Pembantaian Itu Menghantui Xia Shuqin Selama 75 Tahun
NANJING — Tiga perempat abad setelah tragedi pembantaian oleh Jepang di Nanjing, China, Xia Shuqin terus seperti dihantui. Para tentara Jepang membantai keluarganya. Dia tetap mengingat jelas aksi teror tentara Jepang yang brutal.
Nanjing, saat itu menjadi ibu kota China, kedatangan tentara Jepang pada 13 Desember 1937. Tak lama kemudian Xia mendengar rintihan. Dalam hitungan menit saja, tujuh anggota keluarganya sudah tergeletak tak berdaya, dibunuh tentara Jepang yang menyerbu. Itu baru pada kejadian di hari pertama selama dua bulan aksi tentara Jepang yang mirip pembantaian. Bukan itu saja, aksi pemerkosaan dan penghancuran juga terjadi dan kini dikenal dengan julukan Pembantaian Nanjing.
Ini adalah bagian dari rangkaian kebrutalan Jepang, yang tetap terasa perih dan menjadi pemicu awal Perang Dunia II. Ayah Xia ditembak langsung di depan pintu. Kemudian tentara Jepang menyeret ibunya yang bersembunyi di bawah meja yang sedang menggendong bayinya berusia setahun. Bayonet menghunjam keduanya, tetapi itu baru dilakukan setelah para tentara memperkosa ibunya. "Mereka melemparkan saudari saya berusia setahun itu ke lantai, lalu menelentangkan ibu saya di atas meja, kemudian membuka kancing baju ibu," kata Xi dengan suara bergetar.
Dua anak tetangga juga sudah dibunuh. Saat itu, Xia tiarap di bawah kasur di ruang belakang bersama tiga saudarinya yang lain, sementara kakek neneknya duduk di atas tempat tidur. Sesaat ada suara hening, tetapi mendadak tentara Jepang memasuki kamar, lalu berteriak kepada kakek neneknya. Si nenek turut diperkosa. Saudarinya berusia 15 tahun dan 13 tahun saat itu juga dibunuh. "Saya saat itu berusia delapan tahun, tetapi masih mengingat jelas apa yang terjadi pada dua saudari saya. Mereka juga diperkosa dan kemudian tewas akibat penderitaan luar biasa," tutur Xia.
"Saya menangis keras-keras dan kemudian tidak sadarkan diri. Saya selalu merasa perih setiap kali saya mengingat itu semua," kata Xia yang dihunjam bayonet berkali-kali di bagian punggung dan pundak. Saat siuman, dia hanya melihat ada seorang yang selamat dari pembantaian. Dua gadis bersembunyi di antara jenazah yang sudah mulai membusuk selama 10 hari. Mereka ditemukan pasangan berusia tua dan membawa mereka ke zona keamanan internasional. Mereka dibawa ke sebuah kamp yang dibangun pihak asing yang bertahan di Nanjing untuk mencegah kelanjutan pembantaian.
Ini adalah bagian dari kisah pembantaian yang selalu mewarnai hubungan bilateral China-Jepang. Pihak China mengatakan ada 300.000 orang yang tewas saat pembantaian itu. Namun, pihak Jepang mengatakan korban tewas berkisar 200.000 orang. Para analis dan politisi ultrakonservatif Jepang tetap mendebat peristiwa itu. "Saya kini berusia 80 tahun lebih dan tetap saja mendengar penyangkalan atas kejadian itu," kata Xia yang dalam 12 tahun terakhir ini terus berjuang bersaksi soal kebenaran Pembantaian Nanjing lewat pengadilan.
"Mereka masih saja mengatakan pembantaian itu tidak benar, tidak terjadi. Ini tidak mungkin karena bekas bacokan masih ada di badan saya," katanya sambil menangis.
Protes China Tentang Pembunuhan Nanjing
China menyampaikan protes resmi ke Jepang setelah salah seorang walikota di Jepang membantah pasukan Jepang melakukan pembunuhan massal di Nanjing tahun 1937.
"Dalam bantahan atas pembunuhan massal oleh walikota Nagoya, China sudah mengungkapkan posisi yang sungguh-sungguh dan menyampaikan keluhan yang serius kepada Jepang," kata juru bicara Kementrian Luar Negeri China, Hong Lei, seperti dikutip kantor berita AFP.
Protes disampaikan Rabu 22 Februari itu menanggapi pernyataan walikota Nagoya, Takashi Kawamura, saat bertemu dengan delegasi pemerintah kota Nanjing yang berkunjung ke Nagoya, Senin awal pekan.
Dalam pertemuan itu, dia mengatakan tidak terjadi pembunuhan massal maupun pemerkosaan namun perang konvensional. Namun pemerintah China berpendapat sebanyak 300.000 orang tewas dalam pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengrusakan kota Nanjing.
Beberapa sejarawan di Jepang mempertanyakan jumlah korban di Nanjing, dengan memperkirakan angkanya antara 20.000 hingga 200.000.
Tidak bergeming
Tragedi Nanjing hingga saat ini masih terus membayang-bayangi hubungan kedua negara. Tahun 2005, serangkaian unjuk rasa marak di China ketika Perdana Menteri Jepang, Junchiro Koizumi berkunjung ke kuil Yasukuni, yang dianggap pemerintah China dan negara Asia lain sebagai lambang penghormatan kepada para penjahat perang.
Bagaimanapun Kawamura tidak bergeming walau komentarnya memicu kontroversi. "Karena ketidaksepakatan tentang insiden ini seperti duri dalam tenggorokan, saya mengusulkan untuk melakukan perdebatan tentang hal itu," tuturnya.
Dia menambahkan tidak keberatan untuk berkunjung langsung ke Nanjing guna menjelaskan posisinya. "Saya berharap untuk meneruskan pertukaran yang bersahabat antara Nagoya dan Nanjing," tambahnya.
Nagoya dan Nanjing mencapai kesepakatan sebagai kota kembar sejak tahun 1978.
NANJING — Tiga perempat abad setelah tragedi pembantaian oleh Jepang di Nanjing, China, Xia Shuqin terus seperti dihantui. Para tentara Jepang membantai keluarganya. Dia tetap mengingat jelas aksi teror tentara Jepang yang brutal.
Nanjing, saat itu menjadi ibu kota China, kedatangan tentara Jepang pada 13 Desember 1937. Tak lama kemudian Xia mendengar rintihan. Dalam hitungan menit saja, tujuh anggota keluarganya sudah tergeletak tak berdaya, dibunuh tentara Jepang yang menyerbu. Itu baru pada kejadian di hari pertama selama dua bulan aksi tentara Jepang yang mirip pembantaian. Bukan itu saja, aksi pemerkosaan dan penghancuran juga terjadi dan kini dikenal dengan julukan Pembantaian Nanjing.
Ini adalah bagian dari rangkaian kebrutalan Jepang, yang tetap terasa perih dan menjadi pemicu awal Perang Dunia II. Ayah Xia ditembak langsung di depan pintu. Kemudian tentara Jepang menyeret ibunya yang bersembunyi di bawah meja yang sedang menggendong bayinya berusia setahun. Bayonet menghunjam keduanya, tetapi itu baru dilakukan setelah para tentara memperkosa ibunya. "Mereka melemparkan saudari saya berusia setahun itu ke lantai, lalu menelentangkan ibu saya di atas meja, kemudian membuka kancing baju ibu," kata Xi dengan suara bergetar.
Dua anak tetangga juga sudah dibunuh. Saat itu, Xia tiarap di bawah kasur di ruang belakang bersama tiga saudarinya yang lain, sementara kakek neneknya duduk di atas tempat tidur. Sesaat ada suara hening, tetapi mendadak tentara Jepang memasuki kamar, lalu berteriak kepada kakek neneknya. Si nenek turut diperkosa. Saudarinya berusia 15 tahun dan 13 tahun saat itu juga dibunuh. "Saya saat itu berusia delapan tahun, tetapi masih mengingat jelas apa yang terjadi pada dua saudari saya. Mereka juga diperkosa dan kemudian tewas akibat penderitaan luar biasa," tutur Xia.
"Saya menangis keras-keras dan kemudian tidak sadarkan diri. Saya selalu merasa perih setiap kali saya mengingat itu semua," kata Xia yang dihunjam bayonet berkali-kali di bagian punggung dan pundak. Saat siuman, dia hanya melihat ada seorang yang selamat dari pembantaian. Dua gadis bersembunyi di antara jenazah yang sudah mulai membusuk selama 10 hari. Mereka ditemukan pasangan berusia tua dan membawa mereka ke zona keamanan internasional. Mereka dibawa ke sebuah kamp yang dibangun pihak asing yang bertahan di Nanjing untuk mencegah kelanjutan pembantaian.
Ini adalah bagian dari kisah pembantaian yang selalu mewarnai hubungan bilateral China-Jepang. Pihak China mengatakan ada 300.000 orang yang tewas saat pembantaian itu. Namun, pihak Jepang mengatakan korban tewas berkisar 200.000 orang. Para analis dan politisi ultrakonservatif Jepang tetap mendebat peristiwa itu. "Saya kini berusia 80 tahun lebih dan tetap saja mendengar penyangkalan atas kejadian itu," kata Xia yang dalam 12 tahun terakhir ini terus berjuang bersaksi soal kebenaran Pembantaian Nanjing lewat pengadilan.
"Mereka masih saja mengatakan pembantaian itu tidak benar, tidak terjadi. Ini tidak mungkin karena bekas bacokan masih ada di badan saya," katanya sambil menangis.
Protes China Tentang Pembunuhan Nanjing
China menyampaikan protes resmi ke Jepang setelah salah seorang walikota di Jepang membantah pasukan Jepang melakukan pembunuhan massal di Nanjing tahun 1937.
"Dalam bantahan atas pembunuhan massal oleh walikota Nagoya, China sudah mengungkapkan posisi yang sungguh-sungguh dan menyampaikan keluhan yang serius kepada Jepang," kata juru bicara Kementrian Luar Negeri China, Hong Lei, seperti dikutip kantor berita AFP.
Protes disampaikan Rabu 22 Februari itu menanggapi pernyataan walikota Nagoya, Takashi Kawamura, saat bertemu dengan delegasi pemerintah kota Nanjing yang berkunjung ke Nagoya, Senin awal pekan.
Dalam pertemuan itu, dia mengatakan tidak terjadi pembunuhan massal maupun pemerkosaan namun perang konvensional. Namun pemerintah China berpendapat sebanyak 300.000 orang tewas dalam pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengrusakan kota Nanjing.
Beberapa sejarawan di Jepang mempertanyakan jumlah korban di Nanjing, dengan memperkirakan angkanya antara 20.000 hingga 200.000.
Tidak bergeming
Tragedi Nanjing hingga saat ini masih terus membayang-bayangi hubungan kedua negara. Tahun 2005, serangkaian unjuk rasa marak di China ketika Perdana Menteri Jepang, Junchiro Koizumi berkunjung ke kuil Yasukuni, yang dianggap pemerintah China dan negara Asia lain sebagai lambang penghormatan kepada para penjahat perang.
Bagaimanapun Kawamura tidak bergeming walau komentarnya memicu kontroversi. "Karena ketidaksepakatan tentang insiden ini seperti duri dalam tenggorokan, saya mengusulkan untuk melakukan perdebatan tentang hal itu," tuturnya.
Dia menambahkan tidak keberatan untuk berkunjung langsung ke Nanjing guna menjelaskan posisinya. "Saya berharap untuk meneruskan pertukaran yang bersahabat antara Nagoya dan Nanjing," tambahnya.
Nagoya dan Nanjing mencapai kesepakatan sebagai kota kembar sejak tahun 1978.
0 komentar:
Post a Comment