Silvana Paternostro: Jurnalis Feminis, Tapi Akhirnya Jatuh Cinta pada Lelaki Berbudaya Patriark
Perempuan asal Kolombia ini rutin menulis tentang Kuba, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, untuk berbagai media, seperti World Policy Journal, The Paris Review, New York Times,Newsweek Magazine, dan The New Republic. Dia pun pernah menulis buku tentang gender (perempuan) serta perannya dalam pemerintahan dan agama di Amerika Latin, In the Land of God and Man: A Latin Woman’s Journey (1998), yang kemudian masuk dalam nominasi PEN/Martha Abrams Award kategori First Nonfiction.
Buku keduanya, My Colombian War: A Journey Through the Country I Left Behind, diterbitkan tahun 2007. Kali ini, Silvana membahas perang saudara di Kolombia yang berlangsung tak kurang dari 40 tahun, termasuk mengenai keterlibatan AS di dalamnya. Karya-karyanya rutin diterjemahkan dan dicetak berulangkali, terutama di Amerika Latin. Kecintaannya pada dunia jurnalistik membawa Silvana menempati posisi kontributor sekaligus editor di majalah Bomb, salah satu majalah budaya terkemuka New York yang berisi wawancara dengan para seniman, penulis, aktor, hingga musisi. Dia pun pernah menjadi associate producer film The Argentine and Guerrilla, yang dibuat berdasarkan kisah hidup Che Guevara, disutradarai Steven Soderbergh dan dibintangi Benicio del Toro.
Cukup berbincang tentang sejumlah prestasinya, yang hingga kini masih terus bertambah seiring dengan jumlah karya besarnya. Yang lebih menarik dan menginspirasi, adalah kisah asmara Silvana dengan seorang laki-laki. Kisah itu dimulai ketika Silvana menyetujui ide temannya merancang pertemuan antara dia dan seorang bankir sukses yang aktif memproduksi teater, Daniel Pastor. Umurnya matang, dan dia benar-benar (terdengar seperti) pasangan yang sempurna. Sayang, dia laki-laki Amerika Latin.
Amerika Latin seolah menjadi “kesalahan terbesar”. Ya, laki-laki itu berasal dari tempat kelahiran Silvana, sekaligus tempatnya melihat fakta bahwa perempuan tak mendapat persamaan hak. Dia, sudah pasti anti terhadap laki-laki produk budaya tanah kelahirannya, yang bertolak belakang dengan misinya mengkritik “budaya diskriminasi” tersebut. Men told women what to do, what to say, how to dress, and when to do all three, tulis Silvana dalam majalah Vogue edisi Februari ini.
Tiap Minggu, Silvana menyaksikan bagaimana tradisi makan siang bersama di rumah kakek-neneknya menjadi “mimpi buruk” bagi seluruh anggota keluarga perempuan. Bagaimana laki-laki bicara keras sementara istri-istri mereka diam seribu bahasa, memastikan makanan dan minuman dihidangkan dengan sangat baik dan sesuai dengan selera pasangan mereka, karena ketika ada sedikit saja kesalahan—seperti salad yang terlalu banyak di piring—bisa jadi masalah besar.
Silvana sendiri merasakan langsung dominasi laki-laki dalam hidup perempuan. Di umur 15 tahun, Silvana memiliki kekasih yang membuktikan cinta lewat bunga, cokelat, rekaman lagu-lagu cinta, hingga kalung berliontin berlian mungil bentuk hati. Sangat manis memang, sayang, di waktu yang sama kekasihnya itu mengatur cara berpakaian Silvana, kapan dia harus pulang, bahkan mengatur buku apa saja yang boleh Silvana baca. Beruntung, orangtua Silvana mengirimnya ke sekolah perempuan Bloomfields Hills, di Michigan. Itulah titik balik hidup Silvana. Meninggalkan segala bentuk dominasi yang dia lihat dan alami di tanah kelahirannya.
Lulus dari Bloomfields Hills, Silvana meneruskan kuliah di University of Michigan dan mulai sebebas-bebasnya melakukan apa yang dia mau, termasuk menentukan gaya berpakaian dan membaca buku sesuai minat. Masa muda yang dia lewati di Michigan, kemudian New York, membuatnya menemukan bagaimana seharusnya perempuan ditempatkan dan menempatkan diri: setara, seimbang, tanpa aturan yang membatasi ruang geraknya untuk berkembang.
Singkat cerita, penolakan Silvana tak mempan karena akhirnya dia benar-benar dipertemukan dengan si laki-laki Amerika Latin. Pertemuan pertama pun berlanjut dengan dinner, karena faktanya laki-laki itu jauh dari yang dia kira. He was funny, sure of himself, even cocky and verbose, but he was smart as a whip and more handsome than George Clooney. My confrontational side was not coming out with this macho man. In fact, I was quite taken with him, tulis Silvana kemudian. Hubungan itu berlanjut. Silvana bahkan menerima ajakan laki-laki Amerika Latin-nya untuk tinggal di Mexico. Silvana pun “hijrah” dengan membawa serta sebotol parfum warisan nenek, sebagai simbol yang terus mengingatkan dari mana dia berasal.
Saat ini Silvana harus rela bolak-balik New York-Meksiko demi si laki-laki Amerika Latin. Perhaps I’m now ready for some perfume, tutupnya. Ya, Silvana harus mencoba aroma parfum lain karena sejarah yang dulu akan diteruskan dengan sejarah baru, cerita baru, pemahaman baru. Silvana sadar, sewaktu-waktu hal yang dia hindari itu—dominasi—bisa saja menimpa siapa pun, termasuk dirinya, tapi apa yang dialami kembali ke diri sendiri, bagaimana perempuan menempatkan diri, menerima didominasi atau pilih bebas menentukan sikap.
Hidup bersama orang yang semula dia hindari, kini malah memberikan warna baru. Di waktu yang sama, Silvana merasa menemukan tempat nyaman yang berbeda jauh dari ingatan masa kecilnya tentang laki-laki Amerika Latin. Kekuatan cinta mengalahkan segalanya, membukakan pemikiran dari yang semula hanya satu, menjadi banyak sudut pandang. Ini bukan bentuk ketidakkonsistenan Silvana. Dia hanya sedang jatuh cinta.
Perempuan asal Kolombia ini rutin menulis tentang Kuba, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, untuk berbagai media, seperti World Policy Journal, The Paris Review, New York Times,Newsweek Magazine, dan The New Republic. Dia pun pernah menulis buku tentang gender (perempuan) serta perannya dalam pemerintahan dan agama di Amerika Latin, In the Land of God and Man: A Latin Woman’s Journey (1998), yang kemudian masuk dalam nominasi PEN/Martha Abrams Award kategori First Nonfiction.
Buku keduanya, My Colombian War: A Journey Through the Country I Left Behind, diterbitkan tahun 2007. Kali ini, Silvana membahas perang saudara di Kolombia yang berlangsung tak kurang dari 40 tahun, termasuk mengenai keterlibatan AS di dalamnya. Karya-karyanya rutin diterjemahkan dan dicetak berulangkali, terutama di Amerika Latin. Kecintaannya pada dunia jurnalistik membawa Silvana menempati posisi kontributor sekaligus editor di majalah Bomb, salah satu majalah budaya terkemuka New York yang berisi wawancara dengan para seniman, penulis, aktor, hingga musisi. Dia pun pernah menjadi associate producer film The Argentine and Guerrilla, yang dibuat berdasarkan kisah hidup Che Guevara, disutradarai Steven Soderbergh dan dibintangi Benicio del Toro.
Cukup berbincang tentang sejumlah prestasinya, yang hingga kini masih terus bertambah seiring dengan jumlah karya besarnya. Yang lebih menarik dan menginspirasi, adalah kisah asmara Silvana dengan seorang laki-laki. Kisah itu dimulai ketika Silvana menyetujui ide temannya merancang pertemuan antara dia dan seorang bankir sukses yang aktif memproduksi teater, Daniel Pastor. Umurnya matang, dan dia benar-benar (terdengar seperti) pasangan yang sempurna. Sayang, dia laki-laki Amerika Latin.
Amerika Latin seolah menjadi “kesalahan terbesar”. Ya, laki-laki itu berasal dari tempat kelahiran Silvana, sekaligus tempatnya melihat fakta bahwa perempuan tak mendapat persamaan hak. Dia, sudah pasti anti terhadap laki-laki produk budaya tanah kelahirannya, yang bertolak belakang dengan misinya mengkritik “budaya diskriminasi” tersebut. Men told women what to do, what to say, how to dress, and when to do all three, tulis Silvana dalam majalah Vogue edisi Februari ini.
Tiap Minggu, Silvana menyaksikan bagaimana tradisi makan siang bersama di rumah kakek-neneknya menjadi “mimpi buruk” bagi seluruh anggota keluarga perempuan. Bagaimana laki-laki bicara keras sementara istri-istri mereka diam seribu bahasa, memastikan makanan dan minuman dihidangkan dengan sangat baik dan sesuai dengan selera pasangan mereka, karena ketika ada sedikit saja kesalahan—seperti salad yang terlalu banyak di piring—bisa jadi masalah besar.
Silvana sendiri merasakan langsung dominasi laki-laki dalam hidup perempuan. Di umur 15 tahun, Silvana memiliki kekasih yang membuktikan cinta lewat bunga, cokelat, rekaman lagu-lagu cinta, hingga kalung berliontin berlian mungil bentuk hati. Sangat manis memang, sayang, di waktu yang sama kekasihnya itu mengatur cara berpakaian Silvana, kapan dia harus pulang, bahkan mengatur buku apa saja yang boleh Silvana baca. Beruntung, orangtua Silvana mengirimnya ke sekolah perempuan Bloomfields Hills, di Michigan. Itulah titik balik hidup Silvana. Meninggalkan segala bentuk dominasi yang dia lihat dan alami di tanah kelahirannya.
Lulus dari Bloomfields Hills, Silvana meneruskan kuliah di University of Michigan dan mulai sebebas-bebasnya melakukan apa yang dia mau, termasuk menentukan gaya berpakaian dan membaca buku sesuai minat. Masa muda yang dia lewati di Michigan, kemudian New York, membuatnya menemukan bagaimana seharusnya perempuan ditempatkan dan menempatkan diri: setara, seimbang, tanpa aturan yang membatasi ruang geraknya untuk berkembang.
Singkat cerita, penolakan Silvana tak mempan karena akhirnya dia benar-benar dipertemukan dengan si laki-laki Amerika Latin. Pertemuan pertama pun berlanjut dengan dinner, karena faktanya laki-laki itu jauh dari yang dia kira. He was funny, sure of himself, even cocky and verbose, but he was smart as a whip and more handsome than George Clooney. My confrontational side was not coming out with this macho man. In fact, I was quite taken with him, tulis Silvana kemudian. Hubungan itu berlanjut. Silvana bahkan menerima ajakan laki-laki Amerika Latin-nya untuk tinggal di Mexico. Silvana pun “hijrah” dengan membawa serta sebotol parfum warisan nenek, sebagai simbol yang terus mengingatkan dari mana dia berasal.
Saat ini Silvana harus rela bolak-balik New York-Meksiko demi si laki-laki Amerika Latin. Perhaps I’m now ready for some perfume, tutupnya. Ya, Silvana harus mencoba aroma parfum lain karena sejarah yang dulu akan diteruskan dengan sejarah baru, cerita baru, pemahaman baru. Silvana sadar, sewaktu-waktu hal yang dia hindari itu—dominasi—bisa saja menimpa siapa pun, termasuk dirinya, tapi apa yang dialami kembali ke diri sendiri, bagaimana perempuan menempatkan diri, menerima didominasi atau pilih bebas menentukan sikap.
Hidup bersama orang yang semula dia hindari, kini malah memberikan warna baru. Di waktu yang sama, Silvana merasa menemukan tempat nyaman yang berbeda jauh dari ingatan masa kecilnya tentang laki-laki Amerika Latin. Kekuatan cinta mengalahkan segalanya, membukakan pemikiran dari yang semula hanya satu, menjadi banyak sudut pandang. Ini bukan bentuk ketidakkonsistenan Silvana. Dia hanya sedang jatuh cinta.
0 komentar:
Post a Comment