728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Ada Kesempatan Untuk Memperbaiki yang Rusak

    Kembalinya Anak Timor Leste yang "Diambil Paksa" TNI

    BBC Alberto Muhammad menangis tersedu saat bertemu dengan kakaknya, Markita Ximenes, setelah terpisah selama 32 tahun. Markita adalah keluarga terdekat Alberto yang masih hidup di Timor Leste.

    Makam Alberto Muhammad ada di Timor Leste, tapi dia belum meninggal dunia. Dia masih bernyawa dan kini tinggal di Jawa Barat, Indonesia. Alberto merupakan satu dari ribuan anak yang diambil oleh Indonesia saat Timor Leste integrasi dengan Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun lalu dipisah secara paksa, Alberto kembali ke Timor Leste dan wartawan BBC, Rebecca Henschke, mengikutinya dalam perjalanan tersebut.

    Durasi penerbangan dari Pulau Bali ke ibu kota Timor Leste, Dili, kurang dari dua jam. Namun, selama 43 tahun hidupnya, Alberto Muhammad tak pernah membayangkan bakal menempuh perjalanan ini.

    Kedatangan Alberto telah ditunggu kerumunan keluarga besarnya di Dili. Sebagian dari mereka rela bertolak dari desa ke Dili dalam perjalanan yang memakan waktu selama tujuh jam, demi bertemu Alberto.

    Ketika kaki Alberto turun dari tangga pesawat dan menyentuh aspal bandara, dia langsung berlutut dan berdoa. Keluarga besar Alberto mengelilinginya. Semua ingin menyentuhnya, merasakan kulitnya, membelai kepalanya, dan menyentuh wajahnya. Tangis haru menetes dari mata mereka.

    Alberto berulang kali mengucapkan, "Saya tidak percaya berada di sini."

    Pria itu tak ingin melewatkan waktu sejenak pun untuk bertukar kabar. Dia ingin tahu siapa yang sudah meninggal dunia, siapa yang punya anak, dan siapa menikah dengan siapa. Dia lalu diperkenalkan dengan sejumlah anggota keluarga dan ingatannya segar kembali.

    Semua keluarga di negara kecil telah kehilangan sedikitnya satu anak akibat perang. Kematian menjadi sesuatu yang wajar di sini, tapi kembalinya anak yang hilang bukan sesuatu yang lumrah.

    Alberto merupakan salah seorang dari 14 anak Timor yang hilang. Mereka kini berusia antara 30-an hingga 40-an tahun. Kembalinya mereka ke Timor Leste dimungkinkan berkat upaya kelompok HAM Indonesia, AJAR, dengan dukungan Komnas HAM, Kementerian Luar Negeri RI, serta pemerintah Timor Leste.

    Komisi pencari kebenaran Timor Leste, CAVR, memperkirakan ada sekitar 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka antara 1975 sampai 1999 akibat militer Indonesia, pemerintah Indonesia, atau organisasi keagamaan. Mereka disebut anak yang dicuri.

    Namun, pemerintah Indonesia menolak bahwa anak-anak itu diambil secara paksa dan menyebut mereka sebagai anak-anak yang "terpisah".

    "Mereka dibawa tanpa persetujuan Tulus orang tua. Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," kata Galuh Wandita, koordinator program reuni itu.

    Militer Indonesia, menurut Galuh, ingin "mengadopsi" anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.

    "Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," imbuh Galuh.

    Organisasi-organisasi keagamaan berjanji kepada orang tua yang anaknya diambil bahwa mereka akan dididik. Anak-anak itu beberapa lalu diislamkan. Timor Leste adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Katolik.

    Anak-anak yang hilang

    Sebagian besar anak-anak Timor Leste, seperti Alberto, adalah bocah yang direkrut militer Indonesia untuk berperang melawan kelompok pro-kemerdekaan.

    Anak-anak, dari usia enam tahun, ditugasi membawa persediaan logistik, memanggul amunisi, dan berperan sebagai pemandu di hutan-hutan Timor Leste

    "Saya tidak benar-benar paham apa yang saya lakukan. Tapi, ketika saya bertambah dewasa, saya menyadari bahwa saya menyaksikan beberapa saudara saya dibunuh," ujarnya.

    Ketika tiba saatnya bagi para prajurit di batalion yang merekrutnya untuk pulang ke Indonesia, salah satu serdadu hendak membawa Alberto turut serta dengan janji Alberto akan disekolahkan.

    Alberto tidak ingin ikut. Namun, serdadu itu menyuruhnya naik ke kapal dan menjaga koper-koper mereka.

    "Saya menunggu di kapal itu, menunggu kembali ke rumah. Saya tidak menyadari bahwa kapal itu meninggalkan pelabuhan dan menuju ke tengah laut," tutur Alberto.

    Setibanya di Pulau Jawa, istri serdadu itu tidak senang dengan kehadiran Alberto karena mereka harus memberi makan satu anak lagi.

    "Sang istri marah dan dia berkata kepada serdadu itu, 'Kamu tahu kan kita sudah punya banyak anak, lalu mengapa kamu membawanya ke sini'. Saya sangat sedih dan berkata, 'Jika ibu mengirim saya pulang, saya akan pergi'. Tapi dia tidak berkata apa-apa."

    Kemudian Alberto kabur dan bekerja di proyek pembangunan untuk bisa bertahan hidup.

    Dia kini sudah menikah dan telah menjadi seorang kakek. Dia tidak pernah merasa betul-betul kerasan di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.

    Akan tetapi, tanpa akta kelahiran dan uang untuk bekal perjalanan, kembali ke Timor Leste bukanlah pilihan. Dirinya pun tidak yakin masih ada keluarga yang menunggunya di Timor Leste.

    Anak perempuan yang diambil

    Isabelina Pinto diambil dari keluarganya oleh seorang serdadu Indonesia pada 1979. Saat itu dia baru berusia lima tahun, tapi dia masih ingat jelas apa yang terjadi.

    "Serdadu itu berkata, 'jika kami tidak ambil anak ini, kami bisa membunuh kalian semua'. Serdadu itu ingin punya anak perempuan karena dia tidak memiliki anak perempuan," kata Isabelina seraya mengenang peristiwa 35 tahun lalu.

    "Saya menangis dan menangis. Ketika kami sampai di pelabuhan, serdadu itu kehilangan kesabaran dan dia menceburkan saya ke laut. Dia menceburkan saya dua kali. Serdadu-serdadu yang lain bertanya mengapa dia melakukan itu? 'Apakah kamu ingin membuatnya pingsan?' Si serdadu itu menjelaskan kepada teman-temannya bahwa dia melakukan itu agar saya lupa dengan Timor Leste," tutur Isabelinha.

    Sejak awal Isabelina tidak diperlakukan layaknya seorang anak.

    "Saya dilecehkan secara seksual sejak usia dini oleh ayah tiri saya. Satu-satunya yang dia tidak lakukan adalah memperkosa saya. Sejak di kapal dia melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap seorang anak perempuan."

    Di Timor Leste, keluarga Isabelina tidak pernah berhenti mencarinya. Beberapa tahun lalu salah seorang keponakan Isabelina berangkat ke Indonesia untuk menempuh studi dan kesempatan itu digunakan untuk mencarinya.

    "Anak sulung saya berlari ke arah saya dan berkata, 'saudara ibu ada di sini, dia mirip sekali dengan ibu!' Seluruh tubuh saya gemetar."

    Berbekal pengalaman itu, Isabelina membaktikan hidupnya untuk mencari anak-anak Timor Leste yang hilang dan kini telah menjadi orang dewasa. Selain itu, Isabelina terus berupaya mencari keluarga anak-anak yang hilang itu.

    Dia bepergian melintasi pulau-pulau demi mencari mereka dengan menggunakan foto-foto dan kepingan informasi yang didapat timnya di Timor Leste. Pada saat yang sama, tim di Timor Leste juga mencari keluarga anak-anak yang hilang.

    Bersama kelompok AJAR, dia telah mempersatukan lebih dari 40 orang.

    "Saya tahu rasanya tidak melihat keluarga selama 30 tahun. Kehilangan keluarga selama itu benar-benar pedih. Rasanya seperti Anda menjalani hidup yang penuh kebohongan," kata Isabelinha.

    Sosok-sosok kuat dan terkenal

    Beberapa anggota militer Indonesia yang "mengadopsi" anak-anak Timor Leste adalah figur yang punya pengaruh kuat di Indonesia. BBC meminta kesempatan wawancara dengan mereka, namun mereka menolak.

    "Versi mereka mengenai peristiwa itu adalah anak-anak itu diselamatkan dan diberikan kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Beberapa bahkan berbohong kepada anak-anak itu dengan mengatakan orang tua mereka telah meninggal dunia dan keluarga mereka tidak menginginkan mereka," kata Galuh Widanta.

    Sebaliknya, di antara anak-anak yang diambil ada sejumlah nama terkenal.

    Alfredo Reinado, yang berupaya melancarkan kudeta di Timor Leste pada 2008, direkrut militer Indonesia ketika dia berusia 11 tahun. Alfredo dibawa seorang perwira ke Pulau Jawa. Alfredo belakangan tewas ketika berusaha mengudeta dan membunuh Presiden Xanana Gusmao.

    Salah seorang anak adalah Hercules, sosok yang dikenal di Jakarta lantaran menjadi pimpinan kelompok preman dan kini dipenjara.

    Sosok lainnya aktif di dunia olah raga tinju dan menjadi bintang televisi di Indonesia. Namun, banyak pula yang tidak mengenyam pendidikan formal dan bersusah payah mendapat pekerjaan.

    Perjalanan pulang yang berliku

    Pada 2008, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (CTF) Indonesia dan Timor Leste merekomendasikan pembentukan komisi pencari orang hilang, termasuk anak-anak yang terpisah dari keluarganya selama konflik berlangsung.

    Akan tetapi, hingga kini tiada langkah nyata yang diterapkan.

    "Ini adalah isu yang sensitif. Sudah delapan tahun dan tak banyak yang tercapai, dan apa yang Indonesia lakukan adalah di luar mandat," kata Jacinto Alves salah satu komisioner dari Timor Leste.

    Pria yang bertanggung jawab menindaklanjuti respons Indonesia terkait rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan adalah Wiranto, orang yang didakwa melakukan kejahatan di Timor Leste oleh panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Sebagai panglima TNI saat itu, dia disebut secara eksplisit oleh PBB terkait pertumpahan darah yang menewaskan 1.000 orang.

    Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang berada di bawah Wiranto menolak permintaan BBC untuk wawancara mengenai Timor Leste. Wiranto juga tidak merespons permintaan wawancara.

    Meski komisi pencari orang hilang tidak dibentuk, Kementerian Luar Negeri RI mendukung acara reuni di Timor Leste dan menyediakan dana agar Alberto Muhammad dan anak-anak hilang lainnya bisa ambil bagian dalam reuni tersebut. Para peserta dibantu untuk mendapatkan paspor dan beberapa orang mendapat uang untuk tiket perjalanan pulang.

    Direktur Hak Asasi Manusia di Kementerian Luar Negeri RI, Dicky Komar, mengatakan bantuan dan sokongan itu dilakukan dengan semangat "rekonsiliasi". Namun, Indonesia berkeras menyebut mereka sebagai "anak-anak terpisah", alih-alih diambil secara paksa dari keluarga masing-masing.

    "Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, tapi dalam tahap ini saya tidak bisa merinci lebih jauh. Anda menyampaikan pertanyaan yang sangat sulit," kata Dicky Komar ketika ditanya bagaimana anak-anak itu terpisah dari keluarga mereka.

    "Saya paham bahwa pemerintah menggunakan istilah yang sedikit berbeda, namun secara keseluruhan idenya adalah rekonsiliasi. Saya paham dimensinya berbeda, namun yang kami lihat adalah anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka untuk alasan berbeda. Kini kami menatap rekonsiliasi dan itu berarti kita akan menyebut mereka sebagai anak-anak terpisah."

    "Rekonsiliasi adalah proses yang terus berlangsung. Ada banyak yang telah dicapai dalam artian kebenaran dan persahabatan. Namun, sejujurnya, ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Reuni ini adalah bagian dari pekerjaan itu. Untuk keuntungan hubungan baik antara kedua negara, kami perlu memandang ke depan. Hubungan kami sangat baik saat ini dan Presiden Joko Widodo telah sukses melakukan kunjungan ke negara itu awal tahun ini," kata Dicky.

    Pemerintah Timor Leste menyambut baik kembalinya anak-anak yang hilang dan menawarkan mereka dwikewarganegaraan. Namun, Indonesia tidak mengenal konsep dwikewarganegaraan.
    Kembali dari kematian

    Keluarga Alberto sejatinya sudah patah arang soal nasibnya. Mereka berasumsi Alberto telah dibunuh oleh militer Indonesia atau kelompok prokemerdekaan Timor Leste. Agar bisa berdamai dengan masa lalu, mereka membuat makam untuk Alberto.

    "Rohnya telah mati. Menurut tradisi kami, dia sudah bersatu dengan para nenek moyang. Karena itu, kami perlu memanggil rohnya untuk dipersatukan lagi dengan tubuhnya. Dia seperti terlahir kembali," kata adik perempuan Alberto, Markita Ximenes.

    Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun. Dia juga sekarang memeluk agama Islam.

    "Mereka semua telah menjalani hidup yang sangat sulit. Mereka telah gigih sepanjang hidup dan kini mereka harus berjuang untuk mengembalikan kepercayaan dan klop dengan kehidupan keluarga. Saya kasihan dengan mereka," kata Isabelina

    Beberapa di antara anak yang hilang kembali ke Timor Leste dan menyadari bahwa ibu atau ayahnya telah tiada.

    "Kecuali menggunakan mesin waktu, kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mengisi kekosongan dalam hidup anak-anak yang hilang…Namun ada kesempatan untuk memperbaiki yang rusak. Hanya saja, waktu yang tersisa cukup pendek," kata Galuh Wandita.

    Pada hari terakhir kami di Timor Leste, Alberto membawa saya ke kuburannya di hutan dekat desanya di Distrik Laga. Makam itu terletak di bagian orang-orang penganut anismisme.

    Nisan yang melambangkan roh Alberto bersatu dengan nenek moyang telah dibuang ke tanah.

    "Ini membuat saya bahagia, betul-betul bersyukur. Saya punya kuburan di sini tapi sekarang keluarga saya telah mengembalikan saya dari kematian," tutupnya.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Ada Kesempatan Untuk Memperbaiki yang Rusak Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top