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius Kowenip, yang dia kenal sebagai “Aloy”. Dua orang ini datang dan “menawarkan murid-murid” ditahun 2005, kenangnya. “Aloy sangat ambisius dalam politik, dan dengan membawa anak-anak ke pesantren saya merupakan salah satu cara untuk meningkatkan posisi atau citranya di masyarakat,” Kata Al Rasyid.

Dalam beberapa hal kesaksian Andreas Asso berbeda dengan kesaksian lainnya tapi mereka sepakat dalam satu hal: anak-anak dari kampung di pedalaman pegunungan Papua tidak cocok untuk berada di tempat itu. “Itu tidak seperti sekolah karena di sekolah mereka punya kelas-kelas.” Kata Andreas. “Untuk yang satu ini, kami hanya pergi ke sebuah mesjid besar dan kami hanya mempelajari tentang agama Islam, hanya membaca Al Quran. Kadang-kadang mereka menampar wajah kami dan memukuli kami dengan tongkat kayu. Mereka bilang orang Papua itu hitam, kulit kami gelap.”

Makanan dan pendidikan di Al Wafa memang gratis tapi persoalan agama sangat ketat. Mereka mempunyai guru-guru dari Yaman dan dibiayai oleh Arab Saudi dan di akun internet mereka mengambarkan Al Wafa sebagai Salafi soleh. Tujuannya adalah: Menciptakan kader-kader pengkhotbah dan orang-orang yang bisa membawa orang-orang lain kepada Islam.” Andreas bersikeras bahwa sebagaimana dirinya beberapa anak-anak lain beragama Kristen dan bahwa kepala sekolah mengubah nama dari lima anak-anak tersebut untuk membuat mereka terdengar lebih islami – tuduhan yang di sangkal oleh Al Rasyid. Dalam hal ini, Al Rasyid mengatakan bahwa orang-orang Papua itu adalah masyarakat tertinggal yang susah diatur dan melelahkan guru-guru mereka “karena latar belakang budaya mereka berbeda”.
Dia mengatakan bahwa anak-anak itu kencing dan buang air besar di halaman sekolah serta mencuri hasil ladang dari para petani sekitar pesantren. Dia mengakui menghukum mereka dengan “memarahi” dan memukul “dengan rotan di kaki”. Sekitar dua atau tiga bulan setelah kedatangan mereka, Nison Asso, anak yang sakit-sakitan, meninggal dunia.

“Dia berusia 10 tahun,” kata Andreas. “Dia memang sudah sakit dari di Wamena tapi… dia meninggal. Jenazahnya masih di Bogor karena pesantren tidak punya cukup uang untuk mengirim jenazah Nison kembali, meskipun orang tuanya menginginkan jenazah anaknya dikirim kembali ke Papua.” Al Rasyid tidak mau memberikan komentar tentang nasib yang dialami Nison. Setelah kurang dari setahun, menjadi jelas bagi anak-anak tersebut dan juga pesantren bahwa percobaan itu gagal, sehingga Amir Lani di panggil. Andreas mengatakan bahwa dia memohon kepada Lani agar membawanya pulang, namun permintaannya ditolak.
Sebaliknya, Lani malah membawa mereka ke Jakarta dan menyerahkan mereka kepada Ismail Asso, seorang Papua yang juga pernah menjadi pelajar kiriman (dari Papua ke Jawa) dan yang namanya pun sudah diganti. Ismail memberitahu anak-anak itu bahwa tidak ada cukup uang untuk mengirim mereka kembali ke Papua. Para orang tua anak-anak ini, tampaknya tidak pernah diajak bicara (mengenai rencana belajar secara gratis di Pulau Jawa).

Beberapa murid ditempatkan di sebuah pesantren baru di Tangerang, dekat dengan Jakarta. Kemudian mereka dikeluarkan juga dari pesantren tersebut, karena, seperti penuturan Ismail Asso, “Anak-anak ini memang sudah nakal sejak di Papua.” Tetapi Andreas tetap tidak mau sekolah, dan malah berkerja sama dengan seorang anak lainnya, Muslim Lokobal, “yang juga seorang kristen tetapi diberi nama ‘Muslim’”. Keduanya mencoba hidup dengan caranya sediri di kota besar.

Masalah yang terus-menerus dihadapi ketika saya melakukan penelitian untuk menulis laporan ini adalah memperoleh informasi yang akurat – nama, waktu, dan umur. Nama-nama sudah diubah, latar belakang dihilangkan, dan anak-anak yang berasal dari kampung jarang mengetahui umur mereka sendiri. Tetapi, akhir yang tragis yang dialami oleh Yope Lokobal menunjukkan bahwa mungkin ia adalah anak yang sama seperti yang dikenal oleh Andreas Asso sebagai Muslim Lokobal.

Andreas menceritakan, bahwa pada suatu malam Muslim minum minman keras sampai mabuk. Tidak ada saksi tentang apa yang sesungguhnya terjadi sesudah itu, danada lima cerita yang berbeda yang berasal dari sumber-sumber yang tidak menyaksikan secara langsung. Yang disampaikan oleh Andreas adalah yang paling mengerikan. “Dalam perjalanan kembali ke pesantren, Muslim membuat masalah dengan penduduk setempat, jadi mereka memukul dan membunuh dia.Mereka membawa jazadnya ke pesantren.Dan karena mereka membencinya, mereka mencungkil salah satu bola matanya, dan memasukkan botol ke dalam rongga matanya itu.”Apakah gambaran yang sadis ini menunjukkan kematian Yope? Atau, apakah Muslim adalah anak muda yang lain?

Kembali di kampung Megapura, mereka mendapatkan sedikit informasi. “Ada telepon dari Jakarta ke Mesjid di Megapura, dan orang-orang dari mesjid itu menyampaikan berita itu kepada kami,” kenang Johanes Lokobal. “Tidak ada penjelasan tentang bagaimana Yope meninggal.” Saudara tiri Yope, Elias berkata “kejadian itu sekitar tahun 2009 atau 2010. Kami hanya bisa mengadakan upacara berkabung dirumah, berdoa.” Tidak ada yang tahu dimana jenazah Yope dikuburkan.
Anak-anak lain yang terbang dengan pesawat Hercules itu akan berusia 20-an sekarang. Terakhir kali Andreas Asso mendengar kabar mereka, mereka berada di Jakarta, sedikit lebih baik dari pengemis – “pengamen jalanan, atau bekerja di angkutan umum – kondektur, yang memanggil penumpang,” katanya. Tidak diketahui jumlah kelompok anak-anak yang diorganisir oleh Amir Lani dan Aloysius Kowenip untuk dibawa pergi. Teronce Sorasi, seorang ibu dari Wamena, mengatakan bahwa dia pernah didekati oleh “kepala polisi” pada tahun 2007 atau 2008, yang meminta dia untuk mengirimkan anak gadisnya, Yanti, yang pada saat itu hanya berumur lima tahun, dan anak laki-lakinya, Yance 11, ke Jakarta, meskipun “keluarga saya adalah keluarga Kristen”. “ Saya bilang ‘tidak’ karena suami saya pada saat itu baru saja meninggal dan kami masih berduka,” kata Sorasi.

Amir Lani masih tinggal di sebuah rumah di bukit dekat Megapura. Menurut Elias, ketika orang-orang bertanya tentang anak-anak yang hilang dari Wamena, “Dia menghindari mereka”. Ketika saya menghubungi Aloysius Kowenip lewat telepon, dia merasa bangga dengan rencananya. “Jika salah satu dari mereka berhasil menjadi seseorang, maka, sebagai orang Papua saya merasa bangga.” Tetapi ketika ditanya tentang mereka yang meninggal atau yang telah gagal, Kowenip secara tiba-tiba memutuskan sambungan telepon. Beberapa hari kemudian, teman Kowenip, Ismail Asso menelepon dengan marah, kemudian mengirim dua sms ancamam. “Saya peringatkan kamu… jangan coba menggali informasi mengenai orang muslim di Wamena.” Tulisnya, jika tidak “journalis asing yang provokatif” akan di “deportasi dari Indoneisa” atau “dibunuh dengan kampak oleh (orang) Wamena.”
Pemindahan anak-anak secara internal memiliki sejarah yang panjang dan memalukan di Indonesia. Sekitar 4500 anak-anak telah dipindahkan dari Timor Leste selama 24 tahun masa pendudukan Indonesia disana untuk – seperti kata-kata penulis Helene Van Klinken di bukunya Making Them Indonesians (Menjadikan mereka orang Indonesia) – melayani “dakwah Islam”, dan untuk mengikat daerah agar lebih dekat ke Jakarta. Anak-anak, tulisnya, dipilih karena mereka “mudah dipengaruhi dan mudah di manipulasi untuk melayani tujuan-tujuan politik, ras, ideologi dan agama”.

Papua telah menjadi target sejak dahulu. Pada tahun 1969, mantan presiden Suharto mengusulkan untuk memindahkan 200.000 anak-anak dari “kawasan terbelakang dan primitif Papua yang masih hidup di zaman batu” ke jawa untuk mengenyam pendidikan. Kelompok lain yang didanai oleh Arab Saudi, DDII, digunakan untuk membawa anak-anak dari Timor Timor dan Papua. Dan saat ini, AFKN, yang terkait dengan premanisme, garis keras font Pembela Islam (FPI) secara aktif mencari anak-anak untuk direkrut.
Daarur Rasul adalah separuh sekolah, separuh pesantren yang berlokasi di kota satelit Jakarta, Cibinong. Disini, 100 anak laki-laki dari dataran rendah di Papua bagian Barat, berdesakan di gerbang besar untuk menyambut kami. Gerbang itu dikunci karena, menurut salah satu staff yang bekerja disana, “mereka sering kabur”. Sekitar 40 anak perempuan tinggal di bagian bawah dengan sedikit lebih banyak kebebasan. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi, bersikeras bahwa dia mengajarkan ajaran islam yang moderat. Dia tidak menyangkal bahwa anak-anak tersebut terkunci, tapi katanya itu hanya selama jam belajar “untuk mendisiplinkan mereka”.

Pada tahun 2011, empat anak laki-laki melarikan diri dan mereka mengatakan bahwa bukan saja mereka dipaksa bekerja sebagai pekerja bangunan, tetapi juga di sekolah, mereka di biarkan kelaparan, diberikan air mentah sebagai air minum dan hanya diajarkan pelajaran agama islam, bahasa Indonesia dan Matematika. Baihaqi bersikeras bahwa anak-anak itu terlalu membesar-besarkan, dia berkata anak-anak terserbut sudah “nakal” sejak sebelum mereka sampai ke sekolah. Dia mengakui memang terkadang murid-muridnya bekerja di lokasi bangunan, tetapi mereka menikmatinya. Pelajaran untuk anak laki-laki dimulai dengan sembahyang pada jam 04.00 pagi. Sekolah dilanjudkan dengan istirahat dan jam tidur siang sampai jam 21.00 malam, diantaranya ada tujuh jam berdoa dan membaca al quran dan hanya tiga setengah jam untuk “ilmu alam, ilmu sosial, membaca dan menulis”.
Baihaqi mengatakan bahwa dia merekrut murid-murid baru di Papua setiap tahun dan bersumpah bahwa para orang tua telah memberikan persetujuan mereka. Tetapi anak-anak itu hanya bisa pulang tiga tahun sekali. Mereka tidak merindukan orang tua mereka, katanya, dan para orang tua setuju dengan pengaturan ini.

Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak di Indonesia, mengatakan memisahkan anak dari orang tua selama itu “berarti menghapus akar budaya mereka”, terutama jika nama dan agama mereka juga di ganti. “Ini sangat berbahaya” tambahnya. Tetapi kementrian Agama Republik Indonesia dengan segala kekuatannya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ini dianjurkan, kata direktur bagian pesantren, Saefudin, karena, “semakin lama anda tinggal (di pesantren) semakin banyak berkah yang akan anda dapat.”
Komisi perlindungan Anak Indonesia, KPAI, juga organisasi yang optimis. Wakil ketua, Asrorun Ni’am, yang juga anggota senior di Majelis Ulama Indoneisa, MUI, lebih khawatir mengenai “Perasaan Keagamaan” yang mungkin kami bangkitkan dengan menulis kisah ini. “itu bertentangan dengan segala usaha untuk membangun suasana yg harmonis.” Katanya memperingatkan kami.

Peraturan sudah jelas. Konvensi PBB tentang Hak Anak, di mana Indonesia merupakan salah satu anggota, mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya dipisahkan dari keluarga mereka untuk alasan apapun, bahkan kemiskinan.Dan UU perlindungan Anak Indonesia memberikan hukuman lima tahun penjara bagi siapapun yang mengubah agama anak tersebut menjadi berbeda dengan agama keluarga mereka. Di Papua para, pemimpin agama memiliki sedikit kekhawatiran bahwa memindahkan anak-anak adalah bagian dari usaha yang lebih besar untuk menenggelamkan penduduk asli, “ini adalah proyek jangka panjang indonesia untuk membuat Papua sebagai tempat Islam,” kata ketua Gereja Baptis Papua, Socratez Yoman. “Jika Jakarta ingin mendidik anak-anak Papua,” kata pemimpin kristen, Benny Giay, “mengapa mereka tidak membangun sekolah-sekolah di Papua?”

Kami tidak bisa mengkonfirmasi jika pemerintah Indonesia atau lembaga-lembanganya berperan aktif dalam perpindahan anak-anak. Tetapi beberapa organisasi punya dukungan tingkat tinggi. AFKN didanai oleh Zakat (sedekah) yang dikirim melalui lembaga donor dari bank Pemerintah, BRI; Aloysius Kowenip berbicara mengenai pendanaan oleh “pemerintah daerah”; pendonor Daarur Rasul termasuk “polisi dan tentara” sebagai individu, dan paling tidak ada satu group yang dibawa oleh sebuah pesawat militer.
Mungkin, seperti perpindahan anak-anak di Timor Leste yang telah didokumentasikan dengan baik, organisasi di Papua tidak memiliki dukungan pemerintahan tetapi menikmati persetujuan senyap dari masyarakat kelas atas Indonesia. Andreas Asso berhasil selamat untuk menceritakan kisahnya, tetapi ia tetap merasa marah karena ia merasa ditipu untuk meninggalkan rumahnya di pegunungan, lalu nasibnya tidak diperdulikan.
“saya bisa mendapatkan pendidikan di Wamena. Beberapa teman saya yang tinggal telah lulus dari sekolah… Pekerjaan impian saya adalah menjadi seorang polisi. Tetapi saya melihat ke masa lalu dan saya tidak mencapai apa-apa”