Bicara soal kesucian atau kesalehan bagi saya sangat susah, kenapa karena saya sendiri sampai hari ini belum suci sedikitpun bahkan seujung kukupun belum. Kealpaan yang saya lakukan masih jauh lebih besar daripada kesucian yang saya lakukan. Namun ijinkanlah saya yang penuh dosa ini berbagi pengalaman dan pemikiran tentang kesucian.
Kalau kita membaca riwayat santo-santa, orang-orang suci biasanya kita sudah ciut nyali atau agak pesimis kalo kita suatu saat nanti akan menyamai mereka dalam hal kesucian. Mereka begitu tabah, punya tekad yang sekuat baja, punya iman yang kuat, rela menderita bahkan rela mati demi cintanya kepada Tuhan dan kebenaran, rajin berdoa, rajin puasa dan lain dan lain yang menambah kesucian mereka. Di jaman kayak begini kita berdoa agak lamaan sedikit sudah dicibir bahwa kita sok suci, atau kalau berdoanya lama dibilang banyak masalah sehingga butuh waktu yang agak panjang untuk konsultasi dengan Tuhan. Berpuasa dan berpantang kayaknya gak trendy deh, ngapain nahan-nahan lapar atau nahan-nahan suatu keinginan.
Namun bila kita renung-renung sejenak, ada juga orang yang melakukan matiraga dan kegiatan-kegiatan yang mengekang kemauan-kemauannya, mengendalikan pikiran dan nafsunya, ngapain juga mereka itu?
Orang-orang bijak berkata bahwa musuh yang paling besar sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Diri kita identik dengan pikiran-pikiran kita, sesuatu yang mengendalikan kita ke suatu arah entah baik atau buruk. Pada saat-saat kritis juga pikiran kita berkecamuk, atau sering kita menjumpai bahwa pikiran kita berkelana ke masa lalu, masa depan, ke suatu tempat dimana kita pernah mengunjunginya atau bahkan ke tempat dimana kita belum pernah mengunjunginya, membawa kita kepada suatu keadaan yang perlu diwujudkan atau pernah terwujud, kepada keadaan yang kita rindukan untuk berulang kembali atau yang kita tidak ingin untuk terulang kembali pada kehidupan kita, membawa kita pada seseorang yang kita cintai atau yang kita benci atau bahkan pada diri itu sendiri. Pokoke ke mana aja lah terserah pikiran itu. Nah masalahnya jika pikiran itu dibiarkan berkelana kemana-mana ia menjadi liar dan jahat. Kita punya istilah yang bagus untuk menggambarkan hal tersebut : mengada-ada atau kalau kata orang-orang tua dulu: pikiranku lagi tidak berada dalam badanku. Wah bahaya banget, kayak zombie aja.
Dulu saya pernah ikut sesi meditasi dalam suatu acara retret. Apa yang harus kita lakukan dalam sesi meditasi itu gampang saja, bahkan sangat amat gampang banget. Kita hanya diminta menyadari udara yang masuk dalam hidung kita dan keluar dari hidung kita lalu diteruskan dengan menyadari busana (baju atau celana, pokoke benda yang menempel di badan kita) mulai dari kepala hingga ke kaki. Kedengarannya gampang saja, tapi jika kita melakukannya wow ini sulitnya minta ampun. Sebagian besar dari kami berkomentar bahwa menyadari udara yang keluar masuk hidung kita dan menyadari busana yang menempel di badan kita hanya bisa kita lakukan paling lama cuma 5 menit, sesudah itu pikiran melayang kemana-mana, padahal kata si fasilitator, hal-hal kayak begini masih tingkat dasar dalam meditasi...ampun deh. Saya jadi berpikir bahwa para rahib, sufi, bhiksu atau sannyasi itu hebat banget yah, bisa bermeditasi hingga berjam-jam, pikiran mereka bisa mereka kendalikan seketat itu.
Mungkin untuk kita yang hidup di dunia yang hiruk pikuk ini, hal-hal semacam itu bisa jadi pemborosan waktu saja. Ngapain capek-capek diam dalam posisi tertentu selama berjam-jam, Cuma untuk menyadari udara yang keluar masuk lewat hidung kita kan tidak produktif banget.
Namun setelah direnungkan lagi sebenarnya latihan meditasi ini hanya untuk membuat kita sadar akan apa yang ada bersama kita saat ini dan apa yang kita lakukan saat ini. Bahwa kita hadir saat ini haruslah lengkap dengan seluruh jiwa raga kita. Mungkin para pertapa-pertapa tadi akan mencibir ke kita karena kita bahkan tidak bisa menyadari bahwa kita sedang bernapas, bahwa kita tidak menyadari apa yang kita kenakan. Bagaimana anda bisa hidup kalo yang dasariah-dasariah saja berlalu dari kesadaran anda? Hidup seperti apa yang anda jalani kalo yang dasariah-dasariah saja lewat dari kesadaran anda?
Bicara soal kesadaran diri, dewasa ini banyak orang yang gandrung akan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hidup. Entah berapa ratus atau ribu judul buku yang terbit saat ini membahas tentang kesadaran diri, banyak sekali alat-alat yang digunakan untuk sampai ke situ mulai dari sesi pelatihan eksekutif dan asesmen umpan balik 360 derajat hingga indikator Myers-Briggs dan tes kepribadian Eneagram, bahkan para suhu astrologi dan pengembangan pribadi punya pendengar di antara para eksekutif perusahaan yang haus akan pengenalan diri. Jika begitu berarti bahwa kita sepakat kesadaran diri merupakan hal yang penting dalam hidup kita bahkan saat kita melakukan pekerjaan kita di kantor.
Nah lalu apa hubungan semuanya itu, kesucian dan kesadaran diri. Sejak sejarah peradaban manusia dimulai hingga saat ini, manusia selalu menghargai kesadaran diri. Saya pernah membaca cerita saat Sang Budha ditanya oleh muridNya. Pertanyaannya seperti ini: “Guru, siapakah yang dapat disebut orang suci, menurut Guru?” Jawaban Sang Budha sederhana sekali: “Setiap hari terbagi atas beberapa jam, setiap jam terbagi atas beberapa menit dan setiap menit terbagi atas beberapa detik, orang yang menaruh perhatian sungguh-sungguh bahkan untuk satu detik saja dalam hidupnya dialah yang pantas disebut orang suci” Jadi kabar baiknya adalah tidak perlu melakukan hal-hal yang besar-besar cukup memberi perhatian sungguh-sungguh untuk setiap detik dalam hidup kita.
Seorang suci Ignatius dari Loyola pakar pengembangan diri, mengembangkan sebuah metode yang disebut Pemeriksaan Kesadaran Diri yang biasanya dilakukan 2 kali sehari. Setiap pemeriksaan dimulai dengan mengingat pandangan positif dan penuh cinta kasih tentang dunia, mengucap syukur kepada Tuhan atas apa yang sudah saya terima. Kemudian dilihat kembali hidup yang sudah dijalani hingga saat mengadakan pemeriksaan batin, meminta pertanggungjawaban dari jiwa mulai dari waktu bangun sampai saat ini, dari jam ke jam atau dari waktu ke waktu tentang hal-hal khusus yang telah diputuskan untuk dikoreksi dan ditingkatkan. Kebiasaan ini sederhana, namun berdaya besar. Segugus tujuan besar dapat diupayakan kala dipecah-pecah dalam rangkaian tujuan yang lebih kecil. Tidak merokok selama sisa hidup mungkin membuat hati jadi kecut, tetapi tidak merokok selama beberapa jam ke depan mungkin untuk dilaksanakan. Ingin menjadi lebih asertif agar mendorong perjalanan karier mungkin terlalu luas atau mungkin mengada-ada, tetapi menilai apakah diriku bersikap asertif dalam meeting sejam lalu merupakan cara berfokus pada cita-cita ini dengan presisi mesin laser. Pemeriksaan ini menciptakan pengulangan umpan balik yang terus-menerus. Informasi baru yang relevan dipadukan dan dinilai dalam waktu yang riil. Saya mengingatkan diri saya tentang tujuan-tujuan saya setiap pagi bukan setiap enam bulan sekali dan saya menarik pelajaran-pelajan yang saya pelajari dari keberhasilan dan kegagalan saya dua kali sehari bukan sekali setahun. Menurut saya pemeriksaan ini sangat bermanfaat bagi orang-orang sibuk. Sedikit orang mau meluangkan waktu bahkan sehari dalam setahun untuk berefleksi, tapi setiap orang dapat meluangkan waktu 5 menit, tiga kali sehari.
Kalau kita membaca riwayat santo-santa, orang-orang suci biasanya kita sudah ciut nyali atau agak pesimis kalo kita suatu saat nanti akan menyamai mereka dalam hal kesucian. Mereka begitu tabah, punya tekad yang sekuat baja, punya iman yang kuat, rela menderita bahkan rela mati demi cintanya kepada Tuhan dan kebenaran, rajin berdoa, rajin puasa dan lain dan lain yang menambah kesucian mereka. Di jaman kayak begini kita berdoa agak lamaan sedikit sudah dicibir bahwa kita sok suci, atau kalau berdoanya lama dibilang banyak masalah sehingga butuh waktu yang agak panjang untuk konsultasi dengan Tuhan. Berpuasa dan berpantang kayaknya gak trendy deh, ngapain nahan-nahan lapar atau nahan-nahan suatu keinginan.
Namun bila kita renung-renung sejenak, ada juga orang yang melakukan matiraga dan kegiatan-kegiatan yang mengekang kemauan-kemauannya, mengendalikan pikiran dan nafsunya, ngapain juga mereka itu?
Orang-orang bijak berkata bahwa musuh yang paling besar sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Diri kita identik dengan pikiran-pikiran kita, sesuatu yang mengendalikan kita ke suatu arah entah baik atau buruk. Pada saat-saat kritis juga pikiran kita berkecamuk, atau sering kita menjumpai bahwa pikiran kita berkelana ke masa lalu, masa depan, ke suatu tempat dimana kita pernah mengunjunginya atau bahkan ke tempat dimana kita belum pernah mengunjunginya, membawa kita kepada suatu keadaan yang perlu diwujudkan atau pernah terwujud, kepada keadaan yang kita rindukan untuk berulang kembali atau yang kita tidak ingin untuk terulang kembali pada kehidupan kita, membawa kita pada seseorang yang kita cintai atau yang kita benci atau bahkan pada diri itu sendiri. Pokoke ke mana aja lah terserah pikiran itu. Nah masalahnya jika pikiran itu dibiarkan berkelana kemana-mana ia menjadi liar dan jahat. Kita punya istilah yang bagus untuk menggambarkan hal tersebut : mengada-ada atau kalau kata orang-orang tua dulu: pikiranku lagi tidak berada dalam badanku. Wah bahaya banget, kayak zombie aja.
Dulu saya pernah ikut sesi meditasi dalam suatu acara retret. Apa yang harus kita lakukan dalam sesi meditasi itu gampang saja, bahkan sangat amat gampang banget. Kita hanya diminta menyadari udara yang masuk dalam hidung kita dan keluar dari hidung kita lalu diteruskan dengan menyadari busana (baju atau celana, pokoke benda yang menempel di badan kita) mulai dari kepala hingga ke kaki. Kedengarannya gampang saja, tapi jika kita melakukannya wow ini sulitnya minta ampun. Sebagian besar dari kami berkomentar bahwa menyadari udara yang keluar masuk hidung kita dan menyadari busana yang menempel di badan kita hanya bisa kita lakukan paling lama cuma 5 menit, sesudah itu pikiran melayang kemana-mana, padahal kata si fasilitator, hal-hal kayak begini masih tingkat dasar dalam meditasi...ampun deh. Saya jadi berpikir bahwa para rahib, sufi, bhiksu atau sannyasi itu hebat banget yah, bisa bermeditasi hingga berjam-jam, pikiran mereka bisa mereka kendalikan seketat itu.
Mungkin untuk kita yang hidup di dunia yang hiruk pikuk ini, hal-hal semacam itu bisa jadi pemborosan waktu saja. Ngapain capek-capek diam dalam posisi tertentu selama berjam-jam, Cuma untuk menyadari udara yang keluar masuk lewat hidung kita kan tidak produktif banget.
Namun setelah direnungkan lagi sebenarnya latihan meditasi ini hanya untuk membuat kita sadar akan apa yang ada bersama kita saat ini dan apa yang kita lakukan saat ini. Bahwa kita hadir saat ini haruslah lengkap dengan seluruh jiwa raga kita. Mungkin para pertapa-pertapa tadi akan mencibir ke kita karena kita bahkan tidak bisa menyadari bahwa kita sedang bernapas, bahwa kita tidak menyadari apa yang kita kenakan. Bagaimana anda bisa hidup kalo yang dasariah-dasariah saja berlalu dari kesadaran anda? Hidup seperti apa yang anda jalani kalo yang dasariah-dasariah saja lewat dari kesadaran anda?
Bicara soal kesadaran diri, dewasa ini banyak orang yang gandrung akan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hidup. Entah berapa ratus atau ribu judul buku yang terbit saat ini membahas tentang kesadaran diri, banyak sekali alat-alat yang digunakan untuk sampai ke situ mulai dari sesi pelatihan eksekutif dan asesmen umpan balik 360 derajat hingga indikator Myers-Briggs dan tes kepribadian Eneagram, bahkan para suhu astrologi dan pengembangan pribadi punya pendengar di antara para eksekutif perusahaan yang haus akan pengenalan diri. Jika begitu berarti bahwa kita sepakat kesadaran diri merupakan hal yang penting dalam hidup kita bahkan saat kita melakukan pekerjaan kita di kantor.
Nah lalu apa hubungan semuanya itu, kesucian dan kesadaran diri. Sejak sejarah peradaban manusia dimulai hingga saat ini, manusia selalu menghargai kesadaran diri. Saya pernah membaca cerita saat Sang Budha ditanya oleh muridNya. Pertanyaannya seperti ini: “Guru, siapakah yang dapat disebut orang suci, menurut Guru?” Jawaban Sang Budha sederhana sekali: “Setiap hari terbagi atas beberapa jam, setiap jam terbagi atas beberapa menit dan setiap menit terbagi atas beberapa detik, orang yang menaruh perhatian sungguh-sungguh bahkan untuk satu detik saja dalam hidupnya dialah yang pantas disebut orang suci” Jadi kabar baiknya adalah tidak perlu melakukan hal-hal yang besar-besar cukup memberi perhatian sungguh-sungguh untuk setiap detik dalam hidup kita.
Seorang suci Ignatius dari Loyola pakar pengembangan diri, mengembangkan sebuah metode yang disebut Pemeriksaan Kesadaran Diri yang biasanya dilakukan 2 kali sehari. Setiap pemeriksaan dimulai dengan mengingat pandangan positif dan penuh cinta kasih tentang dunia, mengucap syukur kepada Tuhan atas apa yang sudah saya terima. Kemudian dilihat kembali hidup yang sudah dijalani hingga saat mengadakan pemeriksaan batin, meminta pertanggungjawaban dari jiwa mulai dari waktu bangun sampai saat ini, dari jam ke jam atau dari waktu ke waktu tentang hal-hal khusus yang telah diputuskan untuk dikoreksi dan ditingkatkan. Kebiasaan ini sederhana, namun berdaya besar. Segugus tujuan besar dapat diupayakan kala dipecah-pecah dalam rangkaian tujuan yang lebih kecil. Tidak merokok selama sisa hidup mungkin membuat hati jadi kecut, tetapi tidak merokok selama beberapa jam ke depan mungkin untuk dilaksanakan. Ingin menjadi lebih asertif agar mendorong perjalanan karier mungkin terlalu luas atau mungkin mengada-ada, tetapi menilai apakah diriku bersikap asertif dalam meeting sejam lalu merupakan cara berfokus pada cita-cita ini dengan presisi mesin laser. Pemeriksaan ini menciptakan pengulangan umpan balik yang terus-menerus. Informasi baru yang relevan dipadukan dan dinilai dalam waktu yang riil. Saya mengingatkan diri saya tentang tujuan-tujuan saya setiap pagi bukan setiap enam bulan sekali dan saya menarik pelajaran-pelajan yang saya pelajari dari keberhasilan dan kegagalan saya dua kali sehari bukan sekali setahun. Menurut saya pemeriksaan ini sangat bermanfaat bagi orang-orang sibuk. Sedikit orang mau meluangkan waktu bahkan sehari dalam setahun untuk berefleksi, tapi setiap orang dapat meluangkan waktu 5 menit, tiga kali sehari.
1 komentar:
mantaap.. ma broo, tnks for share..
Post a Comment