Pengalaman Anak "Ngompol" di Sekolah di Australia
Sebagai bagian dari kehidupan di sekolah, anak-anak sering juga mengalami "kecelakaan", termasuk misalnya ngompol. Bagi Noor Huda Ismail, mahasiswa PhD asal Indonesia di Monash University, Melbourne, bagaimana sekolah menangani anak-anak yang ngompol sangat berkesan baginya. Berikut ini adalah tulisan Noor yang dimuat di ABC Australia.
Suatu hari sepulang sekolah, Ilmi, anak pertamaku yang berumur 6 tahun, langsung cerita bahwa tadi dia ngompol di sekolahnya.
Ia tidak bisa menahan pipis waktu di kelas. Ia lari ke kamar mandi, tapi ya, pipisnya sudah terburu keluar. Kemudian, guru di sekolah memberi Ilmi celana dalam baru dan juga celana panjang.
"Soalnya, pelajarannya asyik, jadi aku tahan kencingnya," kata llmi dengan nyengir. Tidak ada rasa takut atau tertekan saat llmi menceritakan pengalaman yang seharusnya tidak mengenakkan hari itu.
Di sekolah baru Ilmi, Clayton North Primary School, di pinggiran kota Melbourne, ada sebuah tradisi: setiap anak yang akan ke toilet selalu ditemani oleh dua orang temannya. Jadi, murid tidak akan ke toilet sendiri.
Guru akan meminta dua teman dari kelas untuk mendampingi. Mungkin ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kasus yang sempat heboh di sekolah internasional di Jakarta itu.
Teman yang mengantar llmi itu sahabat barunya dari Rusia yang sama-sama tidak bisa berbahasa lnggris. Namun, anehnya mereka menjadi teman akrab. Mungkin mereka berbahasa "Tarzan" kali ya. "Kalau ngomong dia lucu banget Pak," kata llmi menceritakan sahabat barunya itu.
Praktik seperti ini adalah hal sederhana yang mungkin bisa ditiru di Indonesia.
Ketika sudah kembali di rumah, di dalam tas llmi, sudah ada surat pemberitahuan dari sekolah. Isinya, Ilmi mengalami "kecelakaan" dan untuk itu orangtua diharap menyumbang 2 dollar (sekitar Rp 20.000) supaya sekolah bisa tetap memberikan pelayanan yang sama ketika ada anak lain mengalami "kecelakaan" seperti llmi itu.
Yang saya heran dari kejadian hari itu adalah kenapa llmi tidak di-bully oleh teman-temannya? Atau bisa jadi gurunya malah marah kepada anakku itu? Mungkin kalau itu terjadi di Indonesia, Ilmi akan menjadi bahan olok-olok sekelasnya. Bukan tidak mustahil Ilmi akan menjadi ketakukan untuk berangkat ke sekolah lagi.
Dengan demikian, sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan dan taman bermain untuk menumbuhkembangkan potensi anak akan berubah menjadi neraka bagi mereka. Hal itu biasanya ditandai dengan anak kita mulai malas-malasan bangun ketika pagi hari dan merengek untuk bisa bolos hari itu.
Ironisnya, sebagai orangtua, kadang kita sering justru ikut-ikutan mem-bully dengan stempel yang tidak perlu, seperti anak malas atau anak nakal. Jangan salah, stempel seperti itu jika dilakukan terus-menerus akan melekat pada diri anak hingga dewasa.
Keesokan harinya, salah seorang guru di sekolah llmi menghampiriku dan menghibur, "Anakku juga ngompol kok waktu dia sekolah di sekolah dasar dulu. Sekarang sih dia sudah besar," katanya dengan senyum.
Kemudian, guru kelas llmi, Ms Su, warga keturunan China yang pernah hidup di Kanada dan Italia menimpali, "Ajarin saja Ilmi di rumah bagaimana meminta izin di kelas untuk ke toilet, tapi nanti saya juga akan kasih tahu dia secara khusus kok."
Ia kemudian memberiku brosur tentang CV dia sambil tersenyum ramah. "Ini cerita singkat tentang perjalanan karier saya sebagai guru. Di situ, ada nomor telepon dan alamat e-mail. Saya juga akan bikin blog khusus tentang kelas ini. Nanti kita komunikasi terus ya tentang perkembangan anak Anda," tuturnya.
"Wah perhatian betul guru satu ini," kataku dalam hati.
Saya bukan ahli pendidikan anak. Namun, saya yakin bahwa bullying yang terjadi pada anak, baik dari guru maupun teman, atau bahkan dari kita sendiri ketika di rumah, adalah permasalahan serius yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
"Stop Bullying Now!" atau kita akan menciptakan luka mengangga bagi generasi penerus. Konon banyak anak menjadi agresif dan gagal menjadi manusia pembelajar karena menyimpan dendam pada masa kecil yang sering di-bully itu. Maka, ia akan tumbuh menjadi manusia yang selalu insecure dan akan cenderung menindas jika mendapatkan kesempatan.
Sambil aku peluk dan cium Ilmi, mataku melirik sebuah kutipan dari Bob Ross yang ditulis dengan spidol merah di sebuah kaca jendela kelas di sekolah Ilmi, "We don't make mistakes. We have happy accidents," (Kita tidak membuat kesalahan. Kita mengalami kecelakaan yang menyenangkan).
Sebagai bagian dari kehidupan di sekolah, anak-anak sering juga mengalami "kecelakaan", termasuk misalnya ngompol. Bagi Noor Huda Ismail, mahasiswa PhD asal Indonesia di Monash University, Melbourne, bagaimana sekolah menangani anak-anak yang ngompol sangat berkesan baginya. Berikut ini adalah tulisan Noor yang dimuat di ABC Australia.
Suatu hari sepulang sekolah, Ilmi, anak pertamaku yang berumur 6 tahun, langsung cerita bahwa tadi dia ngompol di sekolahnya.
Ia tidak bisa menahan pipis waktu di kelas. Ia lari ke kamar mandi, tapi ya, pipisnya sudah terburu keluar. Kemudian, guru di sekolah memberi Ilmi celana dalam baru dan juga celana panjang.
"Soalnya, pelajarannya asyik, jadi aku tahan kencingnya," kata llmi dengan nyengir. Tidak ada rasa takut atau tertekan saat llmi menceritakan pengalaman yang seharusnya tidak mengenakkan hari itu.
Di sekolah baru Ilmi, Clayton North Primary School, di pinggiran kota Melbourne, ada sebuah tradisi: setiap anak yang akan ke toilet selalu ditemani oleh dua orang temannya. Jadi, murid tidak akan ke toilet sendiri.
Guru akan meminta dua teman dari kelas untuk mendampingi. Mungkin ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kasus yang sempat heboh di sekolah internasional di Jakarta itu.
Teman yang mengantar llmi itu sahabat barunya dari Rusia yang sama-sama tidak bisa berbahasa lnggris. Namun, anehnya mereka menjadi teman akrab. Mungkin mereka berbahasa "Tarzan" kali ya. "Kalau ngomong dia lucu banget Pak," kata llmi menceritakan sahabat barunya itu.
Praktik seperti ini adalah hal sederhana yang mungkin bisa ditiru di Indonesia.
Ketika sudah kembali di rumah, di dalam tas llmi, sudah ada surat pemberitahuan dari sekolah. Isinya, Ilmi mengalami "kecelakaan" dan untuk itu orangtua diharap menyumbang 2 dollar (sekitar Rp 20.000) supaya sekolah bisa tetap memberikan pelayanan yang sama ketika ada anak lain mengalami "kecelakaan" seperti llmi itu.
Yang saya heran dari kejadian hari itu adalah kenapa llmi tidak di-bully oleh teman-temannya? Atau bisa jadi gurunya malah marah kepada anakku itu? Mungkin kalau itu terjadi di Indonesia, Ilmi akan menjadi bahan olok-olok sekelasnya. Bukan tidak mustahil Ilmi akan menjadi ketakukan untuk berangkat ke sekolah lagi.
Dengan demikian, sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan dan taman bermain untuk menumbuhkembangkan potensi anak akan berubah menjadi neraka bagi mereka. Hal itu biasanya ditandai dengan anak kita mulai malas-malasan bangun ketika pagi hari dan merengek untuk bisa bolos hari itu.
Ironisnya, sebagai orangtua, kadang kita sering justru ikut-ikutan mem-bully dengan stempel yang tidak perlu, seperti anak malas atau anak nakal. Jangan salah, stempel seperti itu jika dilakukan terus-menerus akan melekat pada diri anak hingga dewasa.
Keesokan harinya, salah seorang guru di sekolah llmi menghampiriku dan menghibur, "Anakku juga ngompol kok waktu dia sekolah di sekolah dasar dulu. Sekarang sih dia sudah besar," katanya dengan senyum.
Kemudian, guru kelas llmi, Ms Su, warga keturunan China yang pernah hidup di Kanada dan Italia menimpali, "Ajarin saja Ilmi di rumah bagaimana meminta izin di kelas untuk ke toilet, tapi nanti saya juga akan kasih tahu dia secara khusus kok."
Ia kemudian memberiku brosur tentang CV dia sambil tersenyum ramah. "Ini cerita singkat tentang perjalanan karier saya sebagai guru. Di situ, ada nomor telepon dan alamat e-mail. Saya juga akan bikin blog khusus tentang kelas ini. Nanti kita komunikasi terus ya tentang perkembangan anak Anda," tuturnya.
"Wah perhatian betul guru satu ini," kataku dalam hati.
Saya bukan ahli pendidikan anak. Namun, saya yakin bahwa bullying yang terjadi pada anak, baik dari guru maupun teman, atau bahkan dari kita sendiri ketika di rumah, adalah permasalahan serius yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
"Stop Bullying Now!" atau kita akan menciptakan luka mengangga bagi generasi penerus. Konon banyak anak menjadi agresif dan gagal menjadi manusia pembelajar karena menyimpan dendam pada masa kecil yang sering di-bully itu. Maka, ia akan tumbuh menjadi manusia yang selalu insecure dan akan cenderung menindas jika mendapatkan kesempatan.
Sambil aku peluk dan cium Ilmi, mataku melirik sebuah kutipan dari Bob Ross yang ditulis dengan spidol merah di sebuah kaca jendela kelas di sekolah Ilmi, "We don't make mistakes. We have happy accidents," (Kita tidak membuat kesalahan. Kita mengalami kecelakaan yang menyenangkan).
0 komentar:
Post a Comment