Tak Mau Ribut, Keturunan Diponegoro Tolak 'Warisan' Tanah dan Emas
Bogor - Kisah menarik diceritakan oleh para keturunan Pangeran Diponegoro. Setelah terjalinnya rekonsiliasi lewat bantuan Soekarno tahun 1950, ada tawaran warisan tanah dan emas dari pihak Keraton. Namun warisan itu ditolak dengan alasan mencegah keributan.
Ki Roni Sodewo, sebagai keturunan ketujuh dari Pangeran Diponegoro, mengungkapkan warisan itu ditawarkan pada keluarga keturunan Diponegoro di Banyumas, Jawa Tengah. Di sana, tinggal para keturunan dari istri permaisuri, Raden Ayu Supadmi.
"Setelah rekonsiliasi, keraton pernah mengirim utusan ke Banyumas menawarkan tanah di Tegalrejo untuk keluarga Banyumas. Oleh keluarga di Banyumas diterima, tapi dikembalikan lagi ke keraton supaya tidak terjadi perebutan," terang Roni saat berbincang di kediaman para keturunan pangeran Djunet di Ciapus, Bogor.
Tanah di Tegalrejo adalah tempat tinggal Diponegoro semasa kecil. Berdasarkan buku biografi yang ditulis sejarawan Oxford University, Peter Carey, di sana dia sempat tinggal bersama neneknya selama beberapa tahun. Luas lahan yang dimiliki Diponegoro di Tegalrejo mencapai dua hektar. Setelah perang, bangunan di sana sempat dihancurkan Belanda.
Karena ditolak keluarga, tanah itu tetap dalam penguasaan keraton Yogyakarta. Namun kini pengelolaannya dipegang oleh TNI di bawah Kodam Diponegoro. Saat era Soeharto, tempat tinggal itu dibangun sebagai monumen.
"Pihak keluarga sudah merelakan, tidak apa-apa," terangnya.
Selain pada keluarga Banyumas, keraton juga sempat menawarkan harta berupa emas kepada keluarga keturunan Pangeran Djunet di Bogor. Djunet juga anak dari permaisuri yang dinikahi oleh Diponegoro.
"Oleh keluarga diterima juga, tapi langsung dikembalikan lagi, takut pada ribut," terang Roni sambil diiyakan oleh para keturunan Djunet seperti Abdul Wafa, Damon Yusuf Martadiredja dan Pancawati Dewi yang juga diwawancari detikcom di lokasi.
Roni dan anggota keluarga lainnya menegaskan, tak ada warisan dari Diponegoro selain ilmu. Mereka tak mau urusan harta menjadi pemecah belah keluarga. Yang harus diingat dari Diponegoro, oleh keluarga, hanyalah ajaran-ajarannya soal kehidupan, seperti: hidup jujur, berani, tegas dan bijaksana.
"Tak ada warisan dari Pangeran Diponegoro. Kami bangga, tapi sekaligus memikul beban berat. Kalau ketahuan keturunan Diponegoro nyolong ayam, wah pasti mencoreng nama keluarga," tegas Roni.
"Ilmu yang kami dapat adalah watak kejujuran, semua langkah harus diawali kejujuran, pada rakyat, agama dan aturan main," sambungnya.
Dari catatan Peter Carey, pihak Belanda memiliki catatan rinci soal barang-barang yang disita dari Diponegoro. Sebagian sudah ada yang diserahkan ke anak-anaknya, namun tak jelas rimbanya. Sebagian lagi kini di bawah penguasaan pemerintah, termasuk tongkat dan tombak yang baru saja dikembalikan dari Belanda
Bogor - Kisah menarik diceritakan oleh para keturunan Pangeran Diponegoro. Setelah terjalinnya rekonsiliasi lewat bantuan Soekarno tahun 1950, ada tawaran warisan tanah dan emas dari pihak Keraton. Namun warisan itu ditolak dengan alasan mencegah keributan.
Ki Roni Sodewo, sebagai keturunan ketujuh dari Pangeran Diponegoro, mengungkapkan warisan itu ditawarkan pada keluarga keturunan Diponegoro di Banyumas, Jawa Tengah. Di sana, tinggal para keturunan dari istri permaisuri, Raden Ayu Supadmi.
"Setelah rekonsiliasi, keraton pernah mengirim utusan ke Banyumas menawarkan tanah di Tegalrejo untuk keluarga Banyumas. Oleh keluarga di Banyumas diterima, tapi dikembalikan lagi ke keraton supaya tidak terjadi perebutan," terang Roni saat berbincang di kediaman para keturunan pangeran Djunet di Ciapus, Bogor.
Tanah di Tegalrejo adalah tempat tinggal Diponegoro semasa kecil. Berdasarkan buku biografi yang ditulis sejarawan Oxford University, Peter Carey, di sana dia sempat tinggal bersama neneknya selama beberapa tahun. Luas lahan yang dimiliki Diponegoro di Tegalrejo mencapai dua hektar. Setelah perang, bangunan di sana sempat dihancurkan Belanda.
Karena ditolak keluarga, tanah itu tetap dalam penguasaan keraton Yogyakarta. Namun kini pengelolaannya dipegang oleh TNI di bawah Kodam Diponegoro. Saat era Soeharto, tempat tinggal itu dibangun sebagai monumen.
"Pihak keluarga sudah merelakan, tidak apa-apa," terangnya.
Selain pada keluarga Banyumas, keraton juga sempat menawarkan harta berupa emas kepada keluarga keturunan Pangeran Djunet di Bogor. Djunet juga anak dari permaisuri yang dinikahi oleh Diponegoro.
"Oleh keluarga diterima juga, tapi langsung dikembalikan lagi, takut pada ribut," terang Roni sambil diiyakan oleh para keturunan Djunet seperti Abdul Wafa, Damon Yusuf Martadiredja dan Pancawati Dewi yang juga diwawancari detikcom di lokasi.
Roni dan anggota keluarga lainnya menegaskan, tak ada warisan dari Diponegoro selain ilmu. Mereka tak mau urusan harta menjadi pemecah belah keluarga. Yang harus diingat dari Diponegoro, oleh keluarga, hanyalah ajaran-ajarannya soal kehidupan, seperti: hidup jujur, berani, tegas dan bijaksana.
"Tak ada warisan dari Pangeran Diponegoro. Kami bangga, tapi sekaligus memikul beban berat. Kalau ketahuan keturunan Diponegoro nyolong ayam, wah pasti mencoreng nama keluarga," tegas Roni.
"Ilmu yang kami dapat adalah watak kejujuran, semua langkah harus diawali kejujuran, pada rakyat, agama dan aturan main," sambungnya.
Dari catatan Peter Carey, pihak Belanda memiliki catatan rinci soal barang-barang yang disita dari Diponegoro. Sebagian sudah ada yang diserahkan ke anak-anaknya, namun tak jelas rimbanya. Sebagian lagi kini di bawah penguasaan pemerintah, termasuk tongkat dan tombak yang baru saja dikembalikan dari Belanda
0 komentar:
Post a Comment