SoldatenKaffee dan Trauma Ke-Indonesia-an
Jika ada yang bertemu dengan pemilik SoldatenKaffee yang mengadopsi elemen-elemen Nazi, Anda bisa bertanya sembari berkelakar: “Anda Nazi? Kok kulitnya cokelat?”
Hitler, seperti yang sudah diketahui banyak orang, bukan hanya membenci ras Yahudi, tapi juga percaya bahwa ras Arya adalah ras yang paling superior. Semua orang Eropa berkulit putih, selama tak tercampur darah Yahudi, dimasukkan Hitler ke dalam ras Arya.
Di luar itu adalah ras kelas dua. Itu sebabnya rezim fasis Jerman saat itu melarang orang-orang Jerman melakukan perkawinan antar-ras. Sekali seorang Arya kawin dengan ras lain, maka keturunannya tak lagi murni.
Pandangan Hitler terhadap ras-ras selain Yahudi tidak begitu solid. Orang kulit hitam di Jerman tidak dibenci dengan level yang sama seperti Yahudi, tapi mereka banyak juga yang dieksekusi, dijadikan subjek eksperimen ilmiah, dan dianiaya.
Bagaimana dengan orang Asia? Sama saja. Tetap dianggap sebagai ras kelas dua. Kecuali bangsa Jepang. Orang-orang Jepang di Jerman saat itu diberi status kehormatan sebagai ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.
Itulah sebabnya, orang-orang kulit berwarna yang (katakanlah) senang berkumpul di SoldatenKaffee, boleh jadi akan masuk daftar pembantaian seandainya: 1) Hitler benar-benar jadi reich yang menguasai dunia dan 2) tak ada Jepang yang saat itu jadi kolega Jerman dalam mengusung ideologi fasisme.
(Tentu saja historiografi tak mengenal kata “seandainya”. Tapi, seperti yang pernah dikatakan Guru Besar Sejarah UGM Kuntowijoyo, “pengandaian” masih ada gunanya terutama untuk mempertajam perspektif kita terhadap sejarah.)
Di artikel sebelumnya, saya sudah menguraikan perspektif sejarah singkat mengapa tidak ada “tabu Nazi” di Indonesia. Saya tidak akan mengulangi perspektif yang saya pakai di artikel pertama. Anda tinggal membacanya kembali.
Kali ini, guna mempertajam argumentasi di artikel pertama, saya ingin mengatakan bahwa memang bukan pemilik SoldatenKaffee dan para pengunjung kafe itu yang berbahaya.
Toh mereka adalah orang-orang kulit berwarna — yang karenanya, dalam pandangan Hitler, tidak lebih baik dari Yahudi alias sama-sama ras kelas dua.
Dan itulah sebabnya mereka tak punya argumentasi untuk merasa lebih superior dari orang Yahudi, apalagi untuk membantainya. Jika mereka pergi ke negara-negara yang banyak dihuni kelompok neo-Nazi, mereka juga akan jadi sasaran kebencian, sebagaimana nasib semua pendatang.
Di Indonesia, tempat SoldatenKaffee berada, bukan pemilik dan pengunjung kafe itu yang menjadi ancaman bagi Yahudi atau Israel. Yang kerap menggunakan retorika anti-Yahudi justru antara lain kader-kader Partai Keadilan Sejahtera, Front Pembela Islam, dan kelompok Islam militan lainnya.
Sikap anti-Yahudi mereka kadang-kadang sukar dibedakan dengan kebencian yang membabibuta. Sedikit-sedikit menyalahkan Yahudi, sedikit-sedikit menyalahkan Israel, sedikit-sedikit menyalahkan zionisme.
Dan, bukan sekali-dua saya menemukan, kadang tak jelas lagi beda antara Yahudi, Israel dan zionisme. Pukul rata begitu saja. Mau bagaimana lagi? Orang yang enggan berpikir sering kali justru mahir menemukan alasan apa pun.
Di artikel pertama, saya menyebut SoldatenKaffee tak ubahnya seperti sebuah kartu pos bergambar fasisme. Karena di sini, di Indonesia ini, fasisme yang menggunakan simbol-simbol Nazi memang tidak ada. Fasisme Nazi tidak pernah menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia pascakemerdekaan.
Tabu Nazi adalah tabu Eropa dan trauma Nazi adalah trauma Eropa. Bukan sekadar karena korban terbesar Nazi juga terjadi di Eropa, tapi Nazi sendiri memang serupa “aib” yang jadi lubang hitam yang merongrong keagungan gagasan Pencerahan Eropa, tentang Eropa yang humanis, tentang Eropa yang beradab.
Bukan berarti saya setuju dengan pembantaian Yahudi yang dilakukan Hitler. Karena yang mati adalah Yahudi Eropa, maka kita tidak patut marah, bukan begitu.
Poinnya adalah: kita memang tidak patut mengalami trauma — apalagi jadi paranoid — untuk apa yang tidak kita alami (dalam hal ini kejahatan fasisme Nazi).
Saya menolak trauma dan paranoia terhadap simbol-simbol Nazi karena itu bukan trauma dan paranoia saya. Trauma dan paranoia tidak bisa dipaksakan, bukan?
Trauma dan paranoia saya adalah penguasa negeri ini yang membantai jutaan orang yang diduga komunis tanpa proses peradilan. Trauma dan paranoia saya adalah serbuan bersenjata terhadap orang Timor Leste dalam insiden Santa Cruz dua dekade lalu, juga terhadap orang-orang Aceh yang dibantai di masa Daerah Operasi Militer, juga terhadap orang dan aktivis Papua saat ini.
Trauma dan paranoia saya adalah militer yang dengan mudahnya membantai mereka yang bertato pada awal 1980-an dalam proyek keji Penembakan Misterius (Petrus). Trauma dan paranoia saya adalah negara yang bertindak keji pada orang-orang Islam di Talangsari, 1989, dan Tanjung Priok, 1984.
Trauma dan paranoia saya adalah massa buas nan rasis yang membakari toko-toko di Jakarta dan bahkan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa di jalanan pada Mei 1998.
Trauma dan paranoia saya adalah para suporter yang memukuli mobil dari kota lain atau suporter yang menyanyikan yel-yel kelompoknya saat masuk penjara gara-gara membunuh suporter lawan.
Trauma dan paranoia saya adalah mereka yang berteriak “Allahu akbar” saat membantai jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan membakari rumah milik umat Syiah di Sampang. Trauma dan paranoia saya adalah para laskar yang tanpa ba-bi-bu memukuli orang-orang yang makan di siang hari di bulan Ramadan.
Saya mengalami trauma dan jadi paranoid karena di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu siapa saja bisa jadi korban. Kemarin orang lain, hari ini kenalan jauh, besok mungkin saya, lusa mungkin Anda. Kita tak akan pernah tahu sampai kemudian mengalaminya. Semoga saja tidak.
Dan di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu, apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?
Saya berusaha tidak takut pada simbol, karena saya tak pernah ingin memuja simbol.
Jika ada yang bertemu dengan pemilik SoldatenKaffee yang mengadopsi elemen-elemen Nazi, Anda bisa bertanya sembari berkelakar: “Anda Nazi? Kok kulitnya cokelat?”
Hitler, seperti yang sudah diketahui banyak orang, bukan hanya membenci ras Yahudi, tapi juga percaya bahwa ras Arya adalah ras yang paling superior. Semua orang Eropa berkulit putih, selama tak tercampur darah Yahudi, dimasukkan Hitler ke dalam ras Arya.
Di luar itu adalah ras kelas dua. Itu sebabnya rezim fasis Jerman saat itu melarang orang-orang Jerman melakukan perkawinan antar-ras. Sekali seorang Arya kawin dengan ras lain, maka keturunannya tak lagi murni.
Pandangan Hitler terhadap ras-ras selain Yahudi tidak begitu solid. Orang kulit hitam di Jerman tidak dibenci dengan level yang sama seperti Yahudi, tapi mereka banyak juga yang dieksekusi, dijadikan subjek eksperimen ilmiah, dan dianiaya.
Bagaimana dengan orang Asia? Sama saja. Tetap dianggap sebagai ras kelas dua. Kecuali bangsa Jepang. Orang-orang Jepang di Jerman saat itu diberi status kehormatan sebagai ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.
Itulah sebabnya, orang-orang kulit berwarna yang (katakanlah) senang berkumpul di SoldatenKaffee, boleh jadi akan masuk daftar pembantaian seandainya: 1) Hitler benar-benar jadi reich yang menguasai dunia dan 2) tak ada Jepang yang saat itu jadi kolega Jerman dalam mengusung ideologi fasisme.
(Tentu saja historiografi tak mengenal kata “seandainya”. Tapi, seperti yang pernah dikatakan Guru Besar Sejarah UGM Kuntowijoyo, “pengandaian” masih ada gunanya terutama untuk mempertajam perspektif kita terhadap sejarah.)
Di artikel sebelumnya, saya sudah menguraikan perspektif sejarah singkat mengapa tidak ada “tabu Nazi” di Indonesia. Saya tidak akan mengulangi perspektif yang saya pakai di artikel pertama. Anda tinggal membacanya kembali.
Kali ini, guna mempertajam argumentasi di artikel pertama, saya ingin mengatakan bahwa memang bukan pemilik SoldatenKaffee dan para pengunjung kafe itu yang berbahaya.
Toh mereka adalah orang-orang kulit berwarna — yang karenanya, dalam pandangan Hitler, tidak lebih baik dari Yahudi alias sama-sama ras kelas dua.
Dan itulah sebabnya mereka tak punya argumentasi untuk merasa lebih superior dari orang Yahudi, apalagi untuk membantainya. Jika mereka pergi ke negara-negara yang banyak dihuni kelompok neo-Nazi, mereka juga akan jadi sasaran kebencian, sebagaimana nasib semua pendatang.
Di Indonesia, tempat SoldatenKaffee berada, bukan pemilik dan pengunjung kafe itu yang menjadi ancaman bagi Yahudi atau Israel. Yang kerap menggunakan retorika anti-Yahudi justru antara lain kader-kader Partai Keadilan Sejahtera, Front Pembela Islam, dan kelompok Islam militan lainnya.
Sikap anti-Yahudi mereka kadang-kadang sukar dibedakan dengan kebencian yang membabibuta. Sedikit-sedikit menyalahkan Yahudi, sedikit-sedikit menyalahkan Israel, sedikit-sedikit menyalahkan zionisme.
Dan, bukan sekali-dua saya menemukan, kadang tak jelas lagi beda antara Yahudi, Israel dan zionisme. Pukul rata begitu saja. Mau bagaimana lagi? Orang yang enggan berpikir sering kali justru mahir menemukan alasan apa pun.
Di artikel pertama, saya menyebut SoldatenKaffee tak ubahnya seperti sebuah kartu pos bergambar fasisme. Karena di sini, di Indonesia ini, fasisme yang menggunakan simbol-simbol Nazi memang tidak ada. Fasisme Nazi tidak pernah menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia pascakemerdekaan.
Tabu Nazi adalah tabu Eropa dan trauma Nazi adalah trauma Eropa. Bukan sekadar karena korban terbesar Nazi juga terjadi di Eropa, tapi Nazi sendiri memang serupa “aib” yang jadi lubang hitam yang merongrong keagungan gagasan Pencerahan Eropa, tentang Eropa yang humanis, tentang Eropa yang beradab.
Bukan berarti saya setuju dengan pembantaian Yahudi yang dilakukan Hitler. Karena yang mati adalah Yahudi Eropa, maka kita tidak patut marah, bukan begitu.
Poinnya adalah: kita memang tidak patut mengalami trauma — apalagi jadi paranoid — untuk apa yang tidak kita alami (dalam hal ini kejahatan fasisme Nazi).
Saya menolak trauma dan paranoia terhadap simbol-simbol Nazi karena itu bukan trauma dan paranoia saya. Trauma dan paranoia tidak bisa dipaksakan, bukan?
Trauma dan paranoia saya adalah penguasa negeri ini yang membantai jutaan orang yang diduga komunis tanpa proses peradilan. Trauma dan paranoia saya adalah serbuan bersenjata terhadap orang Timor Leste dalam insiden Santa Cruz dua dekade lalu, juga terhadap orang-orang Aceh yang dibantai di masa Daerah Operasi Militer, juga terhadap orang dan aktivis Papua saat ini.
Trauma dan paranoia saya adalah militer yang dengan mudahnya membantai mereka yang bertato pada awal 1980-an dalam proyek keji Penembakan Misterius (Petrus). Trauma dan paranoia saya adalah negara yang bertindak keji pada orang-orang Islam di Talangsari, 1989, dan Tanjung Priok, 1984.
Trauma dan paranoia saya adalah massa buas nan rasis yang membakari toko-toko di Jakarta dan bahkan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa di jalanan pada Mei 1998.
Trauma dan paranoia saya adalah para suporter yang memukuli mobil dari kota lain atau suporter yang menyanyikan yel-yel kelompoknya saat masuk penjara gara-gara membunuh suporter lawan.
Trauma dan paranoia saya adalah mereka yang berteriak “Allahu akbar” saat membantai jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan membakari rumah milik umat Syiah di Sampang. Trauma dan paranoia saya adalah para laskar yang tanpa ba-bi-bu memukuli orang-orang yang makan di siang hari di bulan Ramadan.
Saya mengalami trauma dan jadi paranoid karena di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu siapa saja bisa jadi korban. Kemarin orang lain, hari ini kenalan jauh, besok mungkin saya, lusa mungkin Anda. Kita tak akan pernah tahu sampai kemudian mengalaminya. Semoga saja tidak.
Dan di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu, apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?
Saya berusaha tidak takut pada simbol, karena saya tak pernah ingin memuja simbol.
0 komentar:
Post a Comment