Kisah Tawanan Jepang, Lepas dari Jugun Ianfu karena Menyamar sebagai Lelaki
Potret Rita la Fontaine de Clercq Zubli di buku memoarnya tentang masa pendudukan Jepang 1942-45. Jelang pendudukan Jepang, seorang pastor menyarankan kepadanya supaya berganti penampilan menjadi seorang anak lelaki.
“Rumah kami menghadap perairan Jambi di sepanjang Sungai Batanghari,” tulis Rita dalam buku kenangan yang berkisah ketika dia berusia 12 tahun. “Sepanjang hari kami mendengar ledakan dari gudang-gudang tempat penyimpanan minyak.”
Rita merupakan gadis Indo-Belanda yang berambut panjang berwarna cokelat tua, sulung dari tiga bersaudara. Dia adalah anak perempuan satu-satunya. Ayahnya bertugas sebagai Kepala Post, Telegraf en Telefoondienst—kantor dinas pemerintah Hindia Belanda yang melayani pos, telegraf, dan telepon—di Jambi.
Setelah Semenanjung Malaya bertekuk lutut di bawah bendera Hinomaru, pada Januari 1942, Jepang memasuki kawasan Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pun melakukan sabotase terhadap fasilitas publik supaya tidak dapat digunakan oleh musuh. Untuk melawan pergerakan armada Jepang tampaknya menjadi sesuatu yang berlebihan.
Kedatangan bala tentara ini telah meresahkan warga Belanda dan keturunan Belanda yang menghuni kota-kota di Hindia Belanda. Semua mengetahui bahwa para serdadu Jepang memiliki perempuan penghibur yang berasal dari warga lokal dari negara yang mereka duduki—jugun ianfu. Para perempuan belia menjadi korban perang lantaran dipaksa melayani serdadu Jepang di rumah-rumah bordil.
Koevoets, seorang pastor Belanda, berkunjung ke rumah keluarga Rita. Dia berbicara kepada orang tuanya dan menyarankan supaya gadis itu untuk mengubah penampilannya menjadi seorang lelaki. “Wanita yang dicari tentara-tentara itu adalah gadis-gadis muda yang belum bisa melindungi dirinya,” ujar Koevoets kepada Rita. “Kami ingin melindungimu dari tentara-tentara yang ingin memanfaatkan gadis-gadis bau kencur sepertimu.”
Akhirnya Rita menuruti keinginan sang pastor dan orang tuanya, meskipun dia belum memahami sepenuhnya tentang kengerian yang kelak dihadapi perempuan-perempuan di Hindia Belanda. Tampaknya Pastor Koevoets sudah mempersiapkan semuanya, dia membawa sikat rambut, sisir, jepit, dan gunting.
Di teras rumahnya, Rita tampak tak terlalu gembira menghadapi gunting sang pastor yang menebas rambutnya. “Aku akan kehilangan sesuatu yang berharga—rambut panjangku yang berwarna cokelat tua,” ungkap Rita dalam buku kenangannya.
Usai memangkas rambutnya, pastor itu memberikan beberapa setel kemeja anak lelaki, busana dalam, hingga sepatu kepada Rita. Kini Rita menjelma menjadi anak lelaki.
Pada pertengahan Februari 1943, Jepang merambah Jambi. Semua warga Belanda digiring untuk pemeriksaan di sebuah kantor polisi di bawah pengawasan Jepang. Ada satu hal yang terlewatkan oleh orang tua Rita: Anak perempuan mereka yang sudah menjelma menjadi lelaki itu masih bernama “Rita”. Mereka tersadar dan secara spontan mengganti nama "Rita" dengan "Richard". Nama panggilannya pun menjadi "Rick".
“Warga Hindia Belanda dan keluargaku dikucilkan dari dunia luar selama empat puluh satu bulan,” ungkap Rita meretas kenangannya. Tawanan perempuan dan anak-anak dipisahkan dengan tawanan lelaki dewasa. Selama pendudukan Jepang, dia bermukim di kamp tawanan di Jambi dan Palembang. “Aku harus meneruskan penyamaranku sebagai anak laki-laki sampai waktu yang sangat lama.”
Rick merupakan seorang yang cerdas dan pandai bersikap sehingga penyamarannya pun tak terungkap. Dia selamat dari perekrutan jugun ianfu. Banyak perempuan Belanda, Indo-Belanda, bahkan juga perempuan pribumi, ditarik paksa oleh serdadu-serdadu Jepang. Mereka direkrut sebagai pemuas kebutuhan seksual serdadu Jepang pada 1942-1945. Para perempuan malang itu tidak hanya berasal dari Hindia Belanda, tetapi juga di Korea, Tiongkok, dan Indocina.
Setelah Jepang kalah perang, Rita kembali menjalani hidup sebagai perempuan muda. Beberapa tahun kemudian sia menikah dengan lelaki Belanda pemilik perkebunan karet. Mereka dikaruniai empat anak di sebuah rumah di Kota Nashua, New Hampshire, Amerika Serikat.
Sekelompok penulis memberikan semangat dan dukungan kepada Rita untuk menorehkan kisahnya dalam sebuah buku kenangan. Kemudian buku berjudul Disguised karya Rita la Fontaine de Clercq Zubli pun terbit di London, 65 tahun setelah dia bersama keluarga dan orang-orang Belanda lainnya menjadi tawanan perang. Pada 2009, buku itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Sang Penyamar.
“Semoga apa yang telah kualami dapat memberikan sesuatu yang menguatkan tekad Anda dalam menghadapi masa-masa sulit dengan penuh keberanian,” ungkap Rita di bagian pengantar bukunya. “Memang mudah bagi kita untuk menyerah; tapi adalah tantangan untuk bisa bertahan dan menang.”
Tampaknya kalimat itu menjadi pesan akhir sang penyintas. Rita wafat pada November 2012 dalam usia 82 tahun.
Jepang Diminta Hentikan Manipulasi Jugun Ianfu
Lebih dari 180 sejarawan dari berbagai negara mengeluarkan surat terbuka kepada pemerintah Jepang agar berhenti melakukan manipulasi, sensor, dan intimidasi terhadap sejarawan yang menulis Perang Dunia II.
Sebagian besar berasal dari perguruan tinggi di Amerika Serikat, namun ada pula sejarawan Inggris dan Eropa.
Mereka terdorong menulis surat terbuka setelah muncul kontroversi secara terus-menerus tentang perempuan penghibur atau dikenal dengan nama jugun ianfu yang bekerja di rumah bordil militer Jepang di masa perang.
Persoalan itu telah menjadi batu sandungan dalam hubungan Jepang dengan sejumlah negara tetangga.
Jumlah perempuan penghibur untuk tentara Jepang tidak diketahui pasti tetapi diperkirakan mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu. Mereka berasal dari Cina, Korea dan negara-negara lain yang dijajah Jepang, termasuk Indonesia.
Seperti dilaporkan oleh wartawan BBC Nick Higham, perempuan penghibur untuk tentara Jepang sering disebut sebagai budak seks.
Pemerintah Jepang dituduh berusaha menutup-nutupi fakta sejarah, antara lain ditunjukkan dengan tindakan konsul Jepang di Amerika Serikat Desember lalu.
Ia meminta penerbit McGraw-Hill untuk mengubah beberapa paragraf di dalam buku yang menyebutkan bahwa militer Jepang merekrut paksa perempuan-perempuan muda.
Disebutkan pula militer Jepang "membunuh massal mereka untuk menutup-nutupi operasi itu."
Potret Rita la Fontaine de Clercq Zubli di buku memoarnya tentang masa pendudukan Jepang 1942-45. Jelang pendudukan Jepang, seorang pastor menyarankan kepadanya supaya berganti penampilan menjadi seorang anak lelaki.
“Rumah kami menghadap perairan Jambi di sepanjang Sungai Batanghari,” tulis Rita dalam buku kenangan yang berkisah ketika dia berusia 12 tahun. “Sepanjang hari kami mendengar ledakan dari gudang-gudang tempat penyimpanan minyak.”
Rita merupakan gadis Indo-Belanda yang berambut panjang berwarna cokelat tua, sulung dari tiga bersaudara. Dia adalah anak perempuan satu-satunya. Ayahnya bertugas sebagai Kepala Post, Telegraf en Telefoondienst—kantor dinas pemerintah Hindia Belanda yang melayani pos, telegraf, dan telepon—di Jambi.
Setelah Semenanjung Malaya bertekuk lutut di bawah bendera Hinomaru, pada Januari 1942, Jepang memasuki kawasan Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pun melakukan sabotase terhadap fasilitas publik supaya tidak dapat digunakan oleh musuh. Untuk melawan pergerakan armada Jepang tampaknya menjadi sesuatu yang berlebihan.
Kedatangan bala tentara ini telah meresahkan warga Belanda dan keturunan Belanda yang menghuni kota-kota di Hindia Belanda. Semua mengetahui bahwa para serdadu Jepang memiliki perempuan penghibur yang berasal dari warga lokal dari negara yang mereka duduki—jugun ianfu. Para perempuan belia menjadi korban perang lantaran dipaksa melayani serdadu Jepang di rumah-rumah bordil.
Koevoets, seorang pastor Belanda, berkunjung ke rumah keluarga Rita. Dia berbicara kepada orang tuanya dan menyarankan supaya gadis itu untuk mengubah penampilannya menjadi seorang lelaki. “Wanita yang dicari tentara-tentara itu adalah gadis-gadis muda yang belum bisa melindungi dirinya,” ujar Koevoets kepada Rita. “Kami ingin melindungimu dari tentara-tentara yang ingin memanfaatkan gadis-gadis bau kencur sepertimu.”
Akhirnya Rita menuruti keinginan sang pastor dan orang tuanya, meskipun dia belum memahami sepenuhnya tentang kengerian yang kelak dihadapi perempuan-perempuan di Hindia Belanda. Tampaknya Pastor Koevoets sudah mempersiapkan semuanya, dia membawa sikat rambut, sisir, jepit, dan gunting.
Di teras rumahnya, Rita tampak tak terlalu gembira menghadapi gunting sang pastor yang menebas rambutnya. “Aku akan kehilangan sesuatu yang berharga—rambut panjangku yang berwarna cokelat tua,” ungkap Rita dalam buku kenangannya.
Usai memangkas rambutnya, pastor itu memberikan beberapa setel kemeja anak lelaki, busana dalam, hingga sepatu kepada Rita. Kini Rita menjelma menjadi anak lelaki.
Pada pertengahan Februari 1943, Jepang merambah Jambi. Semua warga Belanda digiring untuk pemeriksaan di sebuah kantor polisi di bawah pengawasan Jepang. Ada satu hal yang terlewatkan oleh orang tua Rita: Anak perempuan mereka yang sudah menjelma menjadi lelaki itu masih bernama “Rita”. Mereka tersadar dan secara spontan mengganti nama "Rita" dengan "Richard". Nama panggilannya pun menjadi "Rick".
“Warga Hindia Belanda dan keluargaku dikucilkan dari dunia luar selama empat puluh satu bulan,” ungkap Rita meretas kenangannya. Tawanan perempuan dan anak-anak dipisahkan dengan tawanan lelaki dewasa. Selama pendudukan Jepang, dia bermukim di kamp tawanan di Jambi dan Palembang. “Aku harus meneruskan penyamaranku sebagai anak laki-laki sampai waktu yang sangat lama.”
Rick merupakan seorang yang cerdas dan pandai bersikap sehingga penyamarannya pun tak terungkap. Dia selamat dari perekrutan jugun ianfu. Banyak perempuan Belanda, Indo-Belanda, bahkan juga perempuan pribumi, ditarik paksa oleh serdadu-serdadu Jepang. Mereka direkrut sebagai pemuas kebutuhan seksual serdadu Jepang pada 1942-1945. Para perempuan malang itu tidak hanya berasal dari Hindia Belanda, tetapi juga di Korea, Tiongkok, dan Indocina.
Setelah Jepang kalah perang, Rita kembali menjalani hidup sebagai perempuan muda. Beberapa tahun kemudian sia menikah dengan lelaki Belanda pemilik perkebunan karet. Mereka dikaruniai empat anak di sebuah rumah di Kota Nashua, New Hampshire, Amerika Serikat.
Sekelompok penulis memberikan semangat dan dukungan kepada Rita untuk menorehkan kisahnya dalam sebuah buku kenangan. Kemudian buku berjudul Disguised karya Rita la Fontaine de Clercq Zubli pun terbit di London, 65 tahun setelah dia bersama keluarga dan orang-orang Belanda lainnya menjadi tawanan perang. Pada 2009, buku itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Sang Penyamar.
“Semoga apa yang telah kualami dapat memberikan sesuatu yang menguatkan tekad Anda dalam menghadapi masa-masa sulit dengan penuh keberanian,” ungkap Rita di bagian pengantar bukunya. “Memang mudah bagi kita untuk menyerah; tapi adalah tantangan untuk bisa bertahan dan menang.”
Tampaknya kalimat itu menjadi pesan akhir sang penyintas. Rita wafat pada November 2012 dalam usia 82 tahun.
Jepang Diminta Hentikan Manipulasi Jugun Ianfu
Lebih dari 180 sejarawan dari berbagai negara mengeluarkan surat terbuka kepada pemerintah Jepang agar berhenti melakukan manipulasi, sensor, dan intimidasi terhadap sejarawan yang menulis Perang Dunia II.
Sebagian besar berasal dari perguruan tinggi di Amerika Serikat, namun ada pula sejarawan Inggris dan Eropa.
Mereka terdorong menulis surat terbuka setelah muncul kontroversi secara terus-menerus tentang perempuan penghibur atau dikenal dengan nama jugun ianfu yang bekerja di rumah bordil militer Jepang di masa perang.
Persoalan itu telah menjadi batu sandungan dalam hubungan Jepang dengan sejumlah negara tetangga.
Jumlah perempuan penghibur untuk tentara Jepang tidak diketahui pasti tetapi diperkirakan mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu. Mereka berasal dari Cina, Korea dan negara-negara lain yang dijajah Jepang, termasuk Indonesia.
Seperti dilaporkan oleh wartawan BBC Nick Higham, perempuan penghibur untuk tentara Jepang sering disebut sebagai budak seks.
Pemerintah Jepang dituduh berusaha menutup-nutupi fakta sejarah, antara lain ditunjukkan dengan tindakan konsul Jepang di Amerika Serikat Desember lalu.
Ia meminta penerbit McGraw-Hill untuk mengubah beberapa paragraf di dalam buku yang menyebutkan bahwa militer Jepang merekrut paksa perempuan-perempuan muda.
Disebutkan pula militer Jepang "membunuh massal mereka untuk menutup-nutupi operasi itu."
0 komentar:
Post a Comment