by Lesminingtyas
Sebagai bahan perenungan bagi para ORANG TUA... Tahun yang lalu saya harus
mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika,
duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan
wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan
kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan
anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang
bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung
dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika, "Apa yang kamu inginkan ?"
Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan
wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah
sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta
bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, psikolog yang tampil
bersahaja namun penuh keramahan itu segera member ita hukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana
skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu
pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.
Adasatu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari
115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan
yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih
lanjut. Oleh sebab Itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk
mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi.
Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian. Suatu sore, saya
menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test
kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya
psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu
atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa
membaca jer ita n hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku : ..........",
Dikapun menjawab: "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya
berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya
merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain
puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cer ita
, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu itu saya
berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang
tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan
jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika
hanya sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa
kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin ayahku
............ ..", Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun
kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia
menuntutku melakukan sesuatu".
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia
hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa
yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi
kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus
dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang
habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal
seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ............ .
..", maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya". Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras,disiplin,
hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya in ginkan itu merupakan sikap
yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika
persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali
ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri k ita atau bahkan beranggapan
bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak ............
.", Dika pun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa".
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah
dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk
berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur.
Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang
telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan
untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya
anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa
belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang
salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang
............ .. ...", Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang
penting saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas
hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan P R
yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting,
bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang
polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting
dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak
kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ............ ..........
...", Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling
hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua
berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan.
Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau
mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti
apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........ ",
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk
adikku". Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi
saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata
saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan
supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari
bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali
oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih
kasih.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari........
........", Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan
satu kata "tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah
merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal
kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan
wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak
dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap
hari.
Ketika psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku. ...", Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan
nama yang bagus". Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah
memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi
Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggi lnya dengan
sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang"
yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole". Waktu itu saya
merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan
sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.
Ketika psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku ....", Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan
logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang s ayur keliling" kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia.
Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child
Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan
bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan Tanpa saya
sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan
panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam
senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua
kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak
"Pesan Yang Tak Terucapkan".
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak
yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan
untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
Sebagai bahan perenungan bagi para ORANG TUA... Tahun yang lalu saya harus
mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika,
duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan
wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan
kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan
anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang
bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung
dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika, "Apa yang kamu inginkan ?"
Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan
wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah
sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta
bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, psikolog yang tampil
bersahaja namun penuh keramahan itu segera member ita hukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana
skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu
pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.
Adasatu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari
115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan
yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih
lanjut. Oleh sebab Itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk
mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi.
Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian. Suatu sore, saya
menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test
kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya
psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu
atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa
membaca jer ita n hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku : ..........",
Dikapun menjawab: "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya
berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya
merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain
puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cer ita
, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu itu saya
berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang
tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan
jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika
hanya sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa
kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin ayahku
............ ..", Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun
kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia
menuntutku melakukan sesuatu".
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia
hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa
yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi
kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus
dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang
habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal
seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ............ .
..", maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya". Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras,disiplin,
hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya in ginkan itu merupakan sikap
yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika
persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali
ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri k ita atau bahkan beranggapan
bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak ............
.", Dika pun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa".
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah
dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk
berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur.
Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang
telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan
untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya
anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa
belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang
salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang
............ .. ...", Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang
penting saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas
hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan P R
yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting,
bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang
polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting
dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak
kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ............ ..........
...", Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling
hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui
kesalahannya dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua
berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan.
Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau
mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti
apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........ ",
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk
adikku". Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi
saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata
saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan
supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari
bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali
oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih
kasih.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari........
........", Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan
satu kata "tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah
merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal
kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan
wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak
dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap
hari.
Ketika psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku. ...", Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan
nama yang bagus". Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah
memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi
Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggi lnya dengan
sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang"
yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole". Waktu itu saya
merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan
sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.
Ketika psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku ....", Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan
logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang s ayur keliling" kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia.
Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child
Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan
bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan Tanpa saya
sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan
panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam
senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua
kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak
"Pesan Yang Tak Terucapkan".
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak
yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan
untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.
0 komentar:
Post a Comment