Rahasia Punya Showroom Mobil Mewah

Baru 21 Tahun, Sudah Punya Showroom Mobil Mewah di PIK

Jakarta -Orang bilang, lebih enak berbisnis dari hobi. Hal itu mendorong Dixon Lesley (21) untuk membuka showroom mobil mewah di kawasan elite di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat.

Dia membuka usaha showroom mobil CBU Absolute Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat.

Mobil yang dijualnya pun tak tanggung. Ayah 1 putri ini memasarkan mobil asal Eropa seperti Lamborghini, Porsche, Range Rover Bentley, MINI dan Mercedes-Benz AMG.

Kecintaannya pada dunia otomotif semakin terlihat ketika ia menimba ilmu di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia.

Pada saat kuliah, jiwa usaha Dixon sudah mulai terlihat dengan menjual mobil-mobil ke konsumennya di China, Hong Kong, Thailand, Singapura dan Indonesia. Mobil tersebut dia pesan langsung dari produsen mobil.

"Dari kecil memang sudah hobi otomotif. Dan tepat ketika kuliah saya sudah mulai jualan mobil. Belajar dari dosen yang kerja di Bentley sebagai Project Manager Bentley," kata Dixon ketika ditemui detikOto di showroom-nya di PIK.

Setelah belajar 1 tahun lamanya, pada akhirnya Dixon mencoba 'meracik' mobil pesanan konsumen. Ia sudah bisa membuat katalog mobil CBU kemudian menjualnya ke konsumen. Pekerjaan tersebut dia dinikmati sendiri tanpa bantuan orang. Jadi ketika teman-teman sebayanya senang bermain-main, Dixon malah meracik barang dagangannya supaya sesuai keinginan konsumen

"Mengelola sendiri, tanpa bantuan. Saya telepon sendiri ke produsen dan menyesuaikan permintaan konsumen. Jangan sampai salah. Kalau salah itu fatal. Orang salah satu detil saja mereka marah. Saya kasih tahu apa yang sebenarnya ke konsumen," pungkas Dixon.

Keahlian menjual mobil makin bertambah ketika ia hampir lulus S1 dan mampu menjual belasan mobil. Hasilnya, ketika lulus kuliah Desember 2012, ia bertekad pulang ke Indonesia dan membuka showroom mobil CBU.

Rencananya pun berhasil. Showroom mobil CBU di PIK yang baru saja diresmikan 2 bulan lalu ini menjadi bukti keseriusan Dixon mengarungi dunia otomotif, sekaligus membuktikan jika ada kemauan pasti ada jalannya. Anak muda pun seperti yang ia katakan tidak selalu bergantung pada orang tua.

"Proses belajar yang panjang, serta pengalaman yang banyak," pungkas Dixon yang mengaku sudah berhasil menjual 15 mobil asal Eropa dalam kurun waktu 1 tahun.

Perlahan namun pasti, ia mulai mendapatkan pelanggan. Kepercayaan dan kepuasan konsumen adalah kunci sukses yang ia miliki. Kelebihan lain dari Dixon adalah menjaga kualitas pada mobil pesanan konsumen. Dixon pun tak ragu untuk menawarkan aksesoris mobil terbaik pada konsumen.

Nah, dalam berbisnis, ada satu tips untuk dari Dixon untuk pengusaha muda yang ingin memulai usaha menjual mobil. Tipsnya adalah jangan pernah mengecewakan konsumen. Jaga mutu kendaraan agar konsumen tidak kecewa.

"Selama ini konsumen beli mobil dan memilih paket aksesoris tapi tidak sesuai harapan. Kasihan sama konsumen, sales engak ngerti barang. Barang enggak jelas," tutur Dixon yang pernah mencari ilmu ke China

Pameran di mal-mal

Absolute mencoba 'menjemput bola' dengan memasuki area mal-mal di Jakarta. Marketing Manager Absolute, Steven Lie mengatakan pameran di mal-mal dengan tujuan agar calon konsumen bisa test drive mobil dan pada akhirnya tertarik membeli mobil.

Tahap awal, Absolute pun mencoba mengadakan pameran di food plaza PIK, Jakarta 1-30 Desember 2013 dengan menawarkan mobil asal Inggris MINI. 2 mobil MINI dipajang menjadi daya tarik konsumen.

"Tahap awal kita adakan even ini. Kita mengadakan MINI Cooper test drive untuk mendekatkan konsumen. Segmen kita orang-orang yang mungkin belum punya MINI. Ada 2 unit, Countryman, John Cooper GP. Di acara ini bisa inden new model 2014. Kalau ada konsumen mau merek lain kita siapkan," tutup Steven.

Piramida Negeri Petro Dolar - Sebentuk Pelarian Beban Hidup

Piala Dunia Qatar

Bagian 1 - Menggunakan Spanyol demi Pencitraan dan Diplomasi Publik


Spanyol telah mengawali pelayarannya kembali belakangan ini. Bukan lagi dipimpin Colombus ataupun nahkoda-nahkoda yang namanya kita kenal di bangku sekolah, meski telah mulai asing untuk kita dengar.

Nahkoda kapal-kapal Spanyol tersebut kini mulai mudah kita ingat dan lafalkan. Nahkoda-nahkoda itu sekarang bernama Xavi Hernandez, yang telah memimpin La Furia Roja merajai Eropa dan dunia. Ada juga Andres Iniesta yang menahkodai Barcelona hingga begitu digdaya.

Pernah juga mendengar armada Real Madrid yang menghabiskan banyak uang dalam membangun armada perangnya? Tentu saja.

Tak hanya itu, Spanyol sekarang juga mempunyai pasukan berkuda yang sangat mumpuni. Sebut saja Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, dan jangan kita lupakan perwira baru mereka, Marc Marquez. Armada Spanyol juga kini semakin lengkap, dengan hadirnya pemukul bola handal macam Rafael Nadal.

Kegemilangan yang tentunya mengaburkan ingatan kita, bahwa Spanyol juga menjadi korban resesi ekonomi global 2008. Negara ini pernah mendapat bantuan Uni Eropa sebesar 125 juta dolar AS hanya untuk mengembalikan perekonomiannya setelah bencana kredit macet mendera mereka. Ya, Spanyol yang juga memiliki tingkat pengangguran 21,6%.

Namun bukankah Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dan La Furia Roja telah sukses membiaskan semua itu? Spanyol seakan sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, titi tentrem, kerta raharja.

Pada akhirnya publik memang sadar bahwa Spanyol telah mengambil langkah-langkah soft power, dengan aktor-aktor non negara --Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dll-- yang mengambil peran-peran diplomasi.

Kesemuanya tentu untuk menjaga stabilitas iklim investasi Spanyol sendiri agar lekas keluar dari derita krisis ekonomi. Walhasil, kapal-kapal perang Spanyol tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Spanyol kembali (terlihat) berjaya.

Kerja Sama, Sama-Sama Kerja

Prospek industri olahraga yang ditawarkan Spanyol memang demikian seksi. Spanyol tak perlu menunggu lama agar gayung-gayung mereka disambut dunia luar. Perlahan, perekonomian Spanyol mulai membaik berkat adanya pengaruh dari sektor olahraga ini.

Dan kegemilangan diplomasi publik Spanyol tersebut mampu membuat Qatar jatuh hati. Apalagi semenjak akhir 2010, atau awal mula penunjukan Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia, negeri tersebut terus menuai banyak kontroversi. Membangun citra yang baik bersama Spanyol, jadi hal penting yang mesti dilakukan.

Sejak awal dunia internasional, khususnya para penggila sepakbola, memang memandang skeptis keputusan FIFA yang menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Ketersediaan SDM, kasus pelanggaran HAM, keamanan, dan animo penonton, menjadi sorotan utamanya.

Belum lagi, soal cuaca di Timur Tengah yang terkenal sangat panas. Tentu ini menjadi kendala para kontingen yang hendak berlaga. Demikian pula masalah kawasan Timur Tengah yang rawan konflik, juga jadi satu hambatan.

Qatar memang benar-benar sedang coba mengubah persepsi dunia tentang dirinya. Dan olahraga serta pariwisata telah dipilih Qatar sebagai tumpuan.

Anda tentu takjub dengan adanya race malam di sirkuit Losail, dan juga betapa indahnya kota Doha dengan pantai dan hotel-hotel yang sangat mewah, bukan? Ya, Qatar sedang melakukan diplomasi publik, selayaknya Spanyol.

Dalam hal ini Qatar pun tak tanggung-tanggung. Lihat saja kasus Losail. Karena kritik bahwa Losail mempunyai banyak permasalahan seperti cuaca dan juga angin gurun, akhirnya pengelola menyelenggarakan night race. Mereka juga mengubah Doha jadi lebih nyaman untuk didatangi para pelancong yang hendak menyaksikan MotoGP.

Bagi Qatar, tak jadi soal jika mereka tak punya rider dalam MotoGP. Mereka mempunyai Losail yang juga mampu mengibarkan panji-panji Qatar. Benar-benar diplomasi publik yang asyik. Diplomasi publik yang mampu menaikkan posisi tawar Qatar dalam pencalonan tuan rumah Piala Dunia.

Pun setelah Qatar ditetapkan menjadi host piala dunia 2022, kontroversi-kontroversi masih saja menaungi negara teluk ini. Yang paling mendapat sorotan dunia internasional tentu tentang eksploitasi pekerja dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022. Tercatat sebanyak 1,2 juta buruh migran asal Nepal, India, dan Bangladesh mengalami berbagai kasus eksploitasi pekerja, seperti gaji yang tidak dibayarkan, bekerja tidak sesuai kontrak, dan juga bekerja melebihi jam kerja.

Situasi ini dibaca tuntas oleh pemerintah Qatar. Qatar kembali melaksanakan kebijakan diplomasi publiknya. Eropa mejadi sasaran mereka untuk mendulang suara dan dukungan agar Piala Dunia tetap bisa dilaksanakan untuk kali pertamanya di kawasan Timur Tengah.

Spanyol jelas menjadi prioritas Qatar karena dianggap telah berhasil menaikkan citra lewat olahraga. Dan Qatar Foundation telah dipilih Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani untuk membuka jalan di Negeri Matador.Tak sulit bagi negara kaya raya macam Qatar untuk mengetuk pintu investasi Spanyol yang jelas masih pesakitan dalam sektor ekonomi. Tak tanggung-tanggung, Qatar langsung mengucurkan dana 125 juta poundsterling untuk sekadar berpromosi di jersey Barcelona.

Dengan alasan Qatar Foundation adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, kemanusiaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, akhirnya Barca menerima pinangan investor asal negeri minyak tersebut. Sensasional!

Tedeng alih-alih tersebut telah meruntuhkan benteng pertahanan jersey Barca tanpa sponsor yang telah berdiri kokoh kurang lebih 112 tahun. Toh dengan pembukaan pintu investasi di jersey Barca, pemerintah Spanyol juga berhasil menjalin kemitraan lebih intim dengan Qatar. Qatar yang butuh citra, dan Spanyol yang butuh suntikan dana, kini bergumul menjalin kerjasama untuk menyelamatkan misi masing-masing negara.

Lagi, lagi, dan lagi. Kebijakan ini dihujani kritikan. Tak hanya dari fans Barca yang merasa kesuciannya telah direnggut, namun juga dari dunia internasional. Seperti yang pernah dilansir salah satu media Spanyol El Mundo, pada 11 Desember 2010, bahwa Qatar Foundation mendanai Hamas, di samping bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, dan juga peneltian.

Menyoal tersebut, Israel bahkan sempat melakukan lobi-lobi agar Barca membatalkan kontraknya dengan Qatar Foundation. Tapi usaha Israel tak berhasil. Qatar langsung merespons dengan mengadakan kunjungan kenegaraan Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani yang disambut langsung oleh Raja Juan Carlos di Madrid, 25 April 2011.

Walaupun banyak media menyebutkan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk membahas kemitraan kedua negara, namun hal ini terbukti telah memuluskan jalan Qatar untuk terjun ke ranah persepakbolaan. Selain sukses membicarakan hubungan dagang, Qatar juga berhasil membiaskan isu soal keterlibatan Qatar Foundation dengan Hamas.

Hubungan saling menguntungkan tersebut terbukti telah mengokohkan perekonomian Spanyol, dan bahkan Uni Eropa. Bagaimana tidak, Qatar bahkan membuatkan Spanyol Business Council demi menjaga hubungan kemitraan strategis. Dan Qatar juga berhasil menaikkan citranya di mata dunia internasional. Bahwasanya Qatar memang benar-benar siap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, dan mulai concern pada olahraga.

Tak sampai disitu, Qatar juga memanfaatkan media sebagai alat diplomasi publiknya. Al-Jazeera memainkan peran sebagai agen komunikasi politik dan politik pencitraan, yaitu Timur Tengah tak melulu mesti disangkut-pautkan dengan konflik.

Seperti yang kita tahu, Al-Jazeera adalah sebuah stasiun televisi Qatar yang berbasis di Doha. Kesehariannya stasiun televisi ini sangat akrab di telinga dengan berita-berita menyoal konflik di Timur Tengah. Namun, hari ini semua telah berubah. Al- Jazeera yang siarannya berbahasa Inggris tak lagi menjual konflik namun juga sepakbola. Al-Jazeera kini menjadi salah satu pemegang hak siar Liga Inggris, liga paling laris, dengan harga hak siar paling mahal di dunia.

Demi perbaikan citra pula, Al-jazeera yang awalnya hanya bisa dinikmati oleh dunia Arab, kini melebarkan sayapnya ke seluruh belahan dunia. Tak terkecuali ke Amerika Serikat, yang pada awal dekade 2000-an sangat anti dengan stasiun televisi ini.

Ya, Qatar benar-benar ingin jadi bintang baru di Timur Tengah. Bintang baru yang hendak menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong-gerbong berisi negara-negara Timur Tengah.

Qatar jelas ingin merubah citra Timur Tengah sebagai kawasan rawan konflik. Dan Qatar tentu sudah banyak mengeluarkan uang dan tenaga untuk memperbaiki citra di mata dunia. Timur Tengah yang kita kenal karena berita perang, yang dulu selalu muncul dalam program televisi pemerintah bertajuk Dunia Dalam Berita, kini ingin mengubah citra menjadi kawasan ramah olahraga.

Kita tunggu saja, seberapa berhasilkah mereka.

Bagian 2 - Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola

Malam itu, 2 Desember 2010, di markas FIFA semua mata dan lensa kamera tertuju pada secarik kertas putih yang dibuka oleh Sepp Blatter. Secara mengejutkan, nama Qatar tertera di selembar kertas itu. Semua orang pun terkaget-kaget. Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Sejak saat itu juga nama "Qatar" kerap menjadi gunjingan publik. Padahal, tugasnya untuk menunaikan Piala Dunia masihlah amat lama. Masih 12 tahun lagi. Sejak saat itu pula Qatar seolah menjadi black hole. Jadi pusaran politik yang menyedot banyak kepentingan ke dalamnya.

Aroma politik memang terasa kental dalam pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak tanggung-tanggung, dua pejabat tinggi sepakbola, Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michael Platini, secara terus terang mengakuinya.

Awal-Awal Polemik Pemilihan Qatar

Semua itu bermula di tahun 2011. Baru beberapa bulan Qatar berbahagia mendapatkan jatah sebagai tuan rumah, isu membeli suara riuh terdengar lewat bocornya email Sekjen FIFA, Jerome Valckle, pada Wakil Presiden FIFA, Jack Walner.

FIFA pun (terpaksa) turun tangan.

Investigasi dilakukan, tapi nihil hasil. Kekuatan finansial yang jadi daya tawar Qatar dinyatakan wajar dan legal, karena toh calon-calon lainnya pun akan menggelontorkan ratusan juta dolar untuk jadi tuan rumah.

Blatter, yang kala itu belum bermusuhan dengan Muhammad Bin Hammam –(eks) sekjen AFC berkewarganegaraan Qatar--, pun mendukung penuh kemenangan Qatar meski ia memilih Amerika Serikat dalam proses bidding.

Blatter berdalih. Ia berkata bahwa sejak awal abad 19, sepakbola memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional dan kehidupan sosial di Timur Tengah. Tapi, tak pernah sekalipun event kelas dunia sekelas olimpiade atau Piala Dunia hadir di sana. Lewat Qatar 2022, Blatter ingin mendobrak hal itu.

Namun, majunya Bin Hammam pada pemilihan presiden FIFA tahun 2022 membuat Blatter menjaga jarak dengan Qatar. Terlebih lagi setelah korupsi FIFA akhirnya terkuak. Bin Hammam dijatuhi hukuman karena melakukan suap dalam pemilihan Presiden FIFA. Komplit sudah kerenggangan antara Blatter dan Bin Hammam. Meski demikian, banyak yang menganggap sikap Blatter yang menjauh dari Qatar seolah dia ingin cuci tangan. Terlebih lagi banyak eks anggota Exco lainnya berguguran karena tertangkap menerima suap soal bidding Piala Dunia.

Isu transaksi pemilihan tuan rumah sendiri bukan hal baru di olahraga. Penyelenggaraan olimpiade (musim panas) pun pun sering dituding demikian.

Piala Dunia 2018 dan 2022 pun memiliki indikasi yang sama. Mantan ketua FA, Lord Triesman, bahkan pernah berujar tentang betapa banyaknya mafia yang bercokol dalam tubuh FIFA. Nyatanya, beberapa nama yang disebut oleh Lord Triesman kemudian mundur dengan sendirinya.

Blatter yang Mulai Menjauhi Qatar

Imbas kerenggangan antara Blatter dan Qatar terasa betul dalam penyataan implisitnya di awal September lalu. Secara terang-terangan ia mengakui bahwa pemilihan Qatar adalah sebuah kesalahan FIFA. Dan lebih gilanya, ia berujar bahwa anggota komite Exco FIFA yang mendukung Qatar mengalami tekanan Politik.

"Para pemimpin Eropa menganjurkan untuk (Exco) memilih Qatar karena kepentingan ekonomi, " ujar Blatter kepada media Jerman, Di Zeit.

Pernyataan Blatter itu menegaskan bau anyir politik tercium di Piala Dunia 2022. Sesuatu yang haram dalam sepakbola, menurut FIFA. Tetapi toh jadi rahasia umum bahwa Qatar memang memanfaatkan kekuatan finansialnya dalam lobi-lobi. Dan, FIFA menganggap itu wajar.

Padahal, betapa seringnya gimmick klasik "Kick Politic out of Football" terdengar dari FIFA. Tetapi justru mereka yang menghamba pada politik. Bagi FIFA, larangan berpolitik hanya berlaku pada negara-negara anggota, namun tak diterapkan bagi pengurusnya.

Terpilihnya Qatar jadi cukup bukti untuk hal ini.

Lobi-lobi Qatar dilakukan tingkat tinggi. Lobi kelas atas melalui jalur kepala negara lewat sang mantan emir, Hamad bin Khalifa Al Thani. Dengan kekuatan uang, mereka menguji nasionalisme para 22 anggota Exco. Iming-iming kekayaan melimpah lewat kedok "investasi" pun siap dikucurkan asalkan mendukung Qatar jadi tuan rumah.

Spanyol adalah jadi yang pertama didekati oleh Qatar. Pada mulanya mereka bersepakat melakukan tukar suara dalam proses bidding: Qatar mendukung Spanyol-Portugal di Piala Dunia 2018, begitu kebalikannya.

Mengucurkan Dana ke Seluruh Penjuru Dunia

Dalam proses bidding yang melibatkan 22 anggota Komite Exco FIFA, Qatar menang 14 suara dari Amerika yang hanya mendapat 8 suara. Tapi tahukah anda, Beberapa tahun sebelum dan sesudah proses itu, investor-investor asal Qatar menyerbu ke-14 negara tersebut. Diplomasi uang "kampanye terselebung" Qatar pun menyebar ke seluruh dunia.

Bahkan, kasus Paris Saint Germain, Barcelona dan Real Madrid, pun terlihat kecil jika dibandingkan dengan lobi yang dilakukan sang emir.

Di Brasil, bank terbesar di Amerika Selatan: Banco Santander diakuisisi oleh Qatar Investment Authority dengan nilai investasi 2,72 milliar dolar pada tahun 2011. Sementara di Argentina, sang Presiden Cristina Fernandez de Kirchner terbang ke Doha untuk menandatangani kontrak jangka panjang dengan Qatargas, demi pasokan 16% kebutuhan gas Negara. Paraguay pun sama. Mereka dapatkan suntikan dana besar untuk bekerja sama di sektor pertanian dan kontruksi.

Benua hitam Afrika pun menyicipi manisnya uang gas Qatar. Lihat saja Mesir yang mendapat suntikan dana 10 milliar dolar. Di Kamerun, taipan-taipan Qatar menanam investasi di bidang telekomunikasi. Di Pantai Gading, mereka kecipratan kerja sama LNG yang membuat dominasi mereka di bidang energi Afrika Barat semakin menjadi.

Asia pun tak luput. Di Thailand, Qatargas siap melakukan kongsi dagang terkait penjualan LNG. Thailand diplot sebagai pintu masuk Qatar untuk Negara-negara ASEAN lainnya.

Korea Selatan dan Jepang yang diakhir-akhir proses bidding memberikan dukungan pun mendapatkan keuntungan yang sama. Qatar mempersilakan kontraktor dari dua negara Asia timur itu menjadi aktor utama dalam membangun infrastruktur penunjang Piala Dunia di sana. Timbal baliknya, pasokan gas LNG akan terkirim dengan lancar.

Di Eropa, Siprus yang terkena resesi mendapat dana talangan 5 miliar dollar. Sang Emir pun membangun hotel senilai 150 juta dolar di ibukota Nikosia. Sementara itu, Turki diberi dana untuk membangun terminal distribusi LNG gas ke Eropa. Kontraktor mereka pun diajak dalam mengerjakan proyek-proyek Piala Dunia.

Menariknya, pada benua biru Eropa, negara-negara yang tahan banting saat krisis seperti Jerman, Swiss, Irlandia, Rusia dan Belgia enggan memberikan suaranya kepada Qatar. Dolar yang dimiliki Qatar memang lebih menarik bagi negara yang terkena resesi seperti Spanyol, Prancis, Turki dan Siprus. Karenanya, memilih Qatar menurut mereka, mungkin, jadi bagian dari nasionalisme.

Maka tak heran jika Platini dengan mudah dan tanpa beban bisa mengakui tudingan Blatter soal intervensi politik itu.

"Dengan pengaruh luar biasa yang dimiliki Blatter," ujar Platini, "Apakah dia baru saja menyadari bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dibalik penentuan tuan rumah Olimpiade dan turnamen lainnya? Yah, memang lebih baik terlambat, daripada tidak (sadar) sama sekali," ucapnya kepada Guardian seraya menyindir Blatter yang seolah-olah amnesia akan politisasi yang lazim di dalam tubuh FIFA.

Qatar yang Kini Jadi Lebih Liberal

Melihat proyeksi jumlah yang akan dikeluarkan Qatar sebagai tuan rumah, angka 10 juta dan 46 juta dolar yang diajukan Australia dan Amerika Serikat pada proses pencalonan tentu terlihat sebagai receh. Toh jika seluruh dana penyelenggaraan Piala Dunia dari tahun 1930 hingga 2010 digabungkan, jumlah itu masih kalah banyak dengan dana tak terlihat yang Qatar gelontorkan.

Lantas untuk apa semua itu dilakukan?

Qatar adalah sebuah negara kaya kecil yang berusaha menjadi pesaing utama raksasa timur tengah, Arab Saudi. Kendati sama-sama menganut paham Wahabisme (sebuah ajaran Islam Muhammad Al Wahab yang berkembang dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan Arab Saudi), Qatar memposisikan diri mereka bertentangan dengan Saudi.

"Saya menganggap diriku wahabi yang baik, dan masih bisa menjadi modern. Mau membuka pemahaman Islam secara terbuka karena kami memperhitungkan perubahan dunia, dan tidak memiliki mentalitas pemikiran tertutup sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi sana," sindir Abdelhameed Al Ansari, dekan Qatar University of Syariah kepada The Wall Street Journal di tahun 2002.

Dogma konsevatif Wahabi ala Arab Saudi memang sudah habis terkikis di Qatar. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di semenanjung Arab, Qatar memang dikenal lebih liberal dan sekuler.

Bayangan cermin negara-negara wahabi dengan ulama yang konservatif, pembatasan ruang gerak perempuan, segregasi gender yang mutlak (melarang gay dan lesbi), pelarangan terhadap alkohol dan rumah ibadah bagi para penganut agama lain tak terjadi di Qatar. Mereka membuka selebar-lebarnya keran pada barat dan dunia.

Di sisi lain, Qatar pun menjalin hubungan mesra dengan kelompok-kelompok Islam yang dibenci barat: Ikhwanul Muslimin, Hamas, Al Qaida dan kelompok perlawanan Suriah.

Ketakutan yang Jadi Cikal Bakal Piala Dunia 2022

Salah seorang pengamat sepakbola Timur Tengah, James M. Dorsey, memaparkan konklusi menarik tentang motif lain Qatar, yaitu untuk keamanan-pertahanan dalam negeri mereka. Ini terutama karena letak geografi Qatar sendiri berada di antara Arab Saudi dan Iran, dua raksasa timur tengah mewakili sunni dan Syiah, yang tak menutup kemungkinan akan saling menabuh genderang perang.

Meski memiliki militer yang super canggih, Qatar merasa tak akan pernah mampu untuk mempertahankan diri saat perang terjadi. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 pun memberikan dua pelajaran pada Qatar: Arab Saudi sebagai polisi saudara tua bukanlah penjamin yang bisa diandalkan dan keyakinan untuk menggantungkan diri pada Amerika Serikat pun dipertanyakan.

Dalam Perang Teluk jilid satu itu, bukan Amerika yang membantu Kuwait, namun koalisi internasional. Tanpa memiliki soft power di dunia internasional itu, Kuwait mungkin hari ini sudah binasa. Kini, soft power ini yang coba direbut Qatar lewat dunia olahraga dan sepakbola.

Setidaknya, sebelum Piala Dunia 2022 digelar Qatar akan merasa aman. Dukungan internasional akan datang bergelombang saat mereka terjebak dalam peperangan. Dunia tak akan tinggal diam, melihat Qatar sang tuan rumah Piala Dunia 2022 itu terkoyak-koyak. Serempak, dunia akan berkata: jangan coba-coba ganggu (proyek kami di) Piala Dunia!

Ya, Qatar telah sukses mempolitisir kecintaan publik sepakbola untuk menghilangkan ketakutan dalam diri mereka! Tak ayal, bagi saya, pemilihan Piala Dunia 2022 adalah politisasi sepakbola terbesar sepanjang sejarah.

Bagian 3 - Membidik Kemustahilan Lewat Uang dan Piala Dunia

Apa artinya menjadi tuan rumah Piala Dunia? Bagi Brasil, mungkin maknanya adalah menunjukkan kebangkitan mereka sebagai kekuatan ekonomi dunia. Bagi Afrika Selatan, bisa jadi sebagai alat untuk menunjukkan kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih di mata dunia.

Lalu apa arti dari Piala Dunia Qatar? Apa maknanya menyelenggarakan turnamen akbar di negara dengan pendapatan kapita terbesar di dunia ini?

Secara sederhana, menyelenggarakan Piala Dunia di negeri semenanjung ini, dari sudut pandang penulis, berarti mengajak dunia untuk melewati batas-batas nalar dan perhitungan matematis lewat sepakbola. Bahkan cuaca ekstrim, meroketnya biaya penyelenggaraan, dan minimnya keuntungan ekonomi tak sanggup untuk menghalangi Qatar untuk menjamu dunia.

63 Kali dari Afrika Selatan 2010

Menilik rencana mega proyek Piala Dunia 2022, tak heran mata dunia terbelalak. Menurut seorang analis hukum dan keuangan Jerman, Dr. Nicola Ritter, Qatar bahkan diestimasikan akan menghabiskan uang hingga 220 miliar dolar!

Nilai tersebut hampir mencapai 63 kali lipat besaran biaya yang dikeluarkan oleh Afrika Selatan dalam Piala Dunia 2010. Kala itu Afsel hanya menghabiskan biaya sebesar 3,5 miliar dolar.

Tak heran Qatar merebut hak sebagai tuan rumah dari tangan Australia, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Qatar memang tidak main-main dalam mempersiapkan dirinya.

Nilai yang tampak tidak rasional ini seolah hal kecil bagi Qatar. Bisa dibayangkan, dengan 220 miliar dollar, angka tersebut setidaknya mampu menyamai besaran rekor defisit anggaran terbesar yang dialami oleh Amerika Serikat pada Februari 2011.

Angka itu juga setara dengan 25 kali penyelenggaraan Olimpiade 2012 di London, yang sudah dikatakan banyak orang sebagai olimpiade yang paling mahal. Atau, mereka bisa membangun lebih dari 500 stadion setara Allianz Arena di Munich.

Bisa ditengok. Semua hal-hal besar diatas setara dengan biaya yang dianggarkan Qatar dalam membangun stadion dengan fasilitas air contioner, kota yang dibangun dari awal, dan sarana pendukung lainnya. Semuanya hanya untuk menggelar Piala Dunia.

Memang benar, terdapat kontroversi mengenai besaran nilai yang akan dikeluarkan. Deloitte melaporkan akan ada uang yang mengalir lebih dari 200 milliar dollar selama masa persiapan. Sementara itu, International Bank of Qatar menyebutkan Qatar akan menghabiskan biaya 100 miliar dolar, dan Qatar First Invesment Bank mengklaim hanya 60 miliar dollar yang akan dihabiskan.

Namun, negara mana yang ingin memamerkan hartanya di tengah sulitnya kondisi perekonomian saat ini? International Bank of Qatar dan Qatar Investment Bank selaku pihak dari internal Qatar tentu akan berusaha untuk menutupi total perencanaan biaya.

Maka tak salah biaya yang dipublikasikan pun cenderung lebih kecil dan jauh berbeda dengan yang dihitung oleh Deloitte maupun Dr. Nicole Ritter. Angka 220 ataupun 200 milar dolar sebenarnya jadi lebih masuk akal, karena nilai keluar dari penilaian pihak independen.

Rencana Strategis Qatar

Merenovasi tiga stadion, mendirikan sembilan stadion baru dan membangun sebuah kota adalah beberapa penggal rencana Qatar guna mendukung gelaran Piala Dunia. Akibatnya, pembangunan infrastruktur mengambil porsi presentase terbesar dari anggaran yang muncul.

Ini berbeda sekali dengan Afrika Selatan dan Brasil (2014). Di dua negara ini biaya infrastruktur tidak lebih dari 15% total biaya penyelenggaraan.

Fokus pembangunan sendiri ditekankan pada pos-pos seperti perumahan, perhotelan, stadion, bandara, jalan, sistem metropolitan dan perkeretaapian, mall serta perkembangan aset lainnya. Semua dilakukan guna mengakomodasi kebutuhan 400 ribu fans yang ditargetkan akan hadir pada ajang Piala Dunia.

Tapi, sebagaimana tuan rumah lainnya, motif pembangunan infrastruktur ini sebenarnya tidak hanya didasari oleh hal yang mendukung aktivitas Piala Dunia saja.

Salah satu fokus dari visi Qatar adalah dengan menarik turis dan pendatang sebanyak-banyaknya. Strategi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir mendukung rencana tersebut. Qatar banyak mempromosikan pariwisata berkelanjutan, seperti Museum Seni Islam dan Desa Budaya.

Seorang Emir Qatar, Shaikh Hamad Bin Khalifa Al Thani pun sempat mengunjungi Austria dalam membangun kerjasamanya. Ia bertemu dengan Presiden Heinz Fischer guna merundingkan perjanjian mengenai pajak ganda dan transportasi udara.

Perjanjian transportasi udara ini merupakan salah satu bentuk persiapan Qatar dalam mempermudah akses para wisatawan dari Eropa untuk berkunjung ke Qatar.

Investasi Sebagai Sektor yang Dieksplor

Sebagai tuan rumah, meski memiliki berbagai kepentingan politik, bukan berarti Qatar tidak mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung. Multiplier effect yang timbul dari terpilihnya Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia pun berimbas pada nilai investasi di negara tersebut.

Bahkan, perubahan langsung terjadi pada hari ketika Qatar menerima putusan dari FIFA untuk menjadi tuan rumah. Pada hari itu, perubahan pasar di lantai bursa langsung bereaksi positif. Pasar ekuitas Doha naik sebesar 7,5 %.

Harga saham dari beberapa perusahaan pun langsung bergerak naik terutama yang bergerak dalam bidang konstruksi. Semua didorong harapan yang tinggi akan bonus miliaran dolar uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Qatar.

Menariknya, pembangunan infrastruktur yang ada di Qatar sendiri banyak melibatkan pihak asing. Banyak investor yang menangkap peluang untuk cari pundi-pundi uang dari agresivitas pemerintah Qatar sebagai tuan rumah tersebut.

Deutsche Bahn AG, perusahaan kereta api nasional Jerman telah dianugerahi kontrak guna membangun sistem metro sepanjang 320 kilometer. Perusahaan Jerman lainnya pun tampak akan menyusul dalam membangun sistem air conditioner di dalam stadion.

Perusahaan Jerman lainnya, Hochtief, menjual 10% sahamnya kepada pihak Sovereign Wealth Fund Qatar. Organisasi ini sendiri merupakan kendaraan finansial milik Qatar yang memiliki, atau mengatur, dana publik dan menginvestasikannya ke asset-aset yang luas dan beragam. Selain itu, Hochtief akan membangun sebagian besar stadion Piala Dunia serta jembatan antara Qatar dan Bahrain.

Kerja sama yang melibatkan pemerintah Qatar dan Austria mengenai pajak ganda pun turut menjembatani pihak investor asing untuk turut menjadi bagian dalam membangun Qatar.

Sebagai negara kaya yang siap menghamburkan uang untuk menyelenggarakan Piala Dunia, maka tak jadi aneh jika Qatar dikerubungi oleh para pencari keuntungan.

Manfaat Ekonomi yang Tak Benar-Benar Manfaat

Banyak yang menganggap bahwa jadi tuan rumah Piala Dunia akan memunculkan lebih banyak manfaat ketimbang beban finansial. Namun, skeptimisme terhadap pandangan ini tetap muncul. Ini karena pada kasus kebanyakan dana penyelenggaraan tak sebesar imbalannya.

Bahkan Farouk Soussa, kepala ekonom Citibank di Timur Tengah, pun menjelaskan bahwa, "Sejumlah hasil penelitian pada dampak ekonomi suatu negara, atau kota, dalam menggelar acara internasional, umumnya tidak memberikan gambaran yang menggembirakan bagi Qatar."

Dalam kasus Qatar, investasi yang mencapai 220 miliar diestimasi hanya akan meningkatkan nilai investasi sebesar 4%. Tentu ini bukan hal yang dapat dibanggakan.

Apalagi Qatar sendiri memiliki kebijakan akan "mendonasikan" stadion setelah Piala Dunia usai. Ini berarti stadion yang dibangun akan diambil terpisah pasca turnamen lalu dihibahkan kepada negara-negera berkembang. Artinya sebagian dari uang yang dikeluarkan, memang dianggap akan menghilang.

Rencananya, sebanyak 170 ribu kursi akan disumbangkan kepada negara-negara yang membutuhkan infrastuktur stadion, dengan negara di Afrika jadi tujuan utama. Sebagaimana diungkapkan oleh Nasser Al-Khater, direktur komunikasi Qatar 2022, "kami ingin menginggalkan warisan olahraga ramah lingkungan. Stadion modular kami akan menjadi cara yang tepat untuk menerapkan ini."

Memecah kursi stadion sebenarnya masuk akal bagi Qatar. Pada Piala Asia 2011 saja hanya setengah dari kapasitas stadion yang terisi penonton. Bayangkan jika Piala Dunia 2022 usai digelar. Berapa banyak bangku kosong yang mungkin hanya berfungsi sebagai aksesoris pelengkap stadion?

Selain kursi stadion, ranjang hotel pun jadi surplus signifikan ranjang hotel yang tidak akan terpakai setelah Piala Dunia.

Dari data yang dikeluarkan oleh Qatar Tourism Authority, dari 8.500 kamar hotel yang tersedia di Qatar, rata-rata hunian hanya mencapai 50%. Dengan asumsi bahwa Qatar akan menarik 310 ribu pengunjung, seperti halnya yang dilakukan oleh Afrika Selatan, dengan rata-rata tinggal selama 18 malam dengan dua orang untuk sebuah ruangan, setidaknya Qatar membutuhkan 90 ribu kamar hotel.

Dengan melakukan perbandingan antara data dan asumsi itu, hasilnya adalah pada pasca Piala Dunia setidaknya Qatar harus mampu menaikkan tingkat hunian hotel hingga 15 kali lipat. Itu pun hanya untuk mencapai tingkat huninan rata-rata 70%. Lalu, apakah mungkin hotel juga didonasikan seperti halnya kursi stadion?

Implikasi dari jumlah penduduk "asli" hanya sebesar 300 ribu jiwa juga terjadi di sektor konstruksi. Banyaknya peluang lapangan pekerjaan serta kontrak pengadaan bahan bangunan akan jatuh ke pihak asing. Artinya, multiplier effect dari pembangunan besar-besaran memang sulit digapai.

Belum lagi Qatar memiliki kebijakan sebagai negara tax haven. Keuntungan dari peningkatan kegiatan ekonomi juga mungkin tidak akan dipetik.

Segala kebombastisan penyelenggaraan, biaya pembangunan yang meroket, namun dengan minimnya manfaat ekonomi ini menunjukkan bahwa Piala Dunia Qatar memang di luar nalar. Satu-satunya pembenaran untuk menggelontorkan biaya sebanyak ini adalah karena Qatar memang sanggup untuk menggelontorkan uang secara jor-joran.

Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan dunia? Alasan apa yang bisa dikeluarkan untuk membenarkan semua harga ekonomi dan harga sosial dari Piala Dunia 2022 di Qatar?

Bagian 4 - Bagaimana Bermain Sepakbola di Cuaca Seperti 'Neraka'


Sepakbola katanya adalah permainan universal yang bisa menyatukan dunia. Tentu ini berarti sepakbola memang telah dimainkan di seluruh penjuru dunia. Dan sebagai kompetisi terakbar, bukankah sewajarnya Piala Dunia juga diselenggarakan di berbagai tempat dengan berbagai cuaca? Yang Eropa merasakan panasnya Amerika Selatan, dan yang Amerika Selatan mencicipi angin Afrika.

Lalu bagaimana dengan Qatar? Dengan suhu berkisar 50 derajat celcius, masih cocok kah Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia? Adakah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengakalinya?

Piala Dunia 2022 di dataran Arab itu memang masih satu dekade lagi. Tapi masalah cuaca telah menjadi topik panas di kalangan para penggemar sepakbola dan FIFA.

Bertemu Iklim Gurun

Di musim panas, iklim di Qatar dapat digambarkan sebagai subtropis kering, atau iklim gurun yang panas. Iklim ini menyebabkan adanya perbedaan besar antara suhu maksimal dan minimal, terutama di daerah daratan tak berpantai. Perbedaan besar ini juga berlaku untuk kelembaban udara yang bisa sangat bervariasi, bergantung pada suhu.

Satu perdebatan yang terus berlangsung hingga saat ini adalah tentang waktu penyelenggaraannya di bulan Juni. Memang pada musim panas (Juni sampai September), Qatar akan sangat panas dengan curah hujan rendah. Suhu maksimal harian dapat mencapai 50° C, yang artinya: very very hot!

Penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar dinilai "berisiko tinggi" karena faktor iklim dan cuaca tersebut. Bahkan sempat ada wacana untuk memindahkan Piala Dunia 2022 ke musim dingin.

Jika melihat kembali ke Piala Asia 2011 di Qatar, turnamen tersebut dijalankan di bulan Januari (musim dingin) ketika suhu lebih bersahabat, yaitu sekitar 27° C. Sementara itu, 50° C memang dinilai terlampau panas. Bahkan untuk negara-negara Teluk sekalipun.

Hindari Dehidrasi!

Hal utama yang mesti diingat ketika berolahraga di tempat panas adalah bisa menyebabkan kondisi lembab. Apalagi bagi yang tidak terbiasa. Tubuh akan senantiasa berada di bawah tekanan yang besar. Selain terus-menerus mengeluarkan keringat, sirkulasi otot yang bekerja juga menghasilkan panas, disusul oleh kebutuhan aliran darah ke permukaan kulit untuk mengangkut panas dari tubuh ke luar. Akibatnya, suhu tubuh naik drastis.

Dalam keadaan latihan dan pertandingan, panas yang dihasilkan bahkan bisa mencapai 20 kali lipat dari panas yang dihasilkan pada saat beristirahat. Karena itu, pesepakbola harus mampu menjaga regulasi panas tersebut, sehingga bisa mempertahankan performa mereka. Hal ini berkaitan erat dengan dehidrasi yang bisa meningkatkan risiko penyakit pada cuaca panas, seperti kram panas, kelelahan, dan serangan panas.

Aktivitas pada suhu 320-40° C saja sudah beriesiko untuk membuat tubuh mengalami kram panas. Apalagi aktivitas pada 50° C, tubuh akan sulit untuk menyesuaikan diri hingga dapat menyebabkan kehilangan kesadaran seseorang.

Beberapa faktor lain, selain temperatur dan kelembaban, yang mempengaruhi panas tubuh antara lain adalah pakaian dan kondisi pesepakbola. Salah satu indikator pesepakbola yang mengalami dehidrasi adalah penurunan produksi keringat, serta urin yang pekat. Pesepakbola disarankan untuk selalu menjaga intake cairan tubuh dengan cara minum air sebelum mereka merasa kehausan.

Selama penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar nanti, pesepakbola akan mengalami hal-hal yang disebutkan di atas. Sangat berat, tentunya.

Bagaimana Menghadapi Panas

Pesepakbola yang akan berlaga di Qatar 2022 nanti harus melakukan penyesuaian iklim dengan cara aklimatisasi panas. Persiapan ini jadi strategi yang sangat penting dan harus dilakukan secara matang. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah frekuensi latihan, durasi latihan, intensitas latihan, dan kondisi lingkungan itu sendiri.

Pelatih harus mempertimbangkan aklimatisasi selama sebulan lebih di Qatar agar tubuh pesepakbola bisa menyesuaikan dengan lingkungannya. Durasi latihan disarankan selama 60-90 menit, dengan latihan di pagi dan sore hari. Intensitas latihan juga perlu diperhatikan agar pesepakbola tidak melakukan latihan berat.

Musuh utama cuaca panas adalah dehidrasi. Aklimatisasi tentu akan meningkatkan performa dalam cuaca panas, tetapi juga meningkatkan kebutuhan cairan karena peningkatan produksi keringat. Akibatnya, dehidrasi dan aklimatisasi akan saling berbentrokan.

Terdapat beberapa cara untuk menghindari dehidrasi tubuh. Minuman dengan tingkat karbohidrat tidak lebih 8% masih dapat ditoleransi, sebagai pertimbangan energi yang dibutuhkan oleh tubuh dari karbohidrat. Namun, Konsumsi karbohidrat berlebih juga sangat tidak disarankan.

Minuman berelektrolit juga cukup dianjurkan. Ini karena keringat yang keluar dari tubuh juga akan membawa elektrolit-elektroit dari dalam tubuh.

Kesalahan yang sering terjadi adalah minum dalam jumlah yang banyak saat dehidrasi. Konsumsi minum berlebih justru akan membuat cairan yang masuk tertahan di lambung. Padahal, air seharusnya segera disebar ke seluruh tubuh. Konsumsi air yang baik adalah dengan meminum sedikit demi sedikit namun berkelanjutan.

Dalam keadaan ini, memantau kondisi cairan pada tubuh atlet menjadi sangat penting. Tidak perlu menunggu sampai merasa haus untuk memasukan cairan ke dalam tubuh. Pantau cairan yang keluar melalui urin dan keringat. Ketika jumlah urin dan keringat mulai menurun, hal ini berarti alarm tanda peringatan sudah berbunyi.

Mengakali Panas di Gurun

Jika tetap menyelenggarakan Piala Dunia selama musim panas, cuaca di Qatar memang menjadi perhatian utama. Namun, panitia penyelenggara menilai panas tidak akan menjadi masalah.

Mereka meng-klaim bahwa masing-masing stadion akan memanfaatkan energi dari sinar matahari untuk menghasilkan listrik. Energi listrik ini kemudian akan digunakan untuk mendinginkan stadion, baik untuk pesepakbola maupun penonton. Ketika sedang tidak ada pertandingan, instalasi panel surya di stadion akan mengekspor energi ke jaringan listrik di sekitar kawasan.

Metode ini secara teoritis mampu mengurangi suhu dari 50° C menjadi 27° C. Panitia penyelenggara juga mengusulkan untuk menggunakan teknologi pendinginan pada tribun penonton, lapangan pertandingan, lapangan latihan, serta jalur-jalur yang menghubungkan stadion dengan fasilitas umum, seperti transportasi.

Patut diingat, bahwa mendinginkan stadion saja tidak cukup. Pemain harus tetap berada di "cuaca normal" baik saat latihan, istirahat, atau saat dalam moda transportasi.

Bagaimana dengan Memindahkan Piala Dunia ke Musim Dingin?

Salah satu anggota komite eksekutif FIFA, Franz Beckenbauer, mengatakan bahwa Qatar mungkin diizinkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 di musim dingin. Ia juga berpendapat bahwa jika dilaksanakan di musim dingin, Qatar akan lebih menghemat pengeluaran yang mereka habiskan untuk pendinginan stadion.

Pada Bulan Januari dan Februari Qatar memang dapat memiliki suhu harian sekitar 27° C. Kemudian Presiden FIFA Sepp Blatter juga setuju bahwa saran ini adalah saran yang masuk akal. Selain itu Michel Platini sebagai presiden UEFA juga menunjukkan sikap bahwa ia siap untuk mengatur ulang jadwal kompetisi-kompetisi klub Eropa, jika nantinya Piala Dunia akan digelar pada musim dingin.

Tapi ini tentu jadi tugas yang sangat berat, karena menyangkut kepentingan, klub, penonton, dan pemengang hak siar televisi. Memajukan jadwal kompetisi, tentu berarti akan melalui proses negosiasi yang panjang.

Namun, jika tetap akan dilaksanakan di musim panas, iklim Qatar akan sangat mempengaruhi performa pesepakbola di atas lapangan. Waktu pemulihan (recovery) akan lebih panjang, sementara di atas lapangan akan terjadi lebih banyak kesalahan yang terjadi akibat dari penurunan performa tersebut. Selain itu, melakukan aklimatisasi secara total dengan iklim di Qatar adalah hampir mustahil.

Jikapun bisa, mesti dilakukan dalam waktu yang lama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Namun, aklimatisasi satu bulan secara teknis belum tentu bisa dilakukan, karena berbenturan dengan jadwal berakhirnya kompetisi. Ini berarti mengulangi masalah yang sama dengan memindahkan kompetisi ke musim dingin.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya pikir tim-tim Eropa, di atas kertas, hampir pasti akan mengalami kesulitan. Besar kemungkinan bahw Piala Dunia 2022 di Qatar adalah saat bagi tim-tim Amerika Latin, Asia dan Afrika untuk berjaya. Setidaknya, sebelum mereka menaklukkan lawan-lawan mereka, mereka punya keuntungan dalam memenangkan pertarungan melawan cuaca panas.

Bagian 5 - Membalikkan Piramida 'Sepakbola Kelas Pekerja' di Negeri Petro Dolar
Mengatakan bahwa Piala Dunia Qatar tidak akan memakan korban adalah satu kesalahan. Pada periode Juli hingga Agustus 2013 saja sudah ada 40 buruh yang tewas di beberapa konstruksi terkait Piala Dunia itu.

Ada yang mati karena terjatuh dari ketinggian, saat bekerja di tempat yang bahkan tidak menyediakan helm. Ada yang mati kelelahan karena jantungnya tidak berfungsi lagi dipaksa bekerja terus menerus, dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu.

Mereka-mereka yang datang ke Qatar dalam keadaan sehat, kemudian pulang ke negaranya dalam bentuk jenazah. Dan banyak di antaranya yang sudah merenggang nyawa di usia kurang dari 40 tahun.

Ya. Piala Dunia Qatar memang sudah memakan korban. Di balik hingar-bingar perseteruan antara petinggi FIFA, penyelenggara liga, dan pemilik hak siar televisi tentang dipindahkannya event akbar ini ke musim dingin, perlahan nyawa pun terus berjatuhan.

Terjebak Kafala

Meski bukan jadi buruh bangunan yang bekerja di terik matahari, Zahir Belounis, seorang pesepakbola asal Prancis berdarah Aljazair, juga merasakan bagaimana kerasnya mencari nafkah di Qatar. Dalam dua setengah tahun terakhir ia tidak mendapatkan gaji, tidak memiliki klub, atau memiliki kesempatan untuk pulang ke Prancis.

Dalam periode itu Zahir telah menjual harta benda miliknya untuk sekadar menyambung hidup istri dan kedua anaknya. Ia juga memiliki utang lebih dari 70 ribu euro untuk sewa rumah yang ia tinggali saat ini. Datang ke Qatar demi mencicipi uang, kini Zahir harus terkatung-katung tanpa kejelasan.

Awal mula keterpurukan ini dimulai saat Zahir bermigrasi ke Qatar pada 2007, ketika ia bergabung dengan klub Millitary Sport Association. Setelah menyelesaikan kontraknya selama 3 tahun, Zahir sebenarnya sempat kembali ke Prancis. Namun, saat Military Sport Association mendapatkan promosi, Zahir kembali memperkuat klub itu dengan kontrak selama 5 tahun.

Masalah muncul ketika Military Sport Association berubah menjadi Al-Jaish, dan Zahir tidak menandatangi perbaharuan kontrak yang menyatakan bahwa ia bekerja untuk Al-Jaish. Tiba-tiba saja Zahir tidak memiliki proteksi dan kejelasan status secara hukum. Di saat yang bersamaan, Al-Jaish juga seakan tidak lagi membutuhkan tenaga Zahir. Ia dianggap pemain surplus yang mesti dibuang. Zahir juga sempat dipinjamkan ke klub lain.

"Setelah satu tahun (berubah jadi Al-Jaish), mereka tiba-tiba menghentikan bayaranku," keluh Zahir, "dan setelah berbulan-bulan, mereka tetap mengatakan hal yang sama."

Zahir pun tak bisa kembali ke Prancis, karena ia tak memiliki exit visa dan paspornya ditahan. Di bawah sistem kafala, seseorang memang hanya bisa keluar Qatar jika memiliki exit visa dan jika sponsor yang membawanya ke Qatar memberikan izin.

Dua Juta Euro Untuk Zidane

Nasib serupa sebenarnya pernah menimpa Abdeslam Ouaddou, seorang pesepakbola asal Maroko yang bermain di klub Lekhwiya. Selama lima bulan ia tak dibayar, tak bisa pindah ke klub lain, dan juga tak bisa keluar dari Qatar. Ouaddou bahkan sempat melaporkan kasusnya ke FIFA.

Saat meminta exit visa pada klubnya, Ouaddou malah diberitahu bahwa ia tak akan bisa keluar dari Qatar jika tidak mencabut aduannya. Setelah mengancam akan mengadukan kasusnya ke grup pembela hak asasi manusia, barulah Ouaddou diberi kebebasan untuk pulang ke negaranya.

Tapi itu pun dengan catatan. "Kami membiarkanmu pergi. Namun, akan butuh waktu lima sampai enam tahun sampai kasusmu di FIFA beres dan kamu mendapatkan uangmu. Kami punya banyak pengaruh, dan sangat kuat di FIFA," ujar salah seorang pihak Lekhwiya, sebagaimana dikutip Ouaddou pada CNN.

Cara penyelesaian seperti inilah yang tak diinginkan Zahir. Menurutnya, ia tak hanya berhak atas izin pulang, tapi juga atas gaji yang semestinya dibayarkan El Jaish. Maka Zahir pun menuntut. Ia menyewa pengacara dan menempuh jalur hukum. Zahir juga melaporkan kasusnya ke FIFA. Dan enam bulan lalu ia sempat mengancam akan melakukan aksi mogok makan.

Cara paling anyar yang Zahir lakukan adalah pada 14 November 2013 dengan mengirim surat terbuka pada Zinedine Zidane. Ia meminta agar Zidane berbicara pada dunia tentang kasus itu dan membantunya pulang ke rumah. Ini karena Zidane jadi salah seorang duta Qatar saat proses pencalonan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Zidane bahkan dibayar 2 juta euro untuk tugasnya itu.

Meski Zidane, anak seorang imigran berdarah Aljazair, darah yang sama yang mengalir di tubuh Zahir, belum bersuara hingga saat ini, untungnya pihak yang lain mendengar. FIFpro (serikat pesepakbola di seluruh dunia) mengirimkan delegasinya untuk berbicara dengan pemerintah Qatar. Berbagai media internasional pun memberikan tekanan bertubi-tubi untuk kasus ini.

Akhirnya exit visa pun diberikan pada Zahir. Setelah dua tahun berjuang, Jumat 29 November ini Zahir akan menginjakkan kakinya lagi di Prancis.

Dari Mandu ke Doha

Berbeda dengan Zahir dan Ouaddou yang mampu melawan, perjuangan Rajendra Lama berakhir di kematian. Masa singkat sembilan bulan yang ia habiskan sebagai buruh membangun bandara untuk Piala Dunia, cukup untuk membuat jantungnya tak bisa lagi berfungsi. Di usia 29 tahun, jenazah Rajendra dikirim kembali desanya di Mandu, Nepal.

Kepada BBC, istri Rajendra menuturkan bagaimana bugarnya Rajendra sebelum berangkat ke Qatar. Rajendra bahkan mendapatkan surat keterangan sehat sebelum memasuki Qatar. Jika tidak mengantongi surat keterangan itu, maka ia tak mungkin diizinkan bekerja di Qatar.

Tragisnya, nyawa Rajendra ditukar oleh upah yang tak seberapa banyak. Bekerja di bawah terik matahari gurun, Rajendra hanya mampu mengirimkan uang setara Rp 800 ribu tiap bulannya.

Meski dibayang-bayangi cerita kematian Rajendra dan banyak kisah tragis pekerja lain, setiap hari ratusan penduduk Nepal tetap bermigrasi ke Qatar. Kebanyakan dari mereka tak berpendidikan dan terlilit utang besar. Nepal, kasarnya, tak mampu memberikan pekerjaan pada mereka-mereka yang paling lemah di masyarakat.

Tak heran kini Nepal jadi penyumbang pekerja paling banyak ke Qatar, yaitu sebesar 40% dari total pekerja. Lebih dari 100 ribu penduduk Nepal meninggalkan keluarganya untuk mencari penghidupan di Qatar.

Adalah satu kenyataan bahwa di Asia Tenggara dan Timur Tengah buruh Nepal sangat diminati. Pasalnya mereka mau mengerjakan apapun meski dibayar sangat murah. Bahkan di Qatar, negara yang pendapatan per kapitanya lebih dari 100 ribu dolar per tahun, ribuan buruh Nepal ini hanya menerima gaji kurang dari 3.000 dolar per tahun. Itu pun kalau benar dibayarkan oleh pemberi kerja.

Buruknya sistem perekrutan pekerja membuat para buruh rentan dieksploitasi. Di balik ratusan ribu, bahkan jutaan, pekerja kasar di Qatar ada jaringan rumit yang melibatkan perusahaan konstruksi, penyedia buruh, sponsor pekerja, dan agen pekerja.

Banyak pekerja yang gajinya ditahan beberapa bulan untuk mencegah mereka melarikan diri. Dan mayoritas pekerja menyatakan bahwa kontraktor telah menahan paspor mereka. Bahkan, banyak pekerja juga yang tak pernah diberikan kartu identitas yang menyatakan mereka adalah pekerja yang sah.

"Manager kami selalu berjanji akan memberikan kartu identitas kami di 'minggu depan'," ujar seorang pekerja yang telah bekerja 2 tahun di Qatar tanpa kartu identitas pada The Guardian.

Tanpa dokumen-dokumen itu, para buruh berstatus ilegal. Tak mungkin mencari pekerjaan baru, dan rentan terkena kasus hukum tanpa adanya perlindungan. Seperti Zahir, mereka juga terperangkap sistem kafala. Tak mungkin kembali ke negaranya.

Puncak dari semua cerita kelam eksploitasi buruh bangunan ini adalah bagaimana mereka disegregasi ke dalam pusat konsentrasi pekerja, yang jauh dari penduduk lokal. Di bawah hukum Qatar, para pemilik properti memang dilarang menyewakan rumah pada pekerja imigran, jika ada penduduk lokal tinggal pada area itu.

Maka jika berkunjung ke Doha, Anda tidak akan menemukan muka-muka para pekerja yang kelelahan. Hanya berbagai bangunan mewah yang menjulang tinggi yang akan menyambut Anda. Para buruh layaknya hantu, tak diinginkan dan disingkirkan ke tempat-tempat yang tak terlihat.

Qatar sendiri memiliki rasio pekerja imigran terhadap populasi penduduk lokal tertinggi di dunia. Lebih dari 90% pekerja di Qatar adalah imigran. Untuk kepentingan Piala Dunia, Qatar diprediksi akan merekrut lebih dari 1,5 juta buruh untuk membangun stadion, jalan, pelabuhan, dan hotel yang dibutuhkan.

Antara Doha dan Guantanamo

Tentu tak sedikit yang akan tinggal diam jika mengingat nasib yang akan menyambut buruh demi Piala Dunia itu. Pada September lalu, The Guardian meluncurkan hasil investigasinya, sementara Phillippe Auclair, seorang jurnalis asal Prancis, mengeluarkan 3 tulisan special report tentang Qatar.

Lalu, pada 17 November 2013, Amnesti Internasional pun mengeluarkan laporan hasil survey setebal 167 halaman. Laporan yang bisa diunduh bebas oleh siapapun ini berisi wawancara dan penyelidikan mereka pada 210 pekerja di Qatar. Tak tanggung-tanggung, mereka memberikan judul "The Dark Side of Migration: Spotlight on Qatar's Construction Sector Ahead of The World Cup" pada laporannya.

Tapi berbagai laporan ini hanya mendapatkan reaksi selintas dari pemerintah Qatar. Hanya mendapatkan janji-janji tentang bagaimana mereka akan memperbaiki kondisi para pekerja.

Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan otoritas yang menganugrahi Piala Dunia pada Qatar?

Direktur komunikasi FIFA, Walter De Gregio, hanya berujar bahwa mereka yang melancarkan kritik pada Qatar adalah pihak-pihak yang hipokrit. Pihak yang munafik. Menurut Walter, jika menyangkut sepakbola, tiba-tiba saja banyak pihak yang menuntut standar lebih tinggi dari biasanya.

"Jika begitu, dalam pencalonan Amerika Serikat sebagai tuan rumah, Anda juga harus menyoroti pelanggaran HAM di penjara Guantanamo," sindir De Gregio.

Sampai batas tertentu, komentar ini tentu bisa dibenarkan. Bahwa setiap negara memiliki aib dan borok masing-masing adalah tepat. Ada isu tentang penyembunyian area kumuh di Piala Dunia Afrika Selatan, sementara Brasil memiliki kasus gap sosial yang terlampau tinggi. Rusia pun diprotes karena dianggap homophobic, dan adanya diskriminasi pada kaum LBGT.

Intinya, memang tak ada negara yang tangannya benar-benar bersih.

Namun, apa yang akan terjadi di Qatar, jika kondisi ini tak segera dibenahi, akan menjadi satu tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tragedi yang memang dibiarkan terjadi di depan mata oleh berbagai pihak.

Patut diingat, sebagaimana disampaikan di tulisan-tulisan lainnya, banyak pihak yang memiliki kepentingan di Piala Dunia 2022. Mulai dari perusahaan konstruksi non-Qatar, sampai banyak negara yang dihibahi uang oleh pemerintah Qatar akan berupaya keras memastikan Piala Dunia ini terjadi. Apapun harganya.

Jika ini tragedi ini benar-benar terjadi, maka komplitlah pembalikan piramida di sepakbola, yang tak hanya melulu masalah berubahnya taktik. Dulu sepakbola sangat berarti di tengah-tengah kaum buruh dan kelas pekerja, karena menawarkan sebentuk pelarian dari beban hidup. Di Qatar nanti, sepakbola-lah yang akan merenggut nyawa para kelas pekerja.

Tidak Semahal Nyawa Manusia

Soal Qatar dan Sepak Bola yang Abai

Kita tidak akan berandai-andai lagi. Faktanya sudah ada di depan mata. Semuanya sudah tersebar luas dan pilihan ada pada kita. Kita bisa diam saja, pura-pura tidak tahu, atau menganggap itu semua cuma soal konsekuensi yang memang harus ada. Atau, kita bisa segera bereaksi dan bertindak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Sampai saat ini, kapasitas dan kemampuan saya hanya sebatas menulis dan meracau di ruang publik seperti ini, tetapi saya pikir, untuk sebuah tindakan yang (menurut saya) benar, apapun tindakannya, pasti akan berguna.

Tiga tahun lalu, FIFA, lewat proses pemilihan yang kontroversial sudah menetapkan dua tuan rumah untuk dua putaran final Piala Dunia tahun 2018 dan 2022. Rusia didaulat untuk menjadi tuan rumah pada tahun 2018, sementara, Qatar terpilih untuk menjadi tuan rumah di perhelatan berikutnya.

FIFA dan kontroversi memang berkawan baik. Organisasi yang didirikan oleh Jules Rimet ini memang telah beralih fungsi menjadi mesin penghasil uang, seiring dengan perubahan besar-besaran yang melanda dunia sepak bola. Sepak bola, olahraga yang (seharusnya?) identik dengan kelas pekerja ini telah beralih rupa menjadi sebuah olahraga yang glamor dan menjadi sebuah industri tersendiri.

Terpilihnya Rusia dan Qatar sulit untuk (di)lepas(kan) dari tudingan miring. Bahwa FIFA tak peduli soal isu-isu sensitif di luar sepak bola dan hanya mengejar keuntungan finansial mahabesar dari dua perhelatan ini memang sudah menjadi isu miring yang menggelayut di tubuh FIFA sejak palu keputusan diketuk. Namun, FIFA, layaknya organisasi-organisasi yang dihuni politisi ulung lainnya, senantiasa mengelak dari tudingan-tudingan miring tersebut.

Sialnya, tudingan-tudingan yang dialamatkan khususnya kepada sang presiden, Sepp Blatter, tersebut pelan-pelan mulai menampakkan bukti nyatanya.

Sebagai awalan saja, soal Rusia, sudah mulai ada wacana untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014 tahun depan. Isu yang diangkat adalah soal HAM dan homophobia. Selain itu, kasus korupsi besar-besaran yang terjadi di proyek kompleks olahraga Sochi juga menjadi salah satu faktor tersendiri untuk mengatakan ‘tidak’ untuk Rusia.

Piala Dunia, sudah barang tentu merupakan perhelatan yang lebih besar dibanding Olimpiade Musim Dingin, terutama jika ditilik dari sisi atensi yang diterima. Jika Olimpiade Musim Dingin saja sudah mengundang protes, bagaimana nanti Piala Dunia?

Berita baiknya adalah, secara infrastruktur, terutama soal stadion, Rusia sudah cukup siap. Mereka sudah memiliki cukup banyak stadion yang layak untuk menggelar laga Piala Dunia. Paling-paling, sedikit poles di sana sini, lalu masalah pun selesai. Kesiapan Rusia mungkin bisa sedikit menyelamatkan muka FIFA.

Lalu bagaimana dengan Qatar?

Qatar adalah anak bawang di skena sepak bola internasional. Kualitas timnas mereka pas-pasan, bahkan untuk kawasan Asia sekalipun. Liga sepak bola mereka pun, jika tak mampu menjanjikan uang dalam jumlah (sangat) besar, tidak akan mampu menarik nama-nama besar. Guardiola, Ailton, dan Raul Gonzalez tidak akan pergi ke sana jika bayarannya tidak benar-benar bagus. Toh, masih ada MLS (Major League Soccer), kalau hanya ingin sekadar menambah tabungan di penghujung karir.

Tetapi, belakangan ini, nama Qatar menjadi sering muncul dalam jagad persepakbolaan, meskipun bukan soal prestasi di lapangan. Qatar, dengan kemampuan finansial luar biasa berkat hasil gas alam nan melimpah, tiba-tiba menjadi aktor ‘penting’ di sepak bola. Mensponsori Barcelona, membeli PSG (dan Malaga) lewat Qatar Sports Investments, serta mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah tiga contoh langkah besar Qatar untuk menjadi pemain kelas kakap di dunia sepak bola.

Seperti yang diungkapkan David Conn di The Guardian, sampai saat ini, belum jelas apa yang menjadi motif Qatar untuk terjun ke sepak bola. Ada yang mengatakan, mereka mencoba menggunakan sepak bola untuk kepentingan yang lebih besar, yakni, khususnya, untuk menjadi pemimpin di kawasan Timur Tengah, menggantikan Arab Saudi. Qatar ingin menunjukkan bahwa mereka adalah negara ‘beradab’, modern, dan mewah.

Namun, ada indikasi di sini bahwa Qatar ‘berusaha terlalu keras’ untuk meraih status sebagai pemain kakap tersebut. Qatar memang kaya raya. Pendapatan domestik bruto mereka pada tahun 2012 tercatat mencapai angka $18 miliar dengan pendapatan per kapita sebesar $103.900. Sumber daya sebanyak ini tidak diimbangi dengan jumlah sumber daya manusia yang memadai dan oleh karena itu, banyak sekali pekerja migran yang didatangkan pemerintah Qatar, khususnya untuk merombak habis-habisan negara mereka agar siap menjadi tuan rumah pada 2022.

Para pekerja tersebut kebanyakan berasal dari Asia Selatan, khususnya Nepal. Di Nepal, mereka sudah kehabisan lapangan pekerjaan dan mendengar ada peluang di Qatar untuk menjadi bagian dari megaproyek Piala Dunia 2022 tentunya terdengar sangat menarik bagi mereka.

Ironisnya, di Qatar pun nasib mereka tak juga membaik. Mereka diperlakukan buruk di sana. Laporan dari Amnesti Internasional menyebutkan bahwa mereka ‘diperlakukan bak hewan ternak’. Mereka dieksploitasi habis-habisan bagai sapi perah. Para pekerja tersebut bekerja 12 jam sehari, 7 hari seminggu. Mereka juga dipaksa untuk terus bekerja di siang hari pada musim panas ketika temperatur bisa mencapai 45° Celcius tanpa akses air minum. Padahal, di undang-undang ketenagakerjaan Qatar sudah tertulis bahwa para pekerja tersebut hanya boleh bekerja selama 10 jam sehari dan di musim panas, tidak ada yang boleh bekerja di rentang waktu antara pukul 11.30 s/d 15.00.

Jumlah korban meninggal di Qatar sudah mencapai puluhan orang (70 orang, menurut laporan The Guardian tanggal 1 Oktober 2013) dan tekanan dari dunia internasional semakin kencang mendera pemerintah Qatar. Pemerintah Qatar dianggap lalai dalam mengontrol perusahaan-perusahaan swasta yang terlibat dalam proyek Piala Dunia ini.

Proyek ini sendiri rencananya menghabiskan dana sampai $100 miliar. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk membangun sembilan stadion, satu bandar udara, satu jalan raya yang terhubung ke Bahrain, satu jaringan rel kereta, satu jaringan kereta bawah tanah, dan 29 hotel baru. Proyek ini memang sangat ambisius dan semua itu harus selesai dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun. Memang tidak mengherankan apabila Qatar menggenjot habis-habisan proses pembangunan, tetapi, jika itu harus memakan korban, masihkah apa yang dilakukan Qatar dapat dimaklumi?

Hal ini kemudian diperparah dengan keberadaan sistem Kafala, sebuah sistem yang membuat para pekerja migran tidak bisa menentukan nasib mereka sendiri di Qatar. Hukum ini tidak hanya terdapat di Qatar mengingat hukum ini adalah bagian dari hukum ekonomi syariah. Hukum Kafala ini mengharuskan para pekerja migran untuk menyerahkan semua identitas mereka kepada sponsor atau penjamin mereka. Biasanya, yang menjadi sponsor adalah pihak yang mempekerjakan mereka.

Sistem Kafala ini tentunya berniat baik, yakni untuk melindungi kedua belah pihak. Namun, sayangnya, sistem ini rawan penyelewengan. Salah satu contoh lain selain apa yang menimpa para pekerja proyek Piala Dunia adalah kasus yang menimpa Zahir Belounis, seorang pesepak bola pro berusia 33 tahun asal Prancis yang tidak bisa keluar dari Qatar karena tidak mendapat izin dari klub yang (pernah) mempekerjakannya.
Belounis terlibat konflik dengan Al-Jaish, klub divisi utama Qatar yang menurutnya belum membayar gajinya sejak 2010. Ia kemudian memutuskan untuk menuntut klubnya secara hukum pada Juni 2012. Belounis kalah di pengadilan dan sebagai imbasnya, ia tidak diberikan izin oleh klubnya untuk pulang ke Prancis. Praktis, selama kurang lebih tiga tahun, ia nyaris tidak memiliki penghasilan, padahal ia memiliki keluarga yang harus dihidupi.

Belounis yang frustrasi kemudian mengirimkan surat terbuka kepada Zinedine Zidane dan Josep Guardiola untuk meminta bantuan mereka menyelesaikan masalah ini. Ia tentunya tidak sembarangan mengalamatkan surat. Zidane dikabarkan menerima uang sebesar 2 juta euro untuk menjadi duta promosi Piala Dunia 2022, sementara itu Guardiola, disebut-sebut sebagai aktor utama yang menjembatani antara Qatar dan Barcelona (dan dunia sepak bola). Sampai saat ini, kabar kelanjutan dari kasus Belounis masih simpang siur, meskipun pemerintah Prancis sudah menyatakan akan membantunya.

Kritik yang diterima FIFA perkara terpilihnya Qatar pada awalnya sama sekali belum menyentuh soal buruknya perlakuan para pekerja migran. Awalnya, kritikan hanya berkisar pada waktu penyelenggaraan Piala Dunia. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, suhu musim panas di Qatar bisa mencapai 45° celcius dan mustahil untuk menggelar pertandingan sepak bola dengan temperatur seperti itu. Ide untuk memindah laga Piala Dunia ke musim dingin pun langsung dimentahkan karena akan mengganggu perjalanan kompetisi di sebagian besar negara peserta.

Tetapi, sekarang, satu borok yang lebih besar sudah terkuak dari Qatar. Sepak bola memang kadangkala abai. Banyak aktor yang terlibat di sepak bola seringkali menihilkan hal yang lebih penting demi terpuaskannya dahaga sepak bola mereka. Bukan salah sepak bola tentunya, toh ia hanya permainan. Sepak bola tidak lebih penting dari nyawa manusia dan semoga, kasus di Qatar ini akan mampu membuka mata kita yang merasa mencintai sepak bola.

Sepak bola memang mahal, tetapi tidak semahal nyawa manusia,

Perbedaan Orang Kaya Amerika dan Indonesia

Ini Bedanya Orang-orang Kaya di Amerika dan Indonesia

Jakarta -Dari jumlah harta kekayaan jelas beda, tapi ada perbedaan lain yang mencolok antara orang-orang kaya Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Apa perbedaannya?

Seperti dikutip dari Forbes, perbedaan paling mencolok adalah sektor industri tempat mereka 'bermain'. Orang-orang kaya AS banyak bergelut di dunia teknologi, sementara Indonesia masih mengandalkan rokok.

Orang terkaya nomor 1 di Indonesia masih ditempati oleh R Budi Hartono dan Michael Hartono pemilik PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan Grup Djarum. Harta milik dua bersaudara ini menurut Forbes mencapai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 150 triliun.

Bukan hanya Grup Djarum, pemain rokok besar juga masuk jajaran orang terkaya di Indonesia, yaitu Bos Gudang Garam Susilo Wonowidjojo dan Bos Grup Sampoerna Putera Sampoerna.

Susilo punya harta sekitar US$ 5,3 miliar (Rp 53 triliun), sementara Putera sebanyak US$ 2,15 miliar (Rp 21,5 triliun).

Keadaan ini berbeda dengan daftar orang terkaya di AS. Di negeri Paman Sam tersebut, orang terkayanya adalah Bill Gates, pemilik Microsoft berusia 56 tahun dengan kekayaan US$ 59 miliar.

Selain Gates yang sukses di industri komputer, masih banyak miliuner teknologi lainnya yang masuk daftar Forbes, seperti Bos Oracle Larry Ellison, Jeff Bezos, Larry Page, Sergey Brin dan lain-lain Semua orang miliuner itu masuk daftar 20 besar orang terkaya di AS versi Forbes.

Larry adalah pendiri raksasa teknologi Oracle. Hasil karyanya adalah perangkat lunak Java yang banyak digunakan di berbagai peralatan elektronik sehari-hari hingga keperluan pesawat ulang alik NASA. Ia punya kekayaan US$ 69 miliar (Rp 690 triliun).

Pendiri Amazon.com Jeff Bezos punya harta US$ 25,2 miliar (Rp 252 triliun). Sedangkan duo petinggi Google, Page dan Brin, masing-masing punya harta US$ 23 miliar (Rp 230 triliun) dan US$ 22,8 miliar (Rp 228 triliun).

Kisah Romeo Juliet dari Yaman dan Arab Saudi

Kisah Pilu "Romeo dan Juliet" dari Yaman dan Saudi

Seorang perempuan muda Saudi memohon kepada sebuah pengadilan Yaman untuk membolehkannya tinggal di negara itu dan menikahi pria yang dicintainya.

Dalam kasus yang telah dibandingkan situasi kisah cinta Romeo dan Juliet dalam drama karangan Shakespeare, Huda al-Niran (22 tahun) menentang keluarganya dan menyeberangi perbatasan secara ilegal demi bisa bersama Arafat Mohammed Tahar (25 tahun). Gadis itu telah muncul di pengadilan Yaman dan memohon agar diberikan izin tinggal, sementara para pendukungnya berunjuk rasa di luar gedung pengadilan di Sanaa. Mereka mengenakan bando bertulis "Kami semua Huda."

Nasib dua kekasih itu menyedot perhatian warga Yaman dan Arab Saudi yang sangat konservatif.

Huda telah menantang dua keinginan keluarganya. Keluarganya melarang dia menikahi Tahar serta jangan pernah meninggalkan Saudi untuk Tahar ke Yaman.

Di pengadilan, gadis itu menolak untuk menerima pengacara yang disediakan kedutaan Saudi. Ia takut dirinya akan akan berada di bawah tekanan untuk kembali ke negerinya.

Sebaliknya, Namun mau diwakili oleh pengacara yang ditunjuk organisasi non-pemerintah Yaman yang disebut Hood. Pengacara dari lembaga itu berharap untuk bisa mendapatkan hasil yang menguntungkan. "Ini kasus kemanusiaan, dan tidak harus meningkatkan ketegangan antara kedua negara," kata Abdel al- Qadi Rakib, pengacara dari Hood kepada kantor berita AFP.

Rakib mengindikasikan bahwa Sanaa telah berada di bawah tekanan otoritas Saudi untuk memastikan Huda kembali.

Gadis itu saat ini berada dalam tahanan dan diadili karena memasuk Yaman secara ilegal. Jika terbukti bersalah, ia menghadapi pengusiran.

Hingga hari Minggu (24/11) kemarin tidak ada keputusan yang diumumkan dan pengadilan menetapkan sidang berikutnya pada 1 Desember karena menunggu Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menetapkan status permintaan suaka Huda. Seorang wakil UNHCR mengonfirmasikan kepada AFP bahwa Huda telah memulai proses untuk diberikan status pengungsi di Yaman. Jika dia berhasil, maka akan sulit bagi pihak berwenang Yaman untuk mengusirnya.

Kasus Huda juga menjadi perhatian Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York. Pada 19 November, HRW mendesak Yaman untuk tidak memulangkan gadis itu dan mempertimbangkan fakta bahwa mengembalikannya kepada keluarganya bisa menempatkan nyawanya dalam risiko. "Dia takut akan siksaan fisik dari anggota keluarganya jika dia kembali ke Arab Saudi," kata HRW dalam sebuah pernyataan. Gadis itu mengatakan, di masa lalu dia sudah pernah disiksa oleh keluarganya.

Dari Pasar Baru Menuju Hollywood

Kisah Hidup Tania Gunadi Asal Bandung, dari Karyawan Restoran Pizza Jadi Bintang Disney

TANIA Gunadi, wanita ceria dan murah senyum ini menyambut Bintang Online penuh keramahan saat sesi wawancara eksklusif belum lama ini.

Sebuah hal istimewa mengingat Tania bukan sekedar aktris biasa. Ia tak berkiprah di jagat sinetron atau perfilman tanah air. Tania berkarier di pusat perfilman dunia, Hollywood.

Wanita berdarah Sunda ini, tampil feminim berbalut dress hitam dengan sepatu hak tinggi yang serasi dengan busana yang dikenakan. Gaya rambutnya hari itu, saat kami mewawancarainya belum lama ini, menjadi ciri khasnya: poni depan dengan sisa rambut yang dijepit ke atas.

Namun ya itu tadi, dibalik kesederhanaan penampilan, wanita berusia 30 tahun ini telah mencetak berbagai prestasi menakjubkan di industri perfilman Hollywood.

Namun kesuksesan itu tak diraihnya dengan cara instan. Karier Tania dipenuhi berbagai tantangan dan rintangan. Ia tak pernah berniat pula menjadi aktris seperti sekarang. Tania lahir, tumbuh besar, bersekolah dan menikmati masa remaja di daerah Pasar Baru, Bandung. Ia menjalani kehidupan sederhana, di lingkungan pasar, toko buah dan warung-warung.

Tania tak pernah menyangka sebelumnya ia mampu berkarier di Los Angeles, rumah para selebriti dunia, seperti sekarang.

Bekerja di restoran pizzaWanita kelahiran 29 Juli 1983 ini pertama kali mendapatkan kesempatan berangkat ke Amerika Serikat berkat memenangkan undian Green Card Lottery pada tahun 2000 yang diajukan sang kakak yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Green Card ini memberi kesempatan baginya untuk kemudian memperoleh pendidikan gratis di Amerika Serikat.

Hanya berbekal uang AS$200 saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri Paman Sam, Tania memulai perjalanan hidup dan karirnya di negeri orang tanpa bekal akting atau keinginan untuk menekuni bidang tersebut. "Hal terbaik di Amerika Serikat adalah jika ingin melakukan sesuatu, maka ada cara untuk mewujudkannya," jelasnya kepada Bintang Online saat diwawancarai di The Belly Clan, Intiland Tower, Jakarta Pusat, Selasa (19/11).

Pekerjaan pertama Tania di AS sebagai penerima pesanan di Pizza Hut. Karena keterbatasan bahasa, ia digeser ke posisi tukang masak. Karena terbiasa makan di warung dan tak mampu membedakan bahan makanan, ia kemudian diturunkan posisinya sebagai pencuci piring. Karena juga tidak terbiasa mencuci nampan pizza dan sempat terbakar akibat tidak mengenakan sarung tangan khusus, maka diturunkan lagi menjadi pembersih WC dan penyapu lantai.

Walau menghadapi berbagai kesulitan seperti keterbatasan kemampuan bekerja dan kendala bahasa, semuanya dikerjakan sepenuh hati oleh Tania dan tak membuatnya menyerah dan putus asa.

Semuanya kemudian berubah ketika suatu hari, Tania memutuskan mengikuti audisi untuk iklan Disneyland dan terpilih sebagai pengisi peran untuk adegan menaiki rollercoaster. Berkat ekspresi ceria yang masih melekat di wajah usai menaiki rollercoaster berulang kali, Tania sukses mengalahkan peserta audisi lainnya.

Film TV Hollywood yang Dibintangi Produser merasa Tania cocok dengan peran yang diperlukan. Tawaran yang semula hanya satu iklan menjadi tiga iklan. Berkat ini, ia memperoleh tambahan hari kerja serta dibayar hingga AS$ 1500. Angka yang begitu fantastis baginya saat itu.

Sejak itu pula ia merasa pekerjaan di dunia hiburan sangat menyenangkan sekaligus mendatangkan pendapatan memuaskan. Tania menganggap ini merupakan pekerjaan terbaik di dunia. Tania lalu menetapkan cita-cita menjadi seorang aktris.

Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya beberapa tawaran film menghampirinya. Beberapa film pertama yang diperoleh antara lain, The Magic of Ordinary Days (Hallmark), Boston Public (FOX) dan It's Always Sunny in Philadelphia (FX).

Namun, nama Tania Gunadi baru mulai menanjak saat membintangi film produksi Disney sebagai Mojo dalam Go Figure serta tokoh Emma Lau dalam serial Aaron Stone.

Ia bahkan pernah menjadi pengisi suara untuk tokoh Miko Nakadai dalam Transformers: Primedan membintangi sebuah serial situasi komedi Youtube berjudul MyMusicsebagai Techno.

Kini, ia sedang sibuk syuting dua film terbaru. Salah satunya adalah animasi Disney terbaru, Penn Zero: Part Time Heroyang rencananya akan dirilis akhir tahun 2014. "Saya salah satu tokoh utamanya. Saya sangat bahagia karena ini untuk 42 episode selama 9 bulan ke depan," ungkapnya.

Satunya lagi merupakan sebuah serial berjudul Enlisted. "Salah satu impian saya adalah bekerja untuk saluran tv network," jelasnya. "Saya sudah mem-booking 13 episode, dan ini untuk FOX. Sedangkan FOX merupakan salah satu saluran network terbesar. Jadi saya sangat senang bisa mendapatkan dua pekerjaan sekaligus dan memainkan tokoh yang berbeda-beda. Menurut saya ini menakjubkan," ujarnya penuh keceriaan.

Cinta di Tapal Batas Timor Leste

Ada Cinta di Tapal Batas Timor Leste-Indonesia

Atambua - Primeiro Sargento Rui Caeiro (41) tiba-tiba saja keluar dari pos jaganya. Dia berjalan tegap ke arah saya dengan seragam loreng abu-putih dan baret biru yang ada di kepalanya. Meski perawakannya kurus dan pendek, namun kedua lengan tangan hitamnya masih terlihat berotot, kekar.

"Bon dia" sapanya dengan senyum kecil.

Entah senyumnya itu tanda keramahan atau akibat panasnya matahari di tapal batas Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste, di Mataain, Atambua. Pagi itu saya menginjakan kaki di tapal batas itu sekitar pukul 09.00 WIT.

Meski terhitung pagi, cuaca mencapai 35 derajat celcius. Angin laut yang ada di sebelah perbatasan cukup meredam panas saat itu.

Sapaan yang dilafalkan Rui merupakan bahasa Tetun (bila diucap menjadi Tetum). Bahasa ini merupakan bahasa kedua mayoritas masyarakat Timor Leste setelah bahasa Porto (Portugal). Awalnya saya tidak mengerti apa yang diucapkan Rui.

"Artinya selamat pagi," kata Rui sembari menjulurkan tangan pertanda perkenalan.

Personel kepolisian dari Timor Leste ini menanyakan maksud saya berada di titik kedaulatan Timor Leste. Maklum saja, saya berada di sana tanpa dokumen keimigrasian. Rui akhirnya memberikan toleransi setelah saya menjelaskan maksud saya ada di zona yang menjadi tanggungjawab penjagaannya.

Dia mempersilakan saya berada di zona steril itu meski untuk sekedar mengabadikan pos-pos penjagaan perbatasan tanah Rai Timr Lorosa’e (sebutan lain Timor Leste). Pos tersebut merupakan satu dari beberapa pintu masuk menuju negara yang sudah terpisah 12 tahun dari Indonesia.

10 Tahun sudah pria asli Timor Leste ini menjadi petugas kepolisian. Sejak Timor Leste masih berada di kedaulatan Indonesia dia adalah seorang pegawai negeri di Departemen Transmigrasi.

Referendum dari buntuk konflik berkepanjangan, membuat dia harus memilih. Hidup menjadi Indonesia atau bergabung di negara baru di bawah kepemimpinan Xanana Gusmao, presiden pertama negara tersebut pasca merebut kemerdekaan negaranya.

"Sejak awal prinsip saya ingin menjadi polisi perbatasan di sini," ujar pria berpangkat setara Sersan Satu (Sertu) ini dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.

Meski pernah berkonflik, tidak pernah ada konflik dengan petugas penjaga perbatasan di teritori Indonesia. Justru, kata dia, kebersamaan erat yang terjalin selama bertugas.

"Selama ini kerjasama berjalan baik, kalau ada permasalahan kita urus bersama," katanya.

Keakraban terjalin dalam kerjasama maupun koordinasi antar masing-masing petugas penjaga perbatasan Timor Leste-Indonesia. Itu dalam bentuk formal, hanya sekedar berbincang di zona steril pun kerap mereka lakukan sekadar untuk melalui rutinitas penjagaan yang dimulai sejak pukul 08.00 Wit hingga tutup gerbang pada pukul 16.00 WIT

"Adat istiadat yang tidak memisahkan kami, tidak bisa kita tolak itu," katanya.

Meski sudah tercatat sebagai warga negara Timor Leste, bukan berarti dia lupa dengan Indonesia. Bila ada kesempatan cuti kerja atau merayakan Natal, sesekali dia mengunjungi kakak kandungnya di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Komandan Satuan Tugas Pengamanan Batas (Satgas Pamtas) RI-RDTL dari Batalyon 743 Kupang, Mayor (Inf) Budi Prasetyo mengatakan, memang ada kekhususan bagi warga Indonesia atau Timor Leste yang tidak memilki paspor dan visa untuk dapat melintas batas dua negara.

Kekhususan ini berlaku untuk mereka yang hendak menghadiri acara adat, seperti adanya kematian, pentasbihan, atau acara adat atau keagamaan.

"Syaratnya, radius mereka tidak lebih dari 10 kilometer dari batas negara dan hanya tiga hari saja, kita memberikan toleransi itu," kata Budi saat menyambut tim dari Kementerian Pertahanan.

Kelonggaran yang diberikan kepada warga ini cukup dilakukan dengan memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada otoritas setempat. Selanjutnya mereka tercatat sebagai pengunjung 'khusus' di wilayah yang dimasuki. Bila lebih dari waktu yang ditentukan, tentu ada sanksi peringatan yang akan diterapkan kepada mereka.

Pantauan di tapal batas ini, kesibukan di pagi hari mulai tampak. Beberapa kendaraan umum hilir-mudik mengangkut penumpang baik dari atau ke Timor Leste.

Adalah Rosalinda Hoarklau (34) salah satu warga Dili yang tengah 'mudik' ke Atambua. Hari itu tiga anaknya yang masih di sekolah dasar, Zoni (13), Denilson dan Danilson (9) tengah libur tiga bulan.

"Satu tahun sekali kami rutin ke Atambua. Orang tua kandung saya ada di sana," kata Rosa saat menunggu administrasi keimigrasian Timor Leste. Liburan kali ini adalah untuk persiapan Natal yang akan jatuh sebulan lagi.

Abere (35), sopir travel Timor Tour and Travel mengatakan, memang lonjakan penumpang kerap terjadi menjelang hari-hari besar keagamaan. "Bukan hanya Natal, lebaran juga banyak penumpang yang mudik dari Timor Leste ke NTT," katanya saat kendaraan yang ditumpanginya baru tiba di batas negara.
Pihaknya memberikan harga bervariasi untuk mereka yang menggunakan jasa angkutan travel. Tergantung jauh dekatnya tujuan. Misalnya saja jarak dari Dili ke Atambua dia mematok US$ 13, Dili ke Kefa US$ 16, Dili ke Soe US$ 18, Dili ke Kupang US$ 21.

"Saya hanya mengantar sampai di sini (perbatasan). Nanti dioper ke travel kerjasama untuk tujuan yang di NTT," ujarnya.

Jelang pukul 16.00 Wit, panas di perbatasan tidak berubah. Namun, aktivitas kesibukan mulai lengang. Satu persatu perkantoran; Bea Cukai, Imigrasi, bank, mulai berbenah. Dan saya pun kembali memasuki wilayah Indonesia untuk melanjutkan perjalanan menuju Atambua.

"Abrigado," ucap saya kepada Riu sebagai tanda perpisahan. Kalimat tersebut berarti terima kasih. Saya mendapatkan bahasa tersebut dari seorang teman.

"Botarde," jawabnya, yang berarti selamat sore.

Pelukan Menerjemahkan Kasih Sayang dan Dukungan

Menakjubkan, Setelah Lahir Bayi Kembar Ini Tetap Berpelukan

Pelukan menerjemahkan kasih sayang dan dukungan, memberikan efek yang menenangkan, menimbulkan rasa percaya diri, serta dipercaya mampu menguatkan daya tahan tubuh. Mereka yang terlahir kembar sudah lebih dulu merasakan khasiat pelukan saat masih berada dalam kandungan ibunda.

Pengalaman seorang perawat di Perancis, Sonia Rochell, membuktikan pernyataan tersebut. Awalnya, Rochell ingin menampilkan teknik memandikan bayi tanpa menggunakan sabun. Kebetulan, bayi peraga yang terpilih terlahir kembar dan sebuah pengalaman pemandangan luar biasa pun terjadi selama proses shooting berlangsung.

Ketika Rochell merendam tubuh mereka ke dalam bak berisi air, dua bayi kembar ini tetap saling berpelukan, seolah tak ingin terpisah. Kemudian, saat tiba tahap membilas kepala, yang dilakukan secara bergantian, bayi kembar ini mengganti pelukan dengan sentuhan menyerupai gerakan memegang.

Sekarang, video yang telah diunggah ke laman YouTube ini telah disaksikan oleh ribuan penonton dari seluruh dunia. Metode memandikan bayi yang didemonstrasikan oleh Rochell mengedepankan teknik membelai dan memijat tubuh bayi dengan lembut di dalam bak dan pancuran air bertekanan ringan, selama 10 hingga 15 menit.

Meskipun diunggah ke laman media sosial, video ini merupakan materi promosi perawatan baby spa terbaru di klinik miliknya, dan tidak direkomendasikan untuk para ibu mempraktikkannya sendiri di rumah tanpa pengawasan terapis profesional. Rochell sendiri menemukan metode ini setelah bertahun-tahun bekerja sebagai perawat khusus bayi yang baru lahir di Clinique de la Muette di Paris.

Setelah menyaksikan video ini, seorang ibu berkomentar, "Lewat video yang menampilkan metode unik memandikan bayi, akhirnya malah menggambarkan bagaimana kehidupan bayi kembar saat masih dalam janin. Mereka saling berpelukan, saling berpegangan, begitu nyaman. Mungkin mereka merasa masih berada di dalam perut bunda."

Terus Berjalan Mencari Bantuan Meski Langit Sudah Terlampau Gelap

Mengharukan, Cinta Bocah 4 Tahun kepada Sang Ayah

Dunia anak memang dunia bermain. Namun, ternyata, anak-anak, umur balita, tidak hanya bisa bermain lho. Buktinya, balita umur empat tahun ini bisa bertindak "lebih dewasa" dari umurnya sehingga bisa menyelamatkan ayahnya.

Adalah bocah perempuan bernama Cadance yang begitu berjasa bagi sang ayah. Cadance dengan berani berlari dalam gelap sejauh seperempat mil untuk mencari bantuan ke tetangganya saat melihat ayahnya terbaring pingsan.

Dikutip dari Huffington Post, Chris Lucas dari Iron Mountain, Michigan, pingsan setelah kepalanya terbentur saat ia sedang melakukan bongkar muat besi tua dari truknya pada 15 Oktober lalu. Putri kecilnya yang saat itu bersamanya lantas berlari mencari pertolongan.

Kepada TV6, Cadance mengatakan dirinya tahu sang ayah butuh bantuan karena tergeletak begitu saja di tanah dekat bagian belakang truknya. Setelah Cadance menceritakan kondisi ayahnya, si tetangga lantas menelepon ambulans, lalu Chris dibawa ke RS untuk mendapat perawatan.

Beruntung Chris hanya menderita benjolan kecil di belakang kepalanya. Namun, menurut Chris, kondisinya bisa jadi lebih buruk jika putrinya tidak nekat berlari mencari bantuan. "Kebanyakan anak-anak akan duduk saja sampai orangtua mereka bangun," kata Chris. "Tapi, dia mengambil inisiatif untuk berjalan mencari bantuan meskipun hari sudah gelap," imbuhnya.

Atas tindakan berani Cadance, Chris merasa sangat beruntung. Tidak pernah disangka, hidupnya diselamatkan oleh anaknya yang masih sekecil itu. "Dia pahlawan buat saya," ucap Chris.

Layanan Pengakuan Dosa di Dalam Taksi

Wow, Di New York Ada Layanan Pengakuan Dosa Diatas Taksi

Umumnya seorang pastur  melakukan pelayanan dosa pada sebuah bilik yang tenang di dalam sebuah gereja. Tetapi bagi Joseph Djan dirinya melakukan terobosan yang cukup mengejutkan. Pasalnya ia melakukan pelayanan dosa di dalam taksi yang ia kendarai sendiri.

Dilansir dari Nydaily, kreatifitas Djan tersebut lahir dari pekerjaannya sebagai seorang supir taksi di New York. Kini ia menamakan kendaraannya sebagai gereja bergerak. Ternyata cara yang ia lakukan bisa bertemu lebih banyak orang dan lebih fleksibel dalam melakukan pelayanan dosa.

Tak hanya itu, selama dirinya bekerja sebagai sopir taksi, Djan pun memutar lagu-lagu hip-hop dengan syair-syair religi sehingga penumpang tahu identitasnya. Biasanya setelah mengetahui pria asal Ghana tersebut seorang religius, maka penumpang akan terbuka menceritakan masalah hidupnya.

Salah satunya ketika mendapat penumpang yang curhat ketakutannya mengungkap jati dirinya sebagai gay.

“Saya mengatakan padanya bahwa semua orang punya rahasia. Kita semua pada akhirnya harus melakukan pengakuan dengan cara tersendiri. Pria itu kemudian melakukan pengakuan dirinya gay setelah keluar dari taksiku dan melanjutkan hidup tanpa terus bersembunyi,” terangnya.

Meski demikian, Djan cukup profesional, jika seseorang tidak tertarik untuk curhat maka ia tidak mempermasalahkanya, dan mengganti lagu religi dan membicarakan hal ringan. Pria berusia 52 tahun ini berpendapat tidak selama harus ke gereja untuk menjadi orang yang religius.

“Saya memang inginnya sih mereka ke gereja setiap hari Minggu. Tapi jika tidak bisa maka mereka bisa mendapatkannya di sini,” tambahnya.

Kehidupan Baru dalam Abu Jenazah - Terobosan Mutakhir Teknologi

Kini Ubah Abu Jenazah Jadi Berlian Banyak Digemari Masyarakat

Untuk membuka peluang bisnis diperlukan ide-ide gila yang tak dapat dicerna dengan pikiran pada umumnya. Perusahaan Algordanza asal Hong Kong kini menekuni bisnis yang membuat abu orang mati menjadi berlian.

Bahkan berlian sintetis ini kini banyak di pesan dan bisa digunakan oleh keluarga yang ditinggal pergi sebagai kenang-kenangan. Sementara itu, daya tarik bisnis ini setidaknya diakui oleh Eva Wu yang memiliki putra bernama Cornald yang meninggal di usia 17 tahun hingga dirinya mengambil keputusan untuk mengubah abu anaknya menjadi berlian.

“Saya merasa damai. Saya merasakan berada di dekatnya dan ini 100% dirinya,” ungkap Wu seperti dilansir dari CNN.

Bahkan Wu juga mengaku merasa dama dan kenangan yang terus melekat pada benak wanita ini tercipta berkat jasa Algordanza yang merupakan perusahaan Hong Kong yang berpusat di Swiss yang telah berjalan sejak tahun 2008.

Pembuatan abu jenasah jadi berlian ini cukup sederhana. Algordanza mengirim sekitar 200 gram sisa kremasi ke laboratorium yang berada di Swiss. Karbon abu kemudian disaring dan dimurnikan hingga 99 persen sehingga sempurna menjadi grafit hitam berkilau.

Kemudian mesin mengaplikasi tekanan dan temperatur setara gunung berapi. Sembilan jam kemudian, sebuah berlian sintetis dengan semburat kebiruan tercipta. Semburat biru tersebut dihasilkan dari boron yang memang terkandung alami di dalam tubuh.

“Berlian ¼ karat dijual seharga US$ 3.000 (Rp 27,6 juta). Berlian terbesar yang pernah dibuat Algordanza yaitu 2 karat bernilai sekitar US$ 37.000 (Rp 340,4 juta),” ungkap Fong yang menjelaskan harga berlian ini kompetitif dengan biaya pemakaman di Hong Kong.

Menurut Food and Environmental Hygiene Department kota Hong Kong, harga pemakaman bervariasi. Mulai dari kisaran US$ 2.000 (Rp 18,4 juta) hingga US$ 200.000 (Rp 1,84 miliar) tergantung jenis peti jenazah yang dipilih.

Tanah juga termasuk barang langka di Hong Kong. Orang yang masih hidup saja mengeluhkan tingginya harga properti di sana. Apalagi harga untuk sepetak tanah makam di kota yang kekurangan lahan pemakaman ini. Pemerintah Hong Kong bahkan menerapkan peraturan, sebuah jenazah hanya boleh dikubur maksimal enam tahun sebelum akhirnya harus digali dan dikremasi.

“Pendapatan Algordanza telah berlipat ganda sejak kantor operasional Hong Kong dibuka pada 2008,” tutur Fong.

Tapi, budaya tradisional China menekankan bahwa membisniskan kematian itu tabu. Bahkan ayahnya, Bill menentang sejak awal merintis bisnisnya. Namun akhirnya ayah Fong meninggal dunia, dan abu jenasahnya akan dibuat menjadi berlian dan dibagi kepada empat anaknya yang tinggal berpencar.

Sementara bagi Eva Wu, reaksi keluarga terhadap keputusannya mengubah abu sang putra jadi berlian termasuk tenang.

“Mereka tahu ikatan batin dan kedekatan kami. Jika ini adalah cara yang bisa membuat saya bahagia dan nyaman, (mereka bilang) silakan saja,” tambah Wu.

Ritual Minum Teh Berbagai Negara

Di Maroko, Air Teh Diseduh hingga Tiga Kali

Di Jepang, budaya minum teh disebut dengan cha no yu, yaitu ritual dalam menyajikan teh untuk tamu. Di Inggris, dikenal adanya tradisi afternoon tea untuk para bangsawan, teh yang disajikan dicampur dengan susu. Sementara teh yang dikonsumsi dengan es batu atau air dingin populer di Amerika.

Selain tiga negara tersebut di atas, ternyata tiap negara lainnya juga memiliki budaya minum teh dengan cara yang unik dan variatif. Ada yang disajikan dengan kayu manis, daun mint, sampai pecahan telur ayam di dalamnya. 

“Teh berasal dari Tiongkok, tapi pada saat masuk ke negara lain teh diadaptasi menurut tradisi atau budaya setempat. Kita pasti sering mendengar afternoon tea dari Inggris, tapi saya yakin masih banyak masyarakat yang kurang familiar dengan budaya minum teh di Maroko dan Rusia yang sangat unik," ujar Ratna Somantri, pendiri Komunitas Pecinta Teh dan penulis buku Kisah dan Khasiat Teh, pada acara Media Briefing dan Tea Ceremony bersama Gunung Subur di Moe’s Place Resto, Jakarta.

Ratna pun mengisahkan budaya minum teh di Maroko. Ternyata, proses penyeduhan teh di negeri seribu benteng ini membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan negara-negara lain, yakni sekitar lima menit. Teh harus melalui tiga kali proses penyeduhan untuk mendapatkan rasa yang pas menurut lidah orang Maroko. Dan, jenis teh yang paling digemari adalah teh hijau beraroma mint.

Lain halnya dengan di Indonesia, penyajian teh identik dengan teko kendi yang dipercaya bisa menghasilkan rasa teh paling nikmat. Seperti cara penyajian teh di Solo, yang diberi nama teh oplosan.

“Teh oplosan atau bahasa kerennya blended tea ini mencampurkan tiga jenis teh melati. Kenapa tiga? Karena untuk mendapatkan rasa dan aroma yang sempurna, dan itulah kebiasaan minum teh di Solo,” Ratna menjelaskan lebih lanjut.

Menurut Ratna, budaya minum teh di Indonesia beragam dan sangat banyak. Jadi, sangat disayangkan apabila masyarakat Indonesia tidak melestarikan dan bangga meminum teh hasil buatan negeri sendiri.

“Indonesia merupakan penghasil teh terbaik nomor delapan di dunia. Dan, kebanyakan teh yang dijual oleh merek luar juga mengambil teh dari Indonesia. Teh Indonesia dikenal nikmat dan terbaik karena kita adalah negara tropis,” paparnya.

Jadi, tak perlu malu dan gengsi dong bangga dengan produk teh hasil Tanah Air?

Paus yang Terpopuler di Internet

Survei: Paus Fransiskus Terpopuler di Internet pada 2013

WASHINGTON DC — Siapa tokoh dunia yang paling banyak disebut di dunia maya sepanjang 2013? Meski kelahiran bayi kerajaan Inggris mendominasi pemberitaan, demikian juga kegagalan Presiden Barack Obama meloloskan reformasi kesehatan, ternyata ada nama lain yang paling banyak disebut di dunia maya.

Nama itu tak lain adalah pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus. Kesimpulan ini merupakan hasil riset The Global Language Monitor (GLM), sebuah lembaga analisis yang berbasis di Texas, AS. Lembaga ini menggunakan perangkat internet untuk melacak berbagai perbincangan di blog, jejaring sosial, dan situs berita.

Hasil yang diperoleh GLM berupa berapa banyak kata tertentu, frasa, atau nama seseorang muncul di dunia maya, terutama di negara-negara berbahasa Inggris.

Untuk masuk ke dalam kategori yang terbanyak digunakan, maka sebuah kata, frasa, atau nama minimal muncul 25.000 kali di berbagai media. Untuk melacak kategori ini GLM memeriksa sebanyak 275.000 blog, media sosial, dan situs berita di seluruh dunia.

Hasilnya, nama Paus Fransiskus menduduki peringkat pertama sebagai nama yang paling banyak muncul dalam berbagai berita online. Disusul ObamaCare dan Badan Keamanan Nasional (NSA).

Sementara itu, pembocor rahasia intelijen AS Edward Snowden berada di tempat keempat. Disusul Kate Middleton di peringkat lima besar. Nama-nama tenar lain yang banyak dibicarakan di internet antara lain Malala Yousafzai (11), Presiden Barack Obama (13), dan Presiden Iran Hassan Rohani (14).

Khusus Paus Fransiskus, tak hanya namanya yang menjadi perbincangan, akun Twitter-nya, @Pontifex, menduduki peringkat keempat kata-kata yang paling banyak muncul di dunia maya.

Mafia Vs Paus Fransiskus

Mafia Berencana Bunuh Paus Fransiskus

ROMA, Mafia sedang mempertimbangkan sebuah serangan mematikan terhadap Paus Fransiskus. Demikian peringatan seorang jaksa senior dari Italia Selatan.

Nyawa Paus berada dalam bahaya karena keinginannya untuk menyapu bersih korupsi telah membuat kelompok penjahat terorganisasi ketar-ketir. Demikian kata Wakil Kepala Jaksa Reggio Calabria, Nicola Gratteri.

Sejak Fransiskus mulai menjabat April lalu, dia telah menegaskan bahwa dirinya bermaksud membersihkan Takhta Suci dari cara-cara korup dan membersihkan Bank Vatikan yang terkenal, yang sudah sekian lama digunakan para pelaku pencucian uang. Setelah menjabat, Paus segera memberhentikan Kepala Bank Vatikan (IOR) Gotti Tedeschi dan kemudian memaksa Kardinal Bertone, yang dituduh korupsi, memasuki masa pensiun.

Dalam salah satu khotbah pertamanya sebagai Paus, Fransiskus membidik mafia, meminta mereka bertobat karena "mengeksploitasi dan memperbudak rakyat". Pada awal pekan ini, dalam khotbahnya yang paling berapi-api, Paus mengatakan bahwa para pejabat yang menerima suap harus "diikat dengan sebuah batu dan ditengelamkan ke dasar laut".

Gratteri mengatakan, para anggota mafia Calabria Ndrangheta risau dengan pernyataan perang Paus Fransiskus terhadap korupsi. Jaksa itu mengatakan kepada harian Italia, Il Fatto Quotidiano, "Mereka yang berada dalam jaringan keuangan mafia risau dengan Paus Fransiskus. Mereka yang hingga kini makan dari kekayaan dan kekuasaan yang datang langsung dari gereja gelisah dan ketar-ketir."

Dia menambahkan, "Papa Bergoglio (nama asli Paus Fransiskus) sedang membongkar pusat-pusat kekuatan ekonomi di Vatikan. Jika para bos (mafia) bisa menurunkannya, mereka tidak akan ragu-ragu."

Jaksa itu mengakui, mafia belum tentu mampu melakukan serangan tersebut karena lembaga keamanan Vatikan merupakan salah satu yang terbaik di dunia. "Saya tidak tahu apakah kelompok-kelompok kriminal terorganisasi berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu, tetapi mereka tentu mempertimbangkan hal itu. Ini waktu yang berbahaya bagi Paus Fransiskus."

Dalam beberapa tahun terakhir, Ndrangheta, yang berbasis di Calabria, yang merupakan wilayah bagian "ujung kaki" Italia, telah menjadi organisasi kriminal terbesar, terkaya, dan paling ditakuti dari tiga organisasi kriminal utama di negara itu. Mafia Ndrangheta yang mengkhususkan diri pada perdagangan kokain telah menguasai sekitar 80 persen pasar di Eropa dan telah menginvestasikan keuntungannya di Italia utara, Jerman, dan Amerika Serikat. Kelompok itu juga telah menjalin hubungan dengan organisasi teroris di seluruh dunia dan kartel narkoba di Amerika Selatan.

Sementara itu, menurut survei tahunan ke-14 Global Language Monitor, sebuah lembaga yang berbasis di Texas, AS, yang melacak para tokoh publik top di situs web, Paus Fransiskus kini merupakan sosok yang paling banyak dibicarakan orang di planet ini. Menurut lembaga itu, di dunia maya lebih banyak orang membicarakan tentang Paus ketimbang Edward Snowden, Kate Middleton, dan Miley Cyrus. Lembaga tersebut mendasarkan analisisnya pada blog berbahasa Inggris, media sosial, serta 275.000 media elektronik dan media berita online.

Bayi yang Lahir dari Ibu yang Sudah Meninggal

Menakjubkan, Bayi Ini Lahir dari Ibu yang Sudah Meninggal

Jakarta, Seorang ibu di Hungaria tengah mengandung 15 pekan saat mengalami stroke dan disusul dengan kematian otak. Namun karena bayi dalam kandungannya masih hidup, dokter mempertahankan peralatan penunjang kehidupan hingga si bayi lahir.

Si bayi yang dirahasiakan identitias, termasuk jenis kelaminnya, itu akhirnya lahir melalui operasi caesar pada usia kandungan 27 pekan. Selama itu, ibunya sudah mengalami kematian otak dan hanya mengandalkan alat bantu kehidupan untuk menjaga beberapa fungsi organ tetap berjalan.

Dokter di Hungaria yang menangani kelahiran itu pada bulan Juli 2013 meyakini kasus ini adalah yang satu dari 3 kasus serupa yang pernah dilaporkan di seluruh dunia. Dengan alasan prifasi, keluarga tidak berkenan mempublikasikan jenis kelamin si bayi.

Proses kelahiran yang dramatis itu berlangsung 3 bulan setelah sang ibu yang berusia 31 tahun mengalami stroke. Alat bantu yang menopang kehidupan pasca kematian otak akhirnya dicabut 2 hari setelah operasi caesar, dan akhirnya sang ibu bisa benar-benar meninggal dengan tenang.

"Pada hari kedua saat pemeriksaan dilakukan, kami menemukan bayi di dalam kandungannya hidup dan menendang-nendang dengan baik di dalam tubuh ibunya," kata Dr Bela Fulesdi dari University of Debrecen seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (13/11/2013).

Selama kehamilan, ayah dan nenek si bayi rutin mengunjunginya di rumah sakit dan mengusap-usap perut ibunya yang secara teknis sudah meninggal. Pakar terapi musik juga dihadirkan untuk memberikan stimulasi pada janin yang masih sehat di dalam kandungan.

Saat berupaya mempertahankan si bayi selama mungkin di dalam kandungan, sirkulasi darah ibunya mulai tidak stabil pada pekan ke-27. Dokter pun akhirnya memutuskan untuk mengeluarkannya melalui operasi caesar karena rahim si ibu sudah tidak aman bagi bayinya.

"Tujuannya tidak hanya melahirkan anak, tetapi melahirkan anak yang sehat," kata Dr Csilla Molnar, kelapa departemen anestesiologi dan perawatan intensif yang turut menangani kasus ini.

1 Milyar Gratis dari Beli Meja Bekas !

Wah, Pria AS Temukan Uang Rp 1 Milyar di Meja Bekas

Pria asal Amerika Serikat ini sepertinya menjadi orang paling beruntung. Pasalnya setelah ia membeli meja bekas dengan harga murah, pria tersebut malah menemukan uang tunai yang tersembunyi pada meja tersebut. Tak tanggung-tanggung uang tersebut mencapai US$ 98 ribu atau setara Rp 1 miliar.

Dilansir dari News, Noah Muroff tersebut tinggal di New Haven, Connecticut, AS bersama istrinya membeli sebuah meja kerja dari situs jual beli Craiglist dengan harga US$ 200 atau Rp 2,3 juta. Namun mereka harus membongkar meja tersebut karena tak bisa masuk ke dalam ruang kerja.

“Meja ini tidak cukup dimasukkan ke dalam kantor karena terlalu besar beberapa inci,” ungkap Muroff kepada media setempat WTNH News 8.

Pasangan ini mulanya melepas engsel pintu agar meja bisa masuk. Karena tak berhasil kemudian mereka melepas bagian atas meja dan menemukan sebuah tas plastik dibagian belakang laci meja. Ketika diperiksa, pasangan ini kaget karena menemukan uang tunai dalam jumlah banyak.

“Dan di dalam tas plastik itu ... terlihat seperti uang pecahan 100 dolar AS,” tuturnya.

“Kami membukanya dan isinya penuh dengan uang tunai. Kami menghitungnya dan ada uang tunai sebesar US$ 98 ribu di dalam tas plastik tersebut. Segera setelah itu, saya dan istri saling berpandangan dan berkata, 'Kita tidak bisa menyimpan uang ini',” terang Muroff.

Pasanga ini kemudian berpikir uang tersebut milik wanita yang menjual meja tersebut. Setelah dihubungi wanita mengaku uang tersebut warisan yang diterimanya, tapi ia lupa dimana ia menyimpannya.

Wanita tersebut bahkan mengira bahwa uang itu telah hilang. Wanita yang dikenal dengan panggilan Patty tersebut, tidak menyadari jika uang yang disimpannya jatuh ke belakang laci mejanya.

Muroff pun mengajak anak-anaknya ketika dia mengembalikan uang tunai tersebut kepada Patty, dengan harapan anak-anaknya bisa belajar soal kejujuran. Patty yang mengaku terharu dengan kebaikan dan kejujuran Muroff, mengembalikan uang Murroff yang dibayarkan untuk membeli meja tersebut dan bersikeras memberinya imbalan uang tunai.

“Saya tidak bisa cukup berterima kasih atas kejujuran dan integritas Anda. Saya pikir tidak banyak orang di dunia ini yang akan melakukan apa yang Anda lakukan kepada saya. Saya akan selamanya berterima kasih,” tutur Patty.