Bertemu Orang Belanda yang Merancang Game "Indonesia"
Saking sulitnya ditemukan, game berjudul "Indonesia" bagai mahluk mitologi monster Loch Ness dan sejenisnya. Maka betapa mengejutkan pengalaman bertemu pria Belanda yang merancang game itu.
Pertemuan itu terjadi pada hari pertama pameran internasional Essen Spiel '14, pameran tabletop games terbesar di dunia. Sebenarnya, tanggal 16 Oktober 2014 itu adalah hari kedua keterlibatan delegasi Indonesia di Internationale Spieltage 2014.
Hari sebelumnya adalah hari khusus industri dan media massa. Penerbit yang memiliki game baru berhak memamerkan game mereka di ruang khusus di lantai dua arena Messe Essen.
Termasuk tentunya pihak Manikmaya Games, penerbit game asal Bandung yang menjadi bagian dari delegasi Indonesia, bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di acara itu.
Bagi yang baru pertama kali ke acara tersebut, arena Messe Essen bisa cukup membingungkan. Arena 58.000 meter persegi bukan wilayah yang kecil untuk ditelusuri, apalagi dengan layout pameran yang penuh lorong-lorong kecil antar booth.
Hal itu yang saya alami juga. Apalagi, sebagai seorang yang menggemari permainan tabletop jenis boardgame dan card game, setiap booth yang dilewati seakan berteriak meminta perhatian.
Maka jelang sore hari waktu setempat, saya menyempatkan diri untuk "beristirahat" di booth Indonesia. Tentu saja ini berarti harus sambil melayani pertanyaan dan ajakan main dari pengunjung yang datang.
Jangan salah, hal itu tentu saja saya lakukan dengan semangat dan senang hati. Bukan apa-apa, kapan lagi punya kesempatan bermain Mat Goceng yang penuh tipu-tipu itu dengan pengunjung yang mayoritas "bule"?
Pria Berbaju Biru yang Misterius
Sore itu, sekitar pukul 15:00 waktu setempat, kebetulan ada beberapa pengunjung yang antusias mencoba Mahardika. Game rancangan Rio Frederrico ini memang masih belum tersedia untuk dijual, namun sudah cukup mengundang minat pengunjung.
Selesai playtesting, saya dan Rio berbincang di sekelilling meja yang masih menampilkan papan Mahardika (berupa peta Indonesia) dan beberapa komponen serta buku peraturan game tersebut.
Seorang pria berkemeja biru tiba-tiba mendekati booth Indonesia. Setelah tersenyum padanya, saya tidak terlalu memperhatikan lagi pria itu.
Tabiat seperti itu memang kerap dilakukan para pengunjung Essen Spiel, sekadar memerhatikan sebuah booth, lihat-lihat dengan intensif, lalu segera berlalu seakan-akan tiba-tiba teringat akan suatu janji.
Namun kali ini berbeda, pria itu kemudian kembali mendekat, dan meminjam rulebook Mahardika.
"Boleh saya pinjam?" ujar pria itu, dalam Bahasa Inggris tentunya.
"Silahkan," jawab kami, nyaris serempak.
Beberapa menit kemudian, kami masih asyik berbincang, pria itu kembali mendekat. Mungkin sudah selesai membaca atau apa.
"Mau tahu lebih lanjut? Silahkan duduk," kata saya.
"Ya, ya. Tentu saja," ujarnya.
Rio pun menjelaskan sekilas tentang Mahardika, tentang apa permainan itu dan garis besar cara bermainnya.
"Saya baru tahu," kata pria itu, "ternyata ada yang membuat boardgame juga di Indonesia."
"Ini memang baru pertama kali kami hadir di Essen," kata saya.
"Menarik sekali. Saya dulu pernah membuat boardgame berjudul 'Indonesia'," lanjutnya.
Jreng! Saya dan Rio terdiam sejenak, seperti tidak percaya apa yang baru saja kami dengar.
Lebih dari Menemukan 'Cawan Suci'
"Anda yang merancang boardgame 'Indonesia'?" tanya saya setengah tidak percaya.
Kali ini saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan saya. Tawa kami pun meledak, entah mengapa. Mungkin semacam kompensasi dari rasa kaget itu.
Mungkin perlu saya jelaskan dulu sebelumnya. Boardgame 'Indonesia' merupakan game yang sudah tidak ada di pasaran. Game itu juga sulit ditemui di pasar loak Eropa, apalagi di Indonesia.
Bagi orang Indonesia yang menggemari boardgame, game 'Indonesia' adalah sebuah legenda. Rasa penasaran soal game itu, seperti apa cara mainnya, siapa yang membuatnya, berkecamuk dalam pikiran sejak lama.
Bahkan, Eko Nugroho, CEO Kummara selaku induk dari Manikmaya Games, telah sering menjadikan 'Indonesia' sebagai contoh kasus.
"Ada lho, boardgame dengan judul 'Indonesia'. Dan yang bikin itu orang Belanda!" adalah kalimat yang sering ia lontarkan bagi orang yang baru 'belajar' boardgame.
Dan kini, entah berapa tahun sejak pertama kali saya mengetahui akan keberadaan boardgame itu, kami bertatap-tatapan langsung dengan pembuatnya.
Jika diibaratkan pencarian Indiana Jones akan cawan suci (dalam Indiana Jones and The Last Crusade, 1989), ini adalah ibaratnya bukan saja menemukan cawannya, tapi menemukan pembuat cawan itu sendiri.
Saya agak malu untuk mengakui apa yang terjadi setelah kami menyadari bahwa pria itu adalah perancang game 'Indonesia'. Karena yang kami lakukan berikutnya adalah meminta untuk berfoto bersama.
Ya, memang agak memalukan. Tapi mau bilang apa? Kalau Anda ketemu Yeti atau Big Foot -- dengan asumsi mahluk itu tak membunuh Anda terlebih dahulu -- hal pertama yang terpikir adalah untuk memotretnya kan?
Namanya Joris
Pria itu bernama Joris Wiersinga, sapaan akrabnya Joris (dibaca: Yoris). Dia adalah CEO dari sebuah perusahaan gamification bernama Silverfit.
Joris bukan orang biasa di dunia game, dia merupakan salah satu tokoh yang disegani, perancang game yang punya reputasi membuat game dengan aspek ekonomi yang rumit.
Joris, kelahiran Arnhem, Belanda, telah merancang game sejak usia muda. Game komputer pertama yang ia jual dibuat pada saat ia masih usia 14 tahun, menyusul beberapa tahun kemudian game tabletop.
Menurut data di Boardgamegeek, bersama dengan Jeroen Doumen, Tamara Jannink dan Herman Haverkort ia mendirikan Splotter Spellen. Perusahaan yang kemudian menerbitkan game 'Indonesia' rancangannya.
Joris dan Indonesia
Setelah selesai bertingkah seperti fanboy, kami kembali duduk di meja dan berusaha menggali lebih jauh hal apa yang membuat Joris merancang game dengan judul 'Indonesia'.
"Ya, salah satunya karena saya pernah tinggal di Indonesia," jawab Joris.
Dhuer! Lagi-lagi saya merasa kesamber gledek. Ini artinya, Joris bukan sekadar menempelkan Indonesia ke dalam mekanik game yang ia rancang, tapi ia memang sungguh punya kedekatan dengan Indonesia.
"Wow," kata saya setengah tidak percaya, "Anda pernah tinggal di Indonesia?"
"Waktu kecil, Ayah saya bekerja di Indonesia. Saya tinggal di Jakarta, Ayah saya bekerja di wilayah lain," ujar Joris.
Joris mengatakan, ia tinggal di area dekat Blok M dan Kebayoran. Ia masih kanak-kanak ketika itu, namun ia cukup punya kenangan tentang Indonesia.
Lahirnya Game 'Indonesia'
"Lalu, game 'Indonesia' itu, dibuat karena pengalaman Anda di Indonesia?" tanya saya.
"Tidak. Tapi, saya memang memulainya dari sebuah kejadian di Indonesia," tutur Joris.
"Ketika itu saya sedang berada di bandara, salah satu wilayah di Indonesia yang saya tidak ingat namanya. Tapi itu di wilayah timur," kata Joris.
"Kemudian, saya dapat pengumuman, pesawat mengalami penundaan. Penundaannya cukup lama, saya tidak ingat berapa jam, atau apakah saya sampai harus menginap satu malam lagi," lanjutnya.
Namun yang pasti, Joris mengatakan, penundaan itu membuatnya iseng dan ia akhirnya mencoret-coret ide sebuah boardgame. Sebuah peta Indonesia yang dilihatnya ketika itu turut memicu ide tersebut.
Menurut Joris, proses terjadinya game 'Indonesia' dari ide ke produksi terbilang cepat dibandingkan game-game lain dari Splotter Spellen. Ia menyebut hanya beberapa hari dibandingkan beberapa minggu yang biasanya dilakukan.
Rumit, Menuai Pujian
Game tersebut pun meraih perhatian yang cukup baik di kalangan penggemar boardgame. Bahkan, menurut Boardgamegeek, Game yang terbit di 2005 itu adalah finalis International Gamers Award pada 2006.
Joris menjelaskan, game itu memiliki tema ekonomi. Pemain bisa memiliki produksi (seperti karet, beras, makanan cepat saji atau minyak). Pemain juga bisa melakukan penelitian, hingga ada kemungkinan melakukan merger / akuisisi.
"Hal ini merupakan satu aspek yang cukup unik di boardgame. Sangat jarang game yang memungkinkan terjadinya merger antar pemain," ujar Joris.
Dari sisi temanya, game Indonesia bukan game pertama yang mencakup tema dari Indonesia. Sebelumnya ada game berjudul Java, terbit di 2000. Setelah 'Indonesia', ada juga game dengan judul Batavia yang terbit di 2008.
Bertemu 'Arch Enemy'
Di tengah-tengah perbincangan kami (Saya, Rio dan Joris) datanglah Eko Nugroho ke booth Indonesia, seusai menjalani meeting dengan beberapa publisher setempat.
Setelah mengetahui pria yang sedang berbincang dengan kami itu adalah Joris, perancang game 'Indonesia', Eko pun tak bisa menyembunyikan kekagetannya.
Ini adalah sosok yang buat Eko telah lama menjadi bagian dari kisah yang ia ceritakan ke para mahasiswa (Eko adalah dosen di Universitas Padjajaran) dan timnya di Kummara.
Ini adalah sosok yang bagaikan hantu, telah "dikejar-kejar" oleh Eko. Orang asing yang berani-beraninya membuat game dengan judul Indonesia.
Ini adalah sosok yang, jika mengambil perumpamaan dunia superhero, selama ini menjelma sebagai arch enemy alias 'musuh bebuyutan' dalam kepala Eko.
"Oke, oke. Anda harus bermain game lawan saya," ujar Eko.
Joris mengangkat bahu sambil tersenyum, menyetujui usulan Eko.
Pertarungan 'Vriejeman'
Tentunya, mereka tidak akan bermain Mahardika. Game dengan tema kemerdekaan Indonesia ini adalah game kerjasama, yang menempatkan semua pemain di sisi yang sama.
Tidak, keduanya harus bermain game yang mempertentangkan pemain satu sama lain. Maka game apalagi yang paling cocok kalau bukan Mat Goceng?
Setelah penjelasan singkat tentang cara bermain Mat Goceng, Eko memulai permainan sebagai orang pertama. Jelas, seperti sudah bisa diduga, Eko menantang Joris dalam duel pertamanya.
Awalnya, Joris seperti enggan, bertanya apakah ia bisa menolak tantangan. Tentu saja, ia bisa melakukan ini dengan membayarkan dua keping perak.
Dengan kemungkinan duel terhenti sebelum terjadi, Eko pun membujuk Joris untuk menerima tantangannya saja. Maka duel itu pun terjadi.
Jurus demi jurus dilancarkan kedua pihak, lewat kartu-kartu Mat Goceng. Tak lama, kartu keduanya tak bisa meneruskan pertarungan, fase negosiasi alot pun dimulai.
Duel Seru Penuh Janji
Lewat berbagai cara, negosiasi, tawar-menawar dan janji-janji, kartu-kartu pemain lain pun ikut turun ke arena duel. Pertarungan berlanjut hingga salah satu pihak akhirnya kalah.
Duel antara Eko dan Joris terjadi dua atau tiga kali, dan setiap kali terjadi selalu melibatkan seluruh pemain yang ada di meja, dan hampir semua kartu. Pada akhirnya Joris menyerah dan permainan selesai.
"Jadi, kamu menang dengan modal janji-janji belaka?" ujar Joris sambil tertawa.
Mat Goceng memang permainan yang menempatkan negosiasi dan tawar-menawar, serta gertakan, sebagai poros permainannya. Game ini secara cepat mengubah satu meja pemain yang tak saling kenal jadi lebih dekat, karena interaksi yang personal dan emosional.
Tentunya, setelah permainan selesai, apa yang terjadi selama permainan harus direlakan. Seperti lazimnya sebuah permainan, ada yang menang dan ada yang kalah. Pemenang tak perlu terlalu jumawa, yang kalah tak usah gusar.
Demikian pula dalam permainan Mat Goceng yang, jujur saja, merupakan panggung pertarungan Eko vs Joris itu. Pada akhirnya Eko pun mau tak lagi menempatkan sosok Joris sebagai arch enemy-nya.
Tentang Penulis: Wicak Hidayat adalah wartawan KompasTekno. Tulisan ini adalah bagian dari catatan perjalanannya ke Essen Spiel '14, 16-19 Oktober 2014 di Kota Essen, Jerman.
Saking sulitnya ditemukan, game berjudul "Indonesia" bagai mahluk mitologi monster Loch Ness dan sejenisnya. Maka betapa mengejutkan pengalaman bertemu pria Belanda yang merancang game itu.
Pertemuan itu terjadi pada hari pertama pameran internasional Essen Spiel '14, pameran tabletop games terbesar di dunia. Sebenarnya, tanggal 16 Oktober 2014 itu adalah hari kedua keterlibatan delegasi Indonesia di Internationale Spieltage 2014.
Hari sebelumnya adalah hari khusus industri dan media massa. Penerbit yang memiliki game baru berhak memamerkan game mereka di ruang khusus di lantai dua arena Messe Essen.
Termasuk tentunya pihak Manikmaya Games, penerbit game asal Bandung yang menjadi bagian dari delegasi Indonesia, bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, di acara itu.
Bagi yang baru pertama kali ke acara tersebut, arena Messe Essen bisa cukup membingungkan. Arena 58.000 meter persegi bukan wilayah yang kecil untuk ditelusuri, apalagi dengan layout pameran yang penuh lorong-lorong kecil antar booth.
Hal itu yang saya alami juga. Apalagi, sebagai seorang yang menggemari permainan tabletop jenis boardgame dan card game, setiap booth yang dilewati seakan berteriak meminta perhatian.
Maka jelang sore hari waktu setempat, saya menyempatkan diri untuk "beristirahat" di booth Indonesia. Tentu saja ini berarti harus sambil melayani pertanyaan dan ajakan main dari pengunjung yang datang.
Jangan salah, hal itu tentu saja saya lakukan dengan semangat dan senang hati. Bukan apa-apa, kapan lagi punya kesempatan bermain Mat Goceng yang penuh tipu-tipu itu dengan pengunjung yang mayoritas "bule"?
Pria Berbaju Biru yang Misterius
Sore itu, sekitar pukul 15:00 waktu setempat, kebetulan ada beberapa pengunjung yang antusias mencoba Mahardika. Game rancangan Rio Frederrico ini memang masih belum tersedia untuk dijual, namun sudah cukup mengundang minat pengunjung.
Selesai playtesting, saya dan Rio berbincang di sekelilling meja yang masih menampilkan papan Mahardika (berupa peta Indonesia) dan beberapa komponen serta buku peraturan game tersebut.
Seorang pria berkemeja biru tiba-tiba mendekati booth Indonesia. Setelah tersenyum padanya, saya tidak terlalu memperhatikan lagi pria itu.
Tabiat seperti itu memang kerap dilakukan para pengunjung Essen Spiel, sekadar memerhatikan sebuah booth, lihat-lihat dengan intensif, lalu segera berlalu seakan-akan tiba-tiba teringat akan suatu janji.
Namun kali ini berbeda, pria itu kemudian kembali mendekat, dan meminjam rulebook Mahardika.
"Boleh saya pinjam?" ujar pria itu, dalam Bahasa Inggris tentunya.
"Silahkan," jawab kami, nyaris serempak.
Beberapa menit kemudian, kami masih asyik berbincang, pria itu kembali mendekat. Mungkin sudah selesai membaca atau apa.
"Mau tahu lebih lanjut? Silahkan duduk," kata saya.
"Ya, ya. Tentu saja," ujarnya.
Rio pun menjelaskan sekilas tentang Mahardika, tentang apa permainan itu dan garis besar cara bermainnya.
"Saya baru tahu," kata pria itu, "ternyata ada yang membuat boardgame juga di Indonesia."
"Ini memang baru pertama kali kami hadir di Essen," kata saya.
"Menarik sekali. Saya dulu pernah membuat boardgame berjudul 'Indonesia'," lanjutnya.
Jreng! Saya dan Rio terdiam sejenak, seperti tidak percaya apa yang baru saja kami dengar.
Lebih dari Menemukan 'Cawan Suci'
"Anda yang merancang boardgame 'Indonesia'?" tanya saya setengah tidak percaya.
Kali ini saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan saya. Tawa kami pun meledak, entah mengapa. Mungkin semacam kompensasi dari rasa kaget itu.
Mungkin perlu saya jelaskan dulu sebelumnya. Boardgame 'Indonesia' merupakan game yang sudah tidak ada di pasaran. Game itu juga sulit ditemui di pasar loak Eropa, apalagi di Indonesia.
Bagi orang Indonesia yang menggemari boardgame, game 'Indonesia' adalah sebuah legenda. Rasa penasaran soal game itu, seperti apa cara mainnya, siapa yang membuatnya, berkecamuk dalam pikiran sejak lama.
Bahkan, Eko Nugroho, CEO Kummara selaku induk dari Manikmaya Games, telah sering menjadikan 'Indonesia' sebagai contoh kasus.
"Ada lho, boardgame dengan judul 'Indonesia'. Dan yang bikin itu orang Belanda!" adalah kalimat yang sering ia lontarkan bagi orang yang baru 'belajar' boardgame.
Dan kini, entah berapa tahun sejak pertama kali saya mengetahui akan keberadaan boardgame itu, kami bertatap-tatapan langsung dengan pembuatnya.
Jika diibaratkan pencarian Indiana Jones akan cawan suci (dalam Indiana Jones and The Last Crusade, 1989), ini adalah ibaratnya bukan saja menemukan cawannya, tapi menemukan pembuat cawan itu sendiri.
Saya agak malu untuk mengakui apa yang terjadi setelah kami menyadari bahwa pria itu adalah perancang game 'Indonesia'. Karena yang kami lakukan berikutnya adalah meminta untuk berfoto bersama.
Ya, memang agak memalukan. Tapi mau bilang apa? Kalau Anda ketemu Yeti atau Big Foot -- dengan asumsi mahluk itu tak membunuh Anda terlebih dahulu -- hal pertama yang terpikir adalah untuk memotretnya kan?
Namanya Joris
Pria itu bernama Joris Wiersinga, sapaan akrabnya Joris (dibaca: Yoris). Dia adalah CEO dari sebuah perusahaan gamification bernama Silverfit.
Joris bukan orang biasa di dunia game, dia merupakan salah satu tokoh yang disegani, perancang game yang punya reputasi membuat game dengan aspek ekonomi yang rumit.
Joris, kelahiran Arnhem, Belanda, telah merancang game sejak usia muda. Game komputer pertama yang ia jual dibuat pada saat ia masih usia 14 tahun, menyusul beberapa tahun kemudian game tabletop.
Menurut data di Boardgamegeek, bersama dengan Jeroen Doumen, Tamara Jannink dan Herman Haverkort ia mendirikan Splotter Spellen. Perusahaan yang kemudian menerbitkan game 'Indonesia' rancangannya.
Joris dan Indonesia
Setelah selesai bertingkah seperti fanboy, kami kembali duduk di meja dan berusaha menggali lebih jauh hal apa yang membuat Joris merancang game dengan judul 'Indonesia'.
"Ya, salah satunya karena saya pernah tinggal di Indonesia," jawab Joris.
Dhuer! Lagi-lagi saya merasa kesamber gledek. Ini artinya, Joris bukan sekadar menempelkan Indonesia ke dalam mekanik game yang ia rancang, tapi ia memang sungguh punya kedekatan dengan Indonesia.
"Wow," kata saya setengah tidak percaya, "Anda pernah tinggal di Indonesia?"
"Waktu kecil, Ayah saya bekerja di Indonesia. Saya tinggal di Jakarta, Ayah saya bekerja di wilayah lain," ujar Joris.
Joris mengatakan, ia tinggal di area dekat Blok M dan Kebayoran. Ia masih kanak-kanak ketika itu, namun ia cukup punya kenangan tentang Indonesia.
Lahirnya Game 'Indonesia'
"Lalu, game 'Indonesia' itu, dibuat karena pengalaman Anda di Indonesia?" tanya saya.
"Tidak. Tapi, saya memang memulainya dari sebuah kejadian di Indonesia," tutur Joris.
"Ketika itu saya sedang berada di bandara, salah satu wilayah di Indonesia yang saya tidak ingat namanya. Tapi itu di wilayah timur," kata Joris.
"Kemudian, saya dapat pengumuman, pesawat mengalami penundaan. Penundaannya cukup lama, saya tidak ingat berapa jam, atau apakah saya sampai harus menginap satu malam lagi," lanjutnya.
Namun yang pasti, Joris mengatakan, penundaan itu membuatnya iseng dan ia akhirnya mencoret-coret ide sebuah boardgame. Sebuah peta Indonesia yang dilihatnya ketika itu turut memicu ide tersebut.
Menurut Joris, proses terjadinya game 'Indonesia' dari ide ke produksi terbilang cepat dibandingkan game-game lain dari Splotter Spellen. Ia menyebut hanya beberapa hari dibandingkan beberapa minggu yang biasanya dilakukan.
Rumit, Menuai Pujian
Game tersebut pun meraih perhatian yang cukup baik di kalangan penggemar boardgame. Bahkan, menurut Boardgamegeek, Game yang terbit di 2005 itu adalah finalis International Gamers Award pada 2006.
Joris menjelaskan, game itu memiliki tema ekonomi. Pemain bisa memiliki produksi (seperti karet, beras, makanan cepat saji atau minyak). Pemain juga bisa melakukan penelitian, hingga ada kemungkinan melakukan merger / akuisisi.
"Hal ini merupakan satu aspek yang cukup unik di boardgame. Sangat jarang game yang memungkinkan terjadinya merger antar pemain," ujar Joris.
Dari sisi temanya, game Indonesia bukan game pertama yang mencakup tema dari Indonesia. Sebelumnya ada game berjudul Java, terbit di 2000. Setelah 'Indonesia', ada juga game dengan judul Batavia yang terbit di 2008.
Bertemu 'Arch Enemy'
Di tengah-tengah perbincangan kami (Saya, Rio dan Joris) datanglah Eko Nugroho ke booth Indonesia, seusai menjalani meeting dengan beberapa publisher setempat.
Setelah mengetahui pria yang sedang berbincang dengan kami itu adalah Joris, perancang game 'Indonesia', Eko pun tak bisa menyembunyikan kekagetannya.
Ini adalah sosok yang buat Eko telah lama menjadi bagian dari kisah yang ia ceritakan ke para mahasiswa (Eko adalah dosen di Universitas Padjajaran) dan timnya di Kummara.
Ini adalah sosok yang bagaikan hantu, telah "dikejar-kejar" oleh Eko. Orang asing yang berani-beraninya membuat game dengan judul Indonesia.
Ini adalah sosok yang, jika mengambil perumpamaan dunia superhero, selama ini menjelma sebagai arch enemy alias 'musuh bebuyutan' dalam kepala Eko.
"Oke, oke. Anda harus bermain game lawan saya," ujar Eko.
Joris mengangkat bahu sambil tersenyum, menyetujui usulan Eko.
Pertarungan 'Vriejeman'
Tentunya, mereka tidak akan bermain Mahardika. Game dengan tema kemerdekaan Indonesia ini adalah game kerjasama, yang menempatkan semua pemain di sisi yang sama.
Tidak, keduanya harus bermain game yang mempertentangkan pemain satu sama lain. Maka game apalagi yang paling cocok kalau bukan Mat Goceng?
Setelah penjelasan singkat tentang cara bermain Mat Goceng, Eko memulai permainan sebagai orang pertama. Jelas, seperti sudah bisa diduga, Eko menantang Joris dalam duel pertamanya.
Awalnya, Joris seperti enggan, bertanya apakah ia bisa menolak tantangan. Tentu saja, ia bisa melakukan ini dengan membayarkan dua keping perak.
Dengan kemungkinan duel terhenti sebelum terjadi, Eko pun membujuk Joris untuk menerima tantangannya saja. Maka duel itu pun terjadi.
Jurus demi jurus dilancarkan kedua pihak, lewat kartu-kartu Mat Goceng. Tak lama, kartu keduanya tak bisa meneruskan pertarungan, fase negosiasi alot pun dimulai.
Duel Seru Penuh Janji
Lewat berbagai cara, negosiasi, tawar-menawar dan janji-janji, kartu-kartu pemain lain pun ikut turun ke arena duel. Pertarungan berlanjut hingga salah satu pihak akhirnya kalah.
Duel antara Eko dan Joris terjadi dua atau tiga kali, dan setiap kali terjadi selalu melibatkan seluruh pemain yang ada di meja, dan hampir semua kartu. Pada akhirnya Joris menyerah dan permainan selesai.
"Jadi, kamu menang dengan modal janji-janji belaka?" ujar Joris sambil tertawa.
Mat Goceng memang permainan yang menempatkan negosiasi dan tawar-menawar, serta gertakan, sebagai poros permainannya. Game ini secara cepat mengubah satu meja pemain yang tak saling kenal jadi lebih dekat, karena interaksi yang personal dan emosional.
Tentunya, setelah permainan selesai, apa yang terjadi selama permainan harus direlakan. Seperti lazimnya sebuah permainan, ada yang menang dan ada yang kalah. Pemenang tak perlu terlalu jumawa, yang kalah tak usah gusar.
Demikian pula dalam permainan Mat Goceng yang, jujur saja, merupakan panggung pertarungan Eko vs Joris itu. Pada akhirnya Eko pun mau tak lagi menempatkan sosok Joris sebagai arch enemy-nya.
Tentang Penulis: Wicak Hidayat adalah wartawan KompasTekno. Tulisan ini adalah bagian dari catatan perjalanannya ke Essen Spiel '14, 16-19 Oktober 2014 di Kota Essen, Jerman.
0 komentar:
Post a Comment