Di zaman Hindia Belanda, beberapa warga Tionghoa mendapat pangkat yang diberikan oleh VOC.
Pangkat pemimpin golongan Tionghoa hanya pangkat Kapten saja. Sedang pangkat tertinggi disuatu ibu kota provinsi : (majoor der Chinesen). Seperi misalnya Babah Major BHE KWAT KOEN.
OEI TIONG HAM dan setelah itu BHE BE TJWAN dari Semarang juga.
Demikian juga Siauw Beng Kong pangkatnya juga mayor, Ban Hong Liong di Makassar dan orang Tionghoa yang terkaya di Medan pada waktu itu yang sampai sekarang rumahnya masih dilestarikan.
Prasasti tionghoa di kraton Yogya
Sebuah prasasti berhuruf jawa cina berdiri tegak di dalam kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Inilah salah satu prasasti tugu dari dua prasasti yang menyimpan sejarah hubungan warga tionghoa di Jogjakarta. Awalnya prasasti setinggi satu meter ini disiapkan sebagai penghargaan atas penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sayangnya gejolak di daratan tiongkok, tempat batu prasasti dipesan, menyebabkan prasasti ini terlambat dalam penyelesaian. Penggagas prasasti ini berjumlah delapan orang. Mereka adalah
1. Lie Ngo An (Mantan Kapitan Tionghoa Di Jogjakarta)
2. Dr Siem Kie Ay (Dokter Umum)
3. Tio Poo Kia (pedagang)
4. Ir Liem Ing Hwie (Anggota DPA RI)
5. Lie Gwan Ho (pengusaha toko mas)
6. Tan Koo Liat (pedagang)
7. Oen Tjoen Hok (pengusana restoran)
8. Sie Kee Tjie (pengusaha batik)
Insinyur Liem Ing Hwie lah yang menjadi ketua panitia persembahan prasasti tugu tionghoa ini. Selama masa revolusi dan perbaikan batu prasasti ini disimpan di halaman rumah insinyur Liem Ing Hwie di gondolayu. Liem Ing Hwie, adalah tionghoa yang aktif dalam perdagangan, dan pendidikan. Liem Ing Hwie juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan agung Republik Indonesia. Setelah lama menunggu begitu keadaan berangsur normal, pada tanggal 18 maret 1951 hari selasa legi, 20 jumadilakir alip 1883, Liem Ing Hwie bersama rekannya menyerahkan batu prasasti ini. Tepatnya pada hari ulang tahun penobatan tahta sultan. Upacara dilaksanakan di bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta. Penyerahan prasasti dihadiri oleh para pangeran. Lima dari delapan tokoh tionghoa dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh kraton, prasasti ini ditempatkan di depan tepas Hapitopuro, belakang bangsal Trajumas yang runtuh akibat gempa. Candra sengkala prasasti tugu tionghoa berbunyi
Jalma Wahana Dirada Hing Wungkulan
Jalma wahana dirada hing wungkulan memiliki arti manusia mengendarai gajah diatas meja bundar.
Angka yang terbaca dalam candra sengkala prasasti menunjuk angka tahun jawa 1871. Dal 1871 adalah tahun penobatan sri sultan Hamengku buwono sembilan.
Candra Sengkala JALMA WAHANA DIRADA HING WUNGKALAN 1 7 8 1
tahun jawa 1871
Dalam Prasasti ini memang terukir relief gajah dan dibawahnya terdapat ukiran burung hong -burung pembawa rejeki. Di bagian depan terukir dua naga. Naga merupakan binatang yang dipercaya membawa keberuntungan. Dalam mitologi cina, populer disebut ki lien, yang berkarakter perkasa. Dua tulisan yang terukir memiliki arti pandangan warga tionghoa terhadap Sultan IX dan kepemimpinannya. Khusus tulisan Jawa ternyata berbentuk sebuah kinanti. Kinanti merupakan syair yang ditembangkan layaknya macapat. Setiap syair dapat dirubah dan dibuat tergantung dari tujuannya. Kinanti ini terdiri dari lima bait yang tersusun secara berurutan, mulai dari gambaran sebuah kraton yang sejahtera, dipimpin oleh sang raja bijaksana, dan siapapun yang tinggal diwilayahnya pasti tentram dan harmonis. Akhirnya ucapan terimakasih itu tersampaikan pada bait kelima.
1. Ing Mataram duk rumuhun, telenging karaton jawi, mangkya mangku buwono, nglenggahi damper mulyadi
2. Prabaweng Pangwasa Prabu, muncarken prabeng herbumi, mangku sarawediningrat, Dera nrusken hujwalaning, keprabon Jeng Sri Mahraja, Lir lumaraping jemparing
3. Tumujweng leres neripun, susatya tuwin mahoni, pamengku nireng buwono. Lus manis cipta tresnasih sih marma mring bangsa Tionghoa, asli saking manca nagri
4. Penrenahken manggenipu, ing papan ingkang pakolih laras lan upajiwanya, kang limrah samya mong gramin ing riki nagari harja, tentrem pra dasih geng alit.
5. Bangsa Tinghoa Matur Nuwun/ Harsayeng Tyas Tanpa Pamitan Bangkit Angucapana/ Mengkya Kinertyang Sela Mrih Enget Saklami Laminya/ Rat Raya Masih Lestari
Sementara tulisan mandarin dalam prasasti ini juga bermakna sama. Ungkapan ketenangan warga tionghoa hidup dan bekerja di wilayah Yogyakarta.Waktu telah berlalu, generasi tua berganti. Umur prasasti ini pun mencapai usia lebih dari 60 tahun. Adalah Bernie Liem, menantu dari insinyur Liem Ing Hwie kini mewarisi prasasti ini. Berni lien memang awalnya tidak secara langsung terlibat dengan saat bersejarah itu. Suami tercinta lah yang membuat dirinya berkewajiban melestarikan prasasti ini. Apa yang dilakukan oleh Liem Ing Hwie membawa dampak yang besar pada keluarga besarnya. paling tidak, mereka mempunyai pandangan yang berbeda tentang Yogya dan Keharmonisan hubungan etnis.
Pangkat pemimpin golongan Tionghoa hanya pangkat Kapten saja. Sedang pangkat tertinggi disuatu ibu kota provinsi : (majoor der Chinesen). Seperi misalnya Babah Major BHE KWAT KOEN.
OEI TIONG HAM dan setelah itu BHE BE TJWAN dari Semarang juga.
Demikian juga Siauw Beng Kong pangkatnya juga mayor, Ban Hong Liong di Makassar dan orang Tionghoa yang terkaya di Medan pada waktu itu yang sampai sekarang rumahnya masih dilestarikan.
Prasasti tionghoa di kraton Yogya
Sebuah prasasti berhuruf jawa cina berdiri tegak di dalam kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Inilah salah satu prasasti tugu dari dua prasasti yang menyimpan sejarah hubungan warga tionghoa di Jogjakarta. Awalnya prasasti setinggi satu meter ini disiapkan sebagai penghargaan atas penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sayangnya gejolak di daratan tiongkok, tempat batu prasasti dipesan, menyebabkan prasasti ini terlambat dalam penyelesaian. Penggagas prasasti ini berjumlah delapan orang. Mereka adalah
1. Lie Ngo An (Mantan Kapitan Tionghoa Di Jogjakarta)
2. Dr Siem Kie Ay (Dokter Umum)
3. Tio Poo Kia (pedagang)
4. Ir Liem Ing Hwie (Anggota DPA RI)
5. Lie Gwan Ho (pengusaha toko mas)
6. Tan Koo Liat (pedagang)
7. Oen Tjoen Hok (pengusana restoran)
8. Sie Kee Tjie (pengusaha batik)
Insinyur Liem Ing Hwie lah yang menjadi ketua panitia persembahan prasasti tugu tionghoa ini. Selama masa revolusi dan perbaikan batu prasasti ini disimpan di halaman rumah insinyur Liem Ing Hwie di gondolayu. Liem Ing Hwie, adalah tionghoa yang aktif dalam perdagangan, dan pendidikan. Liem Ing Hwie juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan agung Republik Indonesia. Setelah lama menunggu begitu keadaan berangsur normal, pada tanggal 18 maret 1951 hari selasa legi, 20 jumadilakir alip 1883, Liem Ing Hwie bersama rekannya menyerahkan batu prasasti ini. Tepatnya pada hari ulang tahun penobatan tahta sultan. Upacara dilaksanakan di bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta. Penyerahan prasasti dihadiri oleh para pangeran. Lima dari delapan tokoh tionghoa dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh kraton, prasasti ini ditempatkan di depan tepas Hapitopuro, belakang bangsal Trajumas yang runtuh akibat gempa. Candra sengkala prasasti tugu tionghoa berbunyi
Jalma Wahana Dirada Hing Wungkulan
Jalma wahana dirada hing wungkulan memiliki arti manusia mengendarai gajah diatas meja bundar.
Angka yang terbaca dalam candra sengkala prasasti menunjuk angka tahun jawa 1871. Dal 1871 adalah tahun penobatan sri sultan Hamengku buwono sembilan.
Candra Sengkala JALMA WAHANA DIRADA HING WUNGKALAN 1 7 8 1
tahun jawa 1871
Dalam Prasasti ini memang terukir relief gajah dan dibawahnya terdapat ukiran burung hong -burung pembawa rejeki. Di bagian depan terukir dua naga. Naga merupakan binatang yang dipercaya membawa keberuntungan. Dalam mitologi cina, populer disebut ki lien, yang berkarakter perkasa. Dua tulisan yang terukir memiliki arti pandangan warga tionghoa terhadap Sultan IX dan kepemimpinannya. Khusus tulisan Jawa ternyata berbentuk sebuah kinanti. Kinanti merupakan syair yang ditembangkan layaknya macapat. Setiap syair dapat dirubah dan dibuat tergantung dari tujuannya. Kinanti ini terdiri dari lima bait yang tersusun secara berurutan, mulai dari gambaran sebuah kraton yang sejahtera, dipimpin oleh sang raja bijaksana, dan siapapun yang tinggal diwilayahnya pasti tentram dan harmonis. Akhirnya ucapan terimakasih itu tersampaikan pada bait kelima.
1. Ing Mataram duk rumuhun, telenging karaton jawi, mangkya mangku buwono, nglenggahi damper mulyadi
2. Prabaweng Pangwasa Prabu, muncarken prabeng herbumi, mangku sarawediningrat, Dera nrusken hujwalaning, keprabon Jeng Sri Mahraja, Lir lumaraping jemparing
3. Tumujweng leres neripun, susatya tuwin mahoni, pamengku nireng buwono. Lus manis cipta tresnasih sih marma mring bangsa Tionghoa, asli saking manca nagri
4. Penrenahken manggenipu, ing papan ingkang pakolih laras lan upajiwanya, kang limrah samya mong gramin ing riki nagari harja, tentrem pra dasih geng alit.
5. Bangsa Tinghoa Matur Nuwun/ Harsayeng Tyas Tanpa Pamitan Bangkit Angucapana/ Mengkya Kinertyang Sela Mrih Enget Saklami Laminya/ Rat Raya Masih Lestari
Sementara tulisan mandarin dalam prasasti ini juga bermakna sama. Ungkapan ketenangan warga tionghoa hidup dan bekerja di wilayah Yogyakarta.Waktu telah berlalu, generasi tua berganti. Umur prasasti ini pun mencapai usia lebih dari 60 tahun. Adalah Bernie Liem, menantu dari insinyur Liem Ing Hwie kini mewarisi prasasti ini. Berni lien memang awalnya tidak secara langsung terlibat dengan saat bersejarah itu. Suami tercinta lah yang membuat dirinya berkewajiban melestarikan prasasti ini. Apa yang dilakukan oleh Liem Ing Hwie membawa dampak yang besar pada keluarga besarnya. paling tidak, mereka mempunyai pandangan yang berbeda tentang Yogya dan Keharmonisan hubungan etnis.
0 komentar:
Post a Comment