Mengapa disebut Semarang..??
Menurut penyelidikan tuan Lekkerkerker, orang Belanda, nama Semarang berasal dari Asem-arang. Penamaan kota memang sering mengacu pada keadaan setempat. Kebetulan ketika itu memang banyak pohon asam (Jw: asem), yang daunnya jarang (Jw: arang). Sekitar tahun 1960an pun masih dapat ditemukan pohon asam pada tepi jalan-jalan besar, mungkin sekarang sudah hampir punah.
Karena seorang Tionghoa yang cukup ternama di Simongan, bernama Souw Pan Djiang terlibat dalam pemberontakan di Kartasura, maka dia dan laskarnya (barisan orang Tionghoa) dikejar oleh Kompeni yang bersenjatakan lebih moderen, sehingga akhirnya satu per satu gugur. Mengingat kejadian itu, maka Kompeni merelokasi pemukiman mereka ke daerah Semarang, yang sekarang dikenal dengan Pecinan: Gang Baru, Gang Belakang, Gang Cilik......dan lain-lain sempai dengan Gang Pinggir, yang memang paling pinggir. Dan untuk membentengi Pecinan yang memang sisi utara, timur dan selatan dibatasi oleh Kali Semarang, maka orang Tionghoa membuat Benteng di sebelah baratnya.....yang sekarang dikenal dengan jalan Beteng. Pemberontakan itu terjadi kira-kira awal abad ke-18.
Bahasa Cina
Desas-desus "Semarang" berasal dari lidah kesleo, sehingga menyebut SamPooToaLang (三保大人) mendjadi "Samalang".....lalu dikembalikan menjadi SEMARANG......belum pernah saya dengar, mungkin saya yang agak "kuper" dalam hal ini. Demikian juga, dengan SAN-PAO-LUNG artinya "tiga kasih naga", adalah kurang tepat.
Jauh hari sebelum kedatangan Laksamana Cheng Hoo (郑和) dan singgah di bilangan Simongan, di mana sekarang terkenal dengan nama Gedong Batu, kota Semarang yang kita kenal memang belum ada. Kala itu, Semarang masih berupa semak belukar dan rawa-rawa. Perantau Tionghoa lebih suka mendarat di Jepara, jadi jelas Jepara, Welahan, Mayong, Demak, Buyaran merupakan pemukiman yang lebih tua dari Semarang. Cikal bakal Semarang adalah memang daerah Simongan, tempat persinggahan Cheng Hoo, karena salah satu asistennya (mungkin sang jurumudi Ong Keng Hong) sakit dan perlu perawatan, Kemudian kapalnya menelusuri sungai kecil sampai di Simongan, yang kebetulan terdapat 'goa' tempat berlindung. Konon katanya, sebagai pemeluk agama Islam, mereka sempat mendirikan mushalla di situ untuk tempat melaksanakan shalat.
Pada perjalanan waktunya, maka banyak perantau Tionghoa yang menetap di daerah Simongan, karena mereka menganggap bahwa Hongshui-nya bagus dibandingkan dengan Semarang yang terletak di dataran rendah dan kurang sehat kondisinya saat itu. Juga mereka percaya bahwa daerah yang pernah disinggahi "orang-besar" itu ada tuahnya, Karenanya mereka menyebut tempat pemukiman mereka itu adalah Sampolung (Mandarin: SanBaoLong 三宝珑), yang kira-kira artinya "tiga barang berharga nan elok". Mungkin "Sampo"-nya memang pelafalan yang sama dengan SamPo, dari gelarnya ChengHoo, yaitu SamPoo Tay Djin atau Sampoo ToaLang (三保大人). Justru terkadang, yang pernah saya dengar, SamPoo ToaLang itu diplesetkan oleh lidah Jawa menjadi "Dampoawang". Mungkin yang senang nonton 'ketoprak' sekitar 1950an-1960an, masih ingat nama Dampoawang, sebagai 'judul' di samping SanPek EngTay yang cukup melegenda waktu itu.
Menurut penyelidikan tuan Lekkerkerker, orang Belanda, nama Semarang berasal dari Asem-arang. Penamaan kota memang sering mengacu pada keadaan setempat. Kebetulan ketika itu memang banyak pohon asam (Jw: asem), yang daunnya jarang (Jw: arang). Sekitar tahun 1960an pun masih dapat ditemukan pohon asam pada tepi jalan-jalan besar, mungkin sekarang sudah hampir punah.
Karena seorang Tionghoa yang cukup ternama di Simongan, bernama Souw Pan Djiang terlibat dalam pemberontakan di Kartasura, maka dia dan laskarnya (barisan orang Tionghoa) dikejar oleh Kompeni yang bersenjatakan lebih moderen, sehingga akhirnya satu per satu gugur. Mengingat kejadian itu, maka Kompeni merelokasi pemukiman mereka ke daerah Semarang, yang sekarang dikenal dengan Pecinan: Gang Baru, Gang Belakang, Gang Cilik......dan lain-lain sempai dengan Gang Pinggir, yang memang paling pinggir. Dan untuk membentengi Pecinan yang memang sisi utara, timur dan selatan dibatasi oleh Kali Semarang, maka orang Tionghoa membuat Benteng di sebelah baratnya.....yang sekarang dikenal dengan jalan Beteng. Pemberontakan itu terjadi kira-kira awal abad ke-18.
Bahasa Cina
Desas-desus "Semarang" berasal dari lidah kesleo, sehingga menyebut SamPooToaLang (三保大人) mendjadi "Samalang".....lalu dikembalikan menjadi SEMARANG......belum pernah saya dengar, mungkin saya yang agak "kuper" dalam hal ini. Demikian juga, dengan SAN-PAO-LUNG artinya "tiga kasih naga", adalah kurang tepat.
Jauh hari sebelum kedatangan Laksamana Cheng Hoo (郑和) dan singgah di bilangan Simongan, di mana sekarang terkenal dengan nama Gedong Batu, kota Semarang yang kita kenal memang belum ada. Kala itu, Semarang masih berupa semak belukar dan rawa-rawa. Perantau Tionghoa lebih suka mendarat di Jepara, jadi jelas Jepara, Welahan, Mayong, Demak, Buyaran merupakan pemukiman yang lebih tua dari Semarang. Cikal bakal Semarang adalah memang daerah Simongan, tempat persinggahan Cheng Hoo, karena salah satu asistennya (mungkin sang jurumudi Ong Keng Hong) sakit dan perlu perawatan, Kemudian kapalnya menelusuri sungai kecil sampai di Simongan, yang kebetulan terdapat 'goa' tempat berlindung. Konon katanya, sebagai pemeluk agama Islam, mereka sempat mendirikan mushalla di situ untuk tempat melaksanakan shalat.
Pada perjalanan waktunya, maka banyak perantau Tionghoa yang menetap di daerah Simongan, karena mereka menganggap bahwa Hongshui-nya bagus dibandingkan dengan Semarang yang terletak di dataran rendah dan kurang sehat kondisinya saat itu. Juga mereka percaya bahwa daerah yang pernah disinggahi "orang-besar" itu ada tuahnya, Karenanya mereka menyebut tempat pemukiman mereka itu adalah Sampolung (Mandarin: SanBaoLong 三宝珑), yang kira-kira artinya "tiga barang berharga nan elok". Mungkin "Sampo"-nya memang pelafalan yang sama dengan SamPo, dari gelarnya ChengHoo, yaitu SamPoo Tay Djin atau Sampoo ToaLang (三保大人). Justru terkadang, yang pernah saya dengar, SamPoo ToaLang itu diplesetkan oleh lidah Jawa menjadi "Dampoawang". Mungkin yang senang nonton 'ketoprak' sekitar 1950an-1960an, masih ingat nama Dampoawang, sebagai 'judul' di samping SanPek EngTay yang cukup melegenda waktu itu.
0 komentar:
Post a Comment