Tiga Ilmuwan Raih Nobel Kedokteran, Salah Satunya Ahli Herbal China
Tiga orang ilmuwan berhasil meraih Penghargaan Nobel bidang Kedokteran 2015 atas upaya yang dianggap revolusioner dalam melawan penyakit malaria dan wabah akibat cacing gelang (roundworm). Upaya yang dihasilkan tiga ilmuwan itu dianggap berpotensi menyelamatkan jutaan nyawa akibat penyakit yang disebabkan parasit tersebut.
Dilansir dari AFP, ilmuwan China, Tu Youyou menjadi salah satu peraih Nobel Kedokteran atas karyanya dalam menghasilkan artemisinin. Obat itu merupakan anti-malaria yang dikembangkan berdasarkan pengobatan herbal ala masyarakat China kuno.
Tu Youyou menjadi perempuan China pertama yang memenangkan Penghargaan Nobel di bidang sains. Selain itu, dia juga menjadi perempuan ke-12 yang berhasil meraih Nobel Kedokteran dari 210 peraih penghargaan itu sejak 1901.
Sedangkan dua orang lainnya yang mendapatkan Penghargaan Nobel adalah William Campbell dari Irlandia dan Satoshi Omura dari Jepang. Keduanya dianggap berjasa dalam pengobatan penyakit yang disebabkan cacing gelang, yang dinamakan avermectin.
"Dua penemuan itu telah memberikan cara baru untuk manusia dalam memerangi penyakit yang berdampak terhadap jutaan orang tiap tahun," demikian pernyataan Komite Nobel.
"Hasil yang diberikan dalam meningkatkan kesehatan dan mengurangi penderitaan manusia sangat luar biasa."
Berbasis herbal
Tu yang kini berusia 84 tahun merupakan Profesor Kepala di Akademi Pengobatan Tradisional Masyarakat China sejak 2000. Dia melakukan penelitian sejak 1970-an, di puncak periode Revolusi Kebudayaan China. Penelitian itu menjadi awal dalam penemuan artemisinin, yang secara pesat mengurangi jumlah kematian akibat penyakit malaria.
Pengobatan itu berdasarkan pengobatan tradisional, herbal yang dikenal dengan nama Artemisia annua. Saat ini, obat itu menjadi kombinasi dasar yang digunakan dalam pengobatan terhadap malaria.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada sekitar 198 juta infeksi malaria pada 2013 yang menyebabkan 584.000 kematian, sebagian besar merupakan anak-anak di Afrika.
Pencapaian yang diraih oleh Tu Youyou tentu menjadi sebuah kebanggan bagi masyarakat China. Sejumlah post yang bertuliskan kebanggaan itu pun bermunculan di media sosial, terutama media sosial khas China, Weibo.
Atasi kebutaan
Adapun obat avermectin dianggap menghasilkan pengobatan revolusioner dalam melawan kebutaan akibat cacing gelang, yang dikenal dengan sebutan river blindness. Penyakit yang dikenal dengan nama ilmiah onchocerciasis bermula saat cacing masuk ke tubuh manusia melalui gigitan lalat hitam yang telah terinfeksi cacing itu.
Penyakit itu menyebabkan gangguan kulit hingga gangguan pada penglihatan yang juga bisa menyebabkan kebutaan.
Awal pengembangan avermectin adalah saat Omura, seorang mikrobiologis, mengembangkan grup bakteria yang dinamakan Streptomyces. Omura kemudian berhasil mengembangkannya di laboratorium.
Campbell yang saat itu bekerja untuk perusahaan farmasi Merck, lalu menunjukkan bahwa bakteri yang dikembangkan Omura secara aktif dapat melawan penyakit. Hal itu kemudian terus dikembangkan hingga menghasilkan avermectin.
Keluarga Keluarga Konglomerat Indonesia
Ini 5 Keluarga Terkaya dari Indonesia
Dari 'pedagang' rokok hingga 'penjual' mie instan.
Terlahir di keluarga kaya bisa dikatakan bonus tetapi juga ujian. Mungkin saja mereka tidak pernah merasakan kelaparan atau bingung melanjutkan pendidikan, tetapi mereka harus memutar otak mereka menjaga keberlangsungan bisnis keluarga.
Bukan perkara mudah karena semua pihak menyorot sepak terjang mereka menjaga pundi-pundi keuangan keluarganya.
Rupanya tidak hanya di luar negeri, keluarga konglomerat pun tersebar di tanah air. Uniknya, mereka bukanlah pengusaha di sektor besar, tapi bisa membesarkan sektor kecil.
Mereka dari 'pedagang' rokok hingga 'penjual' mie instan, tapi bisnisnya mampu meraup laba yang tidak sedikit dan kekayaannya kini bisa diturunkan untuk generasi-generasi selanjutnya
Inilah 5 keluarga konglomerat Indonesia yang masuk jajaran keluarga terkaya se-Asia versi Forbes:
1. Keluarga Hartono
Berada pada posisi 12 keluarga terkaya se-Asia, pemilik perusahaan Djarum ini menyimpan kekayaan US$ 12,7 miliar atau setara Rp 165 triliun. Kini, bisnis rokok keluarga Hartono dipegang oleh R. Budi Hartono, Michael Hartono, dan Oei Hong Leong.
Pada 1950, perusahaan Djarum milik Oei Wie Gwan hampir mengalami kebankrutan. Anaknya, Robert Budi dan Michael Hartono mengambil alih perusahaan yang berada di Kudus itu setelah Oie meninggal tahun 1963.
Saat ini, anak tertua Budi, Victor Hartono menjadi COO Djarum dan mampu menjadi perusahaan rokok terbesar. Tidak hanya itu, kini keluarga Hartono juga menjadi pemegang 47% saham bank swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia melalui Farindo Investment.
2. Keluarga Widjaja
Keluarga Widjaja dengan perusahaan keluarga miliknya, Sinarmas Group berada di posisi 28 keluarga terkaya se-Asia. Total kekayaan mereka sebesar US$ 5,8 miliar atau setara Rp 75 triliun.
Bisnis keluarga Widjadja dimulai ketika Eka Tjipta Widjaja pindah dari China ke Indonesia sejak muda. Dia mulai menjual biskuit pada usia 17 tahun dan kemudian mulai membangun Sinar Mas pada tahun 1962.
Sekarang, keluarga ini menjadi konglomerat setelah melakukan ekspansi bisnis ke sektor kertas, pertanian dan makanan, pengembang real estate, keuangan, energi dan infrastruktur, serta terelkomunikasi.
Sebagian besar bisnis dari keluarga Widjaja ini dipegang anak laki-laki Eka, Franky Widjaja.
3. Keluarga Lohia
Tidak semua konglomerat Indonesia keturunan China. Keluarga asal India, Lohia, merupakan keluarga terkaya se-Asia versi Forbes. Dengan bisnis tekstilnya, Indorama Corporation, keluarga ini berhasil menduduki peringkat 31 dengan total kekayaan US$ 5,4 miliar atau Rp 70,2 triliun.
Bisnis keluarga Lohia dimulai ketika Mohan Lal Lohia, seorang pedagang kain, dan anaknya Sri Prakash Lohia pindah ke Indonesia tahun 1973 dan membangun Indorama Synthetics.
Demi mengembangkan usahanya, keluarga ini melakukan diversifikasi produk dan masuk ke sektor petrochemicals.
Memasuki usia 60, Mohan memutuskan untuk mundur dari segala urusan bisnisnya. Namun, ketiga anak lelakinya telah siap melanjutkan apa yang telah dirintis bapaknya. Bisnisnya kini tersebar hampir ke semua benua.
4. Keluarga Wonowidjodjo
Lagi, pengusaha rokok asal Indonesia masuk jajaran keluarga terkaya se-Asia. Keluarga pemilik perusahaan Gudang Garam, Wonowidjojo berada di posisi 32 daftar tersebut dengan kekayaan US$ 4,9 miliar atau Rp 64 triliun.
Klan Wonowidjojo pindah dari China tahun 1927. Surya mulai melanjutkan bisnis tembakau pamannya, dan menciptakan rokok cengkeh atau kretek buatan Gudang Garam pada 1958.
Anak laki-laki tertuanya, Rachman Halim mengambil alih perusahaannya . Kemudian, setelah Rachman meninggal pada tahun 2008, perusahaan dipegang oleh adikan Susilo Wonowidjojo dan menjadi penghasil rokok kretek terbesar di Indonesia.
5. Keluarga Salim
Dengan kekayaan mencapai US$ 4,1 miliar atau Rp 53 triliun, Keluarga Salim berada di posisi 37 keluarga terkaya se-Asia versi Forbes.
Anthoni Salim memimpin perusahaan Salim Grup yang bergerak di sektor makanan, tanaman, otomotif, telekomunikasi, properti, retail, dan bank.
Ayahnya, Liem Sioe Liong, migrasi ke Indonesia pada tahun 1983 dari Fujian, China, dan memulai bisnisnya dengan menjual pakaian dari pintu ke pintu.
Liem bertemu Soeharto sebelum Soeharto menjadi Presiden RI. Mereka menjalin hubungan yang saling menguntungkan bertahun-tahun.
Ketika Soeharto turun pada tahun 1998, menggoyahkan kerajaan Salim. Namun, mereka bertahan dan membangun kembali perusahaan. Kini, anak Anthoni, Axton memimpin Indofood Sukses Makmur, perusahaan mie instan terbesar di dunia.
Dari 'pedagang' rokok hingga 'penjual' mie instan.
Terlahir di keluarga kaya bisa dikatakan bonus tetapi juga ujian. Mungkin saja mereka tidak pernah merasakan kelaparan atau bingung melanjutkan pendidikan, tetapi mereka harus memutar otak mereka menjaga keberlangsungan bisnis keluarga.
Bukan perkara mudah karena semua pihak menyorot sepak terjang mereka menjaga pundi-pundi keuangan keluarganya.
Rupanya tidak hanya di luar negeri, keluarga konglomerat pun tersebar di tanah air. Uniknya, mereka bukanlah pengusaha di sektor besar, tapi bisa membesarkan sektor kecil.
Mereka dari 'pedagang' rokok hingga 'penjual' mie instan, tapi bisnisnya mampu meraup laba yang tidak sedikit dan kekayaannya kini bisa diturunkan untuk generasi-generasi selanjutnya
Inilah 5 keluarga konglomerat Indonesia yang masuk jajaran keluarga terkaya se-Asia versi Forbes:
1. Keluarga Hartono
Berada pada posisi 12 keluarga terkaya se-Asia, pemilik perusahaan Djarum ini menyimpan kekayaan US$ 12,7 miliar atau setara Rp 165 triliun. Kini, bisnis rokok keluarga Hartono dipegang oleh R. Budi Hartono, Michael Hartono, dan Oei Hong Leong.
Pada 1950, perusahaan Djarum milik Oei Wie Gwan hampir mengalami kebankrutan. Anaknya, Robert Budi dan Michael Hartono mengambil alih perusahaan yang berada di Kudus itu setelah Oie meninggal tahun 1963.
Saat ini, anak tertua Budi, Victor Hartono menjadi COO Djarum dan mampu menjadi perusahaan rokok terbesar. Tidak hanya itu, kini keluarga Hartono juga menjadi pemegang 47% saham bank swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia melalui Farindo Investment.
2. Keluarga Widjaja
Keluarga Widjaja dengan perusahaan keluarga miliknya, Sinarmas Group berada di posisi 28 keluarga terkaya se-Asia. Total kekayaan mereka sebesar US$ 5,8 miliar atau setara Rp 75 triliun.
Bisnis keluarga Widjadja dimulai ketika Eka Tjipta Widjaja pindah dari China ke Indonesia sejak muda. Dia mulai menjual biskuit pada usia 17 tahun dan kemudian mulai membangun Sinar Mas pada tahun 1962.
Sekarang, keluarga ini menjadi konglomerat setelah melakukan ekspansi bisnis ke sektor kertas, pertanian dan makanan, pengembang real estate, keuangan, energi dan infrastruktur, serta terelkomunikasi.
Sebagian besar bisnis dari keluarga Widjaja ini dipegang anak laki-laki Eka, Franky Widjaja.
3. Keluarga Lohia
Tidak semua konglomerat Indonesia keturunan China. Keluarga asal India, Lohia, merupakan keluarga terkaya se-Asia versi Forbes. Dengan bisnis tekstilnya, Indorama Corporation, keluarga ini berhasil menduduki peringkat 31 dengan total kekayaan US$ 5,4 miliar atau Rp 70,2 triliun.
Bisnis keluarga Lohia dimulai ketika Mohan Lal Lohia, seorang pedagang kain, dan anaknya Sri Prakash Lohia pindah ke Indonesia tahun 1973 dan membangun Indorama Synthetics.
Demi mengembangkan usahanya, keluarga ini melakukan diversifikasi produk dan masuk ke sektor petrochemicals.
Memasuki usia 60, Mohan memutuskan untuk mundur dari segala urusan bisnisnya. Namun, ketiga anak lelakinya telah siap melanjutkan apa yang telah dirintis bapaknya. Bisnisnya kini tersebar hampir ke semua benua.
4. Keluarga Wonowidjodjo
Lagi, pengusaha rokok asal Indonesia masuk jajaran keluarga terkaya se-Asia. Keluarga pemilik perusahaan Gudang Garam, Wonowidjojo berada di posisi 32 daftar tersebut dengan kekayaan US$ 4,9 miliar atau Rp 64 triliun.
Klan Wonowidjojo pindah dari China tahun 1927. Surya mulai melanjutkan bisnis tembakau pamannya, dan menciptakan rokok cengkeh atau kretek buatan Gudang Garam pada 1958.
Anak laki-laki tertuanya, Rachman Halim mengambil alih perusahaannya . Kemudian, setelah Rachman meninggal pada tahun 2008, perusahaan dipegang oleh adikan Susilo Wonowidjojo dan menjadi penghasil rokok kretek terbesar di Indonesia.
5. Keluarga Salim
Dengan kekayaan mencapai US$ 4,1 miliar atau Rp 53 triliun, Keluarga Salim berada di posisi 37 keluarga terkaya se-Asia versi Forbes.
Anthoni Salim memimpin perusahaan Salim Grup yang bergerak di sektor makanan, tanaman, otomotif, telekomunikasi, properti, retail, dan bank.
Ayahnya, Liem Sioe Liong, migrasi ke Indonesia pada tahun 1983 dari Fujian, China, dan memulai bisnisnya dengan menjual pakaian dari pintu ke pintu.
Liem bertemu Soeharto sebelum Soeharto menjadi Presiden RI. Mereka menjalin hubungan yang saling menguntungkan bertahun-tahun.
Ketika Soeharto turun pada tahun 1998, menggoyahkan kerajaan Salim. Namun, mereka bertahan dan membangun kembali perusahaan. Kini, anak Anthoni, Axton memimpin Indofood Sukses Makmur, perusahaan mie instan terbesar di dunia.
Kebanggaan Berkarya di Usia Muda
Banggalah Berkarya di Usia Muda!
Tiap pagi kawasan Jalan Dago Pojok, Bandung, terasa sesak. Meski bukan jalan raya, jalur tersebut menjadi tempat lalu-lalang beragam alat transportasi yang jalan tersendat-sendat lantaran macet.
Memang, sejak dulu Dago Pojok menjadi jalan alternatif para pengendara. Sasaran mereka adalah sekolah dan kantor yang jaraknya lebih cepat ditempuh lewat gang sempit itu.
Nirwan adalah satu dari pengendara motor yang kerap menyambangi jalan tersebut. Dia harus rela berjejal di Dago Pojok untuk mencapai sekolahnya di SMAN 19. Letaknya, kurang lebih 300 meter dari jalan utama.
Secara normal, jauhnya jarak itu hanya memakan waktu dua menit bila berkendara atau lima sampai tujuh menit jika berjalan kaki. Masalahnya, kondisi macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama lagi.
Makin lama volume kendaraan roda dua terus bertambah, terutama karena banyak siswa mengendarai motor. Akibatnya, bukan hanya rugi waktu, tapi lahan parkir juga semakin sempit.
'Saya pernah ada di dua posisi. Sebagai pengendara motor yang tidak menawarkan pada teman yang berjalan kaki, maupun sebagai pejalan kaki yang tidak ditawarkan tumpangan oleh teman pengendara motor," tutur Nirwan.
Tertarik menemukan jalan keluar, Nirwan dan kawannya, Farizd Abdullah Labaik Rachmat berunding melahirkan konsep "Babarengan 19". Konsep ini menekankan pada solusi yang bersifat sosial, sederhana sehingga mudah direalisasikan, dan mampu membawa perubahan positif. Lalu, dengan dukungan sekolah, lahirlah peraturan baru.
Mulai Maret 2015 lalu, siswa bermotor di SMAN 19 diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya. Untuk memuluskan konsep ini, sebuah halte di jalan utama, Jl Ir. H. Juanda dekat Hotel Sheraton Bandung pun dijadikan tempat menunggu untuk mencari motor tumpangan.
Selain mengurangi jumlah kendaraan motor di sekolah, juga memicu siswa untuk saling bertegur sapa. Dampaknya mulai terasa setelah enam bulan peraturan tersebut direalisasi
Dampak lain, lahan parkir SMAN 19 mulai terasa lengang, kondisi macet di Dago Pojok berangsur menurun. Atas prakarsa itu, Nirwan dan Faridz bahkan menyabet penghargaan 'Best of The Best Toyota Eco Youth 9 2015'. Kompetisi tahunan ini bertujuan merangsang generasi muda Indonesia untuk semakin sadar, peduli, dan mau berpikir solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
DOK. TMMIN Mulai Maret lalu, siswa bermotor di SMAN 19, Bandung, diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya.
Mengurai kemacetan
Konsep serupa sebenarnya telah dilakoni oleh komunitas Nebengers di Ibukota. Beberapa orang pemuda menggagasnya dengan pertimbangan kondisi lalu-lintas Jakarta.
Dilansir dari KOMPAS.com, prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memaparkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta (Baca: Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun).
Cara kerja komunitas ini ialah berbagi tumpangan dengan anggota komunitas saat memiliki rute perjalanan searah. Calon penumpang dan pemberi tumpangan harus melakukan registrasi sebelum berinteraksi.
Lewat komunitas itu, mereka diwadahi untuk berbagi informasi siapa saja yang butuh tumpangan serta pengendara baik hati yang rela memberi tumpangan. Imbalannya sukarela, dapat berupa bensin, uang tol atau bergantian mengemudi.
Gerakan yang digagas ini menghasilkan tiga dampak positif langsung. Secara sosial, meningkatkan interaksi antar masyarakat. Secara lingkungan, dapat mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Sedangkan secara ekonomi, gerakan tersebut dapat menekan pengeluaran masyarakat.
Beberapa manfaat ini juga yang tengah dirasakan Nirwan dan siswa lainnya saat "Babarengan 19" mulai digalakkan di sekolahnya.
"Khusus dalam lingkup SMAN 19, konsep ini meningkatkan interaksi antar siswa, misalnya kakak kelas dan adik kelas sehingga stigma senioritas pun hilang. Selain itu, cara ini dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas dan menekan ongkos ke sekolah," kata Nirwan.
Membangunkan generasi muda
Fenomena menarik hari ini adalah kaum muda tak malu lagi menciptakan dan menunjukkan berbagai karya pada masyarakat. Kisah mengurai kemacetan tadi menyadarkan bahwa pemuda mulai terjun sebagai pemberi solusi. Di luar, masih banyak isu lingkungan dan sosial yang menunggu dipecahkan.
Selain pendidikan, komunitas dan gerakan diharapkan menjadi penggerak terintegrasi agar pemuda memiliki cara pandang lain dalam menghadapi isu sosial. Untuk mengasah daya pikir, beberapa kompetisi melalui lembaga pemerintah dan swasta pun diadakan.
Beberapa diantaranya adalah lomba karya tulis yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kompetisi karya ilmiah dan sains yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kompetisi kewirausahaan yang diselenggarkan Bank Mandiri, dan kompetisi proposal hijau berbasis riset dalam bidang sosial dan sains garapan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi agar pemuda dapat memberikan kontribusi langsung pada masyarakat sedang menjadi perhatian banyak pihak.
"Perkembangan sekarang ini luar biasa drastis sehingga anak muda yang merupakan potensi besar ini (dengan kemudahan informasi) berkesempatan untuk menyingkapi isu dengan cepat," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas, di Jakarta.
Made mengatakan bahwa memang itulah tantangan generasi sekarang. Khususnya, mereka harus merespon cepat sebagai bagian dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas.
"Tantangan semakin besar ini harus disadari dan dipahami anak muda Indonesia. Jadi saat melakukan bisnis apapun nanti, mereka sadar pentingnya manajemen lingkungan," katanya.
Tiap pagi kawasan Jalan Dago Pojok, Bandung, terasa sesak. Meski bukan jalan raya, jalur tersebut menjadi tempat lalu-lalang beragam alat transportasi yang jalan tersendat-sendat lantaran macet.
Memang, sejak dulu Dago Pojok menjadi jalan alternatif para pengendara. Sasaran mereka adalah sekolah dan kantor yang jaraknya lebih cepat ditempuh lewat gang sempit itu.
Nirwan adalah satu dari pengendara motor yang kerap menyambangi jalan tersebut. Dia harus rela berjejal di Dago Pojok untuk mencapai sekolahnya di SMAN 19. Letaknya, kurang lebih 300 meter dari jalan utama.
Secara normal, jauhnya jarak itu hanya memakan waktu dua menit bila berkendara atau lima sampai tujuh menit jika berjalan kaki. Masalahnya, kondisi macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama lagi.
Makin lama volume kendaraan roda dua terus bertambah, terutama karena banyak siswa mengendarai motor. Akibatnya, bukan hanya rugi waktu, tapi lahan parkir juga semakin sempit.
'Saya pernah ada di dua posisi. Sebagai pengendara motor yang tidak menawarkan pada teman yang berjalan kaki, maupun sebagai pejalan kaki yang tidak ditawarkan tumpangan oleh teman pengendara motor," tutur Nirwan.
Tertarik menemukan jalan keluar, Nirwan dan kawannya, Farizd Abdullah Labaik Rachmat berunding melahirkan konsep "Babarengan 19". Konsep ini menekankan pada solusi yang bersifat sosial, sederhana sehingga mudah direalisasikan, dan mampu membawa perubahan positif. Lalu, dengan dukungan sekolah, lahirlah peraturan baru.
Mulai Maret 2015 lalu, siswa bermotor di SMAN 19 diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya. Untuk memuluskan konsep ini, sebuah halte di jalan utama, Jl Ir. H. Juanda dekat Hotel Sheraton Bandung pun dijadikan tempat menunggu untuk mencari motor tumpangan.
Selain mengurangi jumlah kendaraan motor di sekolah, juga memicu siswa untuk saling bertegur sapa. Dampaknya mulai terasa setelah enam bulan peraturan tersebut direalisasi
Dampak lain, lahan parkir SMAN 19 mulai terasa lengang, kondisi macet di Dago Pojok berangsur menurun. Atas prakarsa itu, Nirwan dan Faridz bahkan menyabet penghargaan 'Best of The Best Toyota Eco Youth 9 2015'. Kompetisi tahunan ini bertujuan merangsang generasi muda Indonesia untuk semakin sadar, peduli, dan mau berpikir solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
DOK. TMMIN Mulai Maret lalu, siswa bermotor di SMAN 19, Bandung, diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya.
Mengurai kemacetan
Konsep serupa sebenarnya telah dilakoni oleh komunitas Nebengers di Ibukota. Beberapa orang pemuda menggagasnya dengan pertimbangan kondisi lalu-lintas Jakarta.
Dilansir dari KOMPAS.com, prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memaparkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta (Baca: Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun).
Cara kerja komunitas ini ialah berbagi tumpangan dengan anggota komunitas saat memiliki rute perjalanan searah. Calon penumpang dan pemberi tumpangan harus melakukan registrasi sebelum berinteraksi.
Lewat komunitas itu, mereka diwadahi untuk berbagi informasi siapa saja yang butuh tumpangan serta pengendara baik hati yang rela memberi tumpangan. Imbalannya sukarela, dapat berupa bensin, uang tol atau bergantian mengemudi.
Gerakan yang digagas ini menghasilkan tiga dampak positif langsung. Secara sosial, meningkatkan interaksi antar masyarakat. Secara lingkungan, dapat mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Sedangkan secara ekonomi, gerakan tersebut dapat menekan pengeluaran masyarakat.
Beberapa manfaat ini juga yang tengah dirasakan Nirwan dan siswa lainnya saat "Babarengan 19" mulai digalakkan di sekolahnya.
"Khusus dalam lingkup SMAN 19, konsep ini meningkatkan interaksi antar siswa, misalnya kakak kelas dan adik kelas sehingga stigma senioritas pun hilang. Selain itu, cara ini dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas dan menekan ongkos ke sekolah," kata Nirwan.
Membangunkan generasi muda
Fenomena menarik hari ini adalah kaum muda tak malu lagi menciptakan dan menunjukkan berbagai karya pada masyarakat. Kisah mengurai kemacetan tadi menyadarkan bahwa pemuda mulai terjun sebagai pemberi solusi. Di luar, masih banyak isu lingkungan dan sosial yang menunggu dipecahkan.
Selain pendidikan, komunitas dan gerakan diharapkan menjadi penggerak terintegrasi agar pemuda memiliki cara pandang lain dalam menghadapi isu sosial. Untuk mengasah daya pikir, beberapa kompetisi melalui lembaga pemerintah dan swasta pun diadakan.
Beberapa diantaranya adalah lomba karya tulis yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kompetisi karya ilmiah dan sains yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kompetisi kewirausahaan yang diselenggarkan Bank Mandiri, dan kompetisi proposal hijau berbasis riset dalam bidang sosial dan sains garapan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi agar pemuda dapat memberikan kontribusi langsung pada masyarakat sedang menjadi perhatian banyak pihak.
"Perkembangan sekarang ini luar biasa drastis sehingga anak muda yang merupakan potensi besar ini (dengan kemudahan informasi) berkesempatan untuk menyingkapi isu dengan cepat," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas, di Jakarta.
Made mengatakan bahwa memang itulah tantangan generasi sekarang. Khususnya, mereka harus merespon cepat sebagai bagian dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas.
"Tantangan semakin besar ini harus disadari dan dipahami anak muda Indonesia. Jadi saat melakukan bisnis apapun nanti, mereka sadar pentingnya manajemen lingkungan," katanya.
Perjalanan Ajaib Sebuah Buku Lama
Cerita Baru Buku Lama
'Perjalanan Ajaib' Sebuah Buku Bekas
Jakarta - Usai menemui penyair yang buku kumpulan puisinya akan diterbitkan, editor itu mampir ke sebuah kios buku bekas. Ketika sedang melihat-lihat buku di rak, tiba-tiba ia menemukan Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupe;ry. Ingatannya langsung melayang ke masa silam. Ia ingat, waktu kecil dulu sudah berpuluh kali membacanya. Tapi, yang kemudian bikin ia tambah kaget, buku yang dipegangnya itu ternyata tak lain buku miliknya ketika kecil dulu. Ada jejak goresan-goresan tangannya, dan ada namanya di buku itu.
Ketika sang penjual menanyakan apakah dia akan membelinya, ia menjawab tidak. "Kalau terlalu mahal harganya bisa saya turunkan," kata si penjual.
"Bukan begitu, jika aku membeli buku ini berarti aku menjadi tujuan terakhir buku ini, tapi jika tetap di sini buku ini akan melalui banyak orang lagi, dan perjalannnya akan semakin panjang," kata yang editor cantik itu.
Tercenung oleh perkataan pengunjung tokonya, sang penjual buku pun jadi berpikir kembali tentang perjalanan yang dialami buku-buku yang menjadi dagangannya. Beberapa buku itu adalah hasil barter, beberapa lainnya dari kelarga yang mau pindah. Ada juga dari kolektor yang mengambil dari keluarga lain. Dari mana pun asalnya, mereka pasti telah melalui beberapa tangan dalam perjalannnya. Buku-buku itu berasal dari orang-orang kaya dan miskin, ibu rumah tangga dan pelajar; mereka telah dibaca di atas sofa nyaman, atau di bawah keteduhan pohon rindang, menyentuh hati orang-orang dan memberi harapan bagi yang lain. Berapa banyak tangan telah membolak-balik lembarannya, dan masih akan berapa tangan lagi setelahnya....
Di zaman digital sekarang ini, perjalanan sebuah buku bekas bisa jauh lebih dahsyat lagi daripada yang bisa dibayangkan oleh penjual buku, juga sang editor dalam kisah Perjalanan Ajaib dan Kisah-kisah Nyata Menyentuh Lainnya: Chicken Soup for the Soul Graphic Novel yang digambar oleh Kim Donghwa (terjemahan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama April 2008). Mari kita bandingkan dengan kisah di bawah ini:
Pada 1988 seorang pendaki gunung Inggris bernama Joe Simpson menulis buku berjudul Touching the Void, sebuah cerita menegangkan tentang situasi antara hidup dan mati di Pegunungan Andes di Peru. Walaupun resensi buku ini bagus, penjualannya sedang-sedang saja, dan dalam waktu singkat dilupakan orang. Sepuluh tahun kemudian sesuatu yang aneh terjadi ketika seorang pendaki lain bernama John Krakauer merilis buku tragedi pendakian gunung serupa, berjudul Into Thin Air yang sukses besar. Apa sesuatu yang aneh itu? 'Touching the Void' ikut terdongkrak dan mulai terjual lagi, dicari orang lagi.
Toko-toko kemudian memajang lagi Touching the Void bersebalahan dengan Into Thin Air, dan penjualannya pun terus menanjak. Sebuah penerbit bahkan kemudian meluncurkan cetak ulang versi murahnya, yang bertahan 16 minggu di daftar buku laris New York Times. Pada pertengahan 2004, penjualan Touching the Void telah mengalahkan Into Thin Air, lebih dari dua kali lipat! Apa yang terjadi? Benarkah munculnya Into Thin Air telah memancing dan memanggil kembali Touching the Void? Jawabannya bukan pada buku itu sendiri, tapi cara penjualannya yang telah berubah. Ya, penjualan online!
Ketika Into Thin Air pertama kali diluncurkan, beberapa pembaca menulis resensi di Amazon.com yang menunjukkan kemiripan dengan Touching the Void, sekaligus membuat perbandingan dengan menyebutkan bahwa buku tersebut sebenarnya lebih bagus. Orang-ornag yang membaca resensi itu tertarik untuk memasukkan buku tersebut ke keranjang belanja. Perilaku pembeli ini terbaca oleh Amazon yang kemudian memberikan rekomendasi, "pembaca yang membeli Into Thin Air juga membeli Touching the Void, dan menganjurkan pembelian buku tersebut sebagai satu paket.
Orang menerima anjuran dan rekomendasi itu, merasa setuju, lalu menuliskan resensi-resensi yang lebih banyak lagi atau komentar mengenai buku-buku itu. Patut dicatat, ketika buku Kraukeur muncul, stok buku Simpson sudah hampir habis. Satu dasawarsa yang lalu pembaca Krauker tidak akan pernah tahu soal buku Simpson, dan kalau pun tahu akan sulit menemukannya. Namun, penjualan online mengubah situasi tersebut. Dengan memadukan ruang pajang yang tak terbatas dan informasi real-time tentang tren belanja, serta komentar masyarakat konsumen, maka terciptalah fenomena Touching the Void. Menurut Chris Anderson dalam buku The Long Tail, yang terjadi dalam hal ini adalah meningkatnya kebutuhan atas buku yang nyaris tak dipedulikan orang. Dan, itu terjadi 10 tahun yang lalu.
Kini, perkembangannya sudah lebih gila. Ribuan bahkan jutaan buku lama yang sudah tertimbun waktu berhamburan kembali tak hanya lewat toko-toko "resmi" seperti Amazon, melainkan lewat blog, akun-akun Facebook pribadi, Twitter, Instagram, dan forum-forum diskusi. Jejaring-jejaring digital di internet telah mempertemukan para penjual buku dengan kolektor, atau orang-orang yang membutuhkannya. Para penjual buku itu sendiri sebenarnya adalah kolektor juga, yang melihat peluang. Mereka memiliki persediaan buku lebih dari satu untuk setiap judul, lalu menjualnya. Namun, tentu saja, tak sedikit pula yang telah menjadikan jualan buku secara online sebagai sumber mata pencaharian utama, bukan sekedar sampingan atau iseng-iseng berhadiah pengisi waktu luang.
Berbagai kemungkinan itu berujung pada satu hal: bahwa daya hidup sebuah buku menjadi lebih panjang dari yang mungkin terjadi sebelumnya. Buku-buku bekas, yang mungkin pinggirannya sudah "gripis" atau sampulnya memudar, kini memiliki "ekor panjang" yang ajaib, yang telah memberinya nilai ekonomi lebih dari yang bisa diduga. Bahkan, berkat penjualan online, buku-buku lama itu kini memiliki nilai ekonomi yang kadang jauh lebih tinggi dibanding harga "asli"-nya ketika pertama kali diluncurkan dahulu. Buku-buku telah melampuai kemampuan fisiknya untuk bertahan, lahir kembali dalam sebuah pasar yang tak ada habisnya.
Toko Buku itu Bernama Facebook
Jakarta - Ariyanto (40) punya kesibukan baru yang cukup menyita waktu. Di sela rutinitasnya menjalankan tugas sebagai redaktur sebuah koran harian di Solo, kini ia harus wara-wiri ke gerai jasa pengiriman barang Wahana. Ia baru saja memulai bisnis baru: jualan buku dan majalah bekas via online.
"Baru banget, masih tergolong yunior, baru mulai sekitar Lebaran kemarin," ujarnya saat ditemui di Starbucks Solo Paragon beberapa waktu lalu. Walaupun belum lama terjun, namun ia sudah punya banyak pengalaman seru yang bisa diceritakan.
"Kemarin nemu buku rapot tahun 1970-an, aku posting, eh langsung ada yang beli," tuturnya. Buku rapot yang dimaksudkannya adalah buku laporan nilai evaluasi anak sekolah. Dari situ, ia pun belajar memahami bisnis yang tengah dirambahnya itu. Bahwa tak hanya buku atau majalah, namun berbagai dokumen cetak, sejauh itu datang dari masa lalu, ternyata kini tengah diburu.
"Buku-buku Pram(oedya Ananta Toer) sih sudah bukan cerita baru lagi ya dalam hal ini. Yang mengherankan, buku atlas pun dilahap," katanya seraya mengembuskan asap rokoknya. Solo baru saja diguyur hujan. Duduk di sisi luar, udara dingin sesekali terasa menyerbu. Lantai masih basah.
Ariyanto memulai bisnis itu nyaris tanpa modal. Ia tak perlu repot-repot membuat website canggih yang dilengkapi dengan berbagai fitur transaksi jual-beli. Ia juga tak membuat blog. Ia hanya memanfaatkan akun Facebook-nya, Ariyanto Mahardika, yang bahkan hanya terhubung dengan 650 orang. Memang bukan jumlah yang fantastis, tak sampai angka ribuan, namun sejak awal ia tahu bahwa bisnis yang tengah dirintisnya itu tak melulu mengandalkan jumlah teman.
"Kata kuncinya itu harus sabar," ujarnya. Sabar untuk apa? "Untuk menemukan orang yang tepat!" sahutnya.
Aryanto hanya satu dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan akun Facebook yang berjualan buku-buku lama. Mereka boleh dibilang merupakan generasi ketiga dari fenomena jualan buku online. Generasi pertama adalah website seperti kutukutubuku, inibuku, bukabuku, bukukita, bakulbuku, amartapura, homerianshop. Sedangkan generasi kedua adalah blog, sebut saja beberapa yang populer inibukubudi.wordpress, tsarindanbukulangka.blogspot, toko-bukubekas.blogspot.
Generasi ketiga yang berjualan di Facebook pun tak semuanya secara terang-terangan menggunakan akun yang bisa langsung dikenali sebagai pedagang buku. Seperti: Toko Buku Multatuli, Toko Buku Barokah, Kiosbukubuku Velodrom, Toko Buku Multatuli, Juragan Buku Pandean Lamper, Toko Buku Kafka, Penggiat Buku, Buku Merdeka, Parkiran Buku, Trisna Buku Tok II, Kios Buku Jadul, Jual-beli Buku Baru-bekas, Katalog Buku, Buku Bekas Layak Pakai, Kiosbukubuku, Jagad Jualan Buku, Lumah BookWarung, Buku Merdeka, Bangau Buku, Jual Buku Sastra, Toko Buku Sisyphus, Mbah Dimas Jual Buku.
Banyak di antara mereka, seperti Ariyanto, yang menggunakan namanya sendiri, sehingga bila belum berkenalan, orang tidak tahu bahwa akun tersebut jualan buku. Misalnya: Zakeus Singodrono Nugroho, Yohana Yasrin, Atha Rizq, Dodik Nugroho, Ribut Wijoto, Rien Milansi, Nurmahera, Budi Elang Semeru, Edmond Marcel. Atau, nama-nama lain seperti Lotus, Jejak Ratu Adil, Alaz Novel, Kitab Keabadian, Toko Lapangan Merah, Makaru Makara, Dilladoel Ventura.
Sudah lama Facebook menjadi tempat berjualan, dan itulah salah satu hal yang paling sering dikeluhkan oleh para pengguna jejaring tersebut. Namun, akun-akun penjual buku punya lingkaran sendiri yang guyup, tanpa ada yang merasa terganggu. Sebaliknya, mereka yang nge-add akun-akun penjual buku tersebut selalu menunggu-nunggu postingan terbaru berupa display buku-buku. Antara penjual dan pembeli (pelanggan) bahkan terjadi ikatan yang solid. Aryanto bercerita, ada salah satu pelanggannya dari Jakarta yang rutin meneleponnya, tak hanya untuk berbincang tentang buku dan arsip-arsip bersejarah, tapi juga ngobrol hal-hal lain.
Para pembeli yang loyal dan sudah menjadi pelanggan setia menghapali hari apa atau pada jam-jam berapa sebuah "lapak" --sebutan untuk akun penjual buku-- menggelar dagangannya alias mem-posting penawaran buku. Akun-akun itu sendiri biasanya memasang status yang berisi pengumuman bahwa, misalnya, satu jam lagi mereka akan mem-posting buku. Tidak semua jualan buku bekas atau langka, memang. Ada juga akun yang kerap menawarkan buku baru yang masih bersegel dan sedang beredar di toko buku.
Tapi, yang paling diminati dan diburu memang buku-buku bekas yang sudah tidak ada di toko-toko buku. Sebuah buku langka yang di-posting tak jarang menjadi rebutan. Umumnya, akun-akun tersebut tidak berjualan dalam partai besar. Stok mereka terbatas, satu buku untuk satu judul. Menariknya lagi, sesama pelapak atau penjual buku juga kerap saling memesan.
"Para penjual buku di Facebook itu kebanyakan memang sekaligus kolektor. Mereka tak akan menjual buku yang disayanginya kalau tak punya dobelannya, istilahnya begitu," kata Aryanto.
Selain fakta bahwa para penjual itu sekaligus kolektor, di antara mereka kebanyakan juga membuka kios buku di kotanya. Akun bernama Lapak Buku Tualang misalnya, memiliki "kios fisik" yang bisa dikujungi di Dago Atas, Bandung. Para pemilik akun yang berasal dari Yogyakarta kebanyakan juga pedagang buku "beneran" yang rajin membuka lapak di berbagai acara pameran buku. Sebagian dari mereka adalah mantan pengelola penerbitan dan penulis buku. Akun bernama Toko Buku Pantura misalnya, adalah Afhtonul Afif penulis buku 'Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Pergulatan Mencari Jati Diri' (Penerbit Kepik, Depok, 2012).
Selain di Bandung dan Jogja, akun-akun jualan buku di Facebook terkonsentrasi di kota-kota yang memiliki kampus seperti Surabaya, Malang, Solo, Jakarta, Semarang, Medan dan Aceh. Tapi, ada juga akun yang beralamat di kota kecil Batang, Jawa Tengah. Beberapa akun tampaknya sangat dihormati dan disegani karena telah memiliki semacam "brand" yang kuat, seperti Syech Prang (Aceh), Mijilnya Gieb (Jakarta), Andi Anang Firmansyah (Jakarta), Ikhsan Buku (Bogor), Kujang Press (Yogyakarta) dan Rio Jual Bukulamakuno (Solo).
Sedangkan para pembeli datang dari berbagai kota di seluruh penjuru Indonesia, bahkan dari luar negeri. Selain tentu saja para kolektor dan pecinta buku secara umum, mereka biasanya dari kalangan dosen, peneliti, sejarawan, wartawan, aktivis dan mahasiswa. Ariyanto berkisah, ia memiliki pelanggan yang unik, seorang juragan batako yang merupakan kolektor garis keras buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya dari Jakarta dan Solo sendiri, pelanggan Ariyanto kini juga datang dari Australia dan Malaysia. Itu terjadi setelah ia memperluas jangkauan buku-bukunya dengan membuka "lapak" di situs jualan online besar OLX.com. Namun, "rumah" yang utama tetaplah Facebook.
Lantas, bagaimana mekanisme jual-beli di Facebook? Sangat sederhana! Peminat tinggal membubuhkan "pesan" di kolom komentar di bawah foto buku yang di-posting. Pemilik akun akan segera merespons. Selanjutnya tukar-menukar nomer rekening dengan alamat pengiriman buku. Setelah uang ditransfer dan dikabarkan, penjual akan segera mengirimkan buku yang dipesan. Mudah, cepat, praktis! Silakan mencoba!
Membajak Pram, Membangkitkan Kembali Aidit
Jakarta - Kukira dalam 10 tahun terakhir banyak buku langka yang telah meroket harganya. Jika hendak membeli buku aku mungkin akan mencari Salman Rushdie atau Jack London atau Booth Tarkington ~ John Charles Gilkey, pencuri buku langka di Amerika dalam buku The Man Who Loved Books Too Much (terjemahan penerbit Alvabet, Jakarta, cetakan 1 April 2010).
Anak muda itu mengambil sebuah buku dari tumpukan di sebuah kios di Pusat Buku dan Majalah Bekas Blok M Square, Jakarta Selatan. Buku bersampul lukisan wajah bertopi Pramoedya Ananta Toer itu menarik perhatiannya. "Ini berapa, Mas?" tanyanya ke penjual.
Si penjual, pria yang berusia sepantaran, mengambil alih buku itu dari tangan calon pembelinya, dan menimbang-nimbang. Agak lama ia mengamati setiap sudut buku itu, sebelum akhirnya menyebutkan angka, "Tujupuluh ribu!"
Calon pembeli itu kaget. "Mahal amat!" protesnya spontan, sungguh tak menyangka dengan harga yang disebutkan.
"Buku-buku Pramoedya memang mahal, Mas!" balas penjaga kios.
Calon pembeli itu tertawa kecil. Buku yang ada di tangannya itu sebenarnya bukan "buku Pramoedya", dalam arti buku atau novel karya sang penulis legendaris itu. Melainkan, sebuah pembahasan tentang karya-karya Pram, yang diangkat dari skrispi sarjana Eka Kurniawan yang kemudian diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Awalnya, buku itu diterbitkan oleh Jendela, Yogyakarta. Edisi yang tengah diperdebatkan harganya itu adalah versi terbitan Gramedia Pustaka Utama yang belakangan mengambil alih naskah itu setelah Penerbit Jendela tutup.
Kejadian di sebuah kios buku pada suatu sore itu hanya sebuah gambaran kecil betapa nama tertentu menjadi bintang dalam bursa buku bekas. Pramoedya Ananta Toer sudah tidak perlu dibahas panjang lebar. Namanya harum di urutan pertama tanpa perdebatan. Permintaan terhadap buku-buku karya Pram, baik novel maupun non-fiksi memang tinggi. Dan, persediaan barang di pasar terbilang langka. Hal itu memicu munculnya produk bajakan di pasaran. Di bursa buku bekas yang terletak di lantai bawah tanah Blok M Square tersebut, buku bajakan Pram menghiasi hampir setiap lapak dan kios. Tak hanya tetralogi yang terkenal itu, tapi karya-karya lain yang "kurang populer" pun dibajak. Sebut saja Sang Pemula, Arok Dedes hingga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Belakangan, novel Arus Balik yang merupakan salah satu masterpiece Pramoedya yang paling diburu kolektor dan pecinta buku juga beredar bajakannya, dengan cetakan yang terbilang bagus, dalam kemasan hardcover yang gagah.
Buku-buku bajakan itu diperhalus dengan istilah POD (print on demand) atau cetak digital. Hal itu, konon, untuk menyiasati kelangkaan barang yang memang sudah tak bisa diatasi sementara permintaan pasar sangat tinggi. Buku-buku pram lainnya yang menjadi primadona "POD" adalah Cerita dari Jakarta dan Cerita dari Blora. Belakangan, tren "cetak digital" atas nama permintaan pasar itu merambah juga ke buku-buku lain. Kalau Anda ketemu karya-karya terjemahan Albert Camus ataupun Maxim Gorky keluaran penerbit-penerbit Jogja era 90-an, telitilah dengan detail, kemungkinan sangat besar itu versi "cetak ulang digital" alias bajakan dengan kualitas yang bagus. Buku sejarah karya Takashi Shiraishi Zaman Bergerak terjemahan penerbit Grafiti juga masuk dalam barisan ini; waspadalah.
Dan, jangan salah, buku-buku KW tersebut juga dijual dengan harga yang relatif mahal. Bajakan Tetralogi Pulau Buru mungkin masih bisa dibawa pulang dengan harga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per buku. Tapi, untuk Cerita dari Blora atau Cerita dari Jakarta minimal Rp 60 ribu.
Namun, di sela-sela produk bajakan tersebut, tak menutup kemungkinan pembeli bisa menemukan buku yang asli. Bila itu terjadi, jangan kaget, harganya pasti dibandrol tinggi sekali. Buku Percikan Revolusi Subuh yang bersampul hijau-angker itu pernah muncul dengan label harga Rp 300 ribu! Di beberapa akun jualan buku di Facebook, novel Arok-Dedes cetakan pertama tahun 1999 bisa laku minimal Rp 400 ribu. Keluarga Gerilya cetakan 1960-an ditawarkan dengan harga Rp 550 ribu dan langsung dipesan. Karya Pram lainnya, Tempoe Doeloe terbitan Hasta Mitra, 1982 juga memiliki pasaran harga yang sama, di kisaran Rp 500-an ribu. Sedangkan dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditawarkan seharga Rp 700 ribu.
Beda di pasar offline, beda pula situasinya di pasar online. Di lapak-lapak jualan buku di Facebook, produk bajakan nyaris tak punya tempat. Para pedagang maupun pembeli, yang pada dasarnya adalah sama-sama pecinta dan kolektor buku, sangat menghargai karya asli. Namun, memang ada sedikit pengecualian. Ada satu nama selain Pramoedya yang juga menjadi primadona lapak buku bekas, namun cukup bisa dimaklumi jika karya-karyanya beredar dalam versi bajakan. Nama tersebut adalah DN Aidit.
Selama ini, masyarakat umum mungkin hanya mengenal nama tersebut dalam kaitan dengan kontroversi G30S. Padahal, sebagai ketua partai dan politikus, Aidit adalah seorang pemikir dan penulis yang produktif. Nah, buku-buku hasil buah pikiran Aidit tersebut kini menjadi buruan para kolektor dan pecinta buku. Dikarenakan buku-buku Aidit jauh lebih langka dibandingkan dengan karya-karya Pram, maka pembajakan terhadapnya seolah bisa diterima.
Hal itu terbukti ketika sebuah akun pedagang buku bernama Bukuku Lawas yang beralamat di Solo mem-posting "buku" karya Aidit berjudul Menempuh Djalan Rakyat edisi tahun 1952. Ia memberi keterangan tambahan bahwa "buku" tersebut hanyalah versi "repro scan" tapi "persis aslinya". Cetakan supertipis yang berisi pidato Aidit tersebut ditawarkan dengan harga Rp 55 ribu per eksemplar, dan ia memiliki stok 22. Apa yang terjadi? Dalam waktu kurang dari seminggu buku tersebut sudah ludes dipesan.
Kendati demikian, segala kemungkinan bisa terjadi di jagad penjualan buku online, dan kemunculan versi cetakan asli karya Aidit pun bukan "hil yang mustahal". Pada suatu kali sebuah akun menjual 'Pilihan Tulisan' Jilid 1, 2 dan 3 karya Aidit dengan tambahan keterangan "bukan fotocopy". Buku-buku itu dicetak pada tahun 1959, 1960 dan 1965 dalam kemasan hardcover oleh Jajasan Pembaruan, Jakarta. Total setebal 1500 halaman! Berapa harganya? Untuk buku-buku tertentu yang tergolong sangat langka, pemilik akun biasanya tak mencantumkan harga. Peminat dipersilakan mengontaknya dengan mengirim pesan pribadi atau SMS.
Belakangan, buku Aidit yang berjudul Menggugat Peristiwa Madiun juga muncul di lapak Facebook, dan langsung diserbu peminat yang menanyakan harganya. Mengingat langkanya edisi asli buku ini, maka urusan harga dibicarakan secara bisik-bisik di luar kolom komentar.
Dari Gerilya Hingga Lelang Buku: Para Penjaga Ilmu di Era 'Cyberloak'
Jakarta - Para pelanggan yang dia ingat dengan baik adalah individu aneh, para eksentrik berpakaian lusuh yang menghabiskan uangnya atas buku-buku dan katalog daripada baju dan makanan ~ Libri di Luca, Novel tentang Perkumpulan Rahasia Pecinta Buku, Mikkel Birkegaard (terjemahan Serambi, Jakarta, cetakan 1, Novemver 2009).
"Jooosss...!" Rony Rudal terpekik girang. Lelang buku yang dibukannya berakhir dengan happy ending. Tjerita dari Blora karya Pramoedya Ananta Toer edisi cetakan 1964 yang dilelangnya ditutup dengan angka yang memuaskan: Rp 520 ribu.
Rony Rudal? Lelang buku? Jangan tertawa dulu. Rony Rudal itu nama sebuah akun Facebook yang beralamat di Malang, salah satu dari ribuan akun jualan buku bekas yang populer di jagad maya. Dan, lelang buku adalah salah satu modus yang biasa ditawarkan oleh akun penjual buku untuk melepas koleksi yang dinilai langka ke pasaran.
Rony menggelar acara lelang buku tersebut di akun Facebook-nya. Lelang dibuka pada Senin, 29 September pukul 19.45 WIB, dan berakhir keesokan lusanya, Rabu, 1 Oktober pukul 21.00 WIB. "Diawali dengan angka 150, berlaku kelipatan 10. Lewat dari pukul 21.00 penawaran tidak berlaku lagi," tulisnya mewanti-wanti.
Dalam bulan yang sama, lelang juga digelar oleh akun bernama Mijilnya Gieb yang beralamat di Jakarta. Pada 25 September ia melelang buku Hoakiau di Indonesia, lagi-lagi karya Pramoedya. Bid dimulai dari Rp 20 ribu dengan minimal kenaikan selanjutnya Rp 10 ribu. Ketika ditutup pada 27 September pukul 22.00 WIB, buku terbitan Garba Budaya cetakan kedua tahun 1998 tersebut terjual dengan harga Rp 330 ribu.
Menjual buku langka di Facebook memang gampang-gampang susah, demikian pula berlaku hal yang sama bagi peminat yang ingin mendapatkan sebuah buku tertentu. Di kalangan para pecinta buku ada ungkapan, buku ibarat jodoh, kalau belum takdirnya tak akan bertemu. Oleh karenanya, berbagai cara dan pendekatan dilakukan baik oleh para penjual maupun (calon) pembeli terhadap sebuah buku.
Di forum-forum komunitas online seperti Kaskus, selain terjadi diskusi dan penawaran berbagai macam barang, bukan hal baru ketika ada orang yang mengumumkan tengah mencari sebuah buku. "Permisi agan-agan, ane lagi mencari buku lama judulnya Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian karangan Greg Soetomo...kalo ada yang punya di rumah atau mau dijual ane mau beli gan...SMS aja ke no ane ya gan," demikian pernah terbaca dari seorang user yang meninggalkan nomer teleponnya.
Seorang pecinta buku dengan Facebook Rama Prambudhi Dikimara bahkan membuat album khusus di akunnya yang diberi nama Buku-Buku Yang Saya Cari. Di album itu, direktur Lembaga Kajian Pendidikan, Kebudayaan dan Politik Dewantara Institute tersebut memajang foto-foto buku yang tengah diburunya, dan berharap jika ada orang yang menjualnya mau menghubunginya. Tampak di album tersebut buku-buku langka bertema seputar sejarah komunisme di Indonesia, seperti PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). "Sampulnya merah putih dengan gambar palu arit dan nama-nama penulis Aidit dan Musso," tulisnya menambahkan keterangan untuk memperjelas.
Lucunya, postingan di album itu justru segera menarik perhatian orang yang menyatakan berminat untuk memesannya. Hal itu menunjukkan bahwa minat terhadap buku langka di pasar Facebook sungguh tinggi. Rama punya istilah untuk proses perburuan buku di Facebook tersebut, yakni gerilya buku. Dan, dengan sendirinya dia pun menyebut dirinya sebagai gerilyawan buku. Hingga kini ia masih terus bergerilya untuk mencari buku-buku yang ingin dimilikinya.
Istilah gerilyawan buku juga digunakan oleh Mijilnya Gieb, ketika menggambarkan dunia perburuan dan jual-beli buku bekas. "Peredaran buku di Jakarta itu sudah dimulai saat dini hari. Saat kita terlelap, para gerilyawan buku sudah berebutan jatah buku bagus di sebuah pojok lusuh utara Jakarta," ujarnya. Pojok lusuh utara Jakarta yang dimaksudkannya adalah Jatinegara.
Dari "pojok lusuh" itulah harta karun bernama buku bekas, buku langka, dokumen-dokumen dan arsip bersejarah, naskah-naskah tua berdebu digali, diseleksi, dipilah-pilah untuk kemudian dipajang di dinding Facebook, ditawarkan dengan harga tertentu, atau dilelang, dan diserbu serta jadi rebutan banyak peminat. Mereka, baik para penjual maupun pembeli --yang pada dasarnya adalah sama-sama gerilyawan buku-- adalah para penjaga ilmu pengetahuan di era cyberloak, era pasar loak maya, meminjam istilah Putut Widjanarko dalam buku Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace (Mizan, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000). Dalam istilah Rama, mereka adalah "manusia-manusia aneh di zaman yang serba instan".
Apapun istilahnya, para pecinta dan kolektor buku, maupun siapa saja yang sewaktu-waktu membutuhkan rujukan untuk keperluan penelitian dan hal-hal akademis lainnya, patut berterima kasih kepada orang-orang seperti Mijilnya Gieb, Rony Rudal dan akun-akun penjual buku di Facebook yang jumlahnya barangkali ribuan. Jerih payah mereka telah memudahkan distribusi pengetahuan di masyarakat. Walaupun itu mungkin memang menjadi mata pencaharian, atau setidaknya apa yang mereka lakukan itu memiliki nilai ekonomi bagi dirinya, namun dampaknya jauh lebih besar daripada itu.
Selain "pojok lusuh" yang digambarkan Mijil, menurut pemilik akun jualan di Facebook asal Solo, Ariyanto Mahardika, salah satu sumber penggalian "harta karun" buku (bekas) adalah pameran-pameran berskala besar yang biasanya penuh obral. Di Jakarta saja, dalam setahun ada empat kali pameran buku, begitu pun di Bandung dan kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta bahkan Solo. Pameran buku telah menjadi agenda rutin di berbagai kota, dan para pegadang buku akan berburu buku di arena itu untuk dijual kembali. Selain di berbagai pameran, mereka juga menyambangi pasar-pasar buku bekas seperti Palasari dan Jalan Kahuripan di Bandung, Shopping Center di Yogyakarta atau Alun-alun Utara di Solo.
Gudang-gudang penerbit pun tak luput menjadi incaran para pedagang buku tersebut. Pendek kata, itu artinya mereka telah menjalankan peran dalam satu rantai panjang distribusi buku sebelum akhirnya sampai ke pengguna. Perjalanan buku memang jadi lebih panjang, tapi bayangkan, tidak semua orang berkesempatan pergi ke pameran atau apalagi menghabiskan waktu mengulik pasar-pasar loak. Bahkan di masa sekarang, ke toko buku pun menjadi kemewahn bagi orang sibuk. Maka pilihannya adalah penjualan online. Hal itu terbukti dari lakunya pula buku-buku baru yang sebenarnya masih beredar dan mudah dijumpai di toko buku. Para pedagang buku di Facebook, ya, para gerilyawan buku itu, telah menjadi jembatan antara penerbit, toko buku, dan eksibitor-eksibitor buku lainnya dengan masyarakat modern yang sebagian besar waktunya habis di depan internet.
'Perjalanan Ajaib' Sebuah Buku Bekas
Jakarta - Usai menemui penyair yang buku kumpulan puisinya akan diterbitkan, editor itu mampir ke sebuah kios buku bekas. Ketika sedang melihat-lihat buku di rak, tiba-tiba ia menemukan Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupe;ry. Ingatannya langsung melayang ke masa silam. Ia ingat, waktu kecil dulu sudah berpuluh kali membacanya. Tapi, yang kemudian bikin ia tambah kaget, buku yang dipegangnya itu ternyata tak lain buku miliknya ketika kecil dulu. Ada jejak goresan-goresan tangannya, dan ada namanya di buku itu.
Ketika sang penjual menanyakan apakah dia akan membelinya, ia menjawab tidak. "Kalau terlalu mahal harganya bisa saya turunkan," kata si penjual.
"Bukan begitu, jika aku membeli buku ini berarti aku menjadi tujuan terakhir buku ini, tapi jika tetap di sini buku ini akan melalui banyak orang lagi, dan perjalannnya akan semakin panjang," kata yang editor cantik itu.
Tercenung oleh perkataan pengunjung tokonya, sang penjual buku pun jadi berpikir kembali tentang perjalanan yang dialami buku-buku yang menjadi dagangannya. Beberapa buku itu adalah hasil barter, beberapa lainnya dari kelarga yang mau pindah. Ada juga dari kolektor yang mengambil dari keluarga lain. Dari mana pun asalnya, mereka pasti telah melalui beberapa tangan dalam perjalannnya. Buku-buku itu berasal dari orang-orang kaya dan miskin, ibu rumah tangga dan pelajar; mereka telah dibaca di atas sofa nyaman, atau di bawah keteduhan pohon rindang, menyentuh hati orang-orang dan memberi harapan bagi yang lain. Berapa banyak tangan telah membolak-balik lembarannya, dan masih akan berapa tangan lagi setelahnya....
Di zaman digital sekarang ini, perjalanan sebuah buku bekas bisa jauh lebih dahsyat lagi daripada yang bisa dibayangkan oleh penjual buku, juga sang editor dalam kisah Perjalanan Ajaib dan Kisah-kisah Nyata Menyentuh Lainnya: Chicken Soup for the Soul Graphic Novel yang digambar oleh Kim Donghwa (terjemahan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama April 2008). Mari kita bandingkan dengan kisah di bawah ini:
Pada 1988 seorang pendaki gunung Inggris bernama Joe Simpson menulis buku berjudul Touching the Void, sebuah cerita menegangkan tentang situasi antara hidup dan mati di Pegunungan Andes di Peru. Walaupun resensi buku ini bagus, penjualannya sedang-sedang saja, dan dalam waktu singkat dilupakan orang. Sepuluh tahun kemudian sesuatu yang aneh terjadi ketika seorang pendaki lain bernama John Krakauer merilis buku tragedi pendakian gunung serupa, berjudul Into Thin Air yang sukses besar. Apa sesuatu yang aneh itu? 'Touching the Void' ikut terdongkrak dan mulai terjual lagi, dicari orang lagi.
Toko-toko kemudian memajang lagi Touching the Void bersebalahan dengan Into Thin Air, dan penjualannya pun terus menanjak. Sebuah penerbit bahkan kemudian meluncurkan cetak ulang versi murahnya, yang bertahan 16 minggu di daftar buku laris New York Times. Pada pertengahan 2004, penjualan Touching the Void telah mengalahkan Into Thin Air, lebih dari dua kali lipat! Apa yang terjadi? Benarkah munculnya Into Thin Air telah memancing dan memanggil kembali Touching the Void? Jawabannya bukan pada buku itu sendiri, tapi cara penjualannya yang telah berubah. Ya, penjualan online!
Ketika Into Thin Air pertama kali diluncurkan, beberapa pembaca menulis resensi di Amazon.com yang menunjukkan kemiripan dengan Touching the Void, sekaligus membuat perbandingan dengan menyebutkan bahwa buku tersebut sebenarnya lebih bagus. Orang-ornag yang membaca resensi itu tertarik untuk memasukkan buku tersebut ke keranjang belanja. Perilaku pembeli ini terbaca oleh Amazon yang kemudian memberikan rekomendasi, "pembaca yang membeli Into Thin Air juga membeli Touching the Void, dan menganjurkan pembelian buku tersebut sebagai satu paket.
Orang menerima anjuran dan rekomendasi itu, merasa setuju, lalu menuliskan resensi-resensi yang lebih banyak lagi atau komentar mengenai buku-buku itu. Patut dicatat, ketika buku Kraukeur muncul, stok buku Simpson sudah hampir habis. Satu dasawarsa yang lalu pembaca Krauker tidak akan pernah tahu soal buku Simpson, dan kalau pun tahu akan sulit menemukannya. Namun, penjualan online mengubah situasi tersebut. Dengan memadukan ruang pajang yang tak terbatas dan informasi real-time tentang tren belanja, serta komentar masyarakat konsumen, maka terciptalah fenomena Touching the Void. Menurut Chris Anderson dalam buku The Long Tail, yang terjadi dalam hal ini adalah meningkatnya kebutuhan atas buku yang nyaris tak dipedulikan orang. Dan, itu terjadi 10 tahun yang lalu.
Kini, perkembangannya sudah lebih gila. Ribuan bahkan jutaan buku lama yang sudah tertimbun waktu berhamburan kembali tak hanya lewat toko-toko "resmi" seperti Amazon, melainkan lewat blog, akun-akun Facebook pribadi, Twitter, Instagram, dan forum-forum diskusi. Jejaring-jejaring digital di internet telah mempertemukan para penjual buku dengan kolektor, atau orang-orang yang membutuhkannya. Para penjual buku itu sendiri sebenarnya adalah kolektor juga, yang melihat peluang. Mereka memiliki persediaan buku lebih dari satu untuk setiap judul, lalu menjualnya. Namun, tentu saja, tak sedikit pula yang telah menjadikan jualan buku secara online sebagai sumber mata pencaharian utama, bukan sekedar sampingan atau iseng-iseng berhadiah pengisi waktu luang.
Berbagai kemungkinan itu berujung pada satu hal: bahwa daya hidup sebuah buku menjadi lebih panjang dari yang mungkin terjadi sebelumnya. Buku-buku bekas, yang mungkin pinggirannya sudah "gripis" atau sampulnya memudar, kini memiliki "ekor panjang" yang ajaib, yang telah memberinya nilai ekonomi lebih dari yang bisa diduga. Bahkan, berkat penjualan online, buku-buku lama itu kini memiliki nilai ekonomi yang kadang jauh lebih tinggi dibanding harga "asli"-nya ketika pertama kali diluncurkan dahulu. Buku-buku telah melampuai kemampuan fisiknya untuk bertahan, lahir kembali dalam sebuah pasar yang tak ada habisnya.
Toko Buku itu Bernama Facebook
Jakarta - Ariyanto (40) punya kesibukan baru yang cukup menyita waktu. Di sela rutinitasnya menjalankan tugas sebagai redaktur sebuah koran harian di Solo, kini ia harus wara-wiri ke gerai jasa pengiriman barang Wahana. Ia baru saja memulai bisnis baru: jualan buku dan majalah bekas via online.
"Baru banget, masih tergolong yunior, baru mulai sekitar Lebaran kemarin," ujarnya saat ditemui di Starbucks Solo Paragon beberapa waktu lalu. Walaupun belum lama terjun, namun ia sudah punya banyak pengalaman seru yang bisa diceritakan.
"Kemarin nemu buku rapot tahun 1970-an, aku posting, eh langsung ada yang beli," tuturnya. Buku rapot yang dimaksudkannya adalah buku laporan nilai evaluasi anak sekolah. Dari situ, ia pun belajar memahami bisnis yang tengah dirambahnya itu. Bahwa tak hanya buku atau majalah, namun berbagai dokumen cetak, sejauh itu datang dari masa lalu, ternyata kini tengah diburu.
"Buku-buku Pram(oedya Ananta Toer) sih sudah bukan cerita baru lagi ya dalam hal ini. Yang mengherankan, buku atlas pun dilahap," katanya seraya mengembuskan asap rokoknya. Solo baru saja diguyur hujan. Duduk di sisi luar, udara dingin sesekali terasa menyerbu. Lantai masih basah.
Ariyanto memulai bisnis itu nyaris tanpa modal. Ia tak perlu repot-repot membuat website canggih yang dilengkapi dengan berbagai fitur transaksi jual-beli. Ia juga tak membuat blog. Ia hanya memanfaatkan akun Facebook-nya, Ariyanto Mahardika, yang bahkan hanya terhubung dengan 650 orang. Memang bukan jumlah yang fantastis, tak sampai angka ribuan, namun sejak awal ia tahu bahwa bisnis yang tengah dirintisnya itu tak melulu mengandalkan jumlah teman.
"Kata kuncinya itu harus sabar," ujarnya. Sabar untuk apa? "Untuk menemukan orang yang tepat!" sahutnya.
Aryanto hanya satu dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan akun Facebook yang berjualan buku-buku lama. Mereka boleh dibilang merupakan generasi ketiga dari fenomena jualan buku online. Generasi pertama adalah website seperti kutukutubuku, inibuku, bukabuku, bukukita, bakulbuku, amartapura, homerianshop. Sedangkan generasi kedua adalah blog, sebut saja beberapa yang populer inibukubudi.wordpress, tsarindanbukulangka.blogspot, toko-bukubekas.blogspot.
Generasi ketiga yang berjualan di Facebook pun tak semuanya secara terang-terangan menggunakan akun yang bisa langsung dikenali sebagai pedagang buku. Seperti: Toko Buku Multatuli, Toko Buku Barokah, Kiosbukubuku Velodrom, Toko Buku Multatuli, Juragan Buku Pandean Lamper, Toko Buku Kafka, Penggiat Buku, Buku Merdeka, Parkiran Buku, Trisna Buku Tok II, Kios Buku Jadul, Jual-beli Buku Baru-bekas, Katalog Buku, Buku Bekas Layak Pakai, Kiosbukubuku, Jagad Jualan Buku, Lumah BookWarung, Buku Merdeka, Bangau Buku, Jual Buku Sastra, Toko Buku Sisyphus, Mbah Dimas Jual Buku.
Banyak di antara mereka, seperti Ariyanto, yang menggunakan namanya sendiri, sehingga bila belum berkenalan, orang tidak tahu bahwa akun tersebut jualan buku. Misalnya: Zakeus Singodrono Nugroho, Yohana Yasrin, Atha Rizq, Dodik Nugroho, Ribut Wijoto, Rien Milansi, Nurmahera, Budi Elang Semeru, Edmond Marcel. Atau, nama-nama lain seperti Lotus, Jejak Ratu Adil, Alaz Novel, Kitab Keabadian, Toko Lapangan Merah, Makaru Makara, Dilladoel Ventura.
Sudah lama Facebook menjadi tempat berjualan, dan itulah salah satu hal yang paling sering dikeluhkan oleh para pengguna jejaring tersebut. Namun, akun-akun penjual buku punya lingkaran sendiri yang guyup, tanpa ada yang merasa terganggu. Sebaliknya, mereka yang nge-add akun-akun penjual buku tersebut selalu menunggu-nunggu postingan terbaru berupa display buku-buku. Antara penjual dan pembeli (pelanggan) bahkan terjadi ikatan yang solid. Aryanto bercerita, ada salah satu pelanggannya dari Jakarta yang rutin meneleponnya, tak hanya untuk berbincang tentang buku dan arsip-arsip bersejarah, tapi juga ngobrol hal-hal lain.
Para pembeli yang loyal dan sudah menjadi pelanggan setia menghapali hari apa atau pada jam-jam berapa sebuah "lapak" --sebutan untuk akun penjual buku-- menggelar dagangannya alias mem-posting penawaran buku. Akun-akun itu sendiri biasanya memasang status yang berisi pengumuman bahwa, misalnya, satu jam lagi mereka akan mem-posting buku. Tidak semua jualan buku bekas atau langka, memang. Ada juga akun yang kerap menawarkan buku baru yang masih bersegel dan sedang beredar di toko buku.
Tapi, yang paling diminati dan diburu memang buku-buku bekas yang sudah tidak ada di toko-toko buku. Sebuah buku langka yang di-posting tak jarang menjadi rebutan. Umumnya, akun-akun tersebut tidak berjualan dalam partai besar. Stok mereka terbatas, satu buku untuk satu judul. Menariknya lagi, sesama pelapak atau penjual buku juga kerap saling memesan.
"Para penjual buku di Facebook itu kebanyakan memang sekaligus kolektor. Mereka tak akan menjual buku yang disayanginya kalau tak punya dobelannya, istilahnya begitu," kata Aryanto.
Selain fakta bahwa para penjual itu sekaligus kolektor, di antara mereka kebanyakan juga membuka kios buku di kotanya. Akun bernama Lapak Buku Tualang misalnya, memiliki "kios fisik" yang bisa dikujungi di Dago Atas, Bandung. Para pemilik akun yang berasal dari Yogyakarta kebanyakan juga pedagang buku "beneran" yang rajin membuka lapak di berbagai acara pameran buku. Sebagian dari mereka adalah mantan pengelola penerbitan dan penulis buku. Akun bernama Toko Buku Pantura misalnya, adalah Afhtonul Afif penulis buku 'Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Pergulatan Mencari Jati Diri' (Penerbit Kepik, Depok, 2012).
Selain di Bandung dan Jogja, akun-akun jualan buku di Facebook terkonsentrasi di kota-kota yang memiliki kampus seperti Surabaya, Malang, Solo, Jakarta, Semarang, Medan dan Aceh. Tapi, ada juga akun yang beralamat di kota kecil Batang, Jawa Tengah. Beberapa akun tampaknya sangat dihormati dan disegani karena telah memiliki semacam "brand" yang kuat, seperti Syech Prang (Aceh), Mijilnya Gieb (Jakarta), Andi Anang Firmansyah (Jakarta), Ikhsan Buku (Bogor), Kujang Press (Yogyakarta) dan Rio Jual Bukulamakuno (Solo).
Sedangkan para pembeli datang dari berbagai kota di seluruh penjuru Indonesia, bahkan dari luar negeri. Selain tentu saja para kolektor dan pecinta buku secara umum, mereka biasanya dari kalangan dosen, peneliti, sejarawan, wartawan, aktivis dan mahasiswa. Ariyanto berkisah, ia memiliki pelanggan yang unik, seorang juragan batako yang merupakan kolektor garis keras buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya dari Jakarta dan Solo sendiri, pelanggan Ariyanto kini juga datang dari Australia dan Malaysia. Itu terjadi setelah ia memperluas jangkauan buku-bukunya dengan membuka "lapak" di situs jualan online besar OLX.com. Namun, "rumah" yang utama tetaplah Facebook.
Lantas, bagaimana mekanisme jual-beli di Facebook? Sangat sederhana! Peminat tinggal membubuhkan "pesan" di kolom komentar di bawah foto buku yang di-posting. Pemilik akun akan segera merespons. Selanjutnya tukar-menukar nomer rekening dengan alamat pengiriman buku. Setelah uang ditransfer dan dikabarkan, penjual akan segera mengirimkan buku yang dipesan. Mudah, cepat, praktis! Silakan mencoba!
Membajak Pram, Membangkitkan Kembali Aidit
Jakarta - Kukira dalam 10 tahun terakhir banyak buku langka yang telah meroket harganya. Jika hendak membeli buku aku mungkin akan mencari Salman Rushdie atau Jack London atau Booth Tarkington ~ John Charles Gilkey, pencuri buku langka di Amerika dalam buku The Man Who Loved Books Too Much (terjemahan penerbit Alvabet, Jakarta, cetakan 1 April 2010).
Anak muda itu mengambil sebuah buku dari tumpukan di sebuah kios di Pusat Buku dan Majalah Bekas Blok M Square, Jakarta Selatan. Buku bersampul lukisan wajah bertopi Pramoedya Ananta Toer itu menarik perhatiannya. "Ini berapa, Mas?" tanyanya ke penjual.
Si penjual, pria yang berusia sepantaran, mengambil alih buku itu dari tangan calon pembelinya, dan menimbang-nimbang. Agak lama ia mengamati setiap sudut buku itu, sebelum akhirnya menyebutkan angka, "Tujupuluh ribu!"
Calon pembeli itu kaget. "Mahal amat!" protesnya spontan, sungguh tak menyangka dengan harga yang disebutkan.
"Buku-buku Pramoedya memang mahal, Mas!" balas penjaga kios.
Calon pembeli itu tertawa kecil. Buku yang ada di tangannya itu sebenarnya bukan "buku Pramoedya", dalam arti buku atau novel karya sang penulis legendaris itu. Melainkan, sebuah pembahasan tentang karya-karya Pram, yang diangkat dari skrispi sarjana Eka Kurniawan yang kemudian diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Awalnya, buku itu diterbitkan oleh Jendela, Yogyakarta. Edisi yang tengah diperdebatkan harganya itu adalah versi terbitan Gramedia Pustaka Utama yang belakangan mengambil alih naskah itu setelah Penerbit Jendela tutup.
Kejadian di sebuah kios buku pada suatu sore itu hanya sebuah gambaran kecil betapa nama tertentu menjadi bintang dalam bursa buku bekas. Pramoedya Ananta Toer sudah tidak perlu dibahas panjang lebar. Namanya harum di urutan pertama tanpa perdebatan. Permintaan terhadap buku-buku karya Pram, baik novel maupun non-fiksi memang tinggi. Dan, persediaan barang di pasar terbilang langka. Hal itu memicu munculnya produk bajakan di pasaran. Di bursa buku bekas yang terletak di lantai bawah tanah Blok M Square tersebut, buku bajakan Pram menghiasi hampir setiap lapak dan kios. Tak hanya tetralogi yang terkenal itu, tapi karya-karya lain yang "kurang populer" pun dibajak. Sebut saja Sang Pemula, Arok Dedes hingga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Belakangan, novel Arus Balik yang merupakan salah satu masterpiece Pramoedya yang paling diburu kolektor dan pecinta buku juga beredar bajakannya, dengan cetakan yang terbilang bagus, dalam kemasan hardcover yang gagah.
Buku-buku bajakan itu diperhalus dengan istilah POD (print on demand) atau cetak digital. Hal itu, konon, untuk menyiasati kelangkaan barang yang memang sudah tak bisa diatasi sementara permintaan pasar sangat tinggi. Buku-buku pram lainnya yang menjadi primadona "POD" adalah Cerita dari Jakarta dan Cerita dari Blora. Belakangan, tren "cetak digital" atas nama permintaan pasar itu merambah juga ke buku-buku lain. Kalau Anda ketemu karya-karya terjemahan Albert Camus ataupun Maxim Gorky keluaran penerbit-penerbit Jogja era 90-an, telitilah dengan detail, kemungkinan sangat besar itu versi "cetak ulang digital" alias bajakan dengan kualitas yang bagus. Buku sejarah karya Takashi Shiraishi Zaman Bergerak terjemahan penerbit Grafiti juga masuk dalam barisan ini; waspadalah.
Dan, jangan salah, buku-buku KW tersebut juga dijual dengan harga yang relatif mahal. Bajakan Tetralogi Pulau Buru mungkin masih bisa dibawa pulang dengan harga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per buku. Tapi, untuk Cerita dari Blora atau Cerita dari Jakarta minimal Rp 60 ribu.
Namun, di sela-sela produk bajakan tersebut, tak menutup kemungkinan pembeli bisa menemukan buku yang asli. Bila itu terjadi, jangan kaget, harganya pasti dibandrol tinggi sekali. Buku Percikan Revolusi Subuh yang bersampul hijau-angker itu pernah muncul dengan label harga Rp 300 ribu! Di beberapa akun jualan buku di Facebook, novel Arok-Dedes cetakan pertama tahun 1999 bisa laku minimal Rp 400 ribu. Keluarga Gerilya cetakan 1960-an ditawarkan dengan harga Rp 550 ribu dan langsung dipesan. Karya Pram lainnya, Tempoe Doeloe terbitan Hasta Mitra, 1982 juga memiliki pasaran harga yang sama, di kisaran Rp 500-an ribu. Sedangkan dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditawarkan seharga Rp 700 ribu.
Beda di pasar offline, beda pula situasinya di pasar online. Di lapak-lapak jualan buku di Facebook, produk bajakan nyaris tak punya tempat. Para pedagang maupun pembeli, yang pada dasarnya adalah sama-sama pecinta dan kolektor buku, sangat menghargai karya asli. Namun, memang ada sedikit pengecualian. Ada satu nama selain Pramoedya yang juga menjadi primadona lapak buku bekas, namun cukup bisa dimaklumi jika karya-karyanya beredar dalam versi bajakan. Nama tersebut adalah DN Aidit.
Selama ini, masyarakat umum mungkin hanya mengenal nama tersebut dalam kaitan dengan kontroversi G30S. Padahal, sebagai ketua partai dan politikus, Aidit adalah seorang pemikir dan penulis yang produktif. Nah, buku-buku hasil buah pikiran Aidit tersebut kini menjadi buruan para kolektor dan pecinta buku. Dikarenakan buku-buku Aidit jauh lebih langka dibandingkan dengan karya-karya Pram, maka pembajakan terhadapnya seolah bisa diterima.
Hal itu terbukti ketika sebuah akun pedagang buku bernama Bukuku Lawas yang beralamat di Solo mem-posting "buku" karya Aidit berjudul Menempuh Djalan Rakyat edisi tahun 1952. Ia memberi keterangan tambahan bahwa "buku" tersebut hanyalah versi "repro scan" tapi "persis aslinya". Cetakan supertipis yang berisi pidato Aidit tersebut ditawarkan dengan harga Rp 55 ribu per eksemplar, dan ia memiliki stok 22. Apa yang terjadi? Dalam waktu kurang dari seminggu buku tersebut sudah ludes dipesan.
Kendati demikian, segala kemungkinan bisa terjadi di jagad penjualan buku online, dan kemunculan versi cetakan asli karya Aidit pun bukan "hil yang mustahal". Pada suatu kali sebuah akun menjual 'Pilihan Tulisan' Jilid 1, 2 dan 3 karya Aidit dengan tambahan keterangan "bukan fotocopy". Buku-buku itu dicetak pada tahun 1959, 1960 dan 1965 dalam kemasan hardcover oleh Jajasan Pembaruan, Jakarta. Total setebal 1500 halaman! Berapa harganya? Untuk buku-buku tertentu yang tergolong sangat langka, pemilik akun biasanya tak mencantumkan harga. Peminat dipersilakan mengontaknya dengan mengirim pesan pribadi atau SMS.
Belakangan, buku Aidit yang berjudul Menggugat Peristiwa Madiun juga muncul di lapak Facebook, dan langsung diserbu peminat yang menanyakan harganya. Mengingat langkanya edisi asli buku ini, maka urusan harga dibicarakan secara bisik-bisik di luar kolom komentar.
Dari Gerilya Hingga Lelang Buku: Para Penjaga Ilmu di Era 'Cyberloak'
Jakarta - Para pelanggan yang dia ingat dengan baik adalah individu aneh, para eksentrik berpakaian lusuh yang menghabiskan uangnya atas buku-buku dan katalog daripada baju dan makanan ~ Libri di Luca, Novel tentang Perkumpulan Rahasia Pecinta Buku, Mikkel Birkegaard (terjemahan Serambi, Jakarta, cetakan 1, Novemver 2009).
"Jooosss...!" Rony Rudal terpekik girang. Lelang buku yang dibukannya berakhir dengan happy ending. Tjerita dari Blora karya Pramoedya Ananta Toer edisi cetakan 1964 yang dilelangnya ditutup dengan angka yang memuaskan: Rp 520 ribu.
Rony Rudal? Lelang buku? Jangan tertawa dulu. Rony Rudal itu nama sebuah akun Facebook yang beralamat di Malang, salah satu dari ribuan akun jualan buku bekas yang populer di jagad maya. Dan, lelang buku adalah salah satu modus yang biasa ditawarkan oleh akun penjual buku untuk melepas koleksi yang dinilai langka ke pasaran.
Rony menggelar acara lelang buku tersebut di akun Facebook-nya. Lelang dibuka pada Senin, 29 September pukul 19.45 WIB, dan berakhir keesokan lusanya, Rabu, 1 Oktober pukul 21.00 WIB. "Diawali dengan angka 150, berlaku kelipatan 10. Lewat dari pukul 21.00 penawaran tidak berlaku lagi," tulisnya mewanti-wanti.
Dalam bulan yang sama, lelang juga digelar oleh akun bernama Mijilnya Gieb yang beralamat di Jakarta. Pada 25 September ia melelang buku Hoakiau di Indonesia, lagi-lagi karya Pramoedya. Bid dimulai dari Rp 20 ribu dengan minimal kenaikan selanjutnya Rp 10 ribu. Ketika ditutup pada 27 September pukul 22.00 WIB, buku terbitan Garba Budaya cetakan kedua tahun 1998 tersebut terjual dengan harga Rp 330 ribu.
Menjual buku langka di Facebook memang gampang-gampang susah, demikian pula berlaku hal yang sama bagi peminat yang ingin mendapatkan sebuah buku tertentu. Di kalangan para pecinta buku ada ungkapan, buku ibarat jodoh, kalau belum takdirnya tak akan bertemu. Oleh karenanya, berbagai cara dan pendekatan dilakukan baik oleh para penjual maupun (calon) pembeli terhadap sebuah buku.
Di forum-forum komunitas online seperti Kaskus, selain terjadi diskusi dan penawaran berbagai macam barang, bukan hal baru ketika ada orang yang mengumumkan tengah mencari sebuah buku. "Permisi agan-agan, ane lagi mencari buku lama judulnya Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian karangan Greg Soetomo...kalo ada yang punya di rumah atau mau dijual ane mau beli gan...SMS aja ke no ane ya gan," demikian pernah terbaca dari seorang user yang meninggalkan nomer teleponnya.
Seorang pecinta buku dengan Facebook Rama Prambudhi Dikimara bahkan membuat album khusus di akunnya yang diberi nama Buku-Buku Yang Saya Cari. Di album itu, direktur Lembaga Kajian Pendidikan, Kebudayaan dan Politik Dewantara Institute tersebut memajang foto-foto buku yang tengah diburunya, dan berharap jika ada orang yang menjualnya mau menghubunginya. Tampak di album tersebut buku-buku langka bertema seputar sejarah komunisme di Indonesia, seperti PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). "Sampulnya merah putih dengan gambar palu arit dan nama-nama penulis Aidit dan Musso," tulisnya menambahkan keterangan untuk memperjelas.
Lucunya, postingan di album itu justru segera menarik perhatian orang yang menyatakan berminat untuk memesannya. Hal itu menunjukkan bahwa minat terhadap buku langka di pasar Facebook sungguh tinggi. Rama punya istilah untuk proses perburuan buku di Facebook tersebut, yakni gerilya buku. Dan, dengan sendirinya dia pun menyebut dirinya sebagai gerilyawan buku. Hingga kini ia masih terus bergerilya untuk mencari buku-buku yang ingin dimilikinya.
Istilah gerilyawan buku juga digunakan oleh Mijilnya Gieb, ketika menggambarkan dunia perburuan dan jual-beli buku bekas. "Peredaran buku di Jakarta itu sudah dimulai saat dini hari. Saat kita terlelap, para gerilyawan buku sudah berebutan jatah buku bagus di sebuah pojok lusuh utara Jakarta," ujarnya. Pojok lusuh utara Jakarta yang dimaksudkannya adalah Jatinegara.
Dari "pojok lusuh" itulah harta karun bernama buku bekas, buku langka, dokumen-dokumen dan arsip bersejarah, naskah-naskah tua berdebu digali, diseleksi, dipilah-pilah untuk kemudian dipajang di dinding Facebook, ditawarkan dengan harga tertentu, atau dilelang, dan diserbu serta jadi rebutan banyak peminat. Mereka, baik para penjual maupun pembeli --yang pada dasarnya adalah sama-sama gerilyawan buku-- adalah para penjaga ilmu pengetahuan di era cyberloak, era pasar loak maya, meminjam istilah Putut Widjanarko dalam buku Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace (Mizan, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000). Dalam istilah Rama, mereka adalah "manusia-manusia aneh di zaman yang serba instan".
Apapun istilahnya, para pecinta dan kolektor buku, maupun siapa saja yang sewaktu-waktu membutuhkan rujukan untuk keperluan penelitian dan hal-hal akademis lainnya, patut berterima kasih kepada orang-orang seperti Mijilnya Gieb, Rony Rudal dan akun-akun penjual buku di Facebook yang jumlahnya barangkali ribuan. Jerih payah mereka telah memudahkan distribusi pengetahuan di masyarakat. Walaupun itu mungkin memang menjadi mata pencaharian, atau setidaknya apa yang mereka lakukan itu memiliki nilai ekonomi bagi dirinya, namun dampaknya jauh lebih besar daripada itu.
Selain "pojok lusuh" yang digambarkan Mijil, menurut pemilik akun jualan di Facebook asal Solo, Ariyanto Mahardika, salah satu sumber penggalian "harta karun" buku (bekas) adalah pameran-pameran berskala besar yang biasanya penuh obral. Di Jakarta saja, dalam setahun ada empat kali pameran buku, begitu pun di Bandung dan kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta bahkan Solo. Pameran buku telah menjadi agenda rutin di berbagai kota, dan para pegadang buku akan berburu buku di arena itu untuk dijual kembali. Selain di berbagai pameran, mereka juga menyambangi pasar-pasar buku bekas seperti Palasari dan Jalan Kahuripan di Bandung, Shopping Center di Yogyakarta atau Alun-alun Utara di Solo.
Gudang-gudang penerbit pun tak luput menjadi incaran para pedagang buku tersebut. Pendek kata, itu artinya mereka telah menjalankan peran dalam satu rantai panjang distribusi buku sebelum akhirnya sampai ke pengguna. Perjalanan buku memang jadi lebih panjang, tapi bayangkan, tidak semua orang berkesempatan pergi ke pameran atau apalagi menghabiskan waktu mengulik pasar-pasar loak. Bahkan di masa sekarang, ke toko buku pun menjadi kemewahn bagi orang sibuk. Maka pilihannya adalah penjualan online. Hal itu terbukti dari lakunya pula buku-buku baru yang sebenarnya masih beredar dan mudah dijumpai di toko buku. Para pedagang buku di Facebook, ya, para gerilyawan buku itu, telah menjadi jembatan antara penerbit, toko buku, dan eksibitor-eksibitor buku lainnya dengan masyarakat modern yang sebagian besar waktunya habis di depan internet.
Jualan Jamu Meski Lulusan Terbaik
Gadis Cantik Lulus Cumlaude Justru Pilih Jual Jamu Ketimbang Kerja Kantoran
Memiliki paras cantik dan pintar rupanya tidak serta-merta membuat wanita yang satu ini menggunakan kelebihannya itu untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar.
Adalah Theresa Christya Alfiani (25), gadis cantik yang lulus kuliah dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, perusahaan mana yang ragu menjadikannya karyawati?
Tapi, Theresa akhirnya lebih memilih punya usaha sendiri. Ia pernah kerja kantoran, selepas SMA dan saat masih kuliah, tapi itu tidak memuaskannya.Ia lalu berupaya mengembangkan bisnis sendiri, dan kini jadilah jamu bermerek Sinok Kemayu yang sukses lewat penjualan online.
Theresa sukses mengelola dan mengembangkan jamu Sinok Kemayu yang ia jual secara online. Gadis berdarah Dayak kelahiran 16 Juni 1990 ini memanfaatkan resep leluhur yang turun temurun. Ia juga mewarisi dari orangtuanya, yang suka membuat jamu, meski dalam skala kecil.
Theresa sebenarnya pernah memulai karier sebagai karyawati. Itu dilakukannya setelah lulus SMA, dengan bekerja di hotel. Tapi, ia tak puas dengan pekerjaannya. Maka, dia melanjutkan kuliah S1 jurusan Komunikasi di Universitas Diponegoro, Semarang.
Selama jadi mahasiswi, Theresa mencoba untuk bekerja lagi. Ia menjadi karyawati pada sebuah kafe dan resto. Banyak ilmu yang ia peroleh,namun tetap saja ada perasaan tidak puas karena bukan usaha sendiri.
Theresa kemudian melirik resep jamu Dayak yang menjadi warisan leluhur. Ia melihat ini sebagai peluang bisnis.Maka, lahirlah jamu kecantikan alami, yang saat itu dikemas dalam botol tanpa merek.
Cerita soal jamu produk Theresa ini lantas menyebar dari mulut ke mulut hingga mulai banyak dicari. Dia pun mulai menekuni bisnis penjualan jamu tersebut.
Nama atau merek yang digunakannya kemudian adalah Sinok Kemayu. Sinok berarti gadis Jawa, sedangkan Kemayu bermakna centil. Modal awalnya hanya Rp 5 juta, namun kini sudah berkembang pesat melalui penjualan online.
Produk jamu Sinok Kemayu ia perbaiki kualitasnya, termasuk kemasannya, karena pasarnya ternyata tidak hanya dalam negeri, tapi sudah merambah ke Malaysia hingga Jerman.
Di balik sukses yang ia raih, kata Theresa, sebenarnya ada perjuangan berat di sana. Saat memulai usaha, ia kadang tidak tidur sampai tengah malam. Ia harus merebus jamu dalam panci yang besar.
Bahkan, ia kerap menangis sendiri. Terbayang teman-temannya yang bekerja di kantor, hidupnya enak, masuk kerja pagi pulang sore, malam bisa kelayapan dan tidur awal.
Rawat Kecantikan
Untuk menjaga kecantikan diri, seminggu sekali Theresa menyempatkan waktunya ke salon. Dua minggu sekali dia melakukan hair spa. "Set rambut seminggu sekali," ujar dia sebagaimana dikutip dari Tribun Jateng, beberapa waktu lalu.
Kebiasaan mencatok dan memberi sentuhan sasak itulah yang mendorong Tesa, panggilan akrabnya, untuk merawat rambutnya. Ditambah terpaan sinar matahari yang semakin merusak rambut. Padahal baginya, rambut itu penting untuk penampilan. "Sehingga harus senantiasa dijaga kesehatannya," imbuhnya.
Sarjana lulusan Jurusan Komunikasi Undip itu pun menjaga rambutnya mulai dari akar sampai ke ujung. Akar rambut agar kuat dan tidak mudah rapuh. Tiap helainya harus sehat dan berkilau. "Ujungnya jangan sampai bercabang," lanjut Tesa.
Di rumah, dia juga rutin melakukan hairmask agar kesehatan rambutnya terjaga lebih maksimal. Hairmask yang dilakukan sendiri tentunya tanpa disertai pemijatan. Jadi di salon, dia lebih memilih untuk hairspa.
"Dengan treatment hairspa di salon bisa mendapat dua keuntungan yaitu manfaat dari spa rambut itu sendiri dan meredakan pegal di kepala," terang Tesa.
Tidak hanya rambut, semua bagian tubuh penting untuk dirawat. Dia juga rutin merawat wajahnya. Untuk kesehatan tubuh, dia berolahraga dan mengonsumsi air putih serta buah. "Saya juga rutin minum jamu sebelum dan sesudah menstruasi," lanjut pemilik usaha jamu Sinok Kemayu ini.
Memiliki paras cantik dan pintar rupanya tidak serta-merta membuat wanita yang satu ini menggunakan kelebihannya itu untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar.
Adalah Theresa Christya Alfiani (25), gadis cantik yang lulus kuliah dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, perusahaan mana yang ragu menjadikannya karyawati?
Tapi, Theresa akhirnya lebih memilih punya usaha sendiri. Ia pernah kerja kantoran, selepas SMA dan saat masih kuliah, tapi itu tidak memuaskannya.Ia lalu berupaya mengembangkan bisnis sendiri, dan kini jadilah jamu bermerek Sinok Kemayu yang sukses lewat penjualan online.
Theresa sukses mengelola dan mengembangkan jamu Sinok Kemayu yang ia jual secara online. Gadis berdarah Dayak kelahiran 16 Juni 1990 ini memanfaatkan resep leluhur yang turun temurun. Ia juga mewarisi dari orangtuanya, yang suka membuat jamu, meski dalam skala kecil.
Theresa sebenarnya pernah memulai karier sebagai karyawati. Itu dilakukannya setelah lulus SMA, dengan bekerja di hotel. Tapi, ia tak puas dengan pekerjaannya. Maka, dia melanjutkan kuliah S1 jurusan Komunikasi di Universitas Diponegoro, Semarang.
Selama jadi mahasiswi, Theresa mencoba untuk bekerja lagi. Ia menjadi karyawati pada sebuah kafe dan resto. Banyak ilmu yang ia peroleh,namun tetap saja ada perasaan tidak puas karena bukan usaha sendiri.
Theresa kemudian melirik resep jamu Dayak yang menjadi warisan leluhur. Ia melihat ini sebagai peluang bisnis.Maka, lahirlah jamu kecantikan alami, yang saat itu dikemas dalam botol tanpa merek.
Cerita soal jamu produk Theresa ini lantas menyebar dari mulut ke mulut hingga mulai banyak dicari. Dia pun mulai menekuni bisnis penjualan jamu tersebut.
Nama atau merek yang digunakannya kemudian adalah Sinok Kemayu. Sinok berarti gadis Jawa, sedangkan Kemayu bermakna centil. Modal awalnya hanya Rp 5 juta, namun kini sudah berkembang pesat melalui penjualan online.
Produk jamu Sinok Kemayu ia perbaiki kualitasnya, termasuk kemasannya, karena pasarnya ternyata tidak hanya dalam negeri, tapi sudah merambah ke Malaysia hingga Jerman.
Di balik sukses yang ia raih, kata Theresa, sebenarnya ada perjuangan berat di sana. Saat memulai usaha, ia kadang tidak tidur sampai tengah malam. Ia harus merebus jamu dalam panci yang besar.
Bahkan, ia kerap menangis sendiri. Terbayang teman-temannya yang bekerja di kantor, hidupnya enak, masuk kerja pagi pulang sore, malam bisa kelayapan dan tidur awal.
Rawat Kecantikan
Untuk menjaga kecantikan diri, seminggu sekali Theresa menyempatkan waktunya ke salon. Dua minggu sekali dia melakukan hair spa. "Set rambut seminggu sekali," ujar dia sebagaimana dikutip dari Tribun Jateng, beberapa waktu lalu.
Kebiasaan mencatok dan memberi sentuhan sasak itulah yang mendorong Tesa, panggilan akrabnya, untuk merawat rambutnya. Ditambah terpaan sinar matahari yang semakin merusak rambut. Padahal baginya, rambut itu penting untuk penampilan. "Sehingga harus senantiasa dijaga kesehatannya," imbuhnya.
Sarjana lulusan Jurusan Komunikasi Undip itu pun menjaga rambutnya mulai dari akar sampai ke ujung. Akar rambut agar kuat dan tidak mudah rapuh. Tiap helainya harus sehat dan berkilau. "Ujungnya jangan sampai bercabang," lanjut Tesa.
Di rumah, dia juga rutin melakukan hairmask agar kesehatan rambutnya terjaga lebih maksimal. Hairmask yang dilakukan sendiri tentunya tanpa disertai pemijatan. Jadi di salon, dia lebih memilih untuk hairspa.
"Dengan treatment hairspa di salon bisa mendapat dua keuntungan yaitu manfaat dari spa rambut itu sendiri dan meredakan pegal di kepala," terang Tesa.
Tidak hanya rambut, semua bagian tubuh penting untuk dirawat. Dia juga rutin merawat wajahnya. Untuk kesehatan tubuh, dia berolahraga dan mengonsumsi air putih serta buah. "Saya juga rutin minum jamu sebelum dan sesudah menstruasi," lanjut pemilik usaha jamu Sinok Kemayu ini.
Mesin Pencari Yang Lebih Akurat dari Google
Remaja Ini Ciptakan Mesin Pencari yang Lebih Akurat dari Google
Kanada - Banyak pengguna internet yang pastinya menjadikan Google sebagai mesin pencari utama mereka saat berselancar di dunia maya. Selain cepat, akurasi dan relevansi yang ditawarkan mesin pencari Google Search hingga kini patut diakui masih menjadi yang terbaik.
Namun tunggu dulu, baru-baru ini seorang remaja asal Kanada bernama Anmol Tukrel dilaporkan berhasil mengembangkan sebuah mesin pencari internet yang diklaim 47% lebih akurat dibandingkan Google.
Tukrel yang baru berusia 16 tahun, mengembangkan mesin pencarinya tersebut untuk diikutsertakan pada acara Google Science Fair, sebuah kompetisi teknologi online yang terbuka bagi seluruh siswa berumur 13 sampai 18 tahun.
Mengutip informasi dari The Economic Times India, Tukrel menjadikan artikel-artikel berita terbaru dari The New York Times sebagai media uji coba mesin pencarinya. Ia membuat beberapa pengguna fiksional dengan ketertarikan serta riwayat web yang berbeda. Lalu, Tukrel mengirimkan informasi tersebut ke Google dan mesin pencari buatannya, kemudian hasil pencariannya dibandingkan.
Saat ini, faktor yang mempengaruhi personalisasi dalam mesin pencari adalah lokasi, riwayat penjelajahan, serta jenis aplikasi yang di-install di smartphone pengguna. Namun, Tukrel mengklaim bahwa algoritma yang dia tawarkan mampu menyelesaikan persamaan lain.
Algoritma dari Tukrel ini dapat mengetahui keinginan pengguna sebelum hasilnya muncul. Dengan melakukan penggalian lebih dalam dari konten teks, pengertian atas makna dasar lalu dicocokkan dengan kepribadian penggunanya, barulah hasil pencarian akan dimunculkan. Dengan memasukkan kepribadian penggunanya ini, Tukrel mengatakan bahwa hasil pencarian yang dihasilkan akan lebih akurat dan relevan dengan kebutuhan pengguna.
Tukrel sendiri telah mendaftarkan hasil penelitannya tersebut ke International High School Journal of Science. Selain itu, Tukrel juga berharap dapat belajar ilmu komputer di Stanford University.
Namun sebelum semua itu tercapai, rencan Tukrel dalam waktu dekat adalah mengembangkan layanan agregator berita yang didasarkan atas teknologi mesin pencari ciptaannya.
Kanada - Banyak pengguna internet yang pastinya menjadikan Google sebagai mesin pencari utama mereka saat berselancar di dunia maya. Selain cepat, akurasi dan relevansi yang ditawarkan mesin pencari Google Search hingga kini patut diakui masih menjadi yang terbaik.
Namun tunggu dulu, baru-baru ini seorang remaja asal Kanada bernama Anmol Tukrel dilaporkan berhasil mengembangkan sebuah mesin pencari internet yang diklaim 47% lebih akurat dibandingkan Google.
Tukrel yang baru berusia 16 tahun, mengembangkan mesin pencarinya tersebut untuk diikutsertakan pada acara Google Science Fair, sebuah kompetisi teknologi online yang terbuka bagi seluruh siswa berumur 13 sampai 18 tahun.
Mengutip informasi dari The Economic Times India, Tukrel menjadikan artikel-artikel berita terbaru dari The New York Times sebagai media uji coba mesin pencarinya. Ia membuat beberapa pengguna fiksional dengan ketertarikan serta riwayat web yang berbeda. Lalu, Tukrel mengirimkan informasi tersebut ke Google dan mesin pencari buatannya, kemudian hasil pencariannya dibandingkan.
Saat ini, faktor yang mempengaruhi personalisasi dalam mesin pencari adalah lokasi, riwayat penjelajahan, serta jenis aplikasi yang di-install di smartphone pengguna. Namun, Tukrel mengklaim bahwa algoritma yang dia tawarkan mampu menyelesaikan persamaan lain.
Algoritma dari Tukrel ini dapat mengetahui keinginan pengguna sebelum hasilnya muncul. Dengan melakukan penggalian lebih dalam dari konten teks, pengertian atas makna dasar lalu dicocokkan dengan kepribadian penggunanya, barulah hasil pencarian akan dimunculkan. Dengan memasukkan kepribadian penggunanya ini, Tukrel mengatakan bahwa hasil pencarian yang dihasilkan akan lebih akurat dan relevan dengan kebutuhan pengguna.
Tukrel sendiri telah mendaftarkan hasil penelitannya tersebut ke International High School Journal of Science. Selain itu, Tukrel juga berharap dapat belajar ilmu komputer di Stanford University.
Namun sebelum semua itu tercapai, rencan Tukrel dalam waktu dekat adalah mengembangkan layanan agregator berita yang didasarkan atas teknologi mesin pencari ciptaannya.
Polwan Indonesia Pertama Keturunan Tionghoa
Kisah Polwan Pertama Keturunan Tionghoa jadi Intel, Menyamar jadi Tukang Pijat
PROTES kepada Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) itu tidak datang dari Anna Lao Tjiao Leang, suami, atau ketiga anaknya. Tapi justru dari salah seorang temannya. Si teman mempertanyakan keputusan Muri menahbiskan Chang Mei Zhiang alias Yolla Bernada sebagai polwan pertama keturunan Tionghoa.
Jakarta
"Teman ibu itu protes melalui surat pembaca di sebuah surat kabar," kata Aries, putra ketiga Anna.
Museum yang didirikan pada 1990 tersebut mendengar protes itu. Direktur Muri Alya Suwono mengatakan, verifikasi lantas dilakukan ke tempat Anna terakhir bertugas. Juga ke rekan seangkatan yang masih ada.
Muri juga meminta pertimbangan ke Dewan Pembina Muri. Barulah setelah itu keputusan diambil: Anna dianugerahi penghormatan yang memang layak didapatkannya tersebut di Jakarta atau tiga hari sebelum polwan merayakan hari jadi ke-67 besok.
Tapi, bagi nenek sepuluh cucu itu, menerima penghargaan tersebut semata semacam bonus. Sebab, sejak awal dia memilih menjadi polisi, tidak ada sedikit pun niat untuk mendapatkan gelar. "Jadi, ya saya biasa saja," ucapnya.
Yang jelas, penahbisan rekor itu juga seperti memutar kembali waktu. Tentang keberaniannya memilih profesi sebagai polwan, tentang beragam tantangan selama bertugas, juga tentang penyakit di rahim yang memaksanya mengakhiri tugas.
"Saya memang ingin kerjaan yang menantang," ujar Anna soal alasan memilih menjadi polwan setelah menerima penghargaan Muri di Jakarta.
Masa itu, tahun 1960, kenang Anna, profesi polwan masih menjadi pilihan tidak lazim bagi perempuan. Apalagi yang berasal dari latar belakang Tionghoa seperti dirinya. Maklum, polwan juga baru seumur jagung saat itu.
Mengutip Pustaka Digital Indonesia, polwan lahir pada 1 September 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Latar belakangnya, pada masa penjajahan Belanda, tiap kali ada kejahatan yang dilakukan anak-anak atau perempuan, para pejabat kepolisian sering kali meminta bantuan kepada istri-istri mereka untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledahan.
Setelah Indonesia merdeka, Organisasi Wanita dan Wanita Islam mengajukan permohonan kepada pemerintah dan Jawatan Kepolisian Negara untuk mengikutsertakan perempuan dalam pendidikan kepolisian. Tujuannya sama, menangani masalah kejahatan yang melibatkan anak-anak dan perempuan. Alasannya, kurang pantas seorang laki-laki memeriksa atau menggeledah tersangka perempuan yang bukan muhrim.
Akhirnya, pada 1 September 1948, Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi membuka kesempatan bagi kaum hawa untuk mengikuti pendidikan inspektur polisi di Sekolah Polisi Negara di Bukittingi. Ada enam perempuan yang ikut serta dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Perintis Polisi Wanita Indonesia.
Mereka adalah Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukoco, dan Rosnalia Taher.
Anna resmi mulai bertugas sebagai polwan hanya 12 tahun setelah korps itu dilahirkan. Jelas bukan keputusan yang populer di mata orang-orang di sekitarnya. Tapi, sedari kecil Anna sudah terbiasa menjadi "liyan".
Dikenal tomboi, keseharian perempuan kelahiran Makassar pada 9 Agustus 1939 tersebut justru lebih akrab dengan kegiatan yang identik dengan dunia laki-laki. Setiap hari, misalnya, dia giat berlatih kuntau, sebuah seni bela diri yang datang dari dataran Tiongkok. Kedua orang tuanya pun tak mendukung pilihannya menjadi polwan.
"Beberapa orang juga mengata-ngatai saya, berkomentar sinis gitu," kata Anna yang Sabtu lalu mengenakan balutan kemeja putih dan rok panjang hitam.
Tapi, Anna jalan terus. Cibiran orang justru dijadikannya cambuk untuk memotivasi diri. Untuk membuktikan bahwa jalan pilihannya tidak salah. Saat mendaftar pendidikan polisi di Makassar, Anna menjadi satu-satunya peserta yang lolos. Sedangkan 44 orang lainnya kandas.
Menurut Anna, seleksi polisi saat itu benar-benar ketat dan tanpa pandang bulu. "Dulu anak perwira polisi juga banyak yang tidak lulus," ucap ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Bachtiar tersebut.
Berbekal pendidikan kepolisian di Dinas Pengamanan Keselamatan Negara (DPKN) itu, Anna memulai karir kepolisian di Aceh pada 1960. "Dari semua yang ditawarin, hanya saya yang mau ke Aceh," ungkapnya.
Di usia 76 tahun saat ini, kemampuan pendengaran Anna memang sudah berkurang. Jalannya juga tertatih. Tapi, daya ingat perempuan yang rambutnya sudah memutih itu masih sangat terjaga.
Detail pengabdiannya sebagai polwan masih terekam dengan baik dan bisa diungkapkannya dengan runtut. Seolah-olah baru terjadi beberapa hari lalu. Misalnya bagaimana dia merasa tak menemukan tantangan selama setahun bertugas di Aceh.
Baru setelah dipindahkan ke Jakarta, jiwanya yang haus akan tantangan klop dengan penugasan barunya: sebagai intel. Tugas baru sebagai pemburu informasi di semua lapisan masyarakat itu, menuntutnya menguasai banyak skill.
Anna pun akhirnya memilih belajar akupunktur, potong rambut, jadi tukang pijat, hingga pembuat kue. Semua keahlian itu dia pelajari melalui berbagai kursus. "Semua keahlian itu penting untuk tugas intelijen," tuturnya.
Benar saja. Keahlian sebagai tukang pijat, misalnya, turut membantunya mengungkap kasus penyelundupan di sebuah daerah. Selama pengungkapan itu, dia tinggal di kawasan asrama polisi dengan status menyamar sebagai tukang pijat.
Dua minggu di sana, hanya rekannya, seorang polisi, yang tahu identitas dia sebenarnya. Selama dua minggu itu pula, dia melayani panggilan pijat para istri polisi, termasuk istri rekannya yang tahu soal identitasnya tadi.
Nah, suatu ketika Anna datang lagi ke kota tersebut dengan identitas aslinya sebagai intel. Dia pun kerap pergi hingga larut malam dengan teman polisinya tadi.
"Karena istrinya tahunya saya tukang urut, berantemlah mereka berhari-hari," kenangnya sembari terkekeh. Namun, perempuan yang sempat dipersiapkan untuk diterjunkan dalam peristiwa konfrontasi dengan Malaysia itu bersyukur si teman tadi bisa meyakinkan istrinya.
Anna mengaku benar-benar menikmati tugasnya sebagai intel. Berbagai penyamaran rela dilakukan demi mengorek informasi yang ditugaskan. Banyak pengalaman dan pelajaran hidup berharga yang didapatkan.
"Jadi babu pun akan saya lakukan dengan gembira waktu itu," ungkapnya.
Kendati demikian, kata Anna, memilih model penyamaran tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan analisis dan pemahaman yang matang terkait situasi yang akan dihadapinya di lapangan. Menurut dia, menjadi intel sangatlah mengasyikkan. Setiap waktu dia bisa bergaul dengan banyak lapisan masyarakat. Mendekati dan menaklukkan orang agar mau memberikan informasi menjadi tantangan yang luar biasa untuknya.
"Sampai-sampai saya suka bikin kue untuk orang tanpa ada alasan," ujarnya.
Sebab, Anna meyakini bahwa hal-hal kecil seperti itulah yang membuatnya sukses menjadi intel. "Atasan minta selesai dua minggu, empat hari saya kelarin," ucapnya dengan nada membanggakan diri.
Kesibukan sebagai intel tersebut juga tak mengurangi perannya sebagai ibu dan istri. Aries menyebut ibundanya sebagai sosok yang istimewa. Sebab, dia bisa membagi waktu dengan sangat baik antara pekerjaan dan tugas di rumah. "Dia sangat penuh perhatian kepada kami, anak-anaknya," kata Aries.
Namun sayang, pengabdian Anna sebagai polwan harus diakhiri dua tahun lebih cepat. Penyakit di rahimnya telah memaksanya banyak berurusan dengan dokter. Pada 1992 dia harus menjalani operasi.
"Karena merasa sudah tidak mampu, saya putuskan pensiun lebih cepat," imbuh perempuan dengan pangkat terakhir letnan kolonel tersebut.
Namun, pensiun tidak berarti perhatiannya kepada mantan korpsnya berhenti. Dia mengaku prihatin dengan sebagian juniornya saat ini yang dianggapnya berperilaku eksklusif alias kurang menghargai orang lain. Anna mendapatkan kesimpulan itu dari pengalaman sendiri.
"Saya pernah ke kantor polisi. Karena dikira nenek-nenek, (pelayanannya) jadi gak ramah," ceritanya.
Anna berharap perayaan Hari Jadi Ke-67 Polwan besok bisa menjadi momentum perbaikan diri. "Hargailah semua orang. Layanilah mereka dengan sebaik mungkin," tuturnya.
PROTES kepada Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) itu tidak datang dari Anna Lao Tjiao Leang, suami, atau ketiga anaknya. Tapi justru dari salah seorang temannya. Si teman mempertanyakan keputusan Muri menahbiskan Chang Mei Zhiang alias Yolla Bernada sebagai polwan pertama keturunan Tionghoa.
Jakarta
"Teman ibu itu protes melalui surat pembaca di sebuah surat kabar," kata Aries, putra ketiga Anna.
Museum yang didirikan pada 1990 tersebut mendengar protes itu. Direktur Muri Alya Suwono mengatakan, verifikasi lantas dilakukan ke tempat Anna terakhir bertugas. Juga ke rekan seangkatan yang masih ada.
Muri juga meminta pertimbangan ke Dewan Pembina Muri. Barulah setelah itu keputusan diambil: Anna dianugerahi penghormatan yang memang layak didapatkannya tersebut di Jakarta atau tiga hari sebelum polwan merayakan hari jadi ke-67 besok.
Tapi, bagi nenek sepuluh cucu itu, menerima penghargaan tersebut semata semacam bonus. Sebab, sejak awal dia memilih menjadi polisi, tidak ada sedikit pun niat untuk mendapatkan gelar. "Jadi, ya saya biasa saja," ucapnya.
Yang jelas, penahbisan rekor itu juga seperti memutar kembali waktu. Tentang keberaniannya memilih profesi sebagai polwan, tentang beragam tantangan selama bertugas, juga tentang penyakit di rahim yang memaksanya mengakhiri tugas.
"Saya memang ingin kerjaan yang menantang," ujar Anna soal alasan memilih menjadi polwan setelah menerima penghargaan Muri di Jakarta.
Masa itu, tahun 1960, kenang Anna, profesi polwan masih menjadi pilihan tidak lazim bagi perempuan. Apalagi yang berasal dari latar belakang Tionghoa seperti dirinya. Maklum, polwan juga baru seumur jagung saat itu.
Mengutip Pustaka Digital Indonesia, polwan lahir pada 1 September 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Latar belakangnya, pada masa penjajahan Belanda, tiap kali ada kejahatan yang dilakukan anak-anak atau perempuan, para pejabat kepolisian sering kali meminta bantuan kepada istri-istri mereka untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledahan.
Setelah Indonesia merdeka, Organisasi Wanita dan Wanita Islam mengajukan permohonan kepada pemerintah dan Jawatan Kepolisian Negara untuk mengikutsertakan perempuan dalam pendidikan kepolisian. Tujuannya sama, menangani masalah kejahatan yang melibatkan anak-anak dan perempuan. Alasannya, kurang pantas seorang laki-laki memeriksa atau menggeledah tersangka perempuan yang bukan muhrim.
Akhirnya, pada 1 September 1948, Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi membuka kesempatan bagi kaum hawa untuk mengikuti pendidikan inspektur polisi di Sekolah Polisi Negara di Bukittingi. Ada enam perempuan yang ikut serta dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Perintis Polisi Wanita Indonesia.
Mereka adalah Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukoco, dan Rosnalia Taher.
Anna resmi mulai bertugas sebagai polwan hanya 12 tahun setelah korps itu dilahirkan. Jelas bukan keputusan yang populer di mata orang-orang di sekitarnya. Tapi, sedari kecil Anna sudah terbiasa menjadi "liyan".
Dikenal tomboi, keseharian perempuan kelahiran Makassar pada 9 Agustus 1939 tersebut justru lebih akrab dengan kegiatan yang identik dengan dunia laki-laki. Setiap hari, misalnya, dia giat berlatih kuntau, sebuah seni bela diri yang datang dari dataran Tiongkok. Kedua orang tuanya pun tak mendukung pilihannya menjadi polwan.
"Beberapa orang juga mengata-ngatai saya, berkomentar sinis gitu," kata Anna yang Sabtu lalu mengenakan balutan kemeja putih dan rok panjang hitam.
Tapi, Anna jalan terus. Cibiran orang justru dijadikannya cambuk untuk memotivasi diri. Untuk membuktikan bahwa jalan pilihannya tidak salah. Saat mendaftar pendidikan polisi di Makassar, Anna menjadi satu-satunya peserta yang lolos. Sedangkan 44 orang lainnya kandas.
Menurut Anna, seleksi polisi saat itu benar-benar ketat dan tanpa pandang bulu. "Dulu anak perwira polisi juga banyak yang tidak lulus," ucap ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Bachtiar tersebut.
Berbekal pendidikan kepolisian di Dinas Pengamanan Keselamatan Negara (DPKN) itu, Anna memulai karir kepolisian di Aceh pada 1960. "Dari semua yang ditawarin, hanya saya yang mau ke Aceh," ungkapnya.
Di usia 76 tahun saat ini, kemampuan pendengaran Anna memang sudah berkurang. Jalannya juga tertatih. Tapi, daya ingat perempuan yang rambutnya sudah memutih itu masih sangat terjaga.
Detail pengabdiannya sebagai polwan masih terekam dengan baik dan bisa diungkapkannya dengan runtut. Seolah-olah baru terjadi beberapa hari lalu. Misalnya bagaimana dia merasa tak menemukan tantangan selama setahun bertugas di Aceh.
Baru setelah dipindahkan ke Jakarta, jiwanya yang haus akan tantangan klop dengan penugasan barunya: sebagai intel. Tugas baru sebagai pemburu informasi di semua lapisan masyarakat itu, menuntutnya menguasai banyak skill.
Anna pun akhirnya memilih belajar akupunktur, potong rambut, jadi tukang pijat, hingga pembuat kue. Semua keahlian itu dia pelajari melalui berbagai kursus. "Semua keahlian itu penting untuk tugas intelijen," tuturnya.
Benar saja. Keahlian sebagai tukang pijat, misalnya, turut membantunya mengungkap kasus penyelundupan di sebuah daerah. Selama pengungkapan itu, dia tinggal di kawasan asrama polisi dengan status menyamar sebagai tukang pijat.
Dua minggu di sana, hanya rekannya, seorang polisi, yang tahu identitas dia sebenarnya. Selama dua minggu itu pula, dia melayani panggilan pijat para istri polisi, termasuk istri rekannya yang tahu soal identitasnya tadi.
Nah, suatu ketika Anna datang lagi ke kota tersebut dengan identitas aslinya sebagai intel. Dia pun kerap pergi hingga larut malam dengan teman polisinya tadi.
"Karena istrinya tahunya saya tukang urut, berantemlah mereka berhari-hari," kenangnya sembari terkekeh. Namun, perempuan yang sempat dipersiapkan untuk diterjunkan dalam peristiwa konfrontasi dengan Malaysia itu bersyukur si teman tadi bisa meyakinkan istrinya.
Anna mengaku benar-benar menikmati tugasnya sebagai intel. Berbagai penyamaran rela dilakukan demi mengorek informasi yang ditugaskan. Banyak pengalaman dan pelajaran hidup berharga yang didapatkan.
"Jadi babu pun akan saya lakukan dengan gembira waktu itu," ungkapnya.
Kendati demikian, kata Anna, memilih model penyamaran tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan analisis dan pemahaman yang matang terkait situasi yang akan dihadapinya di lapangan. Menurut dia, menjadi intel sangatlah mengasyikkan. Setiap waktu dia bisa bergaul dengan banyak lapisan masyarakat. Mendekati dan menaklukkan orang agar mau memberikan informasi menjadi tantangan yang luar biasa untuknya.
"Sampai-sampai saya suka bikin kue untuk orang tanpa ada alasan," ujarnya.
Sebab, Anna meyakini bahwa hal-hal kecil seperti itulah yang membuatnya sukses menjadi intel. "Atasan minta selesai dua minggu, empat hari saya kelarin," ucapnya dengan nada membanggakan diri.
Kesibukan sebagai intel tersebut juga tak mengurangi perannya sebagai ibu dan istri. Aries menyebut ibundanya sebagai sosok yang istimewa. Sebab, dia bisa membagi waktu dengan sangat baik antara pekerjaan dan tugas di rumah. "Dia sangat penuh perhatian kepada kami, anak-anaknya," kata Aries.
Namun sayang, pengabdian Anna sebagai polwan harus diakhiri dua tahun lebih cepat. Penyakit di rahimnya telah memaksanya banyak berurusan dengan dokter. Pada 1992 dia harus menjalani operasi.
"Karena merasa sudah tidak mampu, saya putuskan pensiun lebih cepat," imbuh perempuan dengan pangkat terakhir letnan kolonel tersebut.
Namun, pensiun tidak berarti perhatiannya kepada mantan korpsnya berhenti. Dia mengaku prihatin dengan sebagian juniornya saat ini yang dianggapnya berperilaku eksklusif alias kurang menghargai orang lain. Anna mendapatkan kesimpulan itu dari pengalaman sendiri.
"Saya pernah ke kantor polisi. Karena dikira nenek-nenek, (pelayanannya) jadi gak ramah," ceritanya.
Anna berharap perayaan Hari Jadi Ke-67 Polwan besok bisa menjadi momentum perbaikan diri. "Hargailah semua orang. Layanilah mereka dengan sebaik mungkin," tuturnya.
Membawa Budaya Indonesia Ke Dalam Kelas Premium
Jam Tangan Premium L&K Made in Indonesia Harganya Mulai US$ 3.000/Unit
Lucius Leon Worang dan Hocky Santha merupakan kolaborasi dua pengusaha muda yang telah memproduksi produk jam tangan premium dengan label Lucius & Ki (L&K). Bermula dari kegemaran, dua pria muda ini tertarik untuk membuat jam tangan buatan sendiri dan kemudian memasarkannya. Berbahan dasar kayu keras tropis, bisnis ini berdiri sejak 2009 di Jakarta.
Setelah lima tahun berdiri, L & K masih ingin terus mengepakkan sayapnya dalam bisnis internasional. Mengincar New Zealand dan Inggris, L&K optimistis untuk bisa meraih hati konsumennya. Berikut petikan wawancara Lucius Leon Worang dan Hocky Santha, owner Lucius&Ki dengan Indah Pertiwi:
Apa background pendidikan dan tanggal lahir Anda?
Hocky: Baground pendidikan saya Sistem informatika. Lahir tanggal 28 Agustus 1980.
Leon : Bsc dan MBA, karier export dan international marketing . Lahir di Jakarta, 27 Januari 1986.
Apa ada produk keluaran L& K selain jam tangan?
Tidak ada, hanya arloji.
Apa latar belakang meluncurkan produk ini?
Hobi atau dasar kecintaan terhadap dunia horologi. Dan kami ingin menunjukan kepada dunia luar bahwa Indonesia pun bisa menciptakan sebuah arloji dengan mengangkat budaya indonesia.
Kapan produk L & K mulai diluncurkan?
Tahun 2009
Apa keunikannya, daya tariknya, dan ke “aslian” desainnya?
Keunikannya terdapat pada bahan kayu, mesin mekanik yang diukir, dengan desain membawa budaya indonesia, misalkan salah satunya wayang. Identitas yang kami banggakan.
Bisa diceritakan awal kisah membangun Lucius & Ki dari awal hingga sekarang?
Pada 2009 ide untuk berkarya mengembangkan hobi dan passion terhadap timepieces dan kerajinan indonesia. Luxury items zaman sekarang menurut kami sangat mass produced tanpa memberikan karakter personal terhadap pemakainya. Dengan kayu kami bisa memberikan touch itu karena no twoo wood pieces are the same. Momen paling penting di saat taun 2010 2011, kami meluncurkan produk line emas dan perak. Datanglah liputan pertama dari Jakarta Globe. Akhirnya 2013 awal kita diliput oleh New York Times untuk berita Basel World.
Siapa target pasarnya?
Pasar menengah ke atas, pehobi jam yg ingin memiliki keunikan sebuah arloji dan siapa saja yang bisa menghargai suatu bentuk kecintaan seni dan budaya nasional
Bagaimana terobosan pemasarannya (menggunakan cara-cara yang unik dan berbeda)?
Dengan promosi dari mulut ke mulut, forum arloji, website, media sosial, liputan televisi, media cetak. Untuk sementara, kita hanya fokus berkarya. Jualan hanya bonus jika ada yang menghargai. Pemasaran kita untungnya selalu datang dari mulut kemulut dan liputan dari media luar maupun dalam negri. Yang unik adalah dengan cara tidak fokus menjual maka kita bisa berjualan sampai di sini (not commercially minded)
Berapa besar modal awal yang diperlukan dalam membangun bisnis Lucius & Ki?
Modal awal kecil, Rp 200 juta dengan pembagian 50-50. Dari kami sendiri itu semua berawal. Karena secara business nature kita hanyalah hobi dan usaha rumahan, pengembangan bisnis dan modal kita akan dilakukan secara perlahan dan bertahap. Sering dengan jumlah jam tangan yang terjual kita akan menambah jumlah investasi untuk ekspansi. Ini memang perlahan, tapi memang kita hanyalah sebuah usaha kecil yang kita jalankan santai. Uang bukan motivasi, sehingga kita tidak terlalu agresif dari segi bisnis kita. Ini semua didasari hanya hobi dan kecintaan terhadap apa yang kita lakukan…Jika memang ada yang bisa menghargai ya kita sangat bersyukur.
Dana Rp 200 juta itu dialokasikan untuk apa?
Mesin dan percobaan
Bagaimana memanfaatkan media sosial maupun komunitas-komunitas yang ada (termasuk Jakarta Fashion week, atau toko khusus seperti Gooddept, dll)?
Dengan mengadakan gathering sesama penyuka arloji, forum arloji, dan social media online lainnya. Tidak pernah menggunakan event maupun physical store. Hanya dari mulut kemulut dan liputan media.
Bagaimana kinerja bisnisnya?
Cukup dikenal dan mendapatkan sambutan yang sangat baik.
Bagaimana coverage pasarnya (baik di dalam maupun luar negeri)?
Konsumen kami lebih banyak dari luar negeri, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia. Luar Indonesia sayangnya lebih baik. Kita akan memiliki perwakilan di New Zealand dan Inggris dalam waktu dekat.
Bagaimana prospeknya?
Dengan banyaknya produk arloji dunia, kami yakin dengan membawa budaya Indonesia yang sangat kaya unsur budaya dan kesenian, bisa membawa warna baru dalam dunia horologi dan peluang usaha. Ada ketertarikan dari individu-individu di Inggris dan New Zealand untuk menjadi distributor dan areal manager.
Berapa range harga yang dibanderol untuk produknya?
Harga mulai dari: US$3.000
Berapa omset yang didapatkan per-bulannya?
Ini tidak tentu kadang bisa menjual 2-3 buah atau lebih dalam sebulan kadang tidak ada. Kami menjalankan ini berdasarkan kecintaan bukan untuk komersial sehingga konsistensi penjualan tidak bisa konsisten dari bulan ke bulan. Tapi di situ unik dan serunya. Karena dibuat secara handmade, kami hanya bisa membuat maksimal 10 hingga 15 unit per bulan.
Bisa digambarkan/diilustrasikan bagaimana liku-liku mengawali bisnis, mulai dari merancang desain, mencari bahan baku, mencari tempat untuk memproduksi, kisah-kisah awal saat menawarkan produk, kesulitan-kesulitan yang pernah dihadapi hingga menemukan “titik balik”?
Kami memiliki kesulitan saat pertama kali ide muncul untuk membuat dial dari kayu dan handmade. Kesulitan didapat saat harus menipiskan balok balok kecil kayu menjadi ukuran yang dibutuhkan dan harus menipiskan hingga 1mm, dan ini menggunakan cara manual/handmade. Memilih jenis kayu yang beraneka ragam di Indonesia ini cukup memakan waktu saat awal kami bereksperimen dalam motif dan corak terhadap desain kami.
Bagaimana untuk terus melakukan inovasi baik desain maupun cara-cara marketing?
Kami mencintai budaya Indonesia yang kaya akan unsur seni yang beraneka ragam, dengan ini kami yakin bisa terus berkreasi dengan kayanya budaya yang kita miliki. Marketing kami hanya melalui media internet dan media cetak.
Bagaimana agar bisnis ini terus berlanjut hingga generasi berikutnya (bagaimana upaya membangun kesetiaan kepada anak cucunya agar mereka mencintai dan mau meneruskan bisnis ini?
Mengenali dunia horologi kepada anak cucu sedini mungkin, mengajari secara teknis, membimbing ide-ide baru mereka berkembang dan bisa meneruskan.
sumber
Lucius Leon Worang dan Hocky Santha merupakan kolaborasi dua pengusaha muda yang telah memproduksi produk jam tangan premium dengan label Lucius & Ki (L&K). Bermula dari kegemaran, dua pria muda ini tertarik untuk membuat jam tangan buatan sendiri dan kemudian memasarkannya. Berbahan dasar kayu keras tropis, bisnis ini berdiri sejak 2009 di Jakarta.
Setelah lima tahun berdiri, L & K masih ingin terus mengepakkan sayapnya dalam bisnis internasional. Mengincar New Zealand dan Inggris, L&K optimistis untuk bisa meraih hati konsumennya. Berikut petikan wawancara Lucius Leon Worang dan Hocky Santha, owner Lucius&Ki dengan Indah Pertiwi:
Apa background pendidikan dan tanggal lahir Anda?
Hocky: Baground pendidikan saya Sistem informatika. Lahir tanggal 28 Agustus 1980.
Leon : Bsc dan MBA, karier export dan international marketing . Lahir di Jakarta, 27 Januari 1986.
Apa ada produk keluaran L& K selain jam tangan?
Tidak ada, hanya arloji.
Apa latar belakang meluncurkan produk ini?
Hobi atau dasar kecintaan terhadap dunia horologi. Dan kami ingin menunjukan kepada dunia luar bahwa Indonesia pun bisa menciptakan sebuah arloji dengan mengangkat budaya indonesia.
Kapan produk L & K mulai diluncurkan?
Tahun 2009
Apa keunikannya, daya tariknya, dan ke “aslian” desainnya?
Keunikannya terdapat pada bahan kayu, mesin mekanik yang diukir, dengan desain membawa budaya indonesia, misalkan salah satunya wayang. Identitas yang kami banggakan.
Bisa diceritakan awal kisah membangun Lucius & Ki dari awal hingga sekarang?
Pada 2009 ide untuk berkarya mengembangkan hobi dan passion terhadap timepieces dan kerajinan indonesia. Luxury items zaman sekarang menurut kami sangat mass produced tanpa memberikan karakter personal terhadap pemakainya. Dengan kayu kami bisa memberikan touch itu karena no twoo wood pieces are the same. Momen paling penting di saat taun 2010 2011, kami meluncurkan produk line emas dan perak. Datanglah liputan pertama dari Jakarta Globe. Akhirnya 2013 awal kita diliput oleh New York Times untuk berita Basel World.
Siapa target pasarnya?
Pasar menengah ke atas, pehobi jam yg ingin memiliki keunikan sebuah arloji dan siapa saja yang bisa menghargai suatu bentuk kecintaan seni dan budaya nasional
Bagaimana terobosan pemasarannya (menggunakan cara-cara yang unik dan berbeda)?
Dengan promosi dari mulut ke mulut, forum arloji, website, media sosial, liputan televisi, media cetak. Untuk sementara, kita hanya fokus berkarya. Jualan hanya bonus jika ada yang menghargai. Pemasaran kita untungnya selalu datang dari mulut kemulut dan liputan dari media luar maupun dalam negri. Yang unik adalah dengan cara tidak fokus menjual maka kita bisa berjualan sampai di sini (not commercially minded)
Berapa besar modal awal yang diperlukan dalam membangun bisnis Lucius & Ki?
Modal awal kecil, Rp 200 juta dengan pembagian 50-50. Dari kami sendiri itu semua berawal. Karena secara business nature kita hanyalah hobi dan usaha rumahan, pengembangan bisnis dan modal kita akan dilakukan secara perlahan dan bertahap. Sering dengan jumlah jam tangan yang terjual kita akan menambah jumlah investasi untuk ekspansi. Ini memang perlahan, tapi memang kita hanyalah sebuah usaha kecil yang kita jalankan santai. Uang bukan motivasi, sehingga kita tidak terlalu agresif dari segi bisnis kita. Ini semua didasari hanya hobi dan kecintaan terhadap apa yang kita lakukan…Jika memang ada yang bisa menghargai ya kita sangat bersyukur.
Dana Rp 200 juta itu dialokasikan untuk apa?
Mesin dan percobaan
Bagaimana memanfaatkan media sosial maupun komunitas-komunitas yang ada (termasuk Jakarta Fashion week, atau toko khusus seperti Gooddept, dll)?
Dengan mengadakan gathering sesama penyuka arloji, forum arloji, dan social media online lainnya. Tidak pernah menggunakan event maupun physical store. Hanya dari mulut kemulut dan liputan media.
Bagaimana kinerja bisnisnya?
Cukup dikenal dan mendapatkan sambutan yang sangat baik.
Bagaimana coverage pasarnya (baik di dalam maupun luar negeri)?
Konsumen kami lebih banyak dari luar negeri, Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia. Luar Indonesia sayangnya lebih baik. Kita akan memiliki perwakilan di New Zealand dan Inggris dalam waktu dekat.
Bagaimana prospeknya?
Dengan banyaknya produk arloji dunia, kami yakin dengan membawa budaya Indonesia yang sangat kaya unsur budaya dan kesenian, bisa membawa warna baru dalam dunia horologi dan peluang usaha. Ada ketertarikan dari individu-individu di Inggris dan New Zealand untuk menjadi distributor dan areal manager.
Berapa range harga yang dibanderol untuk produknya?
Harga mulai dari: US$3.000
Berapa omset yang didapatkan per-bulannya?
Ini tidak tentu kadang bisa menjual 2-3 buah atau lebih dalam sebulan kadang tidak ada. Kami menjalankan ini berdasarkan kecintaan bukan untuk komersial sehingga konsistensi penjualan tidak bisa konsisten dari bulan ke bulan. Tapi di situ unik dan serunya. Karena dibuat secara handmade, kami hanya bisa membuat maksimal 10 hingga 15 unit per bulan.
Bisa digambarkan/diilustrasikan bagaimana liku-liku mengawali bisnis, mulai dari merancang desain, mencari bahan baku, mencari tempat untuk memproduksi, kisah-kisah awal saat menawarkan produk, kesulitan-kesulitan yang pernah dihadapi hingga menemukan “titik balik”?
Kami memiliki kesulitan saat pertama kali ide muncul untuk membuat dial dari kayu dan handmade. Kesulitan didapat saat harus menipiskan balok balok kecil kayu menjadi ukuran yang dibutuhkan dan harus menipiskan hingga 1mm, dan ini menggunakan cara manual/handmade. Memilih jenis kayu yang beraneka ragam di Indonesia ini cukup memakan waktu saat awal kami bereksperimen dalam motif dan corak terhadap desain kami.
Bagaimana untuk terus melakukan inovasi baik desain maupun cara-cara marketing?
Kami mencintai budaya Indonesia yang kaya akan unsur seni yang beraneka ragam, dengan ini kami yakin bisa terus berkreasi dengan kayanya budaya yang kita miliki. Marketing kami hanya melalui media internet dan media cetak.
Bagaimana agar bisnis ini terus berlanjut hingga generasi berikutnya (bagaimana upaya membangun kesetiaan kepada anak cucunya agar mereka mencintai dan mau meneruskan bisnis ini?
Mengenali dunia horologi kepada anak cucu sedini mungkin, mengajari secara teknis, membimbing ide-ide baru mereka berkembang dan bisa meneruskan.
sumber
Agen Pemain Bola Yang Paling Sukses Sedunia
Klien Jorge Mendes: Dari yang Kelas Kakap Hingga yang Kelas Teri
Madrid - Jorge Mendes dikenal sebagai agen untuk banyak pemain mahal. Kendati demikian, kliennya tidak hanya terbatas pada pemain-pemain tenar saja. Mereka yang namanya relatif belum dikenal juga masuk dalam daftar kliennya.
Dari deretan kliennya yang masuk kelas kakap, tersebutlah nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, James Rodriguez, Angel Di Maria, dan Diego Costa. Tapi, itu pun baru segelintir.
Tidak heran jika Mendes mendapatkan label sebagai "agen super". Tiap kali bursa transfer pemain dibuka, sudah pasti dia bakal sibuk. Sudah sering dia menjadi broker dari perpindahan pemain di klub-klub besar Eropa. Perpindahan Di Maria dari Madrid ke Manchester United pada musim 2014/2015 --yang menjadikan Di Maria pemain termahal di Premier League-- juga merupakan andilnya.
Tidak hanya pemain, Mendes juga dikabarkan membantu beberapa pemilik modal besar untuk mengakuisisi sebuah klub. Maka, jangan heran lagi ketika dia menikah, yang datang adalah bos-bos klub besar seperti Roman Abramovich ataupun Florentino Perez.
Koneksi Mendes terbilang luas. Ia pernah bekerja sebagai DJ di sebuah kelab malam dan bahkan kini punya kelab malam sendiri. Koneksi yang luas inilah yang memudahkan pekerjaannya sebagai agen.
Salah satu klien pertama Mendes adalah Nuno Espirito Santo, manajer Valencia saat ini. Dulu, sebelum menjadi "agen super", Mendes berhasil menjadi broker dari kepindahan Nuno ke FC Porto, klub impian Nuno. Atas landasan kepercayaan dan keberhasilan itulah keduanya berteman. Sampai kini, Mendes tetap menjadi agen Nuno.
Kebetulan juga, Mendes merupakan agen dari Nicolas Otamendi. Sampai musim lalu, Otamendi masih berada di bawah arahan Nuno di Valencia. Kini, Otamendi telah menjadi pemain Manchester City.
Lalu, siapa-siapa saja yang menjadi klien dari Mendes? Selain pemain-pemain seperti Ronaldo dan Di Maria, Mendes juga menjadi klien para pemain yang relatif tidak dikenal seperti gelandang Omonia Nikosia --klub asal Siprus--, Nuno Assis, dan bek APOEL Nikosia --klub Siprus juga--, Mario Sergio. Kebanyakan kliennya adalah pemain-pemain asal Portugal, sama seperti negara asalnya.
Nilai keempat pemain yang disebut di atas jelas tidak sama. Seperti dilansir Transfermarkt, mereka punya market value (nilai di pasaran) yang berbeda. Sebagai contoh bandingkan market value Ronaldo yang sebesar 84 juta poundsterling dengan Nuno Assis yang "hanya" 175 ribu poundsterling.
Namun, sekecil atau sebesar apa pun nilai di pasaran si pemain, Mendes akan berusaha mengurusi mereka dengan baik. Inilah yang kemudian membuatnya menjadi sosok yang dipercaya si pemain.
"Jorge tidak pernah mengambil sepeser pun uang dari saya, meski kami sepakat bahwa dia akan mendapatkan bonus. Dia merobek cek di depan mata saya dan bilang, tidak akan pernah menguangkannya," kata Nuno.
Khusus untuk bursa transfer musim panas 2015/2016, Mendes terlibat dalam transaksi yang jumlahnya mencapai 400 juta euro (sekitar Rp 8,5 triliun). Sejak mengawali kariernya sebagai agen, Mendes disebut telah menegosiasikan kontrak yang angkanya mencapai 1,068 miliar poundsterling (sekitar Rp 22 triliun)!
Daftar Sebagian Klien Mendes (sumber: Transfermarkt)
Madrid - Jorge Mendes dikenal sebagai agen untuk banyak pemain mahal. Kendati demikian, kliennya tidak hanya terbatas pada pemain-pemain tenar saja. Mereka yang namanya relatif belum dikenal juga masuk dalam daftar kliennya.
Dari deretan kliennya yang masuk kelas kakap, tersebutlah nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, James Rodriguez, Angel Di Maria, dan Diego Costa. Tapi, itu pun baru segelintir.
Tidak heran jika Mendes mendapatkan label sebagai "agen super". Tiap kali bursa transfer pemain dibuka, sudah pasti dia bakal sibuk. Sudah sering dia menjadi broker dari perpindahan pemain di klub-klub besar Eropa. Perpindahan Di Maria dari Madrid ke Manchester United pada musim 2014/2015 --yang menjadikan Di Maria pemain termahal di Premier League-- juga merupakan andilnya.
Tidak hanya pemain, Mendes juga dikabarkan membantu beberapa pemilik modal besar untuk mengakuisisi sebuah klub. Maka, jangan heran lagi ketika dia menikah, yang datang adalah bos-bos klub besar seperti Roman Abramovich ataupun Florentino Perez.
Koneksi Mendes terbilang luas. Ia pernah bekerja sebagai DJ di sebuah kelab malam dan bahkan kini punya kelab malam sendiri. Koneksi yang luas inilah yang memudahkan pekerjaannya sebagai agen.
Salah satu klien pertama Mendes adalah Nuno Espirito Santo, manajer Valencia saat ini. Dulu, sebelum menjadi "agen super", Mendes berhasil menjadi broker dari kepindahan Nuno ke FC Porto, klub impian Nuno. Atas landasan kepercayaan dan keberhasilan itulah keduanya berteman. Sampai kini, Mendes tetap menjadi agen Nuno.
Kebetulan juga, Mendes merupakan agen dari Nicolas Otamendi. Sampai musim lalu, Otamendi masih berada di bawah arahan Nuno di Valencia. Kini, Otamendi telah menjadi pemain Manchester City.
Lalu, siapa-siapa saja yang menjadi klien dari Mendes? Selain pemain-pemain seperti Ronaldo dan Di Maria, Mendes juga menjadi klien para pemain yang relatif tidak dikenal seperti gelandang Omonia Nikosia --klub asal Siprus--, Nuno Assis, dan bek APOEL Nikosia --klub Siprus juga--, Mario Sergio. Kebanyakan kliennya adalah pemain-pemain asal Portugal, sama seperti negara asalnya.
Nilai keempat pemain yang disebut di atas jelas tidak sama. Seperti dilansir Transfermarkt, mereka punya market value (nilai di pasaran) yang berbeda. Sebagai contoh bandingkan market value Ronaldo yang sebesar 84 juta poundsterling dengan Nuno Assis yang "hanya" 175 ribu poundsterling.
Namun, sekecil atau sebesar apa pun nilai di pasaran si pemain, Mendes akan berusaha mengurusi mereka dengan baik. Inilah yang kemudian membuatnya menjadi sosok yang dipercaya si pemain.
"Jorge tidak pernah mengambil sepeser pun uang dari saya, meski kami sepakat bahwa dia akan mendapatkan bonus. Dia merobek cek di depan mata saya dan bilang, tidak akan pernah menguangkannya," kata Nuno.
Khusus untuk bursa transfer musim panas 2015/2016, Mendes terlibat dalam transaksi yang jumlahnya mencapai 400 juta euro (sekitar Rp 8,5 triliun). Sejak mengawali kariernya sebagai agen, Mendes disebut telah menegosiasikan kontrak yang angkanya mencapai 1,068 miliar poundsterling (sekitar Rp 22 triliun)!
Daftar Sebagian Klien Mendes (sumber: Transfermarkt)
Tidak Perlu Menipu dan Ngorbanin Orang Lain Untuk Sukses
Joe “Street Fighter” Kamdani Sukses Tanpa Harus Menipu
Jakarta - Nama Joe Kamdani, pemilik PT Datascrip, memang tidak terlalu akrab di telinga konsumen perumahan. Tapi, ke depan Anda boleh jadi akan makin banyak memakai produk yang dipasarkannya, karena seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, kebutuhan kantor dan rumah makin sulit dibedakan.
Produk yang dulu hanya dipakai di kantor, kini digunakan pula di rumah: penjepit kertas, stapler, marker, printer, kertas, mesin faks, sampai personal computer (PC) atau notebook. Bahkan, kini kantor tak mesti di luar rumah. Rumah bisa jadi kantor, kantor sekaligus rumah. Istilah kerennya SOHO (small office home office).
Karena itu menarik mengenal Joe yang 36 tahun konsisten memasarkan aneka keperluan kantor melalui Datascrip. Produk yang dijajakannya sangat komplit dan beragam, mengikuti perkembangan teknologi. Jadi, Anda cukup datang ke satu perusahaan untuk mendapatkan semua kebutuhan bisnis dan kantor.
Joe dilahirkan di Bogor sebagai anak pertama dari 11 bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri rendahan dengan istri ibu rumah tangga biasa. Saat berusia tiga tahun, keluarganya pindah ke Kwitang, Jakarta Pusat. Joe sempat kuliah di FHUI namun drop out satu tahun kemudian karena ketiadaan biaya.
Masa kecil dan remaja Joe memang sangat sederhana. Apalagi, saat itu suasana negara tidak normal. Ia pernah menangis di depan sebuah toko minta dibelikan mainan kereta api. Namun, ayahnya tak mampu membelikanya. Karena itu kemudian ia membuat sendiri hampir semua mainannya memanfaatkan kertas, karton, kotak korek api, kaleng, kelos benang, dan lain-lain.
Sederhana dan jujur
Kesederhanaan hidup dalam kejujuran yang diajarkan orang tuanya membentuk kepercayaan dan harga diri Joe. Ia ingin selalu mencapai sesuatu yang lebih baik: makan lebih baik, hidup lebih baik, dan bergaul lebih baik atas usaha sendiri, tanpa menipu dan mengharapkan fasilitas dari siapapun.
Ia sangat terinspirasi dengan lirik lagu Tony Bennet “From Rags to Riches” yang bercerita tentang orang yang tak punya apa-apa (rags) tapi merasa kaya (riches) dengan apa yang dimilikinya. “Lirik lagu itu seakan potret, romantisme, pembentukan karakter, dan perjalanan hidupku,” katanya.
Ia juga sangat terkesan dengan kucing panjang akal dalam “Kucing Bersepatu Lars” yang didongengkan guru SD-nya di Cikini, Jakarta Pusat. Dengan latar belakang seperti itu, tidak aneh ia memutuskan keluar dari sebuah perusahaan Inggris untuk menjalani profesi mandiri: salesman lepas alat tulis kantor. Kenapa salesman?
“Karena saya hanya anak pegawai rendahan, tidak punya pendidikan tinggi, tidak punya relasi, tidak pula modal finansial. Jadi, mana mungkin punya visi gede-gede. Yang pertama terpikir, bagaimana bisa makan. Kalau saya anak pengusaha, presiden, atau gubernur, visi saya mungkin lebih luas,” jawabnya.
Profesi salesman men-drill-nya menghidupi diri sendiri secara disiplin. Kalau tidak, ia tak akan berhasil. Dari situ kemudian cakrawala menjadi pengusaha terbuka. Bukankah pengusaha orang yang berupaya hidup dari hasil upayanya sendiri? Akhirnya, setelah 10 tahun menjadi salesman, pada 10 Agustus 1969 Joe membuka toko alat tulis kantor dengan nama PD Matahari.
“Matahari itu memberi energi, cahaya, dan kehidupan. Kalau tak ada matahari gelap, orang tidur, nggak ada kehidupan. Matahari juga terkesan maskulin. Lawannya bulan yang romantis dan feminin,” katanya tentang pilihan nama itu. Lokasi tokonya sebuah rumah jelek berlantai tanah dan dinding geribik (bambu) di Jl Pacenongan 45, Jakarta Pusat. “Saya beli murah karena rumahnya berhantu,” ujarnya. Rumah itu kemudian ia bangun ruko satu lantai.
The street fighter
Ia menyebut tipe perusahaannya the street fighter, karena didirikan orang yang tak punya apa-apa kecuali kemauan untuk belajar, visi dan imajinasi, kerja keras, keuletan, dan teguh memegang amanah. Untuk mengisi toko ia mengambil barang dari berbagai perusahaan yang produknya dulu ia jajakan secara konsinyasi. Perusahaan besar seperti PT Tato di Jl Juanda, PT Jasta dan PT Sari Agung di Kwitang itu memercayainya. Kenapa?
“Because they trust me. Mereka tahu siapa saya. Amanah mereka saya jaga betul. Kalau barang sudah laku, duitnya langsung saya bayarkan. Dari situ saya memupuk modal kecil-kecilan,” jawab Joe. Pada 1975 ia meningkatkan badan hukum usahanya menjadi PT. Karena nama Matahari sudah dipakai orang lain, ia menamainya PT Matahari Alka, kependekan alat-alat kantor. Kini nama itu dipakainya untuk nama pabrik sheet metal yang memproduksi perabotan kantor di Cikarang (Bekasi).
Dengan feeling perusahaan akan makin berkembang dan tidak hanya memasarkan peralatan kantor, ia berupaya mencari nama yang mampu menampung skala bisnis yang lebih luas. Pilihan nama harus gampang diingat, diidentifikasi, dan menimbulkan persepsi yang tepat pada konsumen. Pada 1979 didapatlah Datascrip. “Nama ini cenderung diasosiasikan dengan perusahaan data, informasi, dan manajemen. Itulah yang kita kehendaki,” ujarnya.
Ia menjalankan manajemen yang dinamis untuk membesarkan Datascrip dari sebuah toko menjadi perusahaan marketing dan distribusi produk kantor terkemuka. Untuk itu secara otodidak ia belajar manajemen dan kepemimpinan melalui bacaan, serta pertemuan dengan para pelanggan, relasi, dan pemasok di dalam dan luar negeri.
Pada 1972 misalnya, ia memulai serangkaian perjalanan ke Eropa dan Amerika Serikat selama dua bulan untuk melihat pameran produk kantor, sekaligus menjalin hubungan langsung dengan para produsennya. Kejujuran, panjang akal, dan rasa percaya diri yang tinggi membuat para produsen itu memercayainya meskipun usahanya baru seumur jagung. Canon, Sanyo, Stabilo, Mutoh, Ideal, Microsoft, Acer, dan Compaq adalah sebagian kecil dari produsen itu.
Intrapreneurship
“Tak ada yang mau menggendong Anda naik ke tingkat atas. Anda sendiri yang harus berupaya menaiki tangga itu,” katanya. Ia menyusun manajemen dan organisasi Datascrip sesuai perkembangan perusahaan dan teknologi peralatan kantor. Karena itu slogan perusahaannya berubah dari masa ke masa.
Saat masih bernama PD Matahari, semua masih ditangani sendiri, dengan relasi dan visi masih terbatas, slogannya sederhana: the stationery shop. Setelah mulai dibantu anak buah, badan hukum perusahaan menjadi PT, dan nama berubah menjadi Datascrip, slogannya Datascrip-office system.
Saat jumlah barang yang dipasarkan makin bervariasi, jumlah karyawan makin banyak dengan pembagian kerja makin tegas, slogannya Datascrip-system for business (1987). Terakhir pada 2002 slogan itu berubah menjadi Datascrip-one stop business solutions setelah perusahaan mampu menyediakan semua kebutuhan kantor dalam satu atap.
Joe mengelompokkan produk yang dipasarkannya dalam tujuh divisi: Canon, office furniture and filing system, surveying instrument and engineering, multimedia presentation system, stationary and office automation, microsoft business solutions, dan service. Setiap divisi dikelola sebagai sebuah profit center (strategic business unit) seperti layaknya sebuah perusahaan.
Jadi, manajer divisi berlaku seperti seorang pengusaha, mendapat bagian keuntungan, namun tidak mengeluarkan modal sendiri dan menanggung risiko. Ia menyebutnya dengan intrapreneurship. Agar mereka berhasil, Joe membuat berbagai sistem dan panduan. “Saya train mereka. Saya ajarkan pengalaman saya menjual. Saya tulis puluhan guide book. Saya ingin perusahaan berhasil di atas keberhasilan dan bukan penderitaan karyawan. Ini yang saya sebut succeed above success,” tutur peraih nominasi Entrepreneur of The Year 2002 dari Ernst & Young itu.
Kini kendali perusahaan dengan tujuh cabang dan 1.000 lebih karyawan itu sudah diserahkannya kepada putranya Irwan Kamdani. Joe sendiri memosisikan diri sebagai chairman atau presiden komisaris. Apa itu chairman? “Chairman itu artinya penjual kursi,” jawabnya terbahak
Make Fun and Fund
Semangat jalanan sudah diakrabi Joe sejak kecil. Masih di SD ia berjualan kue buatan ibunya atau tetangga. Kue ditaruh dalam tanggok beralas kertas dan ditutup kertas koran. Dengan tanggok di kepala itu ia berjualan hingga Jl Kenanga dan kawasan Senen. Ia puas kalau kuenya habis.
Joe juga suka berkeliling mengumpulkan bohlam yang sudah putus. Waktu itu harga bohlam sangat tinggi dan susah didapat. Dengan mengetrik kawat pijarnya yang sudah putus ke dalam lubangnya, bohlam itu bisa hidup kembali asal terus menyala.
Ia juga bisa memperbaiki kepala lampu yang copot dengan menempelkannya kembali memakai kapur sirih dicampur gambir dan gula yang dihaluskan. Bohlam-bohlam itu dijualnya dengan harga murah kepada seorang tauke. “Duitnya saya belikan bola sepak,” katanya.
Menginjak sekolah menengah, Joe menjual upet (sabut kelapa yang dililitkan di sekeliling belahan bambu, dibakar untuk mengusir nyamuk), membantu pamannya berjualan rokok, menjual minyak untuk lampu becak dan sepeda, sampai membantu di bengkel sepeda.
Di sekolah Joe suka berkelahi demi mempertahankan pendirian atau bila merasa dihina. “Berantemnya satu lawan satu. Lawan saya biasanya lebih besar dan aku kalah. Tapi, setelah itu mereka tidak kurang ajar lagi, bahkan jadi teman,” katanya. Saat menjadi salesman ia pernah memukul seorang pemilik pabrik yang meremehkan tenggat penyelesaian ordernya.
Hobinya pun keras: ski air, ski es, sky diving, diving, berselancar, dan bungy jumping. Hobi itu pernah membuatnya mati suri, otot bahu putus, hanyut terbawa arus laut hingga subuh, dan jari putus digigit ikan trigger. “Perusahaan asuransi jiwa langsung mundur begitu tahu hobi saya,” katanya.
Hobi keras itu diimbanginya dengan makan enak, menenggak Martini dan wine. Joe tercatat sebagai anggota Chain de Rottiseur, klub elit orang-orang yang suka makan dengan menu-menu khusus disertai anggur pilihan. “Hidup ini panggung sandiwara. Aku menikmati segala bagian dari hidup ini dengan make fun and fund,” ujarnya.
Sumber
Joe Kamdani: Tidak Perlu Menipu untuk Sukses
Mimpi, kemauan, ketekunan bekerja, kemandirian, rasa percaya diri, dan kejujuran dengan orientasi keberhasilan menjadi modal utama Joe Kamdani (70). Dia merintis bisnis kecil-kecilan sehingga akhirnya tumbuh menjadi perusahaan terkemuka. Kesuksesan usaha diraih berkat prinsip manajemen yang istimewa Berhasil di Atas Keberhasilan (Succeed above Success).
Dengan tidak melupakan nilai-nilai moral dan etika dalam berbisnis, Joe, begitu pria itu disapa yang menggolongkan dirinya sebagai the street fighter tanpa pendidikan dan sekolah tinggi itu memulai kariernya sebagai salesman keliling berkata, “You don’t have to cheat to grow”-Anda tidak perlu menipu untuk tumbuh dan berkembang.
Di awal karier, Joe hanya mendapatkan komisi atas penjualan. Kondisi itulah yang menantang dirinya. Pada tahun 1969, dia mendirikan perusahaan penjualan alat kantor dengan nama PD Matahari. Namun, 10 tahun kemudian, nama itu berubah menjadi PT Datascrip–perusahaan pemasaran dan distribusi peralatan perkantoran yang berkembang pesat hingga sekarang.
Sementara PT Matahari Alka didirikan tahun 1975, perusahaan pelat besi (sheet metal) yang memproduksi perabot kantor seperti kursi, meja, atau dipan di kawasan Cikarang-Bekasi. PT Matahari mempekerjakan sekitar 700 karyawan.
Saat ini, PT Datascrip adalah perusahaan pemasaran dan distribusi yang menjual berbagai produk, sarana dan sistem yang diperlukan untuk kegiatan perkantoran dan bisnis dengan visi “To be the One Stop Business Solution Company”. Melalui visi tersebut perusahaan ini memasarkan sekitar 5.000 produk berupa sarana, mesin, dan peralatan kantor. Ada tujuh kantor cabang di kantor besar di Tanah Air dengan total karyawan sekitar 850 orang.
Datascrip menjadi distributor dari berbagai produk yang diperlukan dalam bisnis dan perkantoran, baik hardware maupun software. Hingga kini, Datascrip telah cukup lama menjadi mitra bisnis produsen Canon, Sanyo dan beberapa produk terkenal lainnya.
Ketika menuturkan kisah mengelola bisnisnya, Chairman PT Datascrip itu tampak bersemangat. Sesekali berdiri dan berjalan kecil di ruangan kerjanya yang berada di lantai 12 gedung Datascrip di kawasan Kemayoran, Jakarta, baru-baru ini.
Dengan posisi terakhirnya, penggemar scuba diving kini memilih menjadi mentor. Sementara operasional perusahaan telah didelegasikan kepada generasi muda. Joe cenderung memantau dan menyemangati anak-anak muda yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Dia menyadari kelangsungan hidup perusahaan tidak boleh bergantung pada pribadi seseorang melainkan pada ketangguhan dan efektivitas sistem.
Pria kelahiran Bogor ini meyakini upaya pencapaian tujuan perusahaan perlu dikaitkan dengan keberhasilan setiap individu dalam menjalankan tugas.
“Perusahaan hanya bisa berhasil kalau karyawannya berhasil. Pimpinan hanya berhasil kalau bawahannya berhasil. Untuk itu, tugas perusahaan menyiapkan lahan yang subur, tempat karyawan dapat mengembangkan dirinya untuk maju dan berhasil,” ujarnya menegaskan.
Tidak Korbankan Orang
Kesuksesan, menurut Joe, tidak diraih dengan mengorbankan orang lain atau mencari kepuasan di atas penderitaan orang lain. Kesuksesan yang hakiki adalah sukses bersama. Perkembangan zaman menuntut pula perubahan gaya manajemen dan kepemimpinan. Ketika mulai berusaha, Joe melakoni sendiri sehingga menyebut diri sebagai I am The Superstar-dengan semua kewenangan ada di tangannya.
Dalam periode itu, perusahaan dikenal sebagai PD Matahari-the Stationary Shop (alat tulis kantor). Dengan kemajuan perusahaan dan pertumbuhan karyawan, variasi barang, peralatan dan mesin kantor yang dijual, bertambah pula pekerjaan. Manajemen yang dipakai menjadi Team with a Superstar dan perusahaan Datascrip diposisikan sebagai Datascrip- Office Systems.
Di era karyawan sudah mulai mengenal tugas dan pekerjaan yang harus dijalankan masing-masing yang memudahkan bagi seorang manajer menjalankan fungsinya serta bertambah banyaknya macam ragam barang yang diperdagangkan, perusahaan diposisikan sebagai Datascrip-System for Business dan gaya manajemen pun diubah menjadi Delegated Responsibilities.
Merespons tuntutan zaman, Joe menerapkan gaya manajemen No One is A Superstar yakni suatu pekerjaan yang tadinya dilakukan oleh seseorang sekarang dikerjakan oleh banyak orang dan memposisikan perusahaan sebagai Datascrip–Systems for Business. Sementara, perusahaan beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan teknologi, perilaku bisnis da kebutuhan pasar. Oleh karena itu, perusahaan tidak hanya menawarkan produk tetapi juga solusi, maka gaya manajemennya pun menjadi Intrapreneurship. dimana seorang yang menjalankan kegiatan usaha komersial yang bertanggung jawab dan ambil risiko keuangan atas terjadinya kerugian atau keuntungan.
Dua anak Joe, Irwan Kamdani-Presdir Datascrip dan Winda Kamdani Mear-Presdir Matahari Alka merupakan regenerasi yang telah disiapkan lama sebagai pewaris. Ketika mengawali karier di kedua perusahaan tersebut, mereka diperlakukan sebagaimana karyawan lain dengan awal karier sebagai sales. Proses perjalanan karier mereka dianggap mulus sehingga dipercaya Joe memegang posisi penting di kedua perusahaan tersebut.
Meskipun kedua anaknya telah disiapkan menjadi pewaris, mantan anggota Advisory Board of TNC (The Nature Conservancy) (TNC) selalu menekankan estafet manajemen kepada the next generation. Hal itu berarti para eksekutif dan orang-orang yang masih bekerja menjalankan manajemen perusahaan, ada atau tidak ada anggota keluarga yang bekerja. Generasi penerus perlu mengenal bisnis, industri serta persaingannya dan harus bisa merespons pada situasi atau keadaan yang berubah.
Kepiawaian mengelola usaha, menempatkan Joe sebagai salah satu nominasi 10 pengusaha yang mendapatkan Entrepreneur of The Year 2002 dari Ernst & Young. “Bagi saya life is a play, hidup ini bagaikan panggung sandiwara yang besar. Saya menikmati peran ini dan bermain dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, saya menikmati segala bagian dari hidup ini, dengan gaya “make fun and fund,” ujarnya bersemangat.
Kisah sukses Joe Kamdani tidak terlepas dari kisah perjuangannya dalam memotivasi diri mempertahankan kesehatan Joe bahkan dijuluki gila karena Joe Kamdani, melakukan bongkar pembuluh jantung, pada usia 71 tahun . Pendiri PT Datascrip masih tercatat sebagai peselancar, penyelam, penyusur gua dan pendaki gunung tertua di Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2008 lalu, pada usia 71 tahun, Joe mengikuti kegiatan trekking ke hutan di Kalimantan Timur selama 3 minggu bersama tim Expedition Metro TV. “Saya merasa masih berumur 40 tahun” kelakar Joe saat menjelaskan motivasi “kenekatannya” itu.
Kuat di niat dan pikiran, tak selalu sejalan dengan kekuatan organ tubuh. Dipaksa bekerja melampaui batas, jantungnya protes. Aorta atau pembuluh jantung utamanya mengalami pembesaran hingga pada tingkat sangat berbahaya untuk pecah. Tak mau menyerah, Joe mencari informasi untuk pengobatan sakitnya. Hingga akhirnya di Minnesota, Amerika Serikat, Joe berhasil melewati masa kritis operasi bongkar jantung dan penggantian pembuluh jantungnya. Kini, baru setahun pasca operasi, berbekal pembuluh jantung, Joe sudah bersiap untuk melakukan ski di salju gunung Fuji Jepang.
sumber
Jakarta - Nama Joe Kamdani, pemilik PT Datascrip, memang tidak terlalu akrab di telinga konsumen perumahan. Tapi, ke depan Anda boleh jadi akan makin banyak memakai produk yang dipasarkannya, karena seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, kebutuhan kantor dan rumah makin sulit dibedakan.
Produk yang dulu hanya dipakai di kantor, kini digunakan pula di rumah: penjepit kertas, stapler, marker, printer, kertas, mesin faks, sampai personal computer (PC) atau notebook. Bahkan, kini kantor tak mesti di luar rumah. Rumah bisa jadi kantor, kantor sekaligus rumah. Istilah kerennya SOHO (small office home office).
Karena itu menarik mengenal Joe yang 36 tahun konsisten memasarkan aneka keperluan kantor melalui Datascrip. Produk yang dijajakannya sangat komplit dan beragam, mengikuti perkembangan teknologi. Jadi, Anda cukup datang ke satu perusahaan untuk mendapatkan semua kebutuhan bisnis dan kantor.
Joe dilahirkan di Bogor sebagai anak pertama dari 11 bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri rendahan dengan istri ibu rumah tangga biasa. Saat berusia tiga tahun, keluarganya pindah ke Kwitang, Jakarta Pusat. Joe sempat kuliah di FHUI namun drop out satu tahun kemudian karena ketiadaan biaya.
Masa kecil dan remaja Joe memang sangat sederhana. Apalagi, saat itu suasana negara tidak normal. Ia pernah menangis di depan sebuah toko minta dibelikan mainan kereta api. Namun, ayahnya tak mampu membelikanya. Karena itu kemudian ia membuat sendiri hampir semua mainannya memanfaatkan kertas, karton, kotak korek api, kaleng, kelos benang, dan lain-lain.
Sederhana dan jujur
Kesederhanaan hidup dalam kejujuran yang diajarkan orang tuanya membentuk kepercayaan dan harga diri Joe. Ia ingin selalu mencapai sesuatu yang lebih baik: makan lebih baik, hidup lebih baik, dan bergaul lebih baik atas usaha sendiri, tanpa menipu dan mengharapkan fasilitas dari siapapun.
Ia sangat terinspirasi dengan lirik lagu Tony Bennet “From Rags to Riches” yang bercerita tentang orang yang tak punya apa-apa (rags) tapi merasa kaya (riches) dengan apa yang dimilikinya. “Lirik lagu itu seakan potret, romantisme, pembentukan karakter, dan perjalanan hidupku,” katanya.
Ia juga sangat terkesan dengan kucing panjang akal dalam “Kucing Bersepatu Lars” yang didongengkan guru SD-nya di Cikini, Jakarta Pusat. Dengan latar belakang seperti itu, tidak aneh ia memutuskan keluar dari sebuah perusahaan Inggris untuk menjalani profesi mandiri: salesman lepas alat tulis kantor. Kenapa salesman?
“Karena saya hanya anak pegawai rendahan, tidak punya pendidikan tinggi, tidak punya relasi, tidak pula modal finansial. Jadi, mana mungkin punya visi gede-gede. Yang pertama terpikir, bagaimana bisa makan. Kalau saya anak pengusaha, presiden, atau gubernur, visi saya mungkin lebih luas,” jawabnya.
Profesi salesman men-drill-nya menghidupi diri sendiri secara disiplin. Kalau tidak, ia tak akan berhasil. Dari situ kemudian cakrawala menjadi pengusaha terbuka. Bukankah pengusaha orang yang berupaya hidup dari hasil upayanya sendiri? Akhirnya, setelah 10 tahun menjadi salesman, pada 10 Agustus 1969 Joe membuka toko alat tulis kantor dengan nama PD Matahari.
“Matahari itu memberi energi, cahaya, dan kehidupan. Kalau tak ada matahari gelap, orang tidur, nggak ada kehidupan. Matahari juga terkesan maskulin. Lawannya bulan yang romantis dan feminin,” katanya tentang pilihan nama itu. Lokasi tokonya sebuah rumah jelek berlantai tanah dan dinding geribik (bambu) di Jl Pacenongan 45, Jakarta Pusat. “Saya beli murah karena rumahnya berhantu,” ujarnya. Rumah itu kemudian ia bangun ruko satu lantai.
The street fighter
Ia menyebut tipe perusahaannya the street fighter, karena didirikan orang yang tak punya apa-apa kecuali kemauan untuk belajar, visi dan imajinasi, kerja keras, keuletan, dan teguh memegang amanah. Untuk mengisi toko ia mengambil barang dari berbagai perusahaan yang produknya dulu ia jajakan secara konsinyasi. Perusahaan besar seperti PT Tato di Jl Juanda, PT Jasta dan PT Sari Agung di Kwitang itu memercayainya. Kenapa?
“Because they trust me. Mereka tahu siapa saya. Amanah mereka saya jaga betul. Kalau barang sudah laku, duitnya langsung saya bayarkan. Dari situ saya memupuk modal kecil-kecilan,” jawab Joe. Pada 1975 ia meningkatkan badan hukum usahanya menjadi PT. Karena nama Matahari sudah dipakai orang lain, ia menamainya PT Matahari Alka, kependekan alat-alat kantor. Kini nama itu dipakainya untuk nama pabrik sheet metal yang memproduksi perabotan kantor di Cikarang (Bekasi).
Dengan feeling perusahaan akan makin berkembang dan tidak hanya memasarkan peralatan kantor, ia berupaya mencari nama yang mampu menampung skala bisnis yang lebih luas. Pilihan nama harus gampang diingat, diidentifikasi, dan menimbulkan persepsi yang tepat pada konsumen. Pada 1979 didapatlah Datascrip. “Nama ini cenderung diasosiasikan dengan perusahaan data, informasi, dan manajemen. Itulah yang kita kehendaki,” ujarnya.
Ia menjalankan manajemen yang dinamis untuk membesarkan Datascrip dari sebuah toko menjadi perusahaan marketing dan distribusi produk kantor terkemuka. Untuk itu secara otodidak ia belajar manajemen dan kepemimpinan melalui bacaan, serta pertemuan dengan para pelanggan, relasi, dan pemasok di dalam dan luar negeri.
Pada 1972 misalnya, ia memulai serangkaian perjalanan ke Eropa dan Amerika Serikat selama dua bulan untuk melihat pameran produk kantor, sekaligus menjalin hubungan langsung dengan para produsennya. Kejujuran, panjang akal, dan rasa percaya diri yang tinggi membuat para produsen itu memercayainya meskipun usahanya baru seumur jagung. Canon, Sanyo, Stabilo, Mutoh, Ideal, Microsoft, Acer, dan Compaq adalah sebagian kecil dari produsen itu.
Intrapreneurship
“Tak ada yang mau menggendong Anda naik ke tingkat atas. Anda sendiri yang harus berupaya menaiki tangga itu,” katanya. Ia menyusun manajemen dan organisasi Datascrip sesuai perkembangan perusahaan dan teknologi peralatan kantor. Karena itu slogan perusahaannya berubah dari masa ke masa.
Saat masih bernama PD Matahari, semua masih ditangani sendiri, dengan relasi dan visi masih terbatas, slogannya sederhana: the stationery shop. Setelah mulai dibantu anak buah, badan hukum perusahaan menjadi PT, dan nama berubah menjadi Datascrip, slogannya Datascrip-office system.
Saat jumlah barang yang dipasarkan makin bervariasi, jumlah karyawan makin banyak dengan pembagian kerja makin tegas, slogannya Datascrip-system for business (1987). Terakhir pada 2002 slogan itu berubah menjadi Datascrip-one stop business solutions setelah perusahaan mampu menyediakan semua kebutuhan kantor dalam satu atap.
Joe mengelompokkan produk yang dipasarkannya dalam tujuh divisi: Canon, office furniture and filing system, surveying instrument and engineering, multimedia presentation system, stationary and office automation, microsoft business solutions, dan service. Setiap divisi dikelola sebagai sebuah profit center (strategic business unit) seperti layaknya sebuah perusahaan.
Jadi, manajer divisi berlaku seperti seorang pengusaha, mendapat bagian keuntungan, namun tidak mengeluarkan modal sendiri dan menanggung risiko. Ia menyebutnya dengan intrapreneurship. Agar mereka berhasil, Joe membuat berbagai sistem dan panduan. “Saya train mereka. Saya ajarkan pengalaman saya menjual. Saya tulis puluhan guide book. Saya ingin perusahaan berhasil di atas keberhasilan dan bukan penderitaan karyawan. Ini yang saya sebut succeed above success,” tutur peraih nominasi Entrepreneur of The Year 2002 dari Ernst & Young itu.
Kini kendali perusahaan dengan tujuh cabang dan 1.000 lebih karyawan itu sudah diserahkannya kepada putranya Irwan Kamdani. Joe sendiri memosisikan diri sebagai chairman atau presiden komisaris. Apa itu chairman? “Chairman itu artinya penjual kursi,” jawabnya terbahak
Make Fun and Fund
Semangat jalanan sudah diakrabi Joe sejak kecil. Masih di SD ia berjualan kue buatan ibunya atau tetangga. Kue ditaruh dalam tanggok beralas kertas dan ditutup kertas koran. Dengan tanggok di kepala itu ia berjualan hingga Jl Kenanga dan kawasan Senen. Ia puas kalau kuenya habis.
Joe juga suka berkeliling mengumpulkan bohlam yang sudah putus. Waktu itu harga bohlam sangat tinggi dan susah didapat. Dengan mengetrik kawat pijarnya yang sudah putus ke dalam lubangnya, bohlam itu bisa hidup kembali asal terus menyala.
Ia juga bisa memperbaiki kepala lampu yang copot dengan menempelkannya kembali memakai kapur sirih dicampur gambir dan gula yang dihaluskan. Bohlam-bohlam itu dijualnya dengan harga murah kepada seorang tauke. “Duitnya saya belikan bola sepak,” katanya.
Menginjak sekolah menengah, Joe menjual upet (sabut kelapa yang dililitkan di sekeliling belahan bambu, dibakar untuk mengusir nyamuk), membantu pamannya berjualan rokok, menjual minyak untuk lampu becak dan sepeda, sampai membantu di bengkel sepeda.
Di sekolah Joe suka berkelahi demi mempertahankan pendirian atau bila merasa dihina. “Berantemnya satu lawan satu. Lawan saya biasanya lebih besar dan aku kalah. Tapi, setelah itu mereka tidak kurang ajar lagi, bahkan jadi teman,” katanya. Saat menjadi salesman ia pernah memukul seorang pemilik pabrik yang meremehkan tenggat penyelesaian ordernya.
Hobinya pun keras: ski air, ski es, sky diving, diving, berselancar, dan bungy jumping. Hobi itu pernah membuatnya mati suri, otot bahu putus, hanyut terbawa arus laut hingga subuh, dan jari putus digigit ikan trigger. “Perusahaan asuransi jiwa langsung mundur begitu tahu hobi saya,” katanya.
Hobi keras itu diimbanginya dengan makan enak, menenggak Martini dan wine. Joe tercatat sebagai anggota Chain de Rottiseur, klub elit orang-orang yang suka makan dengan menu-menu khusus disertai anggur pilihan. “Hidup ini panggung sandiwara. Aku menikmati segala bagian dari hidup ini dengan make fun and fund,” ujarnya.
Sumber
Joe Kamdani: Tidak Perlu Menipu untuk Sukses
Mimpi, kemauan, ketekunan bekerja, kemandirian, rasa percaya diri, dan kejujuran dengan orientasi keberhasilan menjadi modal utama Joe Kamdani (70). Dia merintis bisnis kecil-kecilan sehingga akhirnya tumbuh menjadi perusahaan terkemuka. Kesuksesan usaha diraih berkat prinsip manajemen yang istimewa Berhasil di Atas Keberhasilan (Succeed above Success).
Dengan tidak melupakan nilai-nilai moral dan etika dalam berbisnis, Joe, begitu pria itu disapa yang menggolongkan dirinya sebagai the street fighter tanpa pendidikan dan sekolah tinggi itu memulai kariernya sebagai salesman keliling berkata, “You don’t have to cheat to grow”-Anda tidak perlu menipu untuk tumbuh dan berkembang.
Di awal karier, Joe hanya mendapatkan komisi atas penjualan. Kondisi itulah yang menantang dirinya. Pada tahun 1969, dia mendirikan perusahaan penjualan alat kantor dengan nama PD Matahari. Namun, 10 tahun kemudian, nama itu berubah menjadi PT Datascrip–perusahaan pemasaran dan distribusi peralatan perkantoran yang berkembang pesat hingga sekarang.
Sementara PT Matahari Alka didirikan tahun 1975, perusahaan pelat besi (sheet metal) yang memproduksi perabot kantor seperti kursi, meja, atau dipan di kawasan Cikarang-Bekasi. PT Matahari mempekerjakan sekitar 700 karyawan.
Saat ini, PT Datascrip adalah perusahaan pemasaran dan distribusi yang menjual berbagai produk, sarana dan sistem yang diperlukan untuk kegiatan perkantoran dan bisnis dengan visi “To be the One Stop Business Solution Company”. Melalui visi tersebut perusahaan ini memasarkan sekitar 5.000 produk berupa sarana, mesin, dan peralatan kantor. Ada tujuh kantor cabang di kantor besar di Tanah Air dengan total karyawan sekitar 850 orang.
Datascrip menjadi distributor dari berbagai produk yang diperlukan dalam bisnis dan perkantoran, baik hardware maupun software. Hingga kini, Datascrip telah cukup lama menjadi mitra bisnis produsen Canon, Sanyo dan beberapa produk terkenal lainnya.
Ketika menuturkan kisah mengelola bisnisnya, Chairman PT Datascrip itu tampak bersemangat. Sesekali berdiri dan berjalan kecil di ruangan kerjanya yang berada di lantai 12 gedung Datascrip di kawasan Kemayoran, Jakarta, baru-baru ini.
Dengan posisi terakhirnya, penggemar scuba diving kini memilih menjadi mentor. Sementara operasional perusahaan telah didelegasikan kepada generasi muda. Joe cenderung memantau dan menyemangati anak-anak muda yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Dia menyadari kelangsungan hidup perusahaan tidak boleh bergantung pada pribadi seseorang melainkan pada ketangguhan dan efektivitas sistem.
Pria kelahiran Bogor ini meyakini upaya pencapaian tujuan perusahaan perlu dikaitkan dengan keberhasilan setiap individu dalam menjalankan tugas.
“Perusahaan hanya bisa berhasil kalau karyawannya berhasil. Pimpinan hanya berhasil kalau bawahannya berhasil. Untuk itu, tugas perusahaan menyiapkan lahan yang subur, tempat karyawan dapat mengembangkan dirinya untuk maju dan berhasil,” ujarnya menegaskan.
Tidak Korbankan Orang
Kesuksesan, menurut Joe, tidak diraih dengan mengorbankan orang lain atau mencari kepuasan di atas penderitaan orang lain. Kesuksesan yang hakiki adalah sukses bersama. Perkembangan zaman menuntut pula perubahan gaya manajemen dan kepemimpinan. Ketika mulai berusaha, Joe melakoni sendiri sehingga menyebut diri sebagai I am The Superstar-dengan semua kewenangan ada di tangannya.
Dalam periode itu, perusahaan dikenal sebagai PD Matahari-the Stationary Shop (alat tulis kantor). Dengan kemajuan perusahaan dan pertumbuhan karyawan, variasi barang, peralatan dan mesin kantor yang dijual, bertambah pula pekerjaan. Manajemen yang dipakai menjadi Team with a Superstar dan perusahaan Datascrip diposisikan sebagai Datascrip- Office Systems.
Di era karyawan sudah mulai mengenal tugas dan pekerjaan yang harus dijalankan masing-masing yang memudahkan bagi seorang manajer menjalankan fungsinya serta bertambah banyaknya macam ragam barang yang diperdagangkan, perusahaan diposisikan sebagai Datascrip-System for Business dan gaya manajemen pun diubah menjadi Delegated Responsibilities.
Merespons tuntutan zaman, Joe menerapkan gaya manajemen No One is A Superstar yakni suatu pekerjaan yang tadinya dilakukan oleh seseorang sekarang dikerjakan oleh banyak orang dan memposisikan perusahaan sebagai Datascrip–Systems for Business. Sementara, perusahaan beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan teknologi, perilaku bisnis da kebutuhan pasar. Oleh karena itu, perusahaan tidak hanya menawarkan produk tetapi juga solusi, maka gaya manajemennya pun menjadi Intrapreneurship. dimana seorang yang menjalankan kegiatan usaha komersial yang bertanggung jawab dan ambil risiko keuangan atas terjadinya kerugian atau keuntungan.
Dua anak Joe, Irwan Kamdani-Presdir Datascrip dan Winda Kamdani Mear-Presdir Matahari Alka merupakan regenerasi yang telah disiapkan lama sebagai pewaris. Ketika mengawali karier di kedua perusahaan tersebut, mereka diperlakukan sebagaimana karyawan lain dengan awal karier sebagai sales. Proses perjalanan karier mereka dianggap mulus sehingga dipercaya Joe memegang posisi penting di kedua perusahaan tersebut.
Meskipun kedua anaknya telah disiapkan menjadi pewaris, mantan anggota Advisory Board of TNC (The Nature Conservancy) (TNC) selalu menekankan estafet manajemen kepada the next generation. Hal itu berarti para eksekutif dan orang-orang yang masih bekerja menjalankan manajemen perusahaan, ada atau tidak ada anggota keluarga yang bekerja. Generasi penerus perlu mengenal bisnis, industri serta persaingannya dan harus bisa merespons pada situasi atau keadaan yang berubah.
Kepiawaian mengelola usaha, menempatkan Joe sebagai salah satu nominasi 10 pengusaha yang mendapatkan Entrepreneur of The Year 2002 dari Ernst & Young. “Bagi saya life is a play, hidup ini bagaikan panggung sandiwara yang besar. Saya menikmati peran ini dan bermain dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, saya menikmati segala bagian dari hidup ini, dengan gaya “make fun and fund,” ujarnya bersemangat.
Kisah sukses Joe Kamdani tidak terlepas dari kisah perjuangannya dalam memotivasi diri mempertahankan kesehatan Joe bahkan dijuluki gila karena Joe Kamdani, melakukan bongkar pembuluh jantung, pada usia 71 tahun . Pendiri PT Datascrip masih tercatat sebagai peselancar, penyelam, penyusur gua dan pendaki gunung tertua di Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2008 lalu, pada usia 71 tahun, Joe mengikuti kegiatan trekking ke hutan di Kalimantan Timur selama 3 minggu bersama tim Expedition Metro TV. “Saya merasa masih berumur 40 tahun” kelakar Joe saat menjelaskan motivasi “kenekatannya” itu.
Kuat di niat dan pikiran, tak selalu sejalan dengan kekuatan organ tubuh. Dipaksa bekerja melampaui batas, jantungnya protes. Aorta atau pembuluh jantung utamanya mengalami pembesaran hingga pada tingkat sangat berbahaya untuk pecah. Tak mau menyerah, Joe mencari informasi untuk pengobatan sakitnya. Hingga akhirnya di Minnesota, Amerika Serikat, Joe berhasil melewati masa kritis operasi bongkar jantung dan penggantian pembuluh jantungnya. Kini, baru setahun pasca operasi, berbekal pembuluh jantung, Joe sudah bersiap untuk melakukan ski di salju gunung Fuji Jepang.
sumber
Orang Orang Tajir di Dunia Teknologi
7 Orang Paling Tajir di Jagat Teknologi
Industri teknologi menyimpan sederet miliuner dengan harta tak berseri. Yang paling sering muncul dan belum tergoyahkan tentu saja Bill Gates sang pendiri Microsoft.
Harta Gates dikalkulasikan sekitar USD 79,6 miliar berdasarkan versi Forbes. Suami dari Mellinda Gates itu padahal tak lagi aktif di Microsoft, lantaran lebih memilih untuk sibuk di kegiatan amal.
Selain Gates, bukan berarti tak ada sosok beken yang bertengger di daftar elit miliuner teknologi. Bahkan ada orang Asia! Berikut daftar lengkapnya:
Industri teknologi menyimpan sederet miliuner dengan harta tak berseri. Yang paling sering muncul dan belum tergoyahkan tentu saja Bill Gates sang pendiri Microsoft.
Harta Gates dikalkulasikan sekitar USD 79,6 miliar berdasarkan versi Forbes. Suami dari Mellinda Gates itu padahal tak lagi aktif di Microsoft, lantaran lebih memilih untuk sibuk di kegiatan amal.
Selain Gates, bukan berarti tak ada sosok beken yang bertengger di daftar elit miliuner teknologi. Bahkan ada orang Asia! Berikut daftar lengkapnya:
Pindah Agama Atau Diusir
Demi Perbesar Peluang Tinggal di Jerman, Para Migran Timteng Ganti Agama
Photo Pria asal Iran, Mohammed Ali Zonoobi (kaus putih) tengah menjalani ritual pembabtisan di sebuah gereja di Berlin, Jumat (4/9/2015). Zonoobi adalah satu dari ratuan pengungsi asal Iran dan Afganistan yang memilih untuk memeluk Kristen demi memperbesar peluang mereka diterima di Jerman.
BERLIN — Demi meningkatkan peluang ditampung di negara baru, berbagai cara digunakan para pengungsi Timur Tengah yang tiba di Jerman. Salah satunya adalah mengganti agama mereka menjadi Kristen.
Salah satunya adalah Mohammed Ali Zonoobi yang baru saja resmi menjadi seorang pemeluk Kristen pada Jumat (4/9/2015), setelah dibabtis di sebuah gereja di Berlin, Jerman.
"Maukah kamu menjauhkan diri dari setan dan bujukan jahatnya?" ujar Pastor Gottfried Martens sambil menyiramkan air suci ke kepala pengungsi asal Iran itu.
"Ya," kata Zonoobi menjawab pertanyaan sang pastor. Seusai mendapat jawaban itu, Pastor Gottfried kemudian memberikan berkat dan membabtis Zonoobi, yang kemudian juga mengganti namanya menjadi Martin.
Zonoobi, seorang tukang kayu dari Shiraz, Iran, tiba di Jerman bersama istri dan dua anaknya, lima bulan lalu. Dia adalah satu dari ratusan pengungsi asal Iran dan Afganistan yang kini beragama Kristen dalam beberapa waktu belakangan.
Sama seperti Zonoobi, saat ditanya alasan berganti agama, mereka mengaku telah menemukan kebenaran dalam ajaran Kristen. Namun, patut diduga, alasan utama mereka beragama Kristen adalah untuk memperbesar peluang ditampung di negeri dengan perekonomian terbesar di Eropa itu.
Gottfried Martens menyadari, berganti agama sangat terkait dengan masalah peluang para pengungsi itu tinggal di Jerman. Namun, bagi Gottfried, alasan mereka menjadi beragama Kristen tidaklah penting.
Sebenarnya, beragama Kristen tak menjamin para pengungsi itu bisa tinggal di Jerman. Terlebih lagi, Kanselir Angela Merkel telah mengatakan bahwa umat Islam juga bagian dari Jerman.
Namun, bagi pengungsi Iran dan Afganistan, menjadi umat Kristen bisa meningkatkan daya tawar mereka. Sebab, jika dipulangkan, mereka akan mendapatkan masalah karena sudah mengganti agama mereka.
Tentu saja, tak ada pengungsi yang mengaku bahwa mereka bersedia memeluk Kristen demi mendapatkan suaka di Jerman. Di sisi lain, beberapa dari pengungsi yang kini memeluk Kristen tak mau menyebutkan nama karena khawatir akan mendapat masalah di kampung halaman mereka.
Warga Suriah pasti diterima
Contoh lain adalah Vesam Heydari, yang juga asal Iran. Awalnya dia mencoba meminta suaka di Norwegia dan menjadi beragama Kristen sejak 2009. Namun, permohonannya untuk tinggal di Norwegia ditolak karena pemerintah negeri itu tak percaya bahwa Vesam akan mengalami penindasan di Iran hanya karena dia beragama Kristen.
Ditolak di Norwegia, Vesam pindah ke Jerman untuk mendapatkan status pengungsi, dan hingga kini masih menunggu keputusan pemerintah Jerman. Dia mengkritik banyaknya pengungsi Iran yang menjadi Kristen karena akan mempersulit peluangnya.
"Sebagian besar orang Iran di sini berganti agama bukan karena masalah kepercayaan. Mereka hanya ingin tinggal di Jerman," ujar Vesam.
Di sisi lain, banjir umat baru ini membuat para pemuka agama, seperti Gottfried Martens, tersenyum karena beberapa tahun belakangan banyak gereja di Jerman terus kehilangan umatnya.
Sebagai contoh, jumlah umat gereja yang dikelola Marten dalam dua tahun terakhir terus menyusut hingga hanya tersisa 150 orang. Nah, dengan kedatangan para pengungsi, umat Martin langsung meningkat menjadi 600 orang.
Komunitas Kristen lain di Jerman, seperti Gereja Lutheran di Hannover dan Rhineland, juga dikabarkan mengalami peningkatan jumlah umat, setelah banyak pengungsi Iran memeluk Kristen dalam beberapa waktu terakhir.
Jerman saat ini sedang menghadapi banjir gelombang pengungsi yang di luar dugaan. Hingga akhir tahun ini, diperkirakan, 800.000 pengungsi dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia akan "menyerbu" Jerman.
Saat ini, yang dipastikan mendapatkan suaka di Jerman adalah warga Suriah yang negaranya diamuk perang. Sementara itu, bagi warga Iran dan Afganistan yang situasi negaranya jauh lebih stabil, peluang mereka untuk tinggal di Jerman tak terlalu bagus.
Mengapa Warga Suriah Tidak Mengungsi ke Negara-negara Teluk?
Sebuah kartun yang diterbitkan harian Makkah menunjukkan kritik terhadap sikap pemerintah negara-negara Teluk yang kaya karena mereka menutup pintu untuk pengungsi Suriah namun memaksa Uni Eropa menerima mereka.
Seiring dengan krisis pengungsi Suriah, yang berusaha memasuki wilayah Uni Eropa, pertanyaan muncul mengapa mereka tidak menuju negara-negara Teluk yang kaya dan berjarak lebih dekat?
Selama bertahun-tahun, mereka justru menyeberang ke Lebanon, Jordania, dan Turki, tetapi hampir tidak ada yang mencoba mendatangi negara-negara Teluk.
Secara resmi, warga Suriah bisa melamar visa turis atau izin kerja untuk masuk ke negara Teluk. Namun, biayanya amat mahal. Selain itu, terdapat aturan tak tertulis yang membatasi warga Suriah untuk mendapat visa.
Kemakmuran dan kedekatan negara Teluk dengan Suriah kini telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ketimbang negara-negara Eropa terhadap bangsa Suriah yang mengalami kesengsaraan dalam konflik berkepanjangan di negaranya.
Pertanyaan ini muncul dalam hashtag #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty di media sosial Twitter berbahasa Arab. Tanda pagar itu sudah digunakan sebanyak 33.000 kali pada pekan lalu.
Para pengguna Twitter memasang foto untuk menggambarkan kesengsaraan pengungsi Suriah, dengan gambar para korban yang tenggelam, anak-anak yang dibawa masuk melalui pagar kawat berduri, atau keluarga yang tidur dengan kondisi seadanya.
Sebuah laman Facebook bernama The Syrian Community in Denmark berbagi video yang menggambarkan pengungsi diperbolehkan masuk Austria lewat Hongaria, dan membuat pengguna lain bertanya, "Mengapa mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang seharusnya lebih bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai 'negara kafir'?"
Pengguna lain menjawab, "Saya bersumpah atas nama Allah yang Maha Perkasa, orang-orang Arab itulah yang kafir."
Harian Makkah bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan juga lewat media sosial, memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk, melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri, dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?"
Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk. Namun, sekalipun banyak seruan di media sosial, negara-negara Teluk tampaknya sulit berubah sikap untuk menolong para pengungsi Suriah.
Photo Pria asal Iran, Mohammed Ali Zonoobi (kaus putih) tengah menjalani ritual pembabtisan di sebuah gereja di Berlin, Jumat (4/9/2015). Zonoobi adalah satu dari ratuan pengungsi asal Iran dan Afganistan yang memilih untuk memeluk Kristen demi memperbesar peluang mereka diterima di Jerman.
BERLIN — Demi meningkatkan peluang ditampung di negara baru, berbagai cara digunakan para pengungsi Timur Tengah yang tiba di Jerman. Salah satunya adalah mengganti agama mereka menjadi Kristen.
Salah satunya adalah Mohammed Ali Zonoobi yang baru saja resmi menjadi seorang pemeluk Kristen pada Jumat (4/9/2015), setelah dibabtis di sebuah gereja di Berlin, Jerman.
"Maukah kamu menjauhkan diri dari setan dan bujukan jahatnya?" ujar Pastor Gottfried Martens sambil menyiramkan air suci ke kepala pengungsi asal Iran itu.
"Ya," kata Zonoobi menjawab pertanyaan sang pastor. Seusai mendapat jawaban itu, Pastor Gottfried kemudian memberikan berkat dan membabtis Zonoobi, yang kemudian juga mengganti namanya menjadi Martin.
Zonoobi, seorang tukang kayu dari Shiraz, Iran, tiba di Jerman bersama istri dan dua anaknya, lima bulan lalu. Dia adalah satu dari ratusan pengungsi asal Iran dan Afganistan yang kini beragama Kristen dalam beberapa waktu belakangan.
Sama seperti Zonoobi, saat ditanya alasan berganti agama, mereka mengaku telah menemukan kebenaran dalam ajaran Kristen. Namun, patut diduga, alasan utama mereka beragama Kristen adalah untuk memperbesar peluang ditampung di negeri dengan perekonomian terbesar di Eropa itu.
Gottfried Martens menyadari, berganti agama sangat terkait dengan masalah peluang para pengungsi itu tinggal di Jerman. Namun, bagi Gottfried, alasan mereka menjadi beragama Kristen tidaklah penting.
Sebenarnya, beragama Kristen tak menjamin para pengungsi itu bisa tinggal di Jerman. Terlebih lagi, Kanselir Angela Merkel telah mengatakan bahwa umat Islam juga bagian dari Jerman.
Namun, bagi pengungsi Iran dan Afganistan, menjadi umat Kristen bisa meningkatkan daya tawar mereka. Sebab, jika dipulangkan, mereka akan mendapatkan masalah karena sudah mengganti agama mereka.
Tentu saja, tak ada pengungsi yang mengaku bahwa mereka bersedia memeluk Kristen demi mendapatkan suaka di Jerman. Di sisi lain, beberapa dari pengungsi yang kini memeluk Kristen tak mau menyebutkan nama karena khawatir akan mendapat masalah di kampung halaman mereka.
Warga Suriah pasti diterima
Contoh lain adalah Vesam Heydari, yang juga asal Iran. Awalnya dia mencoba meminta suaka di Norwegia dan menjadi beragama Kristen sejak 2009. Namun, permohonannya untuk tinggal di Norwegia ditolak karena pemerintah negeri itu tak percaya bahwa Vesam akan mengalami penindasan di Iran hanya karena dia beragama Kristen.
Ditolak di Norwegia, Vesam pindah ke Jerman untuk mendapatkan status pengungsi, dan hingga kini masih menunggu keputusan pemerintah Jerman. Dia mengkritik banyaknya pengungsi Iran yang menjadi Kristen karena akan mempersulit peluangnya.
"Sebagian besar orang Iran di sini berganti agama bukan karena masalah kepercayaan. Mereka hanya ingin tinggal di Jerman," ujar Vesam.
Di sisi lain, banjir umat baru ini membuat para pemuka agama, seperti Gottfried Martens, tersenyum karena beberapa tahun belakangan banyak gereja di Jerman terus kehilangan umatnya.
Sebagai contoh, jumlah umat gereja yang dikelola Marten dalam dua tahun terakhir terus menyusut hingga hanya tersisa 150 orang. Nah, dengan kedatangan para pengungsi, umat Martin langsung meningkat menjadi 600 orang.
Komunitas Kristen lain di Jerman, seperti Gereja Lutheran di Hannover dan Rhineland, juga dikabarkan mengalami peningkatan jumlah umat, setelah banyak pengungsi Iran memeluk Kristen dalam beberapa waktu terakhir.
Jerman saat ini sedang menghadapi banjir gelombang pengungsi yang di luar dugaan. Hingga akhir tahun ini, diperkirakan, 800.000 pengungsi dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia akan "menyerbu" Jerman.
Saat ini, yang dipastikan mendapatkan suaka di Jerman adalah warga Suriah yang negaranya diamuk perang. Sementara itu, bagi warga Iran dan Afganistan yang situasi negaranya jauh lebih stabil, peluang mereka untuk tinggal di Jerman tak terlalu bagus.
Mengapa Warga Suriah Tidak Mengungsi ke Negara-negara Teluk?
Sebuah kartun yang diterbitkan harian Makkah menunjukkan kritik terhadap sikap pemerintah negara-negara Teluk yang kaya karena mereka menutup pintu untuk pengungsi Suriah namun memaksa Uni Eropa menerima mereka.
Seiring dengan krisis pengungsi Suriah, yang berusaha memasuki wilayah Uni Eropa, pertanyaan muncul mengapa mereka tidak menuju negara-negara Teluk yang kaya dan berjarak lebih dekat?
Selama bertahun-tahun, mereka justru menyeberang ke Lebanon, Jordania, dan Turki, tetapi hampir tidak ada yang mencoba mendatangi negara-negara Teluk.
Secara resmi, warga Suriah bisa melamar visa turis atau izin kerja untuk masuk ke negara Teluk. Namun, biayanya amat mahal. Selain itu, terdapat aturan tak tertulis yang membatasi warga Suriah untuk mendapat visa.
Kemakmuran dan kedekatan negara Teluk dengan Suriah kini telah menimbulkan banyak pertanyaan soal apakah mereka punya kewajiban lebih besar ketimbang negara-negara Eropa terhadap bangsa Suriah yang mengalami kesengsaraan dalam konflik berkepanjangan di negaranya.
Pertanyaan ini muncul dalam hashtag #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty di media sosial Twitter berbahasa Arab. Tanda pagar itu sudah digunakan sebanyak 33.000 kali pada pekan lalu.
Para pengguna Twitter memasang foto untuk menggambarkan kesengsaraan pengungsi Suriah, dengan gambar para korban yang tenggelam, anak-anak yang dibawa masuk melalui pagar kawat berduri, atau keluarga yang tidur dengan kondisi seadanya.
Sebuah laman Facebook bernama The Syrian Community in Denmark berbagi video yang menggambarkan pengungsi diperbolehkan masuk Austria lewat Hongaria, dan membuat pengguna lain bertanya, "Mengapa mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang seharusnya lebih bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai 'negara kafir'?"
Pengguna lain menjawab, "Saya bersumpah atas nama Allah yang Maha Perkasa, orang-orang Arab itulah yang kafir."
Harian Makkah bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan juga lewat media sosial, memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk, melihat ke sebuah pintu berpagar kawat berduri, dan menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?"
Kartun ini secara jelas menyindir keras sikap pemerintah negara-negara Teluk. Namun, sekalipun banyak seruan di media sosial, negara-negara Teluk tampaknya sulit berubah sikap untuk menolong para pengungsi Suriah.
Kuli Pelabuhan Yang Bisa Bikin Aplikasi Android
Kisah Kuli Panggul Raup Ribuan Dolar dari Aplikasi Android
Henry, buruh pelabuhan Makassar, memperlihatkan produk game aplikasi yang dibuatnya di Makassar, 27 Agustus 2015. Buruh panggul ini bisa mendapatkan gaji US $1000 atau sekitar Rp 14 juta per bulan dari Google. TEMPO/Fahmi Ali
Makassar - Henry Jufri, kuli panggul asal Makassar, menjadi bahan obrolan netizen sepekan belakangan. Sebabnya, pria 32 tahun ini berhasil mendapat penghasilan dari Google Play sebanyak US$ 1.200 atau Rp 16 juta dari aplikasi game yang ia ciptakan. Namun begitu, Henry masih menekuni pekerjaannya sebagai kuli di Pelabuhan Makassar. Ia tetap memikul barang penumpang yang beratnya ratusan kilogram.
Saban bulan Henry mengaku paling besar mendapat Rp 2 juta. Itupun jika beruntung, dan ia masih kuat berkejaran dengan kuli lain naik-turun kapal mendapat barang. Penghasilannya memang tidak menentu, bisa Rp 20 ribu, kadang Rp 100 ribu sekali pikul. "Hasilnya pun harus dipotong 20 persen oleh bos yang memasukkan kami di pelabuhan," kata Henry.
Menurut henry, bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan juga tidak jelas status ketenagakerjaannya. Sebabnya, tidak ada kontrak kerja atau status sebagai karyawan perusahaan yang mempekerjakan. Meski mereka diberi seragam dengan nomor-nomor besar di punggung dan dada, tanda-tanda itu hanyalah simbol belaka. "Tidak ada juga asuransi jika terjadi kecelakaan kerja," ucap Henry.
Namun, Henry masih enggan meninggalkan profesi sebagai tukang pikul yang sudah 13 tahun dia lakoni. "Saya tidak bisa memungkiri, kalau saya sudah lama hidup dari pekerjaan ini," kata Henry. Dia juga sadar jika bekerja sebagai kuli tidak akan lama, karena pekerjana itu hanya mengandalkan tenaga dan otot yang semakin lama bisa kendur. "Kalau sekarang saya masih kuat," katanya.
Henry mengaku dia bakal meninggalkan pekerjaan sebagai kuli secara perlahan. Semenjak ada penghasilan dari aplikasinya yang dia jual di Google Play Store, Henry tidak lagi menunggu dan mengejar semua kapal yang masuk ke Pelabuhan Makassar. Ia bisa menghemat energi. "Sekarang saya sudah bisa pilih-pilih kapal yang menurut saya bagus-bagus saja," katanya.
Satu pekan terakhir, nama pria lulusan kelas 4 sekolah dasar itu ramai diperbincangkan warga dunia maya. Keberhasilannya mendapat penghasilan US$ 1.200 atau sekira Rp 16,8 juta dari Google mengundang decak kagum. Dari mana uang sebanyak itu? Ternyata, selain bekerja keras sebagai buruh, ayah dua anak ini pandai membuat berbagai aplikasi telepon pintar.
Aplikasi tersebut kemudian dia unggah di Google Play, distributor produk digital yang dimiliki mesin pencari terkenal itu. Tanpa disangka, aplikasi bikinan Henry ternyata populer dan diunduh banyak orang. Dari situlah pria 32 tahun itu kemudian dikirimi pembagian hasil dari Google sebesar US$ 1.200. "Baru kali ini saya merasakan uang sebanyak ini," ucap Henry dengan nada hampir tak percaya.
Perjalanan Henry menjadi pengembang aplikasi memang tidaklah mudah. Awalnya, dia bahkan tak memiliki barang satu unit komputer pun. Karena ia mengaku serius ingin belajar, Henry lantas membeli sebuah laptop bekas seharga Rp 800 ribu. Nahas, laptop tuanya ternyata tidak mumpuni dan tak memiliki spesifikasi yang cukup untuk membuat aplikasi game yang lebih canggih.
Laptop tersebut hanya dilengkapi perangkat Random Acces Memory (RAM) sebesar 1 gigabita. Padahal untuk membuat game, sebuah komputer setidaknya harus memiliki RAM minimal sebesar 2 gigabita. "Saya terpaksa pinjam uang dari keluarga Rp 2,7 juta," tutur Henry. Uang tersebut yang kemudian dipakainya membeli laptop yang lebih canggih dengan kapasitas jempolan
Tak hanya itu, Henry pun harus merogoh koceknya kembali untuk membeli akun di Google Play Store seharga US$ 25. Saat itu nilainya sekitar Rp 300 ribu. Setelah semua perlengkapannya beres, barulah Henry bisa mulai merancang aplikasi permainan yang bervariasi. Sejak pertama kali bergabung, pada Oktober 2014, Henry mengaku sudah membuat ratusan aplikasi permainan.
Namun, dari ratusan aplikasi tersebut hanya sekitar sepuluh item saja yang bertahan di toko digital tersebut. "Ada aplikasi belajar huruf dan angka untuk balita, aplikasi kartun huruf dan angka, permainan Si Unyil Berpetualang, Ninja Konoha Run, Super Crocodile, dan King Arthur," ujar Henry, menjelaskan sebagian karyanya.
Kesepuluh aplikasi inilah yang paling banyak diunduh orang dan penggila game. Walhasil, penghasilan Henry pun merambat naik, dari semula hanya US$ 100 atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan kini ia mampu meraup penghasilan hingga US$ 1.200 atau kurang lebih Rp 16 juta. "Saya awalnya sempat putus asa. Tapi memang dibutuhkan kerja keras, pengorbanan, kesabaran, dan fokus," kata Henry membuka rahasianya.
Kuli Panggul Peraup Dolar dari Google Sempat Putus Asa
Henry, seorang buruh panggul mengerjakan game aplikasi yang dibuatnya di Makassar, 27 Agustus 2015. Penghasilan belasan juta rupiah diberikan Google dari hasil dari pengembangan game dan aplikasi Android.
TEMPO.CO, Makassar - Henry Jufri, pria kelahiran Makassar 20 September 1983, masih tampil sederhana dengan celana puntung dan baju kaos. Dia bahkan masih bekerja memikul barang penumpang di pelabuhan Makassar ketika ditemui Tempo, Jumat 28 Agustus 2015. "Sekolah saya hanya sampai kelas 4 sekolah dasar," kata Henry.
Satu pekan terakhir, nama Henry ramai diperbincangkan warga dunia maya. Keberhasilannya mendapat penghasilan US$ 1.200 atau sekira Rp 16,8 juta dari Google mengundang decak kagum. Dari mana uang sebanyak itu? Ternyata, selain bekerja keras sebagai buruh, ayah dua anak ini pandai membuat berbagai aplikasi telepon pintar.
Aplikasi itu kemudian unggah di Google Play Store. Tanpa disangka, aplikasi bikinan Henry ternyata populer dan diunduh banyak orang. Dari situlah dia kemudian dikirimi pembagian hasil dari Google sebesar US$ 1.200. "Baru kali ini saya merasakan uang sebanyak ini," ucap Henry dengan nada hampir tak percaya.
Perjalanan Henry menjadi pengembang aplikasi tidaklah mudah. Awalnya, dia bahkan tak memiliki komputer. Karena ia mengaku serius ingin belajar, ia lantas membeli laptop bekas seharga Rp 800 ribu. Nahas, laptop tuanya ternyata tidak mumpuni dan tak memiliki spesifikasi yang cukup untuk membuat aplikasi.
Laptop itu hanya dilengkapi perangkat Random Acces Memory (RAM) sebesar 1 gigabita. Padahal untuk membuat game sebuah komputer harus memiliki RAM minimal sebesar 2 gigabita. "Saya terpaksa pinjam uang dari keluarga Rp 2,7 juta," tutur Henry. Uang itu dipakainya membeli laptop yang lebih canggih.
Tak hanya itu, Henry pun harus merogoh koceknya kembali untuk membeli akun di Google Play Store seharga US$ 25. Saat itu nilainya sekitar Rp 300 ribu. Setelah semua beres, barulah Henry bisa mulai merancang aplikasi. Sejak pertama kali bergabung, pada Oktober 2014, Henry mengaku sudah membuat ratusan aplikasi permainan.
Namun, dari ratusan aplikasi tersebut hanya sekitar sepuluh item saja yang bertahan. "Ada aplikasi belajar huruf dan angka untuk balita, aplikasi kartun huruf dan angka, permainan Si Unyil Berpetualang, Ninja Konoha Run, Super Crocodile, dan King Arthur," ujar Henry, menjelaskan karyanya.
Kesepuluh aplikasi inilah yang paling banyak diunduh orang. Walhasil penghasilan Henry pun merambat naik, dari semula hanya US$ 100 per bulan hingga mencapai US$ 1.200 saat ini. "Saya awalnya sempat putus asa. Tapi memang dibutuhkan kerja keras, pengorbanan, kesabaran, dan fokus," katanya.
Henry, buruh pelabuhan Makassar, memperlihatkan produk game aplikasi yang dibuatnya di Makassar, 27 Agustus 2015. Buruh panggul ini bisa mendapatkan gaji US $1000 atau sekitar Rp 14 juta per bulan dari Google. TEMPO/Fahmi Ali
Makassar - Henry Jufri, kuli panggul asal Makassar, menjadi bahan obrolan netizen sepekan belakangan. Sebabnya, pria 32 tahun ini berhasil mendapat penghasilan dari Google Play sebanyak US$ 1.200 atau Rp 16 juta dari aplikasi game yang ia ciptakan. Namun begitu, Henry masih menekuni pekerjaannya sebagai kuli di Pelabuhan Makassar. Ia tetap memikul barang penumpang yang beratnya ratusan kilogram.
Saban bulan Henry mengaku paling besar mendapat Rp 2 juta. Itupun jika beruntung, dan ia masih kuat berkejaran dengan kuli lain naik-turun kapal mendapat barang. Penghasilannya memang tidak menentu, bisa Rp 20 ribu, kadang Rp 100 ribu sekali pikul. "Hasilnya pun harus dipotong 20 persen oleh bos yang memasukkan kami di pelabuhan," kata Henry.
Menurut henry, bekerja sebagai kuli panggul di pelabuhan juga tidak jelas status ketenagakerjaannya. Sebabnya, tidak ada kontrak kerja atau status sebagai karyawan perusahaan yang mempekerjakan. Meski mereka diberi seragam dengan nomor-nomor besar di punggung dan dada, tanda-tanda itu hanyalah simbol belaka. "Tidak ada juga asuransi jika terjadi kecelakaan kerja," ucap Henry.
Namun, Henry masih enggan meninggalkan profesi sebagai tukang pikul yang sudah 13 tahun dia lakoni. "Saya tidak bisa memungkiri, kalau saya sudah lama hidup dari pekerjaan ini," kata Henry. Dia juga sadar jika bekerja sebagai kuli tidak akan lama, karena pekerjana itu hanya mengandalkan tenaga dan otot yang semakin lama bisa kendur. "Kalau sekarang saya masih kuat," katanya.
Henry mengaku dia bakal meninggalkan pekerjaan sebagai kuli secara perlahan. Semenjak ada penghasilan dari aplikasinya yang dia jual di Google Play Store, Henry tidak lagi menunggu dan mengejar semua kapal yang masuk ke Pelabuhan Makassar. Ia bisa menghemat energi. "Sekarang saya sudah bisa pilih-pilih kapal yang menurut saya bagus-bagus saja," katanya.
Satu pekan terakhir, nama pria lulusan kelas 4 sekolah dasar itu ramai diperbincangkan warga dunia maya. Keberhasilannya mendapat penghasilan US$ 1.200 atau sekira Rp 16,8 juta dari Google mengundang decak kagum. Dari mana uang sebanyak itu? Ternyata, selain bekerja keras sebagai buruh, ayah dua anak ini pandai membuat berbagai aplikasi telepon pintar.
Aplikasi tersebut kemudian dia unggah di Google Play, distributor produk digital yang dimiliki mesin pencari terkenal itu. Tanpa disangka, aplikasi bikinan Henry ternyata populer dan diunduh banyak orang. Dari situlah pria 32 tahun itu kemudian dikirimi pembagian hasil dari Google sebesar US$ 1.200. "Baru kali ini saya merasakan uang sebanyak ini," ucap Henry dengan nada hampir tak percaya.
Perjalanan Henry menjadi pengembang aplikasi memang tidaklah mudah. Awalnya, dia bahkan tak memiliki barang satu unit komputer pun. Karena ia mengaku serius ingin belajar, Henry lantas membeli sebuah laptop bekas seharga Rp 800 ribu. Nahas, laptop tuanya ternyata tidak mumpuni dan tak memiliki spesifikasi yang cukup untuk membuat aplikasi game yang lebih canggih.
Laptop tersebut hanya dilengkapi perangkat Random Acces Memory (RAM) sebesar 1 gigabita. Padahal untuk membuat game, sebuah komputer setidaknya harus memiliki RAM minimal sebesar 2 gigabita. "Saya terpaksa pinjam uang dari keluarga Rp 2,7 juta," tutur Henry. Uang tersebut yang kemudian dipakainya membeli laptop yang lebih canggih dengan kapasitas jempolan
Tak hanya itu, Henry pun harus merogoh koceknya kembali untuk membeli akun di Google Play Store seharga US$ 25. Saat itu nilainya sekitar Rp 300 ribu. Setelah semua perlengkapannya beres, barulah Henry bisa mulai merancang aplikasi permainan yang bervariasi. Sejak pertama kali bergabung, pada Oktober 2014, Henry mengaku sudah membuat ratusan aplikasi permainan.
Namun, dari ratusan aplikasi tersebut hanya sekitar sepuluh item saja yang bertahan di toko digital tersebut. "Ada aplikasi belajar huruf dan angka untuk balita, aplikasi kartun huruf dan angka, permainan Si Unyil Berpetualang, Ninja Konoha Run, Super Crocodile, dan King Arthur," ujar Henry, menjelaskan sebagian karyanya.
Kesepuluh aplikasi inilah yang paling banyak diunduh orang dan penggila game. Walhasil, penghasilan Henry pun merambat naik, dari semula hanya US$ 100 atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan kini ia mampu meraup penghasilan hingga US$ 1.200 atau kurang lebih Rp 16 juta. "Saya awalnya sempat putus asa. Tapi memang dibutuhkan kerja keras, pengorbanan, kesabaran, dan fokus," kata Henry membuka rahasianya.
Kuli Panggul Peraup Dolar dari Google Sempat Putus Asa
Henry, seorang buruh panggul mengerjakan game aplikasi yang dibuatnya di Makassar, 27 Agustus 2015. Penghasilan belasan juta rupiah diberikan Google dari hasil dari pengembangan game dan aplikasi Android.
TEMPO.CO, Makassar - Henry Jufri, pria kelahiran Makassar 20 September 1983, masih tampil sederhana dengan celana puntung dan baju kaos. Dia bahkan masih bekerja memikul barang penumpang di pelabuhan Makassar ketika ditemui Tempo, Jumat 28 Agustus 2015. "Sekolah saya hanya sampai kelas 4 sekolah dasar," kata Henry.
Satu pekan terakhir, nama Henry ramai diperbincangkan warga dunia maya. Keberhasilannya mendapat penghasilan US$ 1.200 atau sekira Rp 16,8 juta dari Google mengundang decak kagum. Dari mana uang sebanyak itu? Ternyata, selain bekerja keras sebagai buruh, ayah dua anak ini pandai membuat berbagai aplikasi telepon pintar.
Aplikasi itu kemudian unggah di Google Play Store. Tanpa disangka, aplikasi bikinan Henry ternyata populer dan diunduh banyak orang. Dari situlah dia kemudian dikirimi pembagian hasil dari Google sebesar US$ 1.200. "Baru kali ini saya merasakan uang sebanyak ini," ucap Henry dengan nada hampir tak percaya.
Perjalanan Henry menjadi pengembang aplikasi tidaklah mudah. Awalnya, dia bahkan tak memiliki komputer. Karena ia mengaku serius ingin belajar, ia lantas membeli laptop bekas seharga Rp 800 ribu. Nahas, laptop tuanya ternyata tidak mumpuni dan tak memiliki spesifikasi yang cukup untuk membuat aplikasi.
Laptop itu hanya dilengkapi perangkat Random Acces Memory (RAM) sebesar 1 gigabita. Padahal untuk membuat game sebuah komputer harus memiliki RAM minimal sebesar 2 gigabita. "Saya terpaksa pinjam uang dari keluarga Rp 2,7 juta," tutur Henry. Uang itu dipakainya membeli laptop yang lebih canggih.
Tak hanya itu, Henry pun harus merogoh koceknya kembali untuk membeli akun di Google Play Store seharga US$ 25. Saat itu nilainya sekitar Rp 300 ribu. Setelah semua beres, barulah Henry bisa mulai merancang aplikasi. Sejak pertama kali bergabung, pada Oktober 2014, Henry mengaku sudah membuat ratusan aplikasi permainan.
Namun, dari ratusan aplikasi tersebut hanya sekitar sepuluh item saja yang bertahan. "Ada aplikasi belajar huruf dan angka untuk balita, aplikasi kartun huruf dan angka, permainan Si Unyil Berpetualang, Ninja Konoha Run, Super Crocodile, dan King Arthur," ujar Henry, menjelaskan karyanya.
Kesepuluh aplikasi inilah yang paling banyak diunduh orang. Walhasil penghasilan Henry pun merambat naik, dari semula hanya US$ 100 per bulan hingga mencapai US$ 1.200 saat ini. "Saya awalnya sempat putus asa. Tapi memang dibutuhkan kerja keras, pengorbanan, kesabaran, dan fokus," katanya.





