Nenek Lee Kuan Yew Orang Hakka dari Pontianak
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew termasuk keturunan Lan Fang. Sayang, restorasi jejak kebesaran republik pertama di Nusantara tersebut justru lebih gencar dilakukan di Negeri Singa.
DHIMAS GINANJAR, Pontianak
LAN Fang memang sudah hancur sejak 1884. Namun, “kelanjutan” republik”kendati tak secara langsung yang didirikan oleh Lo Fang Pak di Kalimantan Barat itu bisa dilihat di Singapura sekarang ini. Setidaknya dalam bentuk banyaknya warga Negeri Singa itu yang merupakan keturunan dari warga republik pertama di tanah air tersebut dan menduduki posisi penting disana.
Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah dimana Lan Fang berada, menolak untuk dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang saat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir setelah sempat bertahan selama empat atau lima tahun bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera lantas ke Medan.
Beberapa kemudian melanjutkan pelarian hingga ke Singapura dan melanjutkan pembangunan. Dan, tentu beranak pinak. Salah satunya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY), sosok yang membuat negeri jiran Indonesia itu maju dan makmur seperti saat ini. “Chua Kim Teng (kakek LKY) lahir di Singapura pada 1865. Setelah istri pertama dan kedua meninggal, dia menikah dengan Neo Ah Soon, nenek saya, seorang Hakka dari Pontianak yang saat itu dikuasai Belanda. Dia berbicara dengan dialek Hakka dan bahasa Indonesia melayu,” ujar LKY.
Ucapan itu disampaikan “Bapak Pembangunan Singapura” itu pada bukunya yang berjudul: From Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew. Adapun menurut Kao Chung Xi dalam bukunya tentang orang Hakka, Jews of the Orient, orang Hakka minoritas di Singapura. Tapi, memainkan peran penting dalam mendirikan Kongsi Lan Fang yang kedua di Singapura.
Seperti pernah diturunkan secara bersambung di harian ini pada 15-17 Agustus lalu, Lan Fang yang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka tumbuh menjadi semacam “negara di dalam negara.” Lan Fang yang berdiri pada 1777 itu memang masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom.
Karena tata pemerintahannya sangat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak langsung Lan Fang pun mendapat julukan “republik.” Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik yang dipimpin Lo Fang Pak tersebut. Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk memilih “presiden.” Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan Hukum sendiri. Republik ini mampu bertahan hidup selama 107 tahun.
Kisah sejarah Republik Lan Fang sejatinya mulai direstorasi oleh berbagai pihak. Salah satunya, adalah situs lanfangchronicles.wordpress.co m yang tiga tahun ini sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura. Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi.
Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga membuat pagelaran puisi tentang perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.
Soedarto, sejarawan Kalbar saat ditemui Jawa Pos di Pontianak pertengahan bulan ini memaklumi hal itu. Sebab, arsip-arsip tentang Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya. “Semuanya ada di luar, dibawa Raffles ke Inggris (Thomas Stamford Bingley Raffles, mantan Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia dan pendiri Singapura, red),” katanya.
Dia menyebutkan kalau arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau Indonesia mau menelusuri perjalanan sejarah bangsa secara utuh, arsip-arsip itu harus dikembalikan. Jika masih berada di museum Royal London, penelusuran itu sangat sulit dilakukan.
Bercerita tentang ketidakpedulian akan sejarah bisa jadi sudah membosankan. Itulah kenapa, Soedarti hanya bisa diam saat mengingat beberapa arsip tentang masa lalu Kalbar sudah menghilang. “Termasuk syair Perang Kenceng, bagian dari perang antar kongsi, itu kini ada di Malaysia,” gumamnya.
Dia ingat, hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi saat era penjajahan saja. Pasca kemerdekaan juga ada, prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Atas dasar itulah, Soedarto mengaku tak tahu banyak tentang keturunan Lo Fang Pak. Yang bisa dia pastikan adalah, para pemimpin Lan Fang harus murni orang Hakka. Benar-benar pure orang Tionghoa dari tanah Tiongkok. Mereka yang lahir di tanah Borneo dapat dipastikan tak bisa duduk di puncak pimpinan.
Terkait keabsahan keturunan orang-orang Lan Fang di Singapura, Soedarto yang mantan guru sejarah itu menjawab bisa jadi seperti itu. Kuatnya Lan Fang menjadi daya tarik bagi perantauan Tiongkok untuk terus datang. Bahkan Pontianak dulunya menjadi tempat transit bagi mereka yang ingin ke Mandor, ibu kota Lan Fang.
“Sampai sekarang, semuanya tersebar sampai kemana-mana,” terangnya. Bagaimana dengan peninggalan budaya” Soedarto mengatakan ada. Namun, dia tidak sepakat kalau itu kebudayaan yang dibuat khusus oleh Lo Fang Pak dan pemimpin Lan Fang lainnya. Sebab, mereka hanya “menularkan” kebiasaan itu ke Kalbar.
Seperti halnya konsep tea house atau rumah minum teh. Warga keturunan dulu pasti punya tempat khusus untuk minum teh. Entah di rumah mereka atau di sekitar perkampungannya. Meski sekarang tea house mungkin sudah tak ada, bentuk lain dari kebudayaan itu masih bisa ditemui.
“Budaya warung kopi itu sebenarnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya minum bersama banyak orang sambil membicarakan banyak hal,” tandasnya. Efek lainnya ada pada orang-orang Tionghoa saat ini, versi Soedarto, mereka masih disebut peranakan karena tetap konsisten dengan budayanya.
Padahal, warga Tionghoa asli Kalbar saat ini bisa dipastikan sudah melakukan akulturasi, terutama dengan orang Dayak. Itu bisa dipastikan karena saat datang ke Kalbar pada 1770an mereka datang sebagai bujangan. Kolonial dan Kesultanan tidak memperbolehkan mereka membawa istri.
Kalaupun mereka kemudian mencoba mempertahankan kemurnian dengan menikah sesama Tionghoa, tetap saja nenek mereka adalah orang Dayak. Karena itu, Soedarto agak kurang sreg menyebut warga Tionghoa di Kalbar yang mencapai 12 persen sebagai “peranakan.”
“Banyak yang sudah campuran, apalagi generasi sekarang juga makin membuka diri,” tuturnya.
Budayawan lain, Xaverius Fuad Asali, juga menyebut kalau peninggalan budaya Lo Fang Pak sama dengan kebudayaan Tiongkok sendiri. Itulah kenapa, dia menyebut tak ada budaya dengan ciri khas khusus yang dibawa Lo Fang Pak.
Dia lantas menjelaskan ciri khas orang Hakka yang menginjakkan kaki di Kalbar. Semuanya datang seorang diri alias bujangan, tanpa membawa istri. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu karena orang-orang Hakka dikenal rajin dan hemat. “Kalau buyut saya masuk tahun 1850an,” ingatnya.
Kedatangan orang-orang Hakka semacam Lo Fang Pak dan teman-temannya relatif tidak menimbulkan gesekan sosial. Sebab, orang Hakka dikenal mampu membawa diri, ibarat pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di samping itu, sebagai pendatang, mereka juga punya keterampilan.
X.F Asali menyebut keterampilan itu adalah bertani. Ada juga yang datang sebagai guru seperti Lo Fang Pak, tukang besi, emas, kayu, hingga kerajinan tangan. Kemampuan melebur itu terbukti hingga sekarang, tak pernah ada konflik besar. “Buyut perempuan saya juga orang Dayak,” akunya.
Itu sebabnya, kalau dikaitkan dengan pelarian orang-orang Hakka Kalbar ke Singapura dan melakukan pembangunan bisa jadi benar. Apalagi, Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebut orang-orang Lan Fang mampu berdagang ke beberapa daerah dan negara.
Berbagai referensi juga menyebut kalau Lan Fang memiliki hubungan perdagangan yang disebut dengan segitiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia, hingga Vietnam. “Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti membuat Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain,” tuturnya.
Embrio tersebarnya orang-orang Hakka yang menjadi penduduk Lan Fang terlihat jelas dari pola perdagangan itu. Memang masih perlu banyak pembuktian akan keterkaitan antara Singapura dan Lan Fang. Namun, itu bisa menjadi awal yang tepat bagi pemerintah untuk menggali lebih dalam tentang Lan Fang. Supaya kisah tesebut tetap besar di Indonesia, tidak hanya di negara tetangga
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew termasuk keturunan Lan Fang. Sayang, restorasi jejak kebesaran republik pertama di Nusantara tersebut justru lebih gencar dilakukan di Negeri Singa.
DHIMAS GINANJAR, Pontianak
LAN Fang memang sudah hancur sejak 1884. Namun, “kelanjutan” republik”kendati tak secara langsung yang didirikan oleh Lo Fang Pak di Kalimantan Barat itu bisa dilihat di Singapura sekarang ini. Setidaknya dalam bentuk banyaknya warga Negeri Singa itu yang merupakan keturunan dari warga republik pertama di tanah air tersebut dan menduduki posisi penting disana.
Alkisah, pada 1884, Singkawang, Kalbar, wilayah dimana Lan Fang berada, menolak untuk dikuasai Belanda. Akibatnya, wilayah yang saat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng itu diserang. Warga setempat pun kocar-kacir setelah sempat bertahan selama empat atau lima tahun bertempur. Mereka melarikan diri ke Sumatera lantas ke Medan.
Beberapa kemudian melanjutkan pelarian hingga ke Singapura dan melanjutkan pembangunan. Dan, tentu beranak pinak. Salah satunya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (LKY), sosok yang membuat negeri jiran Indonesia itu maju dan makmur seperti saat ini. “Chua Kim Teng (kakek LKY) lahir di Singapura pada 1865. Setelah istri pertama dan kedua meninggal, dia menikah dengan Neo Ah Soon, nenek saya, seorang Hakka dari Pontianak yang saat itu dikuasai Belanda. Dia berbicara dengan dialek Hakka dan bahasa Indonesia melayu,” ujar LKY.
Ucapan itu disampaikan “Bapak Pembangunan Singapura” itu pada bukunya yang berjudul: From Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew. Adapun menurut Kao Chung Xi dalam bukunya tentang orang Hakka, Jews of the Orient, orang Hakka minoritas di Singapura. Tapi, memainkan peran penting dalam mendirikan Kongsi Lan Fang yang kedua di Singapura.
Seperti pernah diturunkan secara bersambung di harian ini pada 15-17 Agustus lalu, Lan Fang yang berawal dari sebuah kongsi tambang orang Tionghoa dari etnis Hakka tumbuh menjadi semacam “negara di dalam negara.” Lan Fang yang berdiri pada 1777 itu memang masih membayar upeti tanda tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah di Kalbar, tapi sehari-hari mereka sangat otonom.
Karena tata pemerintahannya sangat demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lain yang umumnya bergaya feodal, secara tak langsung Lan Fang pun mendapat julukan “republik.” Diberi tanda kutip karena secara de facto, tidak ada pengakuan internasional kepada republik yang dipimpin Lo Fang Pak tersebut. Meski, kenyataannya, syarat untuk terbentuknya sebuah republik telah terpenuhi. Tak cuma punya rakyat dan wilayah, Lan Fang rutin menghelat pemilu untuk memilih “presiden.” Lan Fang juga memiliki sistem perekonomian, perbankan, dan Hukum sendiri. Republik ini mampu bertahan hidup selama 107 tahun.
Kisah sejarah Republik Lan Fang sejatinya mulai direstorasi oleh berbagai pihak. Salah satunya, adalah situs lanfangchronicles.wordpress.co m yang tiga tahun ini sudah membuat pameran tentang Lan Fang di Singapura. Berbagai peninggalan Lan Fang telah pula direstorasi.
Mulai dari miniatur bentuk uang, menara perlindungan, lukisan-lukisan dan foto zaman dahulu, hingga membuat pagelaran puisi tentang perang kongsi. Pagelaran tersebut bahkan masuk menjadi agenda rutin Singapore Art Fest. Ironis memang, semua itu dilakukan oleh warga Singapura, bukan Indonesia sebagai pemilik sejarah.
Soedarto, sejarawan Kalbar saat ditemui Jawa Pos di Pontianak pertengahan bulan ini memaklumi hal itu. Sebab, arsip-arsip tentang Lan Fang sudah tidak ada lagi di tanah air. Termasuk juga arsip-arsip sejarah lainnya. “Semuanya ada di luar, dibawa Raffles ke Inggris (Thomas Stamford Bingley Raffles, mantan Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia dan pendiri Singapura, red),” katanya.
Dia menyebutkan kalau arsip negara yang dibawa menuju Inggris mencapai 30 ton. Kalau Indonesia mau menelusuri perjalanan sejarah bangsa secara utuh, arsip-arsip itu harus dikembalikan. Jika masih berada di museum Royal London, penelusuran itu sangat sulit dilakukan.
Bercerita tentang ketidakpedulian akan sejarah bisa jadi sudah membosankan. Itulah kenapa, Soedarti hanya bisa diam saat mengingat beberapa arsip tentang masa lalu Kalbar sudah menghilang. “Termasuk syair Perang Kenceng, bagian dari perang antar kongsi, itu kini ada di Malaysia,” gumamnya.
Dia ingat, hilangnya arsip dari tanah air bukan hanya terjadi saat era penjajahan saja. Pasca kemerdekaan juga ada, prasasti dan arsip tersebut dijual dengan satu alasan: ekonomi. Soedarto menyebut barang berharga itu rela ditukar dengan rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Atas dasar itulah, Soedarto mengaku tak tahu banyak tentang keturunan Lo Fang Pak. Yang bisa dia pastikan adalah, para pemimpin Lan Fang harus murni orang Hakka. Benar-benar pure orang Tionghoa dari tanah Tiongkok. Mereka yang lahir di tanah Borneo dapat dipastikan tak bisa duduk di puncak pimpinan.
Terkait keabsahan keturunan orang-orang Lan Fang di Singapura, Soedarto yang mantan guru sejarah itu menjawab bisa jadi seperti itu. Kuatnya Lan Fang menjadi daya tarik bagi perantauan Tiongkok untuk terus datang. Bahkan Pontianak dulunya menjadi tempat transit bagi mereka yang ingin ke Mandor, ibu kota Lan Fang.
“Sampai sekarang, semuanya tersebar sampai kemana-mana,” terangnya. Bagaimana dengan peninggalan budaya” Soedarto mengatakan ada. Namun, dia tidak sepakat kalau itu kebudayaan yang dibuat khusus oleh Lo Fang Pak dan pemimpin Lan Fang lainnya. Sebab, mereka hanya “menularkan” kebiasaan itu ke Kalbar.
Seperti halnya konsep tea house atau rumah minum teh. Warga keturunan dulu pasti punya tempat khusus untuk minum teh. Entah di rumah mereka atau di sekitar perkampungannya. Meski sekarang tea house mungkin sudah tak ada, bentuk lain dari kebudayaan itu masih bisa ditemui.
“Budaya warung kopi itu sebenarnya berasal dari orang-orang Tionghoa. Mereka biasanya minum bersama banyak orang sambil membicarakan banyak hal,” tandasnya. Efek lainnya ada pada orang-orang Tionghoa saat ini, versi Soedarto, mereka masih disebut peranakan karena tetap konsisten dengan budayanya.
Padahal, warga Tionghoa asli Kalbar saat ini bisa dipastikan sudah melakukan akulturasi, terutama dengan orang Dayak. Itu bisa dipastikan karena saat datang ke Kalbar pada 1770an mereka datang sebagai bujangan. Kolonial dan Kesultanan tidak memperbolehkan mereka membawa istri.
Kalaupun mereka kemudian mencoba mempertahankan kemurnian dengan menikah sesama Tionghoa, tetap saja nenek mereka adalah orang Dayak. Karena itu, Soedarto agak kurang sreg menyebut warga Tionghoa di Kalbar yang mencapai 12 persen sebagai “peranakan.”
“Banyak yang sudah campuran, apalagi generasi sekarang juga makin membuka diri,” tuturnya.
Budayawan lain, Xaverius Fuad Asali, juga menyebut kalau peninggalan budaya Lo Fang Pak sama dengan kebudayaan Tiongkok sendiri. Itulah kenapa, dia menyebut tak ada budaya dengan ciri khas khusus yang dibawa Lo Fang Pak.
Dia lantas menjelaskan ciri khas orang Hakka yang menginjakkan kaki di Kalbar. Semuanya datang seorang diri alias bujangan, tanpa membawa istri. Mereka tidak mempermasalahkan hal itu karena orang-orang Hakka dikenal rajin dan hemat. “Kalau buyut saya masuk tahun 1850an,” ingatnya.
Kedatangan orang-orang Hakka semacam Lo Fang Pak dan teman-temannya relatif tidak menimbulkan gesekan sosial. Sebab, orang Hakka dikenal mampu membawa diri, ibarat pepatah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Di samping itu, sebagai pendatang, mereka juga punya keterampilan.
X.F Asali menyebut keterampilan itu adalah bertani. Ada juga yang datang sebagai guru seperti Lo Fang Pak, tukang besi, emas, kayu, hingga kerajinan tangan. Kemampuan melebur itu terbukti hingga sekarang, tak pernah ada konflik besar. “Buyut perempuan saya juga orang Dayak,” akunya.
Itu sebabnya, kalau dikaitkan dengan pelarian orang-orang Hakka Kalbar ke Singapura dan melakukan pembangunan bisa jadi benar. Apalagi, Any Rahmayani, peneliti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, menyebut orang-orang Lan Fang mampu berdagang ke beberapa daerah dan negara.
Berbagai referensi juga menyebut kalau Lan Fang memiliki hubungan perdagangan yang disebut dengan segitiga emas. Yakni, menghubungkan antara Lan Fang, Tiongkok, dan negara di Semenanjung Malaysia, hingga Vietnam. “Lemahnya kesultanan yang hanya tertarik dengan upeti membuat Lan Fang bebas bertransaksi dengan yang lain,” tuturnya.
Embrio tersebarnya orang-orang Hakka yang menjadi penduduk Lan Fang terlihat jelas dari pola perdagangan itu. Memang masih perlu banyak pembuktian akan keterkaitan antara Singapura dan Lan Fang. Namun, itu bisa menjadi awal yang tepat bagi pemerintah untuk menggali lebih dalam tentang Lan Fang. Supaya kisah tesebut tetap besar di Indonesia, tidak hanya di negara tetangga
0 komentar:
Post a Comment