“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13)
Tgl 17 Pebruari 1941 tentara Nazi Jerman menangkap Pastor Maximilian Kolbe karena dituduh memberi perlindungan kepada orang-orang Yahudi, lalu menjebloskannya ke penjara Auschwitz. Di sana dia ditahan di barak no. 16667 bersama banyak narapidana lainnya. Lima bulan kemudian 3 narapidana dari barak tsb melarikan diri. Sebagai sanksinya 10 rekan Pastor Kolbe harus dihukum mati, termasuk Franciszek Gajowniczek. Mengetahui Gajowniczek menangis karena terpaksa akan meninggalkan keluarganya, Pastor Kolbe dengan sukarela mengganti tempatnya. Lalu Pastor Kolbe dihukum mati dengan suntikan asam karbolik. Melihat kesaksian hidupnya serta keberanian mengorbankan nyawa untuk rekannya, tgl 10 Oktober 1982 Pastor Kolbe digelarkan “Santo” oleh Paus Yohanes Paulus II dan dihadiri oleh Gajowniczek, orang yang dia selamatkan nyawanya.
Bacaan Injil hari ini berbicara tentang “kasih seorang sahabat”. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13). Ada 3 hal yang ingin kita refleksikan dari ayat ini yakni memberikan, nyawa dan para sahabat. Pertama, kasih atau cinta itu adalah aktivitas “memberi”. Kita tidak bisa mengatakan “mengasihi” seseorang, kalau tidak diikuti dengan tindakan “memberi”. Kalau seseorang mencintai orang miskin, maka sikap itu harus disertai dengan tindakan “memberi” sesuatu kepada orang miskin. Cinta itu menjadi konkret kalau kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Cinta harus diungkapkan keluar. Kedua, cinta itu memberikan nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang paling berharga
yang kita miliki. Cinta itu adalah aktivitas memberikan apa yang paling berharga, yang paling bernilai, yang terbaik dari diri kita. Memberikan nyawa artinya memberikan segala-galanya. Apa bedanya kalau kita memberi hadiah berupa : baju, kalung, gelang kepada seseorang ? Bedanya ialah jika memberikan nyawa berarti memberikan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Kalau kita dengan tulus memberikan hidup kita kepada orang lain, itu berarti kita tidak memberi kesempatan orang lain untuk merespons. Orang mau balas atau tidak, bukanlah persoalannya. Jadi memberikan nyawa adalah aktivitas cinta yang tuntas. Ini yang dilakukan Allah kepada manusia, ketika Dia mengutus Putra TunggalNya untuk menyelamatkan manusia (Lht bacaan 2 : Allah adalah kasih – I Yoh 4,7-10) Ketiga, cinta sejati adalah memberikan nyawa kepada sahabatnya. Persahabatan adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, apa lagi tanpa sahabat. Orang yang saling bersahabat biasanya saling berbagi, peduli satu sama lain, saling membantu dalam kesulitan dan menikmati kegembiraan bersama. Seorang sahabat tidak akan meninggalkan sendiri sahabatnya dalam kemelut permasalahan, namun dia akan mendampingi. “Friend in need is friend indeed”. Sahabat yg setia ketika kita dalam kesulitan adalah sahabat yang sesungguhnya. Dalam persahabatan hubungan “aku-engkau” menemukan kepenuhan penjabarannya. Dalam persahabatan “engkau” tidak lagi sebagai pribadi yang “lain yang berbeda dari aku”, melainkan menjadi “aku yang lain”. Karena orang lain adalah aku yang lain, maka aneka pengalaman kegembiraan, harapan dan kecemasannya adalah kegembiraan, harapan dan kecemasanku juga. Kalau sahabatku susah, lapar, itu juga adalah kesusahan dan kelaparanku. “Untuk sahabat-sahabatnya” artinya untuk dia yang dengannya saya sungguh terlibat, seperasaan dan sehati. Dalam konteks yang lebih luas, memberikan nyawa kepada sahabat adalah memberikan seluruh diri kita, perhatian kita kepada orang lain, khususnya mereka yang menderita, yang miskin, yang terkena bencana. Mereka adalah “para sahabat” kita, kepada siapa kita bersedia memberikan apa yang kita miliki, termasuk apa yang paling berharga di dalam hidup kita. Itulah makna dari kasih sejati. Itu pula yang diajarkan kepada kita oleh Kristus – Sang Sahabat Sejati kita - dan kemudian ditunjukkan secara heroik oleh Pastor Kolbe ketika “memberikan nyawanya” untuk Gajownizcek. Maka pertanyaan reflektif buat kita : beranikah kita menjadi ‘SAHABAT SEJATI” bagi orang lain ( baca : istri / suami, anak, tetangga, rekan kerja, dll ) ? Semoga !
Tgl 17 Pebruari 1941 tentara Nazi Jerman menangkap Pastor Maximilian Kolbe karena dituduh memberi perlindungan kepada orang-orang Yahudi, lalu menjebloskannya ke penjara Auschwitz. Di sana dia ditahan di barak no. 16667 bersama banyak narapidana lainnya. Lima bulan kemudian 3 narapidana dari barak tsb melarikan diri. Sebagai sanksinya 10 rekan Pastor Kolbe harus dihukum mati, termasuk Franciszek Gajowniczek. Mengetahui Gajowniczek menangis karena terpaksa akan meninggalkan keluarganya, Pastor Kolbe dengan sukarela mengganti tempatnya. Lalu Pastor Kolbe dihukum mati dengan suntikan asam karbolik. Melihat kesaksian hidupnya serta keberanian mengorbankan nyawa untuk rekannya, tgl 10 Oktober 1982 Pastor Kolbe digelarkan “Santo” oleh Paus Yohanes Paulus II dan dihadiri oleh Gajowniczek, orang yang dia selamatkan nyawanya.
Bacaan Injil hari ini berbicara tentang “kasih seorang sahabat”. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15,13). Ada 3 hal yang ingin kita refleksikan dari ayat ini yakni memberikan, nyawa dan para sahabat. Pertama, kasih atau cinta itu adalah aktivitas “memberi”. Kita tidak bisa mengatakan “mengasihi” seseorang, kalau tidak diikuti dengan tindakan “memberi”. Kalau seseorang mencintai orang miskin, maka sikap itu harus disertai dengan tindakan “memberi” sesuatu kepada orang miskin. Cinta itu menjadi konkret kalau kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Cinta harus diungkapkan keluar. Kedua, cinta itu memberikan nyawa. Nyawa adalah sesuatu yang paling berharga
yang kita miliki. Cinta itu adalah aktivitas memberikan apa yang paling berharga, yang paling bernilai, yang terbaik dari diri kita. Memberikan nyawa artinya memberikan segala-galanya. Apa bedanya kalau kita memberi hadiah berupa : baju, kalung, gelang kepada seseorang ? Bedanya ialah jika memberikan nyawa berarti memberikan semuanya tanpa mengharapkan balasan. Kalau kita dengan tulus memberikan hidup kita kepada orang lain, itu berarti kita tidak memberi kesempatan orang lain untuk merespons. Orang mau balas atau tidak, bukanlah persoalannya. Jadi memberikan nyawa adalah aktivitas cinta yang tuntas. Ini yang dilakukan Allah kepada manusia, ketika Dia mengutus Putra TunggalNya untuk menyelamatkan manusia (Lht bacaan 2 : Allah adalah kasih – I Yoh 4,7-10) Ketiga, cinta sejati adalah memberikan nyawa kepada sahabatnya. Persahabatan adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, apa lagi tanpa sahabat. Orang yang saling bersahabat biasanya saling berbagi, peduli satu sama lain, saling membantu dalam kesulitan dan menikmati kegembiraan bersama. Seorang sahabat tidak akan meninggalkan sendiri sahabatnya dalam kemelut permasalahan, namun dia akan mendampingi. “Friend in need is friend indeed”. Sahabat yg setia ketika kita dalam kesulitan adalah sahabat yang sesungguhnya. Dalam persahabatan hubungan “aku-engkau” menemukan kepenuhan penjabarannya. Dalam persahabatan “engkau” tidak lagi sebagai pribadi yang “lain yang berbeda dari aku”, melainkan menjadi “aku yang lain”. Karena orang lain adalah aku yang lain, maka aneka pengalaman kegembiraan, harapan dan kecemasannya adalah kegembiraan, harapan dan kecemasanku juga. Kalau sahabatku susah, lapar, itu juga adalah kesusahan dan kelaparanku. “Untuk sahabat-sahabatnya” artinya untuk dia yang dengannya saya sungguh terlibat, seperasaan dan sehati. Dalam konteks yang lebih luas, memberikan nyawa kepada sahabat adalah memberikan seluruh diri kita, perhatian kita kepada orang lain, khususnya mereka yang menderita, yang miskin, yang terkena bencana. Mereka adalah “para sahabat” kita, kepada siapa kita bersedia memberikan apa yang kita miliki, termasuk apa yang paling berharga di dalam hidup kita. Itulah makna dari kasih sejati. Itu pula yang diajarkan kepada kita oleh Kristus – Sang Sahabat Sejati kita - dan kemudian ditunjukkan secara heroik oleh Pastor Kolbe ketika “memberikan nyawanya” untuk Gajownizcek. Maka pertanyaan reflektif buat kita : beranikah kita menjadi ‘SAHABAT SEJATI” bagi orang lain ( baca : istri / suami, anak, tetangga, rekan kerja, dll ) ? Semoga !
0 komentar:
Post a Comment