Lee Kuan Yeuw Tentang Kematian
Bisa hidup di dunia ini tentu saja baik, tapi pada akhirnya orang pasti mati. Selagi muda, siapa yang bersedia untuk mempertimbangkan kematian? Namun, saya sudah 89 tahun, dan saya harus menghadapi topik ini. Yang selalu saya pikirkan adalah bagaimana saya mati.
Kehidupanku akan berakhir seketika berbarengan dengan berhentinya detak jantungku, atau terbaring sakit jangka panjang, perlahan-lahan habis? Saya tentu berharap untuk bisa terjadi dengan cepat.
Belum lama ini, saya melakukan direktif medis di depan (Advanced Medical Directive), yang berarti bahwa jika suatu hari saya jatuh ke dalam kondisi mempertahankan- kehidupan tetapi harus 'intubasi' dgn alat2 medis untuk bertahan 'hidup' dimana adalah mustahil untuk bisa mengembalikan kesehatan, maka saya membuat pra-instruksi memberi otorisasi penuh kepada dokter untuk 'ekstubasi' saya dan tidak terus mempertahankannya, sehingga saya bisa mati sedikit sewajarnya. Saya dan pengacara saya serta dokter saya telah menyatakannya dalam sebuah dokumen kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Jika saya tidak menandatangani hal ini, maka di kemudian hari jika hal ini terjadi, dokter akan melakukan segala upaya untuk mempertahankan napas saya, dan peristiwa seperti ini saya telah melihat terlalu banyak.
Ipar saya bertahan hidup beberapa tahun di rumahnya dengan peralatan pipa2 medis di tubuhnya, padahal istrinya juga tidak terlalu sehat. Tapi, apa gunanya semua itu?
Dokter dan anggota keluarga pasien beranggapan bahwa selama masih ada napas, bisa dipertahankan akan berupaya keras mempertahankannya. Untuk ini saya tidak setuju. Jika manusia pasti akan mati, maka ketika tiba waktuku, saya berharap kematianku datangnya cepat; tidak dengan pipa2 selang yg dimasukkan dari lubang hidung ke dalam perut? Tidak mengenal orang bagaikan 'manusia pohon' yang tersisa adalah nafasnya. Hidup seperti ini, adalah sama saja dengan mayat yang bernapas.
Saya datang ke dunia ini, bukan untuk mengeksplorasi apa arti hidup, apalagi membahas panjang lebar dan mendalam daripadanya, makna hidup saya adalah melakukan yang ingin saya lakukan, dan saya selalu melakukan yang terbaik, sehingga saya sangat puas, tidak menyesal.
Sekarang hari2 saya adalah dijalani hari demi hari. Saya sekarang sudah tidak mampu lagi di sore terik matahari jam 2 menemui warga Singapura, berjabat tangan dengan mereka dan berbincang- bincang dengan mereka. 20, 30 tahun yang lalu, saya bisa melakukan hal-hal ini, dan sekarang saya benar-benar sudah tidak mampu. Harus taat akan hukum-hukum alam, orang menjadi tua, fisik melemah. Kadang-kadang sekretaris saya akan bertanya, atau meminta saya untuk membatalkan beberapa pertemuan dan menganjurkan saya untuk beristirahat. Kadang-kadang saya akan mengatakan, oke, saya beristirahat 15 menit dulu. Tapi kadang-kadang, saya akan mengatakan, baik, batalkan saja, saya benar2 terlalu lelah. Walaupun saya adalah orang yang ketat disiplin diri, makan sehat dan olahraga teratur, saya kini adalah orang tua yang grafiknya sedang berjalan turun, benar2 tidak berdaya.........
(catatan penerjemah: Lee Kuan Yew didampingi istrinya 63 tahun, istrinya meninggal 2 Juni 2010 karena sakit. Dalam buku aslinya, Lee Kuan Yeuw dengan rambutnya yang putih perak dan setelan jas hitamnya, sebelum menutup peti mati mendampingi istrinya meletakkan mawar dan ciuman terakhir, terlihat sedih, menyentuh)
Bisa hidup di dunia ini tentu saja baik, tapi pada akhirnya orang pasti mati. Selagi muda, siapa yang bersedia untuk mempertimbangkan kematian? Namun, saya sudah 89 tahun, dan saya harus menghadapi topik ini. Yang selalu saya pikirkan adalah bagaimana saya mati.
Kehidupanku akan berakhir seketika berbarengan dengan berhentinya detak jantungku, atau terbaring sakit jangka panjang, perlahan-lahan habis? Saya tentu berharap untuk bisa terjadi dengan cepat.
Belum lama ini, saya melakukan direktif medis di depan (Advanced Medical Directive), yang berarti bahwa jika suatu hari saya jatuh ke dalam kondisi mempertahankan- kehidupan tetapi harus 'intubasi' dgn alat2 medis untuk bertahan 'hidup' dimana adalah mustahil untuk bisa mengembalikan kesehatan, maka saya membuat pra-instruksi memberi otorisasi penuh kepada dokter untuk 'ekstubasi' saya dan tidak terus mempertahankannya, sehingga saya bisa mati sedikit sewajarnya. Saya dan pengacara saya serta dokter saya telah menyatakannya dalam sebuah dokumen kesepakatan yang telah ditandatangani bersama. Jika saya tidak menandatangani hal ini, maka di kemudian hari jika hal ini terjadi, dokter akan melakukan segala upaya untuk mempertahankan napas saya, dan peristiwa seperti ini saya telah melihat terlalu banyak.
Ipar saya bertahan hidup beberapa tahun di rumahnya dengan peralatan pipa2 medis di tubuhnya, padahal istrinya juga tidak terlalu sehat. Tapi, apa gunanya semua itu?
Dokter dan anggota keluarga pasien beranggapan bahwa selama masih ada napas, bisa dipertahankan akan berupaya keras mempertahankannya. Untuk ini saya tidak setuju. Jika manusia pasti akan mati, maka ketika tiba waktuku, saya berharap kematianku datangnya cepat; tidak dengan pipa2 selang yg dimasukkan dari lubang hidung ke dalam perut? Tidak mengenal orang bagaikan 'manusia pohon' yang tersisa adalah nafasnya. Hidup seperti ini, adalah sama saja dengan mayat yang bernapas.
Saya datang ke dunia ini, bukan untuk mengeksplorasi apa arti hidup, apalagi membahas panjang lebar dan mendalam daripadanya, makna hidup saya adalah melakukan yang ingin saya lakukan, dan saya selalu melakukan yang terbaik, sehingga saya sangat puas, tidak menyesal.
Sekarang hari2 saya adalah dijalani hari demi hari. Saya sekarang sudah tidak mampu lagi di sore terik matahari jam 2 menemui warga Singapura, berjabat tangan dengan mereka dan berbincang- bincang dengan mereka. 20, 30 tahun yang lalu, saya bisa melakukan hal-hal ini, dan sekarang saya benar-benar sudah tidak mampu. Harus taat akan hukum-hukum alam, orang menjadi tua, fisik melemah. Kadang-kadang sekretaris saya akan bertanya, atau meminta saya untuk membatalkan beberapa pertemuan dan menganjurkan saya untuk beristirahat. Kadang-kadang saya akan mengatakan, oke, saya beristirahat 15 menit dulu. Tapi kadang-kadang, saya akan mengatakan, baik, batalkan saja, saya benar2 terlalu lelah. Walaupun saya adalah orang yang ketat disiplin diri, makan sehat dan olahraga teratur, saya kini adalah orang tua yang grafiknya sedang berjalan turun, benar2 tidak berdaya.........
(catatan penerjemah: Lee Kuan Yew didampingi istrinya 63 tahun, istrinya meninggal 2 Juni 2010 karena sakit. Dalam buku aslinya, Lee Kuan Yeuw dengan rambutnya yang putih perak dan setelan jas hitamnya, sebelum menutup peti mati mendampingi istrinya meletakkan mawar dan ciuman terakhir, terlihat sedih, menyentuh)
0 komentar:
Post a Comment