Ikut Bangun Masjid di Flores, Pastur Swiss Perkuat Persaudaraan Warga
BERN - Ada yang tak biasa dalam misa minggu pagi di gereja Katolik Stans, Nidwalden, Swiss Tengah, Minggu (9/11/2014). Di antara doa dalam bahasa Jerman yang dipanjatkan pastur David dan Martin Chen, mengalun secara bergantian lagu-lagu rohani berbahasa Indonesia.
"Memang misa kali ini ada hubungannya dengan Indonesia,“ ujar Albert Nampara, pastur asal Flores yang juga ikut dalam misa ini.
Semua tak lepas dari sosok Ernst Waser. Pastur kelahiran Oberdorf, Stans ini, memang sedang dirayakan kehadirannya oleh para umat, khususnya Waser Freundeskreis, kawan seperjuangan Ernst Waser.
"Jasa jasanya sangat besar untuk Indonesia, khususnya bagi masyarakat Flores,“ tutur Gogi Soegiarto, salah satu anggota komunitas Kristiani Indonesia di Swiss.
Thomas Mueller, mantan pekerja LSM yang pernah bertemu beberapa kali dengan Ernst Waser di Kupang, NTT, mengungkapkan hal senada. "Banyak yang dilakukannya untuk rakyat Flores. Dia memperbaiki sistem pengairan, jalan raya, hingga sekolah SMU,“ kenang Thomas,
Stans, meski ibu kota provinsi, jangan dibayangkan segemerlap Bandung, Jakarta atau Semarang. Kota ini tak jauh lebih ramai ketimbang Depok. Di kelilingi lahan hijau pertanian, Stans merupakan salah satu kota paling indah di Swiss.
Di sebuah peternakan kelas menengah di kota inilah Ersnt Waser dilahirkan 85 tahun lalu. Namun, tak banyak catatan kehidupan sang pastor yang diketahui publik. "Pak Ernst orang pendiam, lebih suka bekerja ketimbang berbicara,“ tutur Martin Chen, pastur yang akan meneruskan cita-cita Ernst Waser.
Menginjak usia 20 tahun, Ernst memutuskan menjadi pastur dan melanjutkan kuliah teologi di Bonn, Jerman. Tahun 1954, Ernst resmi ditasbihkan sebagai pastur.
Seperti umumnya misionaris, Ernst sangat ingin menjalankan misinya di negara berkembang. Sayang, keinginannya melihat dunia luar, selalu ditolak atasannya. Sambil menunggu kesempatan menjadi misionaris di luar negeri, Ernst bekerja sebagai guru di SMU Merienburg, Saint Gallen, Swiss Timur.
Di waktu luangnya Pastur Ernst menambah wawasannya dengan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Zurich.
Pergi ke Flores
Akhirnya kesempatan menjadi misionaris datang ketika berkenalan dengan seorang uskup dari Ruteng, Flores. Pada 1978, berangkatlah Ernst Waser ke Flores, tepatnya di Wangkung. Jalan desa yang semula terlalu menanjak, kata Thomas, dibuat Ernst menjadi landai dan berliku.
"Kalau tidak demikian, akan cepat rusak,“ kata Thomas.
Anak-anak yatim piatu di Wangkung dan sekitarnya, juga diajak untuk bergabung di asrama yang didirikannya. "Ada bengkel, ada juga pelatihan untuk menjadi perawat,“ lanjut Thomas.
Sementara sekolah swasta yang dibangunnya, dari tingkat SD sampai SMU, masih kata Thomas, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia. "Orang mungkin gampang bikin sekolah, tapi Ernst membangunnya sekaligus mendapatkan pengakuan pemerintah,“ kata Thomas.
Hubungannya tak hanya terpaku dengan masyarakat Kristiani. Hubungan Ernst dengan umat Muslim juga sangat baik. Dia bahkan sempat membangun sebuah masjid untuk masyarakat muslim di Flores.
Atas jasanya, masyarakat Muslim setempat, menghadiahi Ernst sebidang tanah. "Pastor Ernsh orangnya memang terbuka, menolong baginya tidak ada batasan agama,“ imbuh Albert Nampara.
Meskipun Swiss terbilang negara kaya, makmur dan rapi, Ernst Waser memilih tidak kembali ke kota kelahirannya. Dia bertekad mengabdikan hidupnya untuk masyarakat Wangkung, Flores, sampai akhir hayatnya. "Nggak akan mau kembali ke Swiss, kalau mati pun ingin dikubur di sana,“ kata Albert Nampara.
Bagi warga Stans, kepergian Ernst ke Indonesia, disyukuri sekaligus disesali. Walter, salah satu umat yang mengikuti misa khusus itu, mengaku bangga ada warga kotanya yang berjasa bagi sekelompok warga di negara lain.
"Kalau memang dia memilih mengabdikan hidupnya di Indonesia, dan ingin mentap disana, kami akan selalu berdoa yang terbaik untuknya,“ imbuh Walter.
BERN - Ada yang tak biasa dalam misa minggu pagi di gereja Katolik Stans, Nidwalden, Swiss Tengah, Minggu (9/11/2014). Di antara doa dalam bahasa Jerman yang dipanjatkan pastur David dan Martin Chen, mengalun secara bergantian lagu-lagu rohani berbahasa Indonesia.
"Memang misa kali ini ada hubungannya dengan Indonesia,“ ujar Albert Nampara, pastur asal Flores yang juga ikut dalam misa ini.
Semua tak lepas dari sosok Ernst Waser. Pastur kelahiran Oberdorf, Stans ini, memang sedang dirayakan kehadirannya oleh para umat, khususnya Waser Freundeskreis, kawan seperjuangan Ernst Waser.
"Jasa jasanya sangat besar untuk Indonesia, khususnya bagi masyarakat Flores,“ tutur Gogi Soegiarto, salah satu anggota komunitas Kristiani Indonesia di Swiss.
Thomas Mueller, mantan pekerja LSM yang pernah bertemu beberapa kali dengan Ernst Waser di Kupang, NTT, mengungkapkan hal senada. "Banyak yang dilakukannya untuk rakyat Flores. Dia memperbaiki sistem pengairan, jalan raya, hingga sekolah SMU,“ kenang Thomas,
Stans, meski ibu kota provinsi, jangan dibayangkan segemerlap Bandung, Jakarta atau Semarang. Kota ini tak jauh lebih ramai ketimbang Depok. Di kelilingi lahan hijau pertanian, Stans merupakan salah satu kota paling indah di Swiss.
Di sebuah peternakan kelas menengah di kota inilah Ersnt Waser dilahirkan 85 tahun lalu. Namun, tak banyak catatan kehidupan sang pastor yang diketahui publik. "Pak Ernst orang pendiam, lebih suka bekerja ketimbang berbicara,“ tutur Martin Chen, pastur yang akan meneruskan cita-cita Ernst Waser.
Menginjak usia 20 tahun, Ernst memutuskan menjadi pastur dan melanjutkan kuliah teologi di Bonn, Jerman. Tahun 1954, Ernst resmi ditasbihkan sebagai pastur.
Seperti umumnya misionaris, Ernst sangat ingin menjalankan misinya di negara berkembang. Sayang, keinginannya melihat dunia luar, selalu ditolak atasannya. Sambil menunggu kesempatan menjadi misionaris di luar negeri, Ernst bekerja sebagai guru di SMU Merienburg, Saint Gallen, Swiss Timur.
Di waktu luangnya Pastur Ernst menambah wawasannya dengan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Zurich.
Pergi ke Flores
Akhirnya kesempatan menjadi misionaris datang ketika berkenalan dengan seorang uskup dari Ruteng, Flores. Pada 1978, berangkatlah Ernst Waser ke Flores, tepatnya di Wangkung. Jalan desa yang semula terlalu menanjak, kata Thomas, dibuat Ernst menjadi landai dan berliku.
"Kalau tidak demikian, akan cepat rusak,“ kata Thomas.
Anak-anak yatim piatu di Wangkung dan sekitarnya, juga diajak untuk bergabung di asrama yang didirikannya. "Ada bengkel, ada juga pelatihan untuk menjadi perawat,“ lanjut Thomas.
Sementara sekolah swasta yang dibangunnya, dari tingkat SD sampai SMU, masih kata Thomas, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia. "Orang mungkin gampang bikin sekolah, tapi Ernst membangunnya sekaligus mendapatkan pengakuan pemerintah,“ kata Thomas.
Hubungannya tak hanya terpaku dengan masyarakat Kristiani. Hubungan Ernst dengan umat Muslim juga sangat baik. Dia bahkan sempat membangun sebuah masjid untuk masyarakat muslim di Flores.
Atas jasanya, masyarakat Muslim setempat, menghadiahi Ernst sebidang tanah. "Pastor Ernsh orangnya memang terbuka, menolong baginya tidak ada batasan agama,“ imbuh Albert Nampara.
Meskipun Swiss terbilang negara kaya, makmur dan rapi, Ernst Waser memilih tidak kembali ke kota kelahirannya. Dia bertekad mengabdikan hidupnya untuk masyarakat Wangkung, Flores, sampai akhir hayatnya. "Nggak akan mau kembali ke Swiss, kalau mati pun ingin dikubur di sana,“ kata Albert Nampara.
Bagi warga Stans, kepergian Ernst ke Indonesia, disyukuri sekaligus disesali. Walter, salah satu umat yang mengikuti misa khusus itu, mengaku bangga ada warga kotanya yang berjasa bagi sekelompok warga di negara lain.
"Kalau memang dia memilih mengabdikan hidupnya di Indonesia, dan ingin mentap disana, kami akan selalu berdoa yang terbaik untuknya,“ imbuh Walter.
0 komentar:
Post a Comment