Menyebarkan Gerakan Sekolah Menyenangkan ke Seluruh Indonesia
Jakarta - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang terinspirasi dari penyelenggaran pendidikan di Australia semakin banyak diminta menjelaskan konsep tersebut kepada berbagai kalangan pendidikan di Indonesia. Pendirinya Muhammad Nur Rizal baru-baru ini berbicara di Makassar (Sulawesi Selatan).
"Kerjasama di bidang pendidikan melalui program pertukaran guru seperti program Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (BRIDGE) perlu diperluas kemanfaatannya.
Tidak hanya guru yang terlibat di program itu yang dapat merasakan kelebihan program ini melainkan seluruh warga sekolah termasuk siswa, guru lainnya hingga lingkungan di sekitarnya.
"Jadi tidak cukup hanya membangun satu manusianya, namun diperlukan membangun ekosistem sekolahnya, "ungkapan yang saya kemukakan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh Konsulat Jendral Australia di Makasar di depan alumni Autralia baik dosen, aktivis, guru program Bridge serta Dinas Pendidikan di Makassar (Sulawesi Selatan) baru-baru ini.
Sebagai Pendiri Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), kami diundang oleh Konsulat di Makasar untuk berbagi tips dan pengalaman bagaimana memulai perubahan di sekolah sekolah jejaring di Yogyakarta untuk membuat sekolah lebih menyenangkan dan memanusiakan seperti ajaran Ki Hadjar Dewantoro lalu.
Harapannya gerakan yang kami pelopori dapat menular di sekolah sekolah di Makassar.
"Seminar ini diselenggarakan dalam rangka menginisiasi program pengembangan untuk pendidikan dasar dan menengah di Makassar", papar Konsul Jendral Richard Mathews, yang sebelumnya berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia di Melbourne, saat membuka acara tersebut.
Dalam sambutannya disampaikan bahwa Konsulat yang baru diresmikan beberapa bulan lalu ini berkepentingan untuk memfasilitasi program pendidikan yang telah dirancang oleh pemerintah Australia dan Indonesia seperti Program Bridge untuk berkembang di Makasar.
Dalam paparan kami, saya mengajak peserta untuk menerapkan ilmu, pengalaman dan wawasan yang diperoleh selama di Australia kepada masyarakat atau lingkungan di mana mereka bekerja.
Bagi guru diharapkan mampu untuk membawa iklim atau lingkungan belajar yang positif dari Australia ke dalam pembelajaran di kelas atau sekolah.
Bagi dosen atau aktivis dapat mengaplikasikan berbagai filosofi dan teori baru ke dalam kurikulum kampus atau kegiatan pengabdian masyarakat.
Sedangkan bagi Dinas, untuk lebih terbuka dan mendukung berbagai ide perubahan yang dibawa oleh para alumni Bridge di Makassar.
Cara atau pendekatan itu akan memberikan kemanfaatan kepada masyarakat yang lebih luas.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang paham dan toleran atas kemajemukan kultur atau pola pikir yang berkembang, ini akan berguna untuk menjembatani hubungan antar warga atas berbagai kecurigaan atau ketidakpahaman yang terjadi selama ini.
Lebih luas, hal ini bermanfaat untuk memastikan kualitas hubungan Indonesia dan Australia yang kadang naik turun seperti permainan roller coster.
Selama sesi diskusi, banyak dari peserta yang menanyakan bagaimana memulai gerakan ini? apa hambatan dan tantangannya? serta bagaimana pendanaannya?
Kami bersama guru-guru di Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) memilih untuk berbuat melakukan pertukaran sistem dan praktik pendidikan yang telah dilakukan.
Sifatnya mutual dan melalui pendekatan bottom up dimana materi pelatihan didasarkan pada kebutuhan dan persoalan sehari-hari di kelas atau sekolah seperti kekerasan, bully, tidak fokus belajar hingga persoalan penerapan kurikulum 2013.
Indonesia bisa belajar dari sistem pendidikan Australia yang sudah 'personalised learning' serta fit dengan tantangan perubahan ke depan, sedangkan Australia dapat belajar tentang ragam bahasa dan budaya Indonesia.
Yang kami lakukan tidak berhenti pada bertukar pengalaman dan pengetahuan saja, melainkan menerapkan sistem atau praktek pendidikan dari Australia ke dalam pembelajaran di kelas atau sekolah dengan konteks dan seting Indonesia.
Hal ini kami yakini selain dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, juga efektif untuk membangun toleransi dan jembatan antarwarga kedua negara. Dampaknya tidak hanya bersifat personal melainkan lintas negara.
Agar gerakan ini terus berdampak nyata, setelah workshop kami mendorong dan memfasilitasi guru jejaring GSM untuk menyelenggarakan kelas berbagai praktek perubahan baik melalui tatap muka (offline) ataupun online menggunakan Whatsapp atau Facebook.
Setiap perubahan yang dilakukan, kita apresiasi bersama dan dibagikan kepada publik atau guru guru lain untuk menginspirasi bagi yang belum berubah. Guru dapat saling menyampaikan masukan atau feedback untuk perbaikan kedepan sehingga proses evaluasi menjadi mudah dilakukan.
Muhammad Nur Rizal (kiri) dan Richard Mathews
Muhammad Nur Rizal (kiri) dan Richard Mathews (Foto: Istimewa)
Memberikan ruang kemerdekaan bagi untuk berinovasi
Selama pelatihan dan proses pendampingan, platform di gerakan kami adalah menggali inspirasi baru (mindset dan inovasi pembelajaran baru) dan memberikan ruang kemerdekaan bagi guru untuk berinovasi.
Saat pelaksanaan, perubahan didasari oleh semangat kolaborasi dan gotong royong bukan kompetisi antar sekolah seperti sekolah favorit atau non favorit, sekolah di kota atau desa.
Tidak ada dana khusus yang diperoleh dari institusi tertentu untuk memulai gerakan ini, melainkan hasil Crowd Funding, dimana setiap sekolah atau guru yang terlibat wajib mendanai dirinya sendiri.
Saat workshop berlangsung, tempat pelaksanaannya juga dilaksanakan secara bergiliran di sekolah yang berbeda.
Jikapun ada institusi atau pihak lain yang ingin menyumbang, sifatnya adhoc bukan utama.
Seketika peserta terhenyak, hening mendengar jawaban kami tentang gotong royong pendanaan ini.
Selalu saja jika kita berkata tentang perubahan, maka hambatannya adalah dana dan keterbatasan kondisi sekolah.
Padahal bukan itu. Perubahan adalah bagaimana kita melakukan satu hal kecil, namun tujuannya besar kemudian dibagikan untuk memberikan pesan bahwa perubahan itu dapat dilakukan. That is a change!
Kami juga mengingatkan, jika ingin berubah, bergaullah dengan kelompok yang juga ingin perubahan agar selalu positif, optimis dan tak pernah merasa sendiri.
Di akhir sesi kami sampaikan bahwa jika Tujuan dan Skala Program Bridge diperluas seperti yang dilakukan di GSM, maka perubahannya akan dirasakan nyata oleh masyarakat luas.
Dan akan menjadi upaya konkrit dalam meningkatkan kualitas interaksi dan hubungan kedua warga negara.
* Muhammad Nur Rizal PhD, Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan mendapat gelar PhD dari Monash University, pPendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, sering diundang untuk sharing pengalaman kepada para alumni Australia yang diselenggarakan baik oleh Kedutaan Besar atau Konsulat Australia di Indonesia
Jakarta - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang terinspirasi dari penyelenggaran pendidikan di Australia semakin banyak diminta menjelaskan konsep tersebut kepada berbagai kalangan pendidikan di Indonesia. Pendirinya Muhammad Nur Rizal baru-baru ini berbicara di Makassar (Sulawesi Selatan).
"Kerjasama di bidang pendidikan melalui program pertukaran guru seperti program Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (BRIDGE) perlu diperluas kemanfaatannya.
Tidak hanya guru yang terlibat di program itu yang dapat merasakan kelebihan program ini melainkan seluruh warga sekolah termasuk siswa, guru lainnya hingga lingkungan di sekitarnya.
"Jadi tidak cukup hanya membangun satu manusianya, namun diperlukan membangun ekosistem sekolahnya, "ungkapan yang saya kemukakan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh Konsulat Jendral Australia di Makasar di depan alumni Autralia baik dosen, aktivis, guru program Bridge serta Dinas Pendidikan di Makassar (Sulawesi Selatan) baru-baru ini.
Sebagai Pendiri Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), kami diundang oleh Konsulat di Makasar untuk berbagi tips dan pengalaman bagaimana memulai perubahan di sekolah sekolah jejaring di Yogyakarta untuk membuat sekolah lebih menyenangkan dan memanusiakan seperti ajaran Ki Hadjar Dewantoro lalu.
Harapannya gerakan yang kami pelopori dapat menular di sekolah sekolah di Makassar.
"Seminar ini diselenggarakan dalam rangka menginisiasi program pengembangan untuk pendidikan dasar dan menengah di Makassar", papar Konsul Jendral Richard Mathews, yang sebelumnya berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia di Melbourne, saat membuka acara tersebut.
Dalam sambutannya disampaikan bahwa Konsulat yang baru diresmikan beberapa bulan lalu ini berkepentingan untuk memfasilitasi program pendidikan yang telah dirancang oleh pemerintah Australia dan Indonesia seperti Program Bridge untuk berkembang di Makasar.
Dalam paparan kami, saya mengajak peserta untuk menerapkan ilmu, pengalaman dan wawasan yang diperoleh selama di Australia kepada masyarakat atau lingkungan di mana mereka bekerja.
Bagi guru diharapkan mampu untuk membawa iklim atau lingkungan belajar yang positif dari Australia ke dalam pembelajaran di kelas atau sekolah.
Bagi dosen atau aktivis dapat mengaplikasikan berbagai filosofi dan teori baru ke dalam kurikulum kampus atau kegiatan pengabdian masyarakat.
Sedangkan bagi Dinas, untuk lebih terbuka dan mendukung berbagai ide perubahan yang dibawa oleh para alumni Bridge di Makassar.
Cara atau pendekatan itu akan memberikan kemanfaatan kepada masyarakat yang lebih luas.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang paham dan toleran atas kemajemukan kultur atau pola pikir yang berkembang, ini akan berguna untuk menjembatani hubungan antar warga atas berbagai kecurigaan atau ketidakpahaman yang terjadi selama ini.
Lebih luas, hal ini bermanfaat untuk memastikan kualitas hubungan Indonesia dan Australia yang kadang naik turun seperti permainan roller coster.
Selama sesi diskusi, banyak dari peserta yang menanyakan bagaimana memulai gerakan ini? apa hambatan dan tantangannya? serta bagaimana pendanaannya?
Kami bersama guru-guru di Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) memilih untuk berbuat melakukan pertukaran sistem dan praktik pendidikan yang telah dilakukan.
Sifatnya mutual dan melalui pendekatan bottom up dimana materi pelatihan didasarkan pada kebutuhan dan persoalan sehari-hari di kelas atau sekolah seperti kekerasan, bully, tidak fokus belajar hingga persoalan penerapan kurikulum 2013.
Indonesia bisa belajar dari sistem pendidikan Australia yang sudah 'personalised learning' serta fit dengan tantangan perubahan ke depan, sedangkan Australia dapat belajar tentang ragam bahasa dan budaya Indonesia.
Yang kami lakukan tidak berhenti pada bertukar pengalaman dan pengetahuan saja, melainkan menerapkan sistem atau praktek pendidikan dari Australia ke dalam pembelajaran di kelas atau sekolah dengan konteks dan seting Indonesia.
Hal ini kami yakini selain dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, juga efektif untuk membangun toleransi dan jembatan antarwarga kedua negara. Dampaknya tidak hanya bersifat personal melainkan lintas negara.
Agar gerakan ini terus berdampak nyata, setelah workshop kami mendorong dan memfasilitasi guru jejaring GSM untuk menyelenggarakan kelas berbagai praktek perubahan baik melalui tatap muka (offline) ataupun online menggunakan Whatsapp atau Facebook.
Setiap perubahan yang dilakukan, kita apresiasi bersama dan dibagikan kepada publik atau guru guru lain untuk menginspirasi bagi yang belum berubah. Guru dapat saling menyampaikan masukan atau feedback untuk perbaikan kedepan sehingga proses evaluasi menjadi mudah dilakukan.
Muhammad Nur Rizal (kiri) dan Richard Mathews
Muhammad Nur Rizal (kiri) dan Richard Mathews (Foto: Istimewa)
Memberikan ruang kemerdekaan bagi untuk berinovasi
Selama pelatihan dan proses pendampingan, platform di gerakan kami adalah menggali inspirasi baru (mindset dan inovasi pembelajaran baru) dan memberikan ruang kemerdekaan bagi guru untuk berinovasi.
Saat pelaksanaan, perubahan didasari oleh semangat kolaborasi dan gotong royong bukan kompetisi antar sekolah seperti sekolah favorit atau non favorit, sekolah di kota atau desa.
Tidak ada dana khusus yang diperoleh dari institusi tertentu untuk memulai gerakan ini, melainkan hasil Crowd Funding, dimana setiap sekolah atau guru yang terlibat wajib mendanai dirinya sendiri.
Saat workshop berlangsung, tempat pelaksanaannya juga dilaksanakan secara bergiliran di sekolah yang berbeda.
Jikapun ada institusi atau pihak lain yang ingin menyumbang, sifatnya adhoc bukan utama.
Seketika peserta terhenyak, hening mendengar jawaban kami tentang gotong royong pendanaan ini.
Selalu saja jika kita berkata tentang perubahan, maka hambatannya adalah dana dan keterbatasan kondisi sekolah.
Padahal bukan itu. Perubahan adalah bagaimana kita melakukan satu hal kecil, namun tujuannya besar kemudian dibagikan untuk memberikan pesan bahwa perubahan itu dapat dilakukan. That is a change!
Kami juga mengingatkan, jika ingin berubah, bergaullah dengan kelompok yang juga ingin perubahan agar selalu positif, optimis dan tak pernah merasa sendiri.
Di akhir sesi kami sampaikan bahwa jika Tujuan dan Skala Program Bridge diperluas seperti yang dilakukan di GSM, maka perubahannya akan dirasakan nyata oleh masyarakat luas.
Dan akan menjadi upaya konkrit dalam meningkatkan kualitas interaksi dan hubungan kedua warga negara.
* Muhammad Nur Rizal PhD, Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan mendapat gelar PhD dari Monash University, pPendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, sering diundang untuk sharing pengalaman kepada para alumni Australia yang diselenggarakan baik oleh Kedutaan Besar atau Konsulat Australia di Indonesia
0 komentar:
Post a Comment