TAN Joe Hok menorehkan sejarah setengah abad lalu. Ia pemain bulu
tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali
emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville,
Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim
Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air.
Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang
di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya
merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan..
Di tengah prestasi yang kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu
menengok kembali cerita Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya
yang berwarna.
SAYA dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang
serba tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba
terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada,
untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan
sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim
Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan becak.
Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya orang
pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali emas
Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut
Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas
panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi di
Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak
terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput
liar yang mesti hidup di segala keadaan.
Saya lahir di zaman malaise yang waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada
11 Agustus 1937. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan
Tay Ping (almarhum), bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering
meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga
kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. Sejak berumur
lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian.
Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan Jepang belum lama masuk
Indonesia. Saya masih ingat bagaimana pesawat-pesawat Jepang yang
berseliweran di atas kampung kami di Jatiroke, Jatinangor, Sumedang,
ditembaki tentara Belanda. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami
makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi.
Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Di
kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya saya
mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio,
bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang
Sutur, tak jauh dari gang rumah saya.
Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami
harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami
mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah
rumah amat sederhana berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya
membuat lapangan bulu tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan
garis terbuat dari bambu.
Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam,
keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya,
yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi
membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain
bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket.. Sebagai
pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya.
Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering
mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama.
Ternyata banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka
mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah
bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti
teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju
yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak
kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai
rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis.
Suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat
saya. Dia mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di
Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan
menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena,
dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan
berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi.
Dari Jalan Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki.
Di sana tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan
bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer
dari rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya
cukup bagus karena sudah dipoles semen.
Salah satu teman latihan saya di PB Pusaka adalah Tutang Djamaluddin.
Setiap akan berlatih bulu tangkis, saya dan Tutang naik sepeda ontel
dari rumah masing-masing sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga
kok yang dibungkus kertas koran. Dari sinilah karier saya sebagai pemain
bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu
menang. Saat 15 tahun, saya menang di Kejuaraan Bandung.
Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun
kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim
Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan
terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran
pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya juga diundang
mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta,
Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang.
Dan yang paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po
Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama
Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin
berlipat ketika akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu.
Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah
dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta
disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat
Puncak. Jalan saya sebagai pemain bulu tangkis kian mulus.
*l l l*
Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, saya bertemu dengan
Ismail bin Mardjan, salah seorang juara ganda All England asal Malaya
yang tinggal di Singapura. Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan
saya, tapi sudah saya anggap sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih
dari setengah bulan. Ismail memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa
jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu
sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak
pernah lupa kata-kata itu.
Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan
jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata
hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat
kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti
sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam.
Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu
tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak.
Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England,
Kanada, dan Amerika Serikat, saya memutuskan menggantung raket. Saya tak
kembali ke Tanah Air, tapi langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat
beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in
Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja
serabutan. Apa saja saya kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih
kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar
bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau
menjalani pekerjaan itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib
saya seperti Ismail.
Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa
diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat
pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di
Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games
dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena
Asian Games.
Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali
ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan
”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya malah sempat
main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur sukarelawan
kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi
untuk negara saya, Indonesia.
Peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga
keturunan, saya dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami
seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus
mengubah nama saya menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung
tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre
berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat
surat bukti bahwa saya orang Indonesia.
Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969, bersama istri dan dua
anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi pelatih bulu tangkis di
Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan
usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama.
Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang. Bersama
Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas 1984 . Di
final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim Indonesia,
yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian
Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses mengalahkan Han Jian
dan kawan-kawan dari Cina.
*l l l*
Sekarang prestasi Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak
menyalahkan atlet. Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain
hanya demi kepentingan nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang
penting bisa membawa nama harum negara. Tapi zaman sudah berubah.
Kesejahteraan atlet harus diperhatikan.
Kini kita kalah oleh Cina.. Mereka memiliki sistem pembinaan yang baku.
Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang tua
berbondong-bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak aktif
juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia: setelah
tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani hari tua
susah dan sakit-sakitan.
Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki sponsor pribadi. Misalnya dia
jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu seluruhnzya buat dia, bukan
dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan. Dulu hal ini dilaksanakan
betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu para atlet menjadi yang
terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraihnya.
*Nunuy Nurhayati*
Sang Pembunuh Raksasa
Di lapangan bulu tangkis, Tan Joe Hok adalah sang penakluk. Dia datang
dan langsung menang.
PIALA Thomas ibarat puncak karier bagi seorang pemain bulu tangkis.
Segala usaha dan latihan keras yang kami rintis bertahun-tahun
terbalaskan begitu meraih piala lambang supremasi dunia beregu putra
itu. Saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian, dan Tan King Gwan
merupakan pemain peringkat atas nasional saat itu.
Dalam babak penyisihan Piala Thomas 1957 di Selandia Baru, saya dan Njoo
Kim menjadi penentu kemenangan. Kami sama sekali tak mengira bisa lolos
ke putaran final di Singapura. Sebab, lawan-lawan kami sudah
berpengalaman. Menjelang putaran final, Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf
datang menambah kekuatan kami.
Indonesia sebagai negara baru di bulu tangkis dunia sama sekali tak
dipandang.. Tapi itu tak membuat semangat kami berkurang. Umur saya waktu
itu masih 20 tahun. Njoo Kim adalah pemain senior dan menjadi tumpuan
kami. Pertandingan mulai terasa berat saat menghadapi tim tangguh
Denmark. Mereka diperkuat jago-jago dunia, seperti Erland Kops,
Hammergard Hansen, dan Finn Kobbero. Tapi kami akhirnya menang 6-3. Dan
saya berhasil mengalahkan Erland Kops. Dia itu juara All England tujuh
kali.
Lantas, di final, kami bertemu dengan tuan rumah sekaligus juara
bertahan Malaya. Waktu itu pertandingan berlangsung di Singapore
Badminton Hall. Dukungan penonton untuk tim Malaya sangat luar biasa.
Kami bertujuh hanya berusaha tampil sebagus mungkin. Tanpa diduga, kami
berhasil mengalahkan mereka 6-3. Padahal tim ini memiliki pemain kaliber
dunia, seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon.
Kemenangan itu merupakan prestasi spektakuler. Kami sama sekali tak
menyangka. Itulah titik awal kebangkitan bulu tangkis kita. Saya ingat
betul kami hanya punya waktu enam bulan untuk mempersiapkan diri secara
tim terhitung mulai dibentuknya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia
di Bandung pada 5 Mei 1951.
Kami bertujuh kemudian dikenal sebagai ”The Seven Magnificent”. Setelah
Piala Thomas bisa kami bawa pulang ke Jakarta, sambutan yang kami terima
sangat meriah. Kami diarak keliling Kota Jakarta. Itu pengalaman yang
tak terlupakan. Padahal, saat kami akan berangkat ke Singapura, seperti
tak ada yang peduli. Bagi kami saat itu, ideologi nasionalisme adalah
modal untuk berjuang. Itu sudah cukup.
Keberhasilan saya menundukkan jago-jago dunia ternyata membuat media
asing menjuluki saya ”The Giants Killer” atau Pembunuh Raksasa. Ini
menambah motivasi saya untuk terus mengukir prestasi. Status saya
sebagai pemain tunggal yang tak terkalahkan membuat saya diundang
mengikuti turnamen paling bergengsi: All England, pada 1959.
Kejuaraan ini memiliki arti penting dalam karier bulu tangkis saya.
Inilah untuk pertama kalinya pemain Indonesia juara tunggal putra di
turnamen perorangan tertua di dunia. Sebenarnya siapa pun yang menjadi
juara saat itu pastilah dari Indonesia. Sebab, lawan saya di final
adalah Ferry Sonneville.
Setelah menjuarai All England, berturut-turut selama dua pekan saya ikut
kejuaraan Kanada Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di dua
pertandingan itu, lagi-lagi saya menang. Gambar saya menjadi sampul
majalah olahraga Canadian Sport. Nama saya dan Indonesia juga diulas dua
halaman di majalah Sport Illustrated. ”Wonderful World of Sports. Tan
Joe Hok Takes Detroit,” tulis majalah terbitan 13 April 1959 itu.
Sukses mempertahankan Piala Thomas pada 1961, saya mendapat tanda jasa
Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bung Karno berkata
kepada saya, ”Saya bangga, banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti
kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari.”
Sambil menunjuk-nunjuk, beliau melanjutkan, ”I will give you a
scholarship.”
Ketika saya kembali ke Amerika untuk kuliah, saya kaget menerima surat
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai
US$ 1.000. Ini jumlah yang sangat besar saat itu, setara dengan setengah
harga mobil Impala terbaru. Saya bingung uang itu mau diapakan. Saya
merasa tak berhak menerima karena saya sudah kuliah di Baylor
University, Texas, lewat program beasiswa. Saya juga bisa mencari uang
dengan bekerja di kampus. Akhirnya uang itu saya kembalikan. Bagi saya,
menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada
sejumlah uang.
tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali
emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville,
Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim
Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air.
Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang
di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya
merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan..
Di tengah prestasi yang kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu
menengok kembali cerita Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya
yang berwarna.
SAYA dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang
serba tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba
terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada,
untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan
sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim
Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan becak.
Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya orang
pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali emas
Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut
Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas
panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi di
Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak
terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput
liar yang mesti hidup di segala keadaan.
Saya lahir di zaman malaise yang waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada
11 Agustus 1937. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan
Tay Ping (almarhum), bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering
meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga
kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. Sejak berumur
lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian.
Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan Jepang belum lama masuk
Indonesia. Saya masih ingat bagaimana pesawat-pesawat Jepang yang
berseliweran di atas kampung kami di Jatiroke, Jatinangor, Sumedang,
ditembaki tentara Belanda. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami
makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi.
Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Di
kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya saya
mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio,
bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang
Sutur, tak jauh dari gang rumah saya.
Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami
harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami
mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah
rumah amat sederhana berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya
membuat lapangan bulu tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan
garis terbuat dari bambu.
Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam,
keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya,
yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi
membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain
bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket.. Sebagai
pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya.
Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering
mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama.
Ternyata banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka
mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah
bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti
teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju
yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak
kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai
rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis.
Suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat
saya. Dia mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di
Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan
menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena,
dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan
berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi.
Dari Jalan Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki.
Di sana tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan
bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer
dari rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya
cukup bagus karena sudah dipoles semen.
Salah satu teman latihan saya di PB Pusaka adalah Tutang Djamaluddin.
Setiap akan berlatih bulu tangkis, saya dan Tutang naik sepeda ontel
dari rumah masing-masing sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga
kok yang dibungkus kertas koran. Dari sinilah karier saya sebagai pemain
bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu
menang. Saat 15 tahun, saya menang di Kejuaraan Bandung.
Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun
kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim
Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan
terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran
pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya juga diundang
mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta,
Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang.
Dan yang paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po
Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama
Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin
berlipat ketika akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu.
Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah
dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta
disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat
Puncak. Jalan saya sebagai pemain bulu tangkis kian mulus.
*l l l*
Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, saya bertemu dengan
Ismail bin Mardjan, salah seorang juara ganda All England asal Malaya
yang tinggal di Singapura. Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan
saya, tapi sudah saya anggap sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih
dari setengah bulan. Ismail memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa
jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu
sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak
pernah lupa kata-kata itu.
Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan
jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata
hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat
kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti
sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam.
Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu
tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak.
Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England,
Kanada, dan Amerika Serikat, saya memutuskan menggantung raket. Saya tak
kembali ke Tanah Air, tapi langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat
beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in
Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja
serabutan. Apa saja saya kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih
kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar
bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau
menjalani pekerjaan itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib
saya seperti Ismail.
Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa
diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat
pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di
Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games
dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena
Asian Games.
Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali
ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan
”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya malah sempat
main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur sukarelawan
kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi
untuk negara saya, Indonesia.
Peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga
keturunan, saya dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami
seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus
mengubah nama saya menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung
tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre
berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat
surat bukti bahwa saya orang Indonesia.
Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969, bersama istri dan dua
anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi pelatih bulu tangkis di
Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan
usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama.
Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang. Bersama
Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas 1984 . Di
final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim Indonesia,
yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian
Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses mengalahkan Han Jian
dan kawan-kawan dari Cina.
*l l l*
Sekarang prestasi Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak
menyalahkan atlet. Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain
hanya demi kepentingan nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang
penting bisa membawa nama harum negara. Tapi zaman sudah berubah.
Kesejahteraan atlet harus diperhatikan.
Kini kita kalah oleh Cina.. Mereka memiliki sistem pembinaan yang baku.
Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang tua
berbondong-bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak aktif
juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia: setelah
tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani hari tua
susah dan sakit-sakitan.
Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki sponsor pribadi. Misalnya dia
jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu seluruhnzya buat dia, bukan
dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan. Dulu hal ini dilaksanakan
betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu para atlet menjadi yang
terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraihnya.
*Nunuy Nurhayati*
Sang Pembunuh Raksasa
Di lapangan bulu tangkis, Tan Joe Hok adalah sang penakluk. Dia datang
dan langsung menang.
PIALA Thomas ibarat puncak karier bagi seorang pemain bulu tangkis.
Segala usaha dan latihan keras yang kami rintis bertahun-tahun
terbalaskan begitu meraih piala lambang supremasi dunia beregu putra
itu. Saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian, dan Tan King Gwan
merupakan pemain peringkat atas nasional saat itu.
Dalam babak penyisihan Piala Thomas 1957 di Selandia Baru, saya dan Njoo
Kim menjadi penentu kemenangan. Kami sama sekali tak mengira bisa lolos
ke putaran final di Singapura. Sebab, lawan-lawan kami sudah
berpengalaman. Menjelang putaran final, Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf
datang menambah kekuatan kami.
Indonesia sebagai negara baru di bulu tangkis dunia sama sekali tak
dipandang.. Tapi itu tak membuat semangat kami berkurang. Umur saya waktu
itu masih 20 tahun. Njoo Kim adalah pemain senior dan menjadi tumpuan
kami. Pertandingan mulai terasa berat saat menghadapi tim tangguh
Denmark. Mereka diperkuat jago-jago dunia, seperti Erland Kops,
Hammergard Hansen, dan Finn Kobbero. Tapi kami akhirnya menang 6-3. Dan
saya berhasil mengalahkan Erland Kops. Dia itu juara All England tujuh
kali.
Lantas, di final, kami bertemu dengan tuan rumah sekaligus juara
bertahan Malaya. Waktu itu pertandingan berlangsung di Singapore
Badminton Hall. Dukungan penonton untuk tim Malaya sangat luar biasa.
Kami bertujuh hanya berusaha tampil sebagus mungkin. Tanpa diduga, kami
berhasil mengalahkan mereka 6-3. Padahal tim ini memiliki pemain kaliber
dunia, seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon.
Kemenangan itu merupakan prestasi spektakuler. Kami sama sekali tak
menyangka. Itulah titik awal kebangkitan bulu tangkis kita. Saya ingat
betul kami hanya punya waktu enam bulan untuk mempersiapkan diri secara
tim terhitung mulai dibentuknya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia
di Bandung pada 5 Mei 1951.
Kami bertujuh kemudian dikenal sebagai ”The Seven Magnificent”. Setelah
Piala Thomas bisa kami bawa pulang ke Jakarta, sambutan yang kami terima
sangat meriah. Kami diarak keliling Kota Jakarta. Itu pengalaman yang
tak terlupakan. Padahal, saat kami akan berangkat ke Singapura, seperti
tak ada yang peduli. Bagi kami saat itu, ideologi nasionalisme adalah
modal untuk berjuang. Itu sudah cukup.
Keberhasilan saya menundukkan jago-jago dunia ternyata membuat media
asing menjuluki saya ”The Giants Killer” atau Pembunuh Raksasa. Ini
menambah motivasi saya untuk terus mengukir prestasi. Status saya
sebagai pemain tunggal yang tak terkalahkan membuat saya diundang
mengikuti turnamen paling bergengsi: All England, pada 1959.
Kejuaraan ini memiliki arti penting dalam karier bulu tangkis saya.
Inilah untuk pertama kalinya pemain Indonesia juara tunggal putra di
turnamen perorangan tertua di dunia. Sebenarnya siapa pun yang menjadi
juara saat itu pastilah dari Indonesia. Sebab, lawan saya di final
adalah Ferry Sonneville.
Setelah menjuarai All England, berturut-turut selama dua pekan saya ikut
kejuaraan Kanada Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di dua
pertandingan itu, lagi-lagi saya menang. Gambar saya menjadi sampul
majalah olahraga Canadian Sport. Nama saya dan Indonesia juga diulas dua
halaman di majalah Sport Illustrated. ”Wonderful World of Sports. Tan
Joe Hok Takes Detroit,” tulis majalah terbitan 13 April 1959 itu.
Sukses mempertahankan Piala Thomas pada 1961, saya mendapat tanda jasa
Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bung Karno berkata
kepada saya, ”Saya bangga, banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti
kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari.”
Sambil menunjuk-nunjuk, beliau melanjutkan, ”I will give you a
scholarship.”
Ketika saya kembali ke Amerika untuk kuliah, saya kaget menerima surat
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai
US$ 1.000. Ini jumlah yang sangat besar saat itu, setara dengan setengah
harga mobil Impala terbaru. Saya bingung uang itu mau diapakan. Saya
merasa tak berhak menerima karena saya sudah kuliah di Baylor
University, Texas, lewat program beasiswa. Saya juga bisa mencari uang
dengan bekerja di kampus. Akhirnya uang itu saya kembalikan. Bagi saya,
menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada
sejumlah uang.
0 komentar:
Post a Comment