SEPERTI Indonesia, Negeri Tirai Bambu tidak jauh berbeda dengan Tanah Air tercinta kita ini. Kalau pun ada perbedaan yang paling menonjol mungkin hanya terletak pada pemerintah kita yang terus-menerus menjual negara ini kepada asing, sementara Cina tidak.
Negara Cina yang terdiri dari sejumlah provinsi juga dihuni oleh berbagai jenis suku yang memiliki ragam bahasa yang berbeda pula. Suku terbesar yakni Suku Han yang tinggal di daerah Kang Lam. Daerah Kang Lam ini terbentang antara Sungai Hoang Ho dan Sungai Yangtze.
Dari daerah Kang Lam inilah muncul berbagai kerajaan besar di mana masyarakatnya bisa hidup makmur dan sejahtera. Dinasti kekaisaran di Cina pun lahirnya di daerah Kang Lam. Antara lain Dinasti Han, Sung, serta Dinasti Yunan yang berasal dari Mongol, Dinasti Ming dan Dinasti Cing, yang berasal dari Mancuria.
Pernah ada seorang kaisar bernama Lie She Ming dari Dinasti Tang yang kalah perang melawan pasukan Kerajaan Mongol pimpinan Kubilai Khan. Saat dikejar pasukan Mongol semua keturunannya melarikan diri ke daerah selatan.
Akibatnya sanak keluarga Kaisar terpencar-pencar, Lie She Ming pun masuk ke sebuah bio (kelenteng kecil) yang ditemui dalam pelariannya. Setelah sembahyang ia pun mengucapkan sumpahnya bahwa keturuannya kelak akan diberi tanda di kuku jari kaki kelingkingnya agar mereka kelak kalau bertemu bisa saling mengenal.
Tanda itu bisa berupa kuku jari kaki kelingking yang pecah atau berkerut-kerut. "Sebagian besar warga Cina, khususnya mereka yang bermarga (= she) Lie karena masih memiliki darah ningrat, masih percaya hal tersebut. Dan, memang kenyataannya pasti kuku jari kaki mereka tidak beres," tutur Tan Chian Hok, mantan pengurus kelenteng Tso Su Kong di Desa Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
WALAU banyak suku di daratan Cina tetapi she-nya yang tercatat hanya ada sekitar 100 she. Tetapi, yang masih dipergunakan hingga saat ini hanya sekitar 50 she saja.
Antara lain seperti Lie yang aslinya berasal dari daerah Lung Si, she Gou dari daerah Sen Ling, she Ong dari daerah Thay Yen, she Hoo dari daerah Lu Cian, she Tio dari daerah Cing Ho. Kalau she Tung dari Ci Nan ada juga she Tung-men yang berasal dari daerah Ci An.
Orang Cina yang datang ke Indonesia pun bisa ditandai dari suku mana mereka hanya dengan sekilas melihat kegiatan yang mereka lakukan. Seperti orang Shantung yang biasanya berpostur tubuh tinggi besar.
Di tempat asalnya mereka biasa makan bakpau tanpa isi (man tou) yang terbuat dari terigu. Mereka tidak makan nasi. Orang Shantung juga dikenal karena menguasai ilmu beladiri kuntau (silat) pakai toya serta ilmu tendangan selatan dan ilmu pukulan aliran utara.
Pada zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1950-an mereka dikenal sebagai penjual kain keliling. Sebagian dari orang Shantung ini juga menjadi penjual pangsit sui kiau yang di dalamnya berisi bangkuang.
Suku Hokian merupakan suku terbesar karena memang menempati daerah yang luas. Seperti yang tinggal di daerah pesisir Nan Am yang disebut suku Nia Men. Umumnya di Indonesia menjadi penjual ikan asin hingga sekarang.
Ada juga Hokian Hing Hua yang di Indonesia dari dulu dikenal sebagai pembuat sekaligus tukang memperbaiki becak dan sepeda. Sebagian orang Hing Hua ini menjadi juragan es lilin yang penjualnya akan dilengkapi dengan gerobak dorong.
Sekarang mereka sudah beralih profesi, walau tidak begitu jauh. Sebab merekalah yang menguasai perdagangan onderdil (spare part) berbagai kendaraan bermotor di hampir semua toko yang ada di Indonesia.
Begitu juga dengan suku Hokian Hok Cia, yang juga menjadi asal konglomerat utama Indonesia, Lim Siu Liong, dari dulu biasa berdagang kain dan kemudian berkembang menjadi pemilik pabrik kain. Mereka juga berusaha dalam hasil bumi yang kemudian dikenal juga sebagai tengkulak atau rentenir. Makanya belakangan mereka berkembang menjadi pemilik bank atau bergerak dalam bidang ekspor-impor.
Ada lagi suku Kwantung Kanton atau Kong Hu yang sejak dulu usahanya berhubungan dengan kayu. Biasa pemilik toko mebel itu berasal dari suku Kong Hu. Tetapi ada juga yang membuka restoran yang menawarkan berbagai jenis penganan.
Sedangkan, Suku Kwantung Hakka atau biasa disebut Kek, biasanya memilih sekolah untuk dapat mengecap pendidikan setinggi-tingginya. "Makanya kebanyakan istri mereka yang disuruh bekerja, sementara sang suami sekolah terus. Itu sebabnya suku lain jarang yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan orang Kek. Karena bakal disuruh kerja sementara suaminya belajar terus," jelas Krisna Warih, ahli feng shui yang mendalami budaya Cina.
Di daratan Cina sendiri kebanyakan orang Kek inilah yang mendominasi dunia politik. Kalau mereka tidak berpendidikan tinggi, yang di Indonesia biasa mereka menjadi perajin sepatu, membuka toko kelontong. Untuk yang sudah maju usaha kelontong mereka kembangkan dalam bentuk pasar swalayan.
Orang Hupe dan orang Hunan yang berada di Indonesia biasa menjadi pembuat gigi palsu. Sedangkan orang Shanghai biasanya merupakan pedagang hasil bumi dalam jumlah besar dan kemudian menguasai perdagangan hasil bumi ke luar negeri.
Negara Cina yang terdiri dari sejumlah provinsi juga dihuni oleh berbagai jenis suku yang memiliki ragam bahasa yang berbeda pula. Suku terbesar yakni Suku Han yang tinggal di daerah Kang Lam. Daerah Kang Lam ini terbentang antara Sungai Hoang Ho dan Sungai Yangtze.
Dari daerah Kang Lam inilah muncul berbagai kerajaan besar di mana masyarakatnya bisa hidup makmur dan sejahtera. Dinasti kekaisaran di Cina pun lahirnya di daerah Kang Lam. Antara lain Dinasti Han, Sung, serta Dinasti Yunan yang berasal dari Mongol, Dinasti Ming dan Dinasti Cing, yang berasal dari Mancuria.
Pernah ada seorang kaisar bernama Lie She Ming dari Dinasti Tang yang kalah perang melawan pasukan Kerajaan Mongol pimpinan Kubilai Khan. Saat dikejar pasukan Mongol semua keturunannya melarikan diri ke daerah selatan.
Akibatnya sanak keluarga Kaisar terpencar-pencar, Lie She Ming pun masuk ke sebuah bio (kelenteng kecil) yang ditemui dalam pelariannya. Setelah sembahyang ia pun mengucapkan sumpahnya bahwa keturuannya kelak akan diberi tanda di kuku jari kaki kelingkingnya agar mereka kelak kalau bertemu bisa saling mengenal.
Tanda itu bisa berupa kuku jari kaki kelingking yang pecah atau berkerut-kerut. "Sebagian besar warga Cina, khususnya mereka yang bermarga (= she) Lie karena masih memiliki darah ningrat, masih percaya hal tersebut. Dan, memang kenyataannya pasti kuku jari kaki mereka tidak beres," tutur Tan Chian Hok, mantan pengurus kelenteng Tso Su Kong di Desa Tanjung Kait, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
WALAU banyak suku di daratan Cina tetapi she-nya yang tercatat hanya ada sekitar 100 she. Tetapi, yang masih dipergunakan hingga saat ini hanya sekitar 50 she saja.
Antara lain seperti Lie yang aslinya berasal dari daerah Lung Si, she Gou dari daerah Sen Ling, she Ong dari daerah Thay Yen, she Hoo dari daerah Lu Cian, she Tio dari daerah Cing Ho. Kalau she Tung dari Ci Nan ada juga she Tung-men yang berasal dari daerah Ci An.
Orang Cina yang datang ke Indonesia pun bisa ditandai dari suku mana mereka hanya dengan sekilas melihat kegiatan yang mereka lakukan. Seperti orang Shantung yang biasanya berpostur tubuh tinggi besar.
Di tempat asalnya mereka biasa makan bakpau tanpa isi (man tou) yang terbuat dari terigu. Mereka tidak makan nasi. Orang Shantung juga dikenal karena menguasai ilmu beladiri kuntau (silat) pakai toya serta ilmu tendangan selatan dan ilmu pukulan aliran utara.
Pada zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1950-an mereka dikenal sebagai penjual kain keliling. Sebagian dari orang Shantung ini juga menjadi penjual pangsit sui kiau yang di dalamnya berisi bangkuang.
Suku Hokian merupakan suku terbesar karena memang menempati daerah yang luas. Seperti yang tinggal di daerah pesisir Nan Am yang disebut suku Nia Men. Umumnya di Indonesia menjadi penjual ikan asin hingga sekarang.
Ada juga Hokian Hing Hua yang di Indonesia dari dulu dikenal sebagai pembuat sekaligus tukang memperbaiki becak dan sepeda. Sebagian orang Hing Hua ini menjadi juragan es lilin yang penjualnya akan dilengkapi dengan gerobak dorong.
Sekarang mereka sudah beralih profesi, walau tidak begitu jauh. Sebab merekalah yang menguasai perdagangan onderdil (spare part) berbagai kendaraan bermotor di hampir semua toko yang ada di Indonesia.
Begitu juga dengan suku Hokian Hok Cia, yang juga menjadi asal konglomerat utama Indonesia, Lim Siu Liong, dari dulu biasa berdagang kain dan kemudian berkembang menjadi pemilik pabrik kain. Mereka juga berusaha dalam hasil bumi yang kemudian dikenal juga sebagai tengkulak atau rentenir. Makanya belakangan mereka berkembang menjadi pemilik bank atau bergerak dalam bidang ekspor-impor.
Ada lagi suku Kwantung Kanton atau Kong Hu yang sejak dulu usahanya berhubungan dengan kayu. Biasa pemilik toko mebel itu berasal dari suku Kong Hu. Tetapi ada juga yang membuka restoran yang menawarkan berbagai jenis penganan.
Sedangkan, Suku Kwantung Hakka atau biasa disebut Kek, biasanya memilih sekolah untuk dapat mengecap pendidikan setinggi-tingginya. "Makanya kebanyakan istri mereka yang disuruh bekerja, sementara sang suami sekolah terus. Itu sebabnya suku lain jarang yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan orang Kek. Karena bakal disuruh kerja sementara suaminya belajar terus," jelas Krisna Warih, ahli feng shui yang mendalami budaya Cina.
Di daratan Cina sendiri kebanyakan orang Kek inilah yang mendominasi dunia politik. Kalau mereka tidak berpendidikan tinggi, yang di Indonesia biasa mereka menjadi perajin sepatu, membuka toko kelontong. Untuk yang sudah maju usaha kelontong mereka kembangkan dalam bentuk pasar swalayan.
Orang Hupe dan orang Hunan yang berada di Indonesia biasa menjadi pembuat gigi palsu. Sedangkan orang Shanghai biasanya merupakan pedagang hasil bumi dalam jumlah besar dan kemudian menguasai perdagangan hasil bumi ke luar negeri.
0 komentar:
Post a Comment