728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Ketika Orang Jawa Menyangkal Asal Muasalnya

    Saya bukan seorang antropolog, juga bukan seorang etnolog. Meski berlatar belakang pendidikan politik pemerintahan, perhatian saya pada politik sudah lama surut. Tetapi tulisan Annie Sabri dengan judul “Keturunan Cina Diancam!” (Tak Boleh Ikut Pilkada Jakarta) membuat saya tergerak untuk memunculkan kembali kesadaran yang tertidur dalam mimpi buruk anti ras.

    Sejatinya, setiap kita sadar, bahwa politik adalah persoalan berjuang memperoleh kekuasaan, menggunakan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Karena itu, semua orang sudah mahfum, bahwa perjuangan politik senantiasa disertai dengan intrik dan taktik, dan jika belum juga berhasil maka agitasi dan propaganda juga bukan hal yang diharamkan dalam politik.

    Kepribadian Ganda?

    Aksi yang merupakan reaksi pasangan Foke-Nara atas kekalahan putaran pertama Pemilukada DKI Jakarta 2012 sekarang menampilkan pada massa rakyat bahwa politik memang semata-mata untuk kekuasaan. Termasuk ketika perbedaan agama dan ras dijadikan senjata utama pasangan ini menghadapi lawan mereka, Jokowi-Ahok, petahana terlihat lebih sebagai psikopat politik daripada seorang yang sedang berusaha mempertahankan kekuasaan.

    Lima tahun lalu, saya datang ke bilik suara dan memilih Fauzi Bowo-Prijanto karena slogan kampanye mereka yang meneduhkan hati “Jakarta untuk semua”. Foke-Prijanto kala itu menyingkirkan Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang diusung PKS yang gegap-gempita, dengan perolehan suara 57,9%(2.091.909 suara) berbanding 42,1% (1.521.831). Sebagai oang Jakarta, saya pikir, bukan karena Foke pernah menduduki jabatan Wakil Gubernur atau Sekretaris Wilayah Daerah maka ia pantas menjadi Gubernur. Pilihan rasional saya adalah ia berdiri di atas kepentingan semua kelompok.

    Ironis, bahwa sepanjang pertengahan tahun 2012, saya menemukan Foke yang lain dari apa yang nampak 5 tahun silam. Saya jadi bertanya-tanya:”apakah Foke sudah berubah? Apakah politik memungkinkan orang membelakangi kepribadiannya sendiri? Ataukah memang Foke adalah manusia politik berkepribadian ganda? Pertanyaan saya tentu saja menjadi penting karena Aristoteles menetapkan bahwa manusia ialah “zoon politikon“. Manusia merupakan mahluk yang secara naluriah mengejar ikatan kebersamaan. Saya hanya dapat menduga, inikah Foke yang sebenarnya? Apakah pribadi Foke yang seperti ini yang menyebabkan Prijanto mengundurkan diri dari posisi wakil gubernur beberapa saat sebelum akhir masa jabatan?

    Perubahan sikap Foke pada slogan politiknya “Jakarta untuk semua” belum seberapa mengejutkan jika dibandingkan dengan aksi politik pendampingnya, Nachrowi Ramli. Pernyataan-pernyataan politiknya menjelang pemilihan putaran kedua lebih menegaskan figurnya sebagai seorang yang haus kekuasaan daripada seorang pensiunan militer berbintang dua. Semua orang militer, mengalir dalam jiwanya sapta marga dan sumpah prajurit. Karenanya, sikap dan laku berdiri di atas kepentingan semua pihak merupakan ciri khas insan militer. Serangan-serangan Nachrowi terhadap Jokowi-Ahok membuat siapa saja yang tidak mengenal karir pensiunan Mayor Jenderal ini menduga bahwa ia dibesarkan melalui kaderisasi partai sektarian.

    Saya pribadi tidak terlalu risau siapa yang akan memenangkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Sebagai warga, saya hanya ingin agar ikatan antar warga tetap bertahan dan tidak goyah. Serangan pasangan Foke-Nara khususnya terhadap isu rasis bukanlah hal yang patut bagi seorang yang kelak memimpin Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Menyangkali Muasal

    Memalukan jika orang Jawa (termasuk dalam istilah ini orang Sunda dan Betawi) menyerang orang Cina. Anak sekolah dasar pun tahu, nenek moyang orang Jawa berasal dari daerah Selatan Cina. Semua ciri dasar ras mongolid ada pada orang Jawa. Kulit kuning, mata yang lebih kecil, rambut lurus, tubuh lebih pendek dibanding ras negroid, dan seterusnya. Andaikata ada lima orang yang bertemu di sebuah cafe: orang Thailand, orang Malaysia, orang Vietnam, orang Jawa, dan orang Myanmar – dan kelimanya sama-sama diam – maka sukar bagi kita untuk mengatakan darimana mereka berasal.

    Orang-orang Jawa, Sulawesi, dan Sumatera memiliki nenek moyang yang sama dengan orang-orang Asia Tenggara. Nenek moyang orang Jawa modern datang setelah masa percampuran antara ras Austro-Melanesoid dan ras Mongoloid di wilayah nusantara pada periode 11.000 tahun sebelum masehi. Ciri utama dari ras baru ini adalah mereka memiliki ciri Mongoloid yang lebih dominan, memiliki induk bahasa yang sama dan mengenal kebudayaan bercocok tanam.

    Gelombang orang Proto-Austonesia yang lain memasuki wilayah bagian barat Indonesia melalui semenanjung Melayu. Dari tempatnya di lembah-lembah sungai di Cina Selatan, mereka bergerak ke arah selatan, masuk ke arah hilir sungai besar, terus ke semenanjung Melayu, menduduki Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Flores, Sulawesi dan masuk ke Filipina. Tetapi gelombang orang ini tidak pernah mencapai Indonesia bagian timur. Dari gelombang manusia inilah induk bahasa melayu berasal.

    Wilayah tempat tinggal dan proses peradaban yang menyebabkan ras ini membentuk identitias-identitas baru mereka. Pembentukan struktur sosial, adat istiadat dan kepercayaan semakin mempertegas identitas baru. Dari semua unsur itu, penjajahan mungkin merupakan variabel determinan penguatan ikatan dalam sekaligus penegasan batas “kami-mereka”. Dalam kasus Indonesia, penjajahan kolonial memang memberikan ruang hidup istimewa pada golongan asia timur, termasuk Cina, daripada golongan pribumi. Inilah titik dimana orang Jawa, hampir secara keseluruhan, tidak lagi mengenali muasal mereka. Perasaan ditinggalkan dan diperhambakan lebih dominan daripada ingatan akan kesamaan bentuk fisik dan pola dasar kebudayaan.

    Kesadaran versus Kepentingan

    Orang Jakarta terlalu pandai untuk dipolitisasi. Bahkan ditengah-tengah upaya pemerintah untuk menghadirkan para pemilih di bilik suara pada 20 September 2012, banyak orang yang sudah “memilih untuk tidak memilih”. Perubahan Jakarta secara kasat mata hanya diukur dari 3 indikator, kata sahabat saya Bung Gunung : tidak macet, tidak banjir, dan tidak miskin. Fakta bahwa penduduk Jakarta menghabiskan 2-3 jam hidup mereka setiap hari ditengah-tengah kemacetan hampir mengubur kepercayaan mereka bahwa kemacetan dapat diurai. Demikian halnya dengan kegagalan kerjasama daerah yang menyebabkan Jakarta dapat dilanda banjir kapan saja meski Jakarta sama sekali tidak sedang hujan, membuat orang bertanya: mana sih ahlinya? Jangan pula bertanya tentang kemiskinan dan kekumuhan yang tersembunyi di balik gedung pencakar langit dan diberi label penyakit masyarakat oleh peraturan daerah DKI Jakarta.

    Semua masalah di atas lebih penting daripada isu SARA demi kepentingan politik. Saya heran bahwa Foke berupaya menutupi kesadaran orang Jakarta akan hak pelayanan dasar mereka dengan isu SARA. Demikian juga Nara yang sama sekali tidak menunjukkan jiwa patriot militernya. Untuk calon pemimpin seperti ini, saya tidak perlu membayar apapun. Demikian pula anda.

    Pemilihan Gubernur hanyalah mekanisme lima tahunan untuk mengganti pemimpin. Siapa saja layak untuk ikut sebagai kontestan. Siapa saja layak untuk menang. Proses demokrasi, meminjam istilah Sydney Hook, adalah proses memilih pemimpin manusia. Semuanya memiliki kelemahan. Tapi juga semuanya memiliki kelebihan masing-masing. Jika kita semua adalah malaikat, maka kita tidak membutuhkan demokrasi. Karena kita adalah manusia, kekuasaan harus dibatasi. Dan cara membatasinya adalah melalui proses demokrasi.

    Pemilukada bukan segala-galanya. Ia hanya media pemilihan pemimpin. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Ketika Orang Jawa Menyangkal Asal Muasalnya Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top