728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Menjadi Indonesia Melalui Mitos

    Polemik Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI) di TMII

    Oleh Fairuzul Mumtaz*

    Indonesia Seutuhnya, 19 Desember 2012,

    Menarik menyimak esai Wahyudin di blog ini (Indonesia Seutuhnya) yang bertema “Tionghoa di Indonesia Indah,”. Memang keberadaan masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia selalu menjadi polemik sejak dulu. Mungkin juga dirasakan oleh bangsa lain, bahwa peranakan Tionghoa di berbagai negara menjadi pesaing nomor wahid dalam usaha-mata pencarian.

    Toh ada lagi, persoalan pendirian Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI) di TMII, yang memicu munculnya konflik baru yang semakin memanas saja, antara pendukung paham asimilasi dan paham integrasi. Seperti diketahui selama ini, pendukung paham asimilasi budaya menginginkan adanya peleburan secara sosial dan rasa dengan mengutamakan pengembangan budaya setempat. Sedangkan pendukung paham integrasi menginginkan legalitas dari pemerintah Indonesia sehubungan dengan eksistensi mereka di Indonesia. Maka muncullah gagasan menjadi Suku Tionghoa Indonesia dari golongan paham integrasi tersebut tanpa mau berasimilasi.

    Perpecahan ini makin nampak ketika pembangunan TBTI hingga kini belum juga selesai. Warga Tionghoa di Indonesia diperkirakan 5% dari penduduk Indonesia, sekitar 12 juta jiwa. Jika misalnya dikalkulasikan pengurangan dengan jumlah, 10 juta warga Tionghoa dua persennya menyumbang sejumlah satu juta rupiah, akan terkumpul 200 milyard. Cukup untuk pembangunan TBTI itu.

    Akan tetapi, sejak TBTI dibangun tahun 2006 hingga sekarang, pihak pengelola masih membutuhkan dana 40 M. Padahal kompensasi bagi penyumbang sangat menarik. Seluruh nama penyumbang ditulis dalam sebuah prasasti peringatan. Penyumbang dengan nilai satu juta ke atas, bergelar pewaris, sepuluh juta ke atas bergelar pewaris teladan, seratus juta ke atas bergelar pewaris utama, lima ratus juta ke atas bergelar pewaris kehormatan, penyumbang bangunan berhak memberi nama dan meresmikan bangunan, layaknya sebuah investasi narsis dan megalomania yang menjual label derajatnya orang kaya.

    Mitos sebagai Upaya Representasi Diri


    Sejak tahun 2000 masyarakat Tionghoa yang berfaham integrasi atau setidaknya pro-integrasi menghimpun diri dalam pelbagai paguyuban, berlanjut pembangunan TBTI merupakan pengukuhan identitas yang di dalamnya tertampung mitos-mitos saling berbenturan seperti keramaian pasar malam.

    Mitos-mitos yang ditampilkan dalam TBTI merupakan mitos kebesaran masyarakat Cina totok di negara asalnya ( Tiongkok ), seperti Kera Sakti, Sampek Engtay dan Cheng Ho. Menurut hemat penulis, menampilkan mitos tersebut merupakan upaya kurang cerdas. Hal ini disebabkan mitos tidak bisa hidup di seluruh wilayah. Ia memiliki wilayahnya sendiri—dan dalam mitos tersebut, wilayahnya yang tepat adalah di negara Tiongkok.

    Pembangunan TBTI TMII jika ingin disikapi sebagai kebudayaan sebuah kelompok dari sebagian Indonesia, mustinya menampilkan sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia dan hasil asimilasi budayanya, bukan menampilkan mitos leluhur dari nenek moyangnya yang di utara.

    Peleburan antara masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat asli Indonesia, bukan dengan cara mengukuhkan diri agar diakui sebagai sebuah suku. Masyarakat Tionghoa selayaknya bisa melebur secara kultural seperti masyarakat pendatang lainnya, seperti Arab dan lain sebagainya.

    “MASYARAKAT TIONGHOA SEBAGAI SALAH SATU SUKU DI INDONESIA MEMPUNYAI JATI DIRI, MEMPUNYAI HAK MENGEKSPRESIKAN BUDAYA KHAS TIONGHOA INDONESIA YANG SERASI DALAM KHASANAH BUDAYA NASIONAL.”

    Kutipan di atas penulis ambil dari website resmi Taman Budaya Tionghoa. Kata “suku” merupakan upaya ekslusif diri yang tanpa disadari bisa menjadi pembodohan bagi golongan peranakan Tionghoa sendiri, karena dengan mengabaikan legitimasi teritorial sudah jelas, SAMPAI KAPAN PUN TIDAK AKAN DITERIMA oleh seluruh anak bangsa Indonesia.

    Kembali pada “budaya khas peranakan Tionghoa Indonesia” menjadi berkebalikan dari apa yang ditampilkan dalam TBTI. Sebagaimana yang dituturkan oleh Wahyudin dan yang penulis lihat sendiri, bahwa yang ditampilkan dalam TBTI adalah budaya khas Tiongkok, tanpa Indonesia. Keindonesiaan hanya tampilkan pada Bendera Merah Putih yang lusuh dan robek di halaman depan.

    Secara kasat mata, bisa dilihat bahwa masyarakat Tionghoa kini mulai merambah di wilayah politik dan menduduki posisi penting, seperti Ahok yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ahok telah menunjukkan nasionalisme keindonesiaannya, dan ternyata tanpa bangunan TBTI, Ahok pun bisa membangun mitosnya sendiri sebagai masyarakat Indonesia yang sejati.

    Peleburan secara kultural pun sebenarnya sudah terjadi sejak lama tampak dari mulai persahabatan antara tokoh Pribumi dan Tionghoa sampai banyaknya arsitektur Tionghoa yang menghiasi bangunan-bangunan kuno di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk masjid, rumah-rumah hingga trend fashion kebaya baba masa kini; karena itu, janganlah melupakan untuk memaparkan riwayat peranakan Tionghoa pejuang di Indonesia. Itulah sebenar-benarnya mitos dan kebesaran bagi masyarakat peranakan Tionghoa atau keturunan Tionghoa atau Tionghoa di Indonesia yang semestinya terlihat di Taman Budaya Tionghoa Indonesia.

    *) Fairuzul Mumtaz, Mahasiswa Pascarsarjana IRB Universitas Sanata Darma dan pekerja literasi di Indonesia Buku.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Menjadi Indonesia Melalui Mitos Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top