Romeo, Juliet, Shakespeare dan Hull City
Pujangga terbesar Inggris sepanjang masa, Shakespeare tidaklah dikenal sebagai seorang eksistensialis, tetapi lewat Romeo dan Juliet ia mengedepankan pertanyaan yang demikian.
What is in a name? That which we call a rose
By any other name would smell as sweet.
(Apalah arti sebuah nama? Kita menyebutnya bunga mawar
Dengan nama apapun ia akan tetap harum semerbak.)
Apa yang dikatakan Juliet Capulet kepada Romeo Montaque tentu saja kiasan, bahwa nama keluarga yang mereka sandang, yang kebetulan bertikai, tak lebih sebuah tempelan takdir yang harus mereka terima, namun pada saat bersamaan sebuah kesepakatan sosial yang tak harus mempunyai makna buat mereka berdua.
Nama tidaklah kemudian harus menentukan, membentuk kesadaran, mengkategorikan, mendefinisikan penyandangnya. Ia, nama, sekadar sebutan. Eksistensi seseorang lebih bersandar pada tindak dan tanggung jawab individu dalam menjalani kehidupan.
Maka usai percakapan itu, Romeo pun mencampakkan nama keluarganya, mencampakkan hal yang mengungkung jati dirinya. Ia memilih merumuskan jati dirinya sebagai lelaki pecinta Juliet. Ia menolak konvensi sosial yang tergantung waktu, situasi, kondisi maupun atribut yang datang dari luar diri.
Kita tahu Shakespeare lahir hampir lima ratus tahun lalu, ketika nama keluarga sedikit banyak bisa dirunut ke asal muasal profesi yang bersangkutan, terutama kelas menengah bawah. Nama masih terkait langsung dengan strata sosial dan eksistensi seseorang dalam masyarakat. Semisal Seaman atau Mariner (pelaut), Miller (penggiling gandum), Cook (juru masak), Smith (pande besi), Carpenter (tukang kayu), Deacon (pelayan gereja), Forrester (penjaga hutan) dan lainnya.
Atau merujuk ke kota/desa/daerah dari mana individu berasal semisal Sheringham, Humberstone, Townsend, Kent, Yorke, Somersby dengan perangai daerah yang khas.
Atau juga menunjuk individu anak siapa semisal Jameson (anak laki-laki James), Harrison (anak laki-laki Harry), Gregson (anak laki-laki Greg) sehingga orang dengan mudah akan bisa mengatakan, "Pantas anak si anu. Sesuai lah", untuk mendefinisikan keberadaan seseorang berdasar garis keturunan.
Mungkin ini sebuah kritik Shakespeare terhadap kondisi sosial saat itu. Ia gerah dengan cara pandang masyarakat yang terlalu membebani/mengaitkan nama dengan jati diri/eksistensi individu.
Mungkin pula cerminan pengalaman pribadi Shakespeare yang lahir dari keluarga yang sangat mapan, kawin dengan istri dari kalangan yang lebih mapan lagi, tetapi kemudian memilih lari untuk mengarungi kehidupan bohemian di London sebagai aktor dan penulis naskah drama. Sebuah wujud pemberontakan yang alasan sesungguhnya banyak menjadi perdebatan para penulis biografi pujangga Inggris ini.
Kalau saja Shakespeare hidup pada zaman ini, kemungkinan pertanyaan "apalah arti sebuah nama?" tak akan keluar. Nama sudah sedemikian ahistorisnya, tanpa bobot, tanpa makna, tanpa beban sosial, tanpa mengungkung, tidak mendefinisikan penyandangnya, sesungguhnya sebuah sebutan belaka. Kecuali kalau kita berbicara tentang klub sepakbola, terutama sekali klub yang sudah mapan.
Beberapa contoh saja. Anda tidak pernah mendengar protes penggemar klub sepak bola Newell's Old Boy, River Plate atau Racing Club di Argentina karena namanya yang berbahasa Inggris dan Prancis dan bukan berbahasa Spanyol? Yakinlah, mereka bahkan akan protes kalau ada upaya untuk mengubah nama itu ke dalam bahasa Spanyol.
AC Milan dan bukannya AC Milano di Italia. Ketika rezim fasis Italia yang sempat memaksa untuk mengubah nama menjadi AC Milano runtuh tahun 40-an, nama klub dikembalikan ke nama aslinya yang berdasar pada cara orang Inggris menyebut kota Milano, yaitu Milan. Karena demikianlah nama asli klub yang memang didirikan oleh orang Inggris.
Ingatkah anda akan klub bernama Wimbledon? Klub kecil yang terkenal karena di tahun 1998 di luar dugaan memenangi Piala FA dengan mengalahkan Liverpool 1-0 di final, ditinggal penggemarnya setelah pindah ke kota lain dan berganti nama (menjadi Milton Keynes Dons FC). Para penggemar klub itu kemudian mendirikan klub baru (AFC Wimbledon) untuk meneruskan apa yang mereka sebut sebagai "menjaga sejarah klub dan tradisi", tak peduli sekecil dan semiskin apapun klub yang baru tetapi menyandang nama asli.
Anda tahu, nama klub bagi penggemar sepakbola adalah sebuah kesucian yang nyaris tak boleh diganggu gugat. Logika kiasan ala Shakespeare tak berlaku bagi pendukung klub sepakbola atau setidaknya harus dimodifikasi: "Apalah arti sebuah nama? Segalanya. Mawar harum semerbak terlepas namanya. Tapi nama mawar sudah dipilih, ditetapkan dan putus". Mawar sudah menjadi eksistensi dan sekaligus sinonim degan keharuman itu sendiri.
Ada sebagian dari anda yang mungkin mengatakan, "Ini mengada-ada. Toh, ada klub yang berubah-ubah namanya di masa lalu dan sekarang menjadi besar. Mengapa tak menjadi masalah masalah?"
Itu benar. Anda hanya harus sedikit membuka sejarah (saya berbicara tentang klub-klub Inggris yang saya tahu) untuk menemukan bagaimana beberapa klub besar yang kita kenal sekarang dulunya mempunyai nama yang berbeda. Tetapi biasanya itu terjadi dalam era formatif klub sebelum mapan. Sebelum nama memberi arti, identitas atau mapan sebagai sebuah eksistensi.
Arti, identitas atau eksistensi itu tidak haruslah berwujud dengan piala atau kemenangan, tetapi spirit-nyawa-sebuah kolektivitas yang mewakili perasaan pendukungnya.
"No one like us and we don't care (Tak ada yang menyukai kami dan kami tidak peduli)," nyanyian pendukung Millwall FC. Nama klub Millwall adalah sebuah identitas perlawanan terhadap rasa ketidakadilan dan cemohan yang dialamatkan oleh media dan masyarakat yang menganggap pendukung klub ini kasar, tak berkelas dan sekumpulan hooligan semata.
"You Never Walk Alone (Tak akan berjalan sendirian)" adalah nyanyian pendukung Liverpool. Sebuah lagu pop yang dipilih oleh Bill Shankly di tahun 1960-an sebagai lagu kebangsaan Liverpool. Konon setelah mendengar syairnya, entah bagaimana ia merasa lagu itu merumuskan perasaan pemain, pendukung dan bahkan bukan sekadar klub tetapi kota Liverpool. Sebuah kebersamaan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Demikian benak Shankly yang disambut gempita pendukung Liverpool.
"Superbia in Proelia (Menjaga Harga Diri dalam Pertarungan)", ujar klub dan pendukung Manchester City. Kalah dan menang bukanlah yang utama, harga diri adalah segalanya. Mendukung Manchester City bukan persoalan menjadi juara, tetapi bak mengendarai kereta emosi menyaksikan mereka yang di lapangan memberikan yang terbaik.
Ini hanya untuk menyebut beberapa. Semua klub akan bisa memberikan alasan mereka sendiri-sendiri. Itulah sebabnya nama tidak bisa berubah. Seperti saya katakan, ia eksistensi sekaligus esensi.
Di zaman ketika nama bergerak dari sebuah eksistensi menjadi sekadar sebutan, penggemar bola semakin menggenggam nama klub sebagai sesuatu yang sangat berarti. Nama menjadi plasenta yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu atau juga masa-masa penting ketika jati diri termaktubkan dalam kehidupan klub.
Karenanya jangan heran ketika belakangan pemilik klub Hull City, keluarga Allam, ingin mengubah nama klub itu menjadi Hull Tigers, mereka mendapat tentangan habis-habisan dari pendukung klub itu. Ancaman keluarga Allam untuk menjual klub seandainya keinginan mereka tidak terpenuhi tidak digubris pendukung klub itu.
"City Till We Die (City sampai mati)", tekad para pendukung Hull City. "Amin", dukung semua penggemar sepakbola Inggris yang sadar akan pentingnya nama. Lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup bercermin bangkai.
Pujangga terbesar Inggris sepanjang masa, Shakespeare tidaklah dikenal sebagai seorang eksistensialis, tetapi lewat Romeo dan Juliet ia mengedepankan pertanyaan yang demikian.
What is in a name? That which we call a rose
By any other name would smell as sweet.
(Apalah arti sebuah nama? Kita menyebutnya bunga mawar
Dengan nama apapun ia akan tetap harum semerbak.)
Apa yang dikatakan Juliet Capulet kepada Romeo Montaque tentu saja kiasan, bahwa nama keluarga yang mereka sandang, yang kebetulan bertikai, tak lebih sebuah tempelan takdir yang harus mereka terima, namun pada saat bersamaan sebuah kesepakatan sosial yang tak harus mempunyai makna buat mereka berdua.
Nama tidaklah kemudian harus menentukan, membentuk kesadaran, mengkategorikan, mendefinisikan penyandangnya. Ia, nama, sekadar sebutan. Eksistensi seseorang lebih bersandar pada tindak dan tanggung jawab individu dalam menjalani kehidupan.
Maka usai percakapan itu, Romeo pun mencampakkan nama keluarganya, mencampakkan hal yang mengungkung jati dirinya. Ia memilih merumuskan jati dirinya sebagai lelaki pecinta Juliet. Ia menolak konvensi sosial yang tergantung waktu, situasi, kondisi maupun atribut yang datang dari luar diri.
Kita tahu Shakespeare lahir hampir lima ratus tahun lalu, ketika nama keluarga sedikit banyak bisa dirunut ke asal muasal profesi yang bersangkutan, terutama kelas menengah bawah. Nama masih terkait langsung dengan strata sosial dan eksistensi seseorang dalam masyarakat. Semisal Seaman atau Mariner (pelaut), Miller (penggiling gandum), Cook (juru masak), Smith (pande besi), Carpenter (tukang kayu), Deacon (pelayan gereja), Forrester (penjaga hutan) dan lainnya.
Atau merujuk ke kota/desa/daerah dari mana individu berasal semisal Sheringham, Humberstone, Townsend, Kent, Yorke, Somersby dengan perangai daerah yang khas.
Atau juga menunjuk individu anak siapa semisal Jameson (anak laki-laki James), Harrison (anak laki-laki Harry), Gregson (anak laki-laki Greg) sehingga orang dengan mudah akan bisa mengatakan, "Pantas anak si anu. Sesuai lah", untuk mendefinisikan keberadaan seseorang berdasar garis keturunan.
Mungkin ini sebuah kritik Shakespeare terhadap kondisi sosial saat itu. Ia gerah dengan cara pandang masyarakat yang terlalu membebani/mengaitkan nama dengan jati diri/eksistensi individu.
Mungkin pula cerminan pengalaman pribadi Shakespeare yang lahir dari keluarga yang sangat mapan, kawin dengan istri dari kalangan yang lebih mapan lagi, tetapi kemudian memilih lari untuk mengarungi kehidupan bohemian di London sebagai aktor dan penulis naskah drama. Sebuah wujud pemberontakan yang alasan sesungguhnya banyak menjadi perdebatan para penulis biografi pujangga Inggris ini.
Kalau saja Shakespeare hidup pada zaman ini, kemungkinan pertanyaan "apalah arti sebuah nama?" tak akan keluar. Nama sudah sedemikian ahistorisnya, tanpa bobot, tanpa makna, tanpa beban sosial, tanpa mengungkung, tidak mendefinisikan penyandangnya, sesungguhnya sebuah sebutan belaka. Kecuali kalau kita berbicara tentang klub sepakbola, terutama sekali klub yang sudah mapan.
Beberapa contoh saja. Anda tidak pernah mendengar protes penggemar klub sepak bola Newell's Old Boy, River Plate atau Racing Club di Argentina karena namanya yang berbahasa Inggris dan Prancis dan bukan berbahasa Spanyol? Yakinlah, mereka bahkan akan protes kalau ada upaya untuk mengubah nama itu ke dalam bahasa Spanyol.
AC Milan dan bukannya AC Milano di Italia. Ketika rezim fasis Italia yang sempat memaksa untuk mengubah nama menjadi AC Milano runtuh tahun 40-an, nama klub dikembalikan ke nama aslinya yang berdasar pada cara orang Inggris menyebut kota Milano, yaitu Milan. Karena demikianlah nama asli klub yang memang didirikan oleh orang Inggris.
Ingatkah anda akan klub bernama Wimbledon? Klub kecil yang terkenal karena di tahun 1998 di luar dugaan memenangi Piala FA dengan mengalahkan Liverpool 1-0 di final, ditinggal penggemarnya setelah pindah ke kota lain dan berganti nama (menjadi Milton Keynes Dons FC). Para penggemar klub itu kemudian mendirikan klub baru (AFC Wimbledon) untuk meneruskan apa yang mereka sebut sebagai "menjaga sejarah klub dan tradisi", tak peduli sekecil dan semiskin apapun klub yang baru tetapi menyandang nama asli.
Anda tahu, nama klub bagi penggemar sepakbola adalah sebuah kesucian yang nyaris tak boleh diganggu gugat. Logika kiasan ala Shakespeare tak berlaku bagi pendukung klub sepakbola atau setidaknya harus dimodifikasi: "Apalah arti sebuah nama? Segalanya. Mawar harum semerbak terlepas namanya. Tapi nama mawar sudah dipilih, ditetapkan dan putus". Mawar sudah menjadi eksistensi dan sekaligus sinonim degan keharuman itu sendiri.
Ada sebagian dari anda yang mungkin mengatakan, "Ini mengada-ada. Toh, ada klub yang berubah-ubah namanya di masa lalu dan sekarang menjadi besar. Mengapa tak menjadi masalah masalah?"
Itu benar. Anda hanya harus sedikit membuka sejarah (saya berbicara tentang klub-klub Inggris yang saya tahu) untuk menemukan bagaimana beberapa klub besar yang kita kenal sekarang dulunya mempunyai nama yang berbeda. Tetapi biasanya itu terjadi dalam era formatif klub sebelum mapan. Sebelum nama memberi arti, identitas atau mapan sebagai sebuah eksistensi.
Arti, identitas atau eksistensi itu tidak haruslah berwujud dengan piala atau kemenangan, tetapi spirit-nyawa-sebuah kolektivitas yang mewakili perasaan pendukungnya.
"No one like us and we don't care (Tak ada yang menyukai kami dan kami tidak peduli)," nyanyian pendukung Millwall FC. Nama klub Millwall adalah sebuah identitas perlawanan terhadap rasa ketidakadilan dan cemohan yang dialamatkan oleh media dan masyarakat yang menganggap pendukung klub ini kasar, tak berkelas dan sekumpulan hooligan semata.
"You Never Walk Alone (Tak akan berjalan sendirian)" adalah nyanyian pendukung Liverpool. Sebuah lagu pop yang dipilih oleh Bill Shankly di tahun 1960-an sebagai lagu kebangsaan Liverpool. Konon setelah mendengar syairnya, entah bagaimana ia merasa lagu itu merumuskan perasaan pemain, pendukung dan bahkan bukan sekadar klub tetapi kota Liverpool. Sebuah kebersamaan untuk mengarungi bahtera kehidupan. Demikian benak Shankly yang disambut gempita pendukung Liverpool.
"Superbia in Proelia (Menjaga Harga Diri dalam Pertarungan)", ujar klub dan pendukung Manchester City. Kalah dan menang bukanlah yang utama, harga diri adalah segalanya. Mendukung Manchester City bukan persoalan menjadi juara, tetapi bak mengendarai kereta emosi menyaksikan mereka yang di lapangan memberikan yang terbaik.
Ini hanya untuk menyebut beberapa. Semua klub akan bisa memberikan alasan mereka sendiri-sendiri. Itulah sebabnya nama tidak bisa berubah. Seperti saya katakan, ia eksistensi sekaligus esensi.
Di zaman ketika nama bergerak dari sebuah eksistensi menjadi sekadar sebutan, penggemar bola semakin menggenggam nama klub sebagai sesuatu yang sangat berarti. Nama menjadi plasenta yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu atau juga masa-masa penting ketika jati diri termaktubkan dalam kehidupan klub.
Karenanya jangan heran ketika belakangan pemilik klub Hull City, keluarga Allam, ingin mengubah nama klub itu menjadi Hull Tigers, mereka mendapat tentangan habis-habisan dari pendukung klub itu. Ancaman keluarga Allam untuk menjual klub seandainya keinginan mereka tidak terpenuhi tidak digubris pendukung klub itu.
"City Till We Die (City sampai mati)", tekad para pendukung Hull City. "Amin", dukung semua penggemar sepakbola Inggris yang sadar akan pentingnya nama. Lebih baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup bercermin bangkai.
0 komentar:
Post a Comment