Miliarder Paling Nakal di Jepang
Demi Menepati Janji Pelanggan Adalah yang Utama, Takao Yasuda, Salah Satu Orang Terkaya Jepang, Rela Dianggap Nakal Oleh Banyak Pihak.
Jika Anda menganggap bahwa bisnis convenience store itu cuma bisa seperti itu-itu saja, maka Anda perlu berontak keluar dari pakem yang sudah ada. Misalnya Don Quijote. Ritel asli Jepang ini menawarkan konsep yang sangat unik. Begitu masuk ke toko, Anda akan menemukan barang-barang dari bermacam-macam kategori saling tumpang tindih. Dari komoditas sehari-hari hingga merek-merek mewah. Dan ternyata, mereka sengaja!
“Ritel di Jepang dibangun berdasarkan konsep untuk menyimpan waktu. Sementara, kami ingin customer kami menghabiskan lebih banyak waktu di toko kami,” kata Takao Yasuda. Takao Yasuda adalah presiden, sekaligus pendiri dari Don Quijote Group.
Sekali masuk, para pembeli akan memulai petualang mereka berburu harta karun. “Para pembelanja akan meninggalkan toko sambil merasa bahwa mereka kekurangan sesuatu. Dan mereka akan menemukan barang baru setiap kali mereka kembali berkunjung.”
Tambahannya, toko Donki (singkatan Don Quijote) buka 24 jam. Kombinasi ini terbukti sukses besar. Donki laris sebagai tempat ideal untuk destinasi hangout para pencari hiburan di malam hari. Donki Group berhasil mengantarkan Takao Yasuda ke dalam daftar 50 orang terkaya di Jepang. Lewat Don Quijote Group, Takao Yasuda berhasil mengumpulkan kekayaan senilai 1,3 miliar dolar Amerika atau sekitar 13 Trilliun Rupiah.
Semuanya berawal pada tahun 1978. Takao Yasuda membuka sebuah minimarket kecil berukuran 60 meter persegi. Suatu saat, seorang konsumen datang malam-malam. Ia salah menduga bahwa toko itu masih buka karena lampunya yang menyala dan Takao Yasuda tampak sedang menyusun barang-barang di rak toko. Padahal, saat itu Takao Yasuda sedang mengisi ulang toko, karena pada siang harinya, waktunya habis untuk melayani konsumen. Dari peristiwa kecil ini, ia menemukan bahwa ada peluang di pembelanja malam. Sampai sekarang, ia menerapkan kebijakan bahwa toko akan buka sampai larut malam.
Kemudian ia menemukan bahwa pembelanja malam adalah casual shopper. Mereka adalah pembelanja yang memiliki banyak waktu luang untuk dihabiskan dan hampir tidak pernah memegang daftar belanja. Nah, upaya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan inilah yang kemudian mengantarkan mereka pada konsep “compression display”, yang mengubah lantai belanja ke dalam hutan belantara barang dagangan, dengan kartu pop tulisan tangan yang menggantung seperti sulur-sulur di seluruh toko.
Selama 36 tahun berikutnya, Takao Yasuda berhasil mengantarkan Donki menjadi sebuah general store yang mendobrak pakem yang ada. Mereka memiliki sekitar 80 toko yang tersebar di seluruh Jepang. “After all, Donki telah meresap ke dalam gaya hidup masyarakat. Menghabiskan waktu di salah satu toko kami telah menjadi bagian dari kehidupan mereka,” katanya.
Menolak patuh
Takao Yasuda memiliki kecenderungan untuk membangkang dari peraturan pemerintah. Menanggapi krisis apoteker di tahun 2003, Yasuda menjual obat-obatan generik untuk pembeli melalui videophone. Pemerintah Jepang kemudian memutuskan bahwa hal ini melanggar hukum farmasi yang membutuhkan kehadiran fisik seorang apoteker bersertifikat di setiap toko yang menjual resep obat generik. Yasuda tidak kehabisan akal, ia mencoba taktik lain untuk mengakali hukum; lagi-lagi, Kementerian Kesehatan menghentikannya. Tapi publik berada di pihak Yasuda. Mereka memaksa regulator untuk mempertimbangkan kembali. “Saya tidak suka bermusuhan dengan pihak yang berwenang,” kata Yasuda. “Tapi jika perlu, saya siap.”
Contoh ekstrim dari prinsip Yasuda untuk mengedepankan pelanggannya adalah dipajangnya beragam mainan seks di tokonya. Ketika perusahaan mereka terdaftar di Bursa Saham Tokyo beberapa tahun lalu, beberapa orang di sekitarnya menyarankan agar ia menyingkirkan produk itu. Namun Yasuda menolak dengan keras. “Tidak,” katanya. “Ini masalah yang sangat sakral. Lagi pula, itu bertentangan dengan prinsip kami tentang pelanggan adalah yang pertama. ”
Merangkul perubahan
Selama masa reses, Don Quijote Group justru mampu tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa. Pencapaian ini adalah hasil dari konsistensi terhadap prinsip mereka, yaitu “menganggap pelanggan sebagai prioritas utama” serta upaya untuk menyesuaikan diri dengan tren dan merangkul tantangan untuk terus menerus membuat terobosan berupa format baru. Menurut survei yang disusun oleh Nikkei Marketing Journal (Nikkei MJ), Don Quijote mampu mempertahankan urutan pertama soal angka penjualan bersih toko diskon umum.
Entrepreneur harus bersikap dinamis terhadap perubahan.
source
Demi Menepati Janji Pelanggan Adalah yang Utama, Takao Yasuda, Salah Satu Orang Terkaya Jepang, Rela Dianggap Nakal Oleh Banyak Pihak.
Jika Anda menganggap bahwa bisnis convenience store itu cuma bisa seperti itu-itu saja, maka Anda perlu berontak keluar dari pakem yang sudah ada. Misalnya Don Quijote. Ritel asli Jepang ini menawarkan konsep yang sangat unik. Begitu masuk ke toko, Anda akan menemukan barang-barang dari bermacam-macam kategori saling tumpang tindih. Dari komoditas sehari-hari hingga merek-merek mewah. Dan ternyata, mereka sengaja!
“Ritel di Jepang dibangun berdasarkan konsep untuk menyimpan waktu. Sementara, kami ingin customer kami menghabiskan lebih banyak waktu di toko kami,” kata Takao Yasuda. Takao Yasuda adalah presiden, sekaligus pendiri dari Don Quijote Group.
Sekali masuk, para pembeli akan memulai petualang mereka berburu harta karun. “Para pembelanja akan meninggalkan toko sambil merasa bahwa mereka kekurangan sesuatu. Dan mereka akan menemukan barang baru setiap kali mereka kembali berkunjung.”
Tambahannya, toko Donki (singkatan Don Quijote) buka 24 jam. Kombinasi ini terbukti sukses besar. Donki laris sebagai tempat ideal untuk destinasi hangout para pencari hiburan di malam hari. Donki Group berhasil mengantarkan Takao Yasuda ke dalam daftar 50 orang terkaya di Jepang. Lewat Don Quijote Group, Takao Yasuda berhasil mengumpulkan kekayaan senilai 1,3 miliar dolar Amerika atau sekitar 13 Trilliun Rupiah.
Semuanya berawal pada tahun 1978. Takao Yasuda membuka sebuah minimarket kecil berukuran 60 meter persegi. Suatu saat, seorang konsumen datang malam-malam. Ia salah menduga bahwa toko itu masih buka karena lampunya yang menyala dan Takao Yasuda tampak sedang menyusun barang-barang di rak toko. Padahal, saat itu Takao Yasuda sedang mengisi ulang toko, karena pada siang harinya, waktunya habis untuk melayani konsumen. Dari peristiwa kecil ini, ia menemukan bahwa ada peluang di pembelanja malam. Sampai sekarang, ia menerapkan kebijakan bahwa toko akan buka sampai larut malam.
Kemudian ia menemukan bahwa pembelanja malam adalah casual shopper. Mereka adalah pembelanja yang memiliki banyak waktu luang untuk dihabiskan dan hampir tidak pernah memegang daftar belanja. Nah, upaya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan inilah yang kemudian mengantarkan mereka pada konsep “compression display”, yang mengubah lantai belanja ke dalam hutan belantara barang dagangan, dengan kartu pop tulisan tangan yang menggantung seperti sulur-sulur di seluruh toko.
Selama 36 tahun berikutnya, Takao Yasuda berhasil mengantarkan Donki menjadi sebuah general store yang mendobrak pakem yang ada. Mereka memiliki sekitar 80 toko yang tersebar di seluruh Jepang. “After all, Donki telah meresap ke dalam gaya hidup masyarakat. Menghabiskan waktu di salah satu toko kami telah menjadi bagian dari kehidupan mereka,” katanya.
Menolak patuh
Takao Yasuda memiliki kecenderungan untuk membangkang dari peraturan pemerintah. Menanggapi krisis apoteker di tahun 2003, Yasuda menjual obat-obatan generik untuk pembeli melalui videophone. Pemerintah Jepang kemudian memutuskan bahwa hal ini melanggar hukum farmasi yang membutuhkan kehadiran fisik seorang apoteker bersertifikat di setiap toko yang menjual resep obat generik. Yasuda tidak kehabisan akal, ia mencoba taktik lain untuk mengakali hukum; lagi-lagi, Kementerian Kesehatan menghentikannya. Tapi publik berada di pihak Yasuda. Mereka memaksa regulator untuk mempertimbangkan kembali. “Saya tidak suka bermusuhan dengan pihak yang berwenang,” kata Yasuda. “Tapi jika perlu, saya siap.”
Contoh ekstrim dari prinsip Yasuda untuk mengedepankan pelanggannya adalah dipajangnya beragam mainan seks di tokonya. Ketika perusahaan mereka terdaftar di Bursa Saham Tokyo beberapa tahun lalu, beberapa orang di sekitarnya menyarankan agar ia menyingkirkan produk itu. Namun Yasuda menolak dengan keras. “Tidak,” katanya. “Ini masalah yang sangat sakral. Lagi pula, itu bertentangan dengan prinsip kami tentang pelanggan adalah yang pertama. ”
Merangkul perubahan
Selama masa reses, Don Quijote Group justru mampu tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa. Pencapaian ini adalah hasil dari konsistensi terhadap prinsip mereka, yaitu “menganggap pelanggan sebagai prioritas utama” serta upaya untuk menyesuaikan diri dengan tren dan merangkul tantangan untuk terus menerus membuat terobosan berupa format baru. Menurut survei yang disusun oleh Nikkei Marketing Journal (Nikkei MJ), Don Quijote mampu mempertahankan urutan pertama soal angka penjualan bersih toko diskon umum.
Entrepreneur harus bersikap dinamis terhadap perubahan.
source
0 komentar:
Post a Comment