Banggalah Berkarya di Usia Muda!
Tiap pagi kawasan Jalan Dago Pojok, Bandung, terasa sesak. Meski bukan jalan raya, jalur tersebut menjadi tempat lalu-lalang beragam alat transportasi yang jalan tersendat-sendat lantaran macet.
Memang, sejak dulu Dago Pojok menjadi jalan alternatif para pengendara. Sasaran mereka adalah sekolah dan kantor yang jaraknya lebih cepat ditempuh lewat gang sempit itu.
Nirwan adalah satu dari pengendara motor yang kerap menyambangi jalan tersebut. Dia harus rela berjejal di Dago Pojok untuk mencapai sekolahnya di SMAN 19. Letaknya, kurang lebih 300 meter dari jalan utama.
Secara normal, jauhnya jarak itu hanya memakan waktu dua menit bila berkendara atau lima sampai tujuh menit jika berjalan kaki. Masalahnya, kondisi macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama lagi.
Makin lama volume kendaraan roda dua terus bertambah, terutama karena banyak siswa mengendarai motor. Akibatnya, bukan hanya rugi waktu, tapi lahan parkir juga semakin sempit.
'Saya pernah ada di dua posisi. Sebagai pengendara motor yang tidak menawarkan pada teman yang berjalan kaki, maupun sebagai pejalan kaki yang tidak ditawarkan tumpangan oleh teman pengendara motor," tutur Nirwan.
Tertarik menemukan jalan keluar, Nirwan dan kawannya, Farizd Abdullah Labaik Rachmat berunding melahirkan konsep "Babarengan 19". Konsep ini menekankan pada solusi yang bersifat sosial, sederhana sehingga mudah direalisasikan, dan mampu membawa perubahan positif. Lalu, dengan dukungan sekolah, lahirlah peraturan baru.
Mulai Maret 2015 lalu, siswa bermotor di SMAN 19 diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya. Untuk memuluskan konsep ini, sebuah halte di jalan utama, Jl Ir. H. Juanda dekat Hotel Sheraton Bandung pun dijadikan tempat menunggu untuk mencari motor tumpangan.
Selain mengurangi jumlah kendaraan motor di sekolah, juga memicu siswa untuk saling bertegur sapa. Dampaknya mulai terasa setelah enam bulan peraturan tersebut direalisasi
Dampak lain, lahan parkir SMAN 19 mulai terasa lengang, kondisi macet di Dago Pojok berangsur menurun. Atas prakarsa itu, Nirwan dan Faridz bahkan menyabet penghargaan 'Best of The Best Toyota Eco Youth 9 2015'. Kompetisi tahunan ini bertujuan merangsang generasi muda Indonesia untuk semakin sadar, peduli, dan mau berpikir solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
DOK. TMMIN Mulai Maret lalu, siswa bermotor di SMAN 19, Bandung, diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya.
Mengurai kemacetan
Konsep serupa sebenarnya telah dilakoni oleh komunitas Nebengers di Ibukota. Beberapa orang pemuda menggagasnya dengan pertimbangan kondisi lalu-lintas Jakarta.
Dilansir dari KOMPAS.com, prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memaparkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta (Baca: Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun).
Cara kerja komunitas ini ialah berbagi tumpangan dengan anggota komunitas saat memiliki rute perjalanan searah. Calon penumpang dan pemberi tumpangan harus melakukan registrasi sebelum berinteraksi.
Lewat komunitas itu, mereka diwadahi untuk berbagi informasi siapa saja yang butuh tumpangan serta pengendara baik hati yang rela memberi tumpangan. Imbalannya sukarela, dapat berupa bensin, uang tol atau bergantian mengemudi.
Gerakan yang digagas ini menghasilkan tiga dampak positif langsung. Secara sosial, meningkatkan interaksi antar masyarakat. Secara lingkungan, dapat mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Sedangkan secara ekonomi, gerakan tersebut dapat menekan pengeluaran masyarakat.
Beberapa manfaat ini juga yang tengah dirasakan Nirwan dan siswa lainnya saat "Babarengan 19" mulai digalakkan di sekolahnya.
"Khusus dalam lingkup SMAN 19, konsep ini meningkatkan interaksi antar siswa, misalnya kakak kelas dan adik kelas sehingga stigma senioritas pun hilang. Selain itu, cara ini dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas dan menekan ongkos ke sekolah," kata Nirwan.
Membangunkan generasi muda
Fenomena menarik hari ini adalah kaum muda tak malu lagi menciptakan dan menunjukkan berbagai karya pada masyarakat. Kisah mengurai kemacetan tadi menyadarkan bahwa pemuda mulai terjun sebagai pemberi solusi. Di luar, masih banyak isu lingkungan dan sosial yang menunggu dipecahkan.
Selain pendidikan, komunitas dan gerakan diharapkan menjadi penggerak terintegrasi agar pemuda memiliki cara pandang lain dalam menghadapi isu sosial. Untuk mengasah daya pikir, beberapa kompetisi melalui lembaga pemerintah dan swasta pun diadakan.
Beberapa diantaranya adalah lomba karya tulis yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kompetisi karya ilmiah dan sains yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kompetisi kewirausahaan yang diselenggarkan Bank Mandiri, dan kompetisi proposal hijau berbasis riset dalam bidang sosial dan sains garapan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi agar pemuda dapat memberikan kontribusi langsung pada masyarakat sedang menjadi perhatian banyak pihak.
"Perkembangan sekarang ini luar biasa drastis sehingga anak muda yang merupakan potensi besar ini (dengan kemudahan informasi) berkesempatan untuk menyingkapi isu dengan cepat," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas, di Jakarta.
Made mengatakan bahwa memang itulah tantangan generasi sekarang. Khususnya, mereka harus merespon cepat sebagai bagian dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas.
"Tantangan semakin besar ini harus disadari dan dipahami anak muda Indonesia. Jadi saat melakukan bisnis apapun nanti, mereka sadar pentingnya manajemen lingkungan," katanya.
Tiap pagi kawasan Jalan Dago Pojok, Bandung, terasa sesak. Meski bukan jalan raya, jalur tersebut menjadi tempat lalu-lalang beragam alat transportasi yang jalan tersendat-sendat lantaran macet.
Memang, sejak dulu Dago Pojok menjadi jalan alternatif para pengendara. Sasaran mereka adalah sekolah dan kantor yang jaraknya lebih cepat ditempuh lewat gang sempit itu.
Nirwan adalah satu dari pengendara motor yang kerap menyambangi jalan tersebut. Dia harus rela berjejal di Dago Pojok untuk mencapai sekolahnya di SMAN 19. Letaknya, kurang lebih 300 meter dari jalan utama.
Secara normal, jauhnya jarak itu hanya memakan waktu dua menit bila berkendara atau lima sampai tujuh menit jika berjalan kaki. Masalahnya, kondisi macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama lagi.
Makin lama volume kendaraan roda dua terus bertambah, terutama karena banyak siswa mengendarai motor. Akibatnya, bukan hanya rugi waktu, tapi lahan parkir juga semakin sempit.
'Saya pernah ada di dua posisi. Sebagai pengendara motor yang tidak menawarkan pada teman yang berjalan kaki, maupun sebagai pejalan kaki yang tidak ditawarkan tumpangan oleh teman pengendara motor," tutur Nirwan.
Tertarik menemukan jalan keluar, Nirwan dan kawannya, Farizd Abdullah Labaik Rachmat berunding melahirkan konsep "Babarengan 19". Konsep ini menekankan pada solusi yang bersifat sosial, sederhana sehingga mudah direalisasikan, dan mampu membawa perubahan positif. Lalu, dengan dukungan sekolah, lahirlah peraturan baru.
Mulai Maret 2015 lalu, siswa bermotor di SMAN 19 diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya. Untuk memuluskan konsep ini, sebuah halte di jalan utama, Jl Ir. H. Juanda dekat Hotel Sheraton Bandung pun dijadikan tempat menunggu untuk mencari motor tumpangan.
Selain mengurangi jumlah kendaraan motor di sekolah, juga memicu siswa untuk saling bertegur sapa. Dampaknya mulai terasa setelah enam bulan peraturan tersebut direalisasi
Dampak lain, lahan parkir SMAN 19 mulai terasa lengang, kondisi macet di Dago Pojok berangsur menurun. Atas prakarsa itu, Nirwan dan Faridz bahkan menyabet penghargaan 'Best of The Best Toyota Eco Youth 9 2015'. Kompetisi tahunan ini bertujuan merangsang generasi muda Indonesia untuk semakin sadar, peduli, dan mau berpikir solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.
DOK. TMMIN Mulai Maret lalu, siswa bermotor di SMAN 19, Bandung, diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya.
Mengurai kemacetan
Konsep serupa sebenarnya telah dilakoni oleh komunitas Nebengers di Ibukota. Beberapa orang pemuda menggagasnya dengan pertimbangan kondisi lalu-lintas Jakarta.
Dilansir dari KOMPAS.com, prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memaparkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta (Baca: Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun).
Cara kerja komunitas ini ialah berbagi tumpangan dengan anggota komunitas saat memiliki rute perjalanan searah. Calon penumpang dan pemberi tumpangan harus melakukan registrasi sebelum berinteraksi.
Lewat komunitas itu, mereka diwadahi untuk berbagi informasi siapa saja yang butuh tumpangan serta pengendara baik hati yang rela memberi tumpangan. Imbalannya sukarela, dapat berupa bensin, uang tol atau bergantian mengemudi.
Gerakan yang digagas ini menghasilkan tiga dampak positif langsung. Secara sosial, meningkatkan interaksi antar masyarakat. Secara lingkungan, dapat mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Sedangkan secara ekonomi, gerakan tersebut dapat menekan pengeluaran masyarakat.
Beberapa manfaat ini juga yang tengah dirasakan Nirwan dan siswa lainnya saat "Babarengan 19" mulai digalakkan di sekolahnya.
"Khusus dalam lingkup SMAN 19, konsep ini meningkatkan interaksi antar siswa, misalnya kakak kelas dan adik kelas sehingga stigma senioritas pun hilang. Selain itu, cara ini dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas dan menekan ongkos ke sekolah," kata Nirwan.
Membangunkan generasi muda
Fenomena menarik hari ini adalah kaum muda tak malu lagi menciptakan dan menunjukkan berbagai karya pada masyarakat. Kisah mengurai kemacetan tadi menyadarkan bahwa pemuda mulai terjun sebagai pemberi solusi. Di luar, masih banyak isu lingkungan dan sosial yang menunggu dipecahkan.
Selain pendidikan, komunitas dan gerakan diharapkan menjadi penggerak terintegrasi agar pemuda memiliki cara pandang lain dalam menghadapi isu sosial. Untuk mengasah daya pikir, beberapa kompetisi melalui lembaga pemerintah dan swasta pun diadakan.
Beberapa diantaranya adalah lomba karya tulis yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kompetisi karya ilmiah dan sains yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kompetisi kewirausahaan yang diselenggarkan Bank Mandiri, dan kompetisi proposal hijau berbasis riset dalam bidang sosial dan sains garapan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi agar pemuda dapat memberikan kontribusi langsung pada masyarakat sedang menjadi perhatian banyak pihak.
"Perkembangan sekarang ini luar biasa drastis sehingga anak muda yang merupakan potensi besar ini (dengan kemudahan informasi) berkesempatan untuk menyingkapi isu dengan cepat," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas, di Jakarta.
Made mengatakan bahwa memang itulah tantangan generasi sekarang. Khususnya, mereka harus merespon cepat sebagai bagian dari Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas.
"Tantangan semakin besar ini harus disadari dan dipahami anak muda Indonesia. Jadi saat melakukan bisnis apapun nanti, mereka sadar pentingnya manajemen lingkungan," katanya.
0 komentar:
Post a Comment