Jenderal yang Abadi dalam Perseteruan Real Madrid-Barcelona
Dalam laga El Clasico, adakah tokoh antagonis yang sering disebut-sebut selain Francisco Franco Bahamonde?
Padahal, kubu Real Madrid menolak untuk diasosiasikan dengannya, sementara Barcelona menaruh sakit hati padanya. Tapi, jika kedua klub itu sama-sama membenci Franco, mengapa nama sang jendreal selalu hadir dan memantik api pertikaian setiap El Clasico akan digelar?
Franco sendiri kerap dikaitkan dengan penindasan bangsa Catalunya dan sering dibilang sebagai bangsat Castilia yang habis-habisan pro-Real Madrid. Namun apakah betul itu demikian?
Jimmy Burns, penulis buku La Roja: Historian Spanish Football, kepada majalah Time menegaskan bahwa menyebut Franco sebagai fans Real Madrid itu adalah sebuah ironi karena pada dasarnya Franco adalah penggemar Athletic Bilbao.
Agak mencengangkan memang. Pada satu sisi Franco adalah diktator yang kejam pada bangsa Basque --yang merupakan elemen pembentuk Bilbao. Bahkan ratusan ribu dari mereka meregang nyawa di tangan Franco. Tapi di sisi lain Franco pun ternyata mengagumi bangsa Basque. Dan kekaguman itu diutarakan lewat sepakbola. Lewat Athletic Bilbao.
"Dia menyukai bagaimana sepakbola dimainkan oleh bangsa Basque. Dengan permainan fisik mirip-mirip seperti Inggris. Itulah yang menurutnya teladan bagi bangsa Hispanik. Sebuah nilai-nilai adiluhur kerajaaan Spanyol, yang mesti ditiru dan diaplikasikan dalam lapangan sepakbola," ucap Burns.
Tapi ada pendapat lain prihal Franco dan sepakbola Spanyol. Sejarawan Paul Preston dalam buku biografi Franco menegaskan bahwa diktator yang satu ini sebenarnya tak terlalu gila-gila amat dengan sepakbola.
Para sejarawan Spanyol sepakat tentang hal ini. "Franco haus darah. Dia lebih suka menonton film di istana El Pardo, ketimbang menonton sepakbola. Baginya menandatangani hukuman mati kepada lawan politik lebih menarik ketimbang bermain sepak bola atau menonton pertandingan di stadion."
Kelicikan Franco Mengibuli Hitler dan Mussolini
Franco adalah politisi yang picik dan licin. Tanpa dua hal itu dia tak akan mungkin jadi diktator fasis yang bisa bertahan sampai Perang Dunia II usai. Saat Mussolini tewas di tiang gantungan dan Hitler mati bunuh diri di bungkernya, Franco malah ongkang-ongkang hidup nyaman menikmati kekuasaan di istananya.
Dalam Perang Dunia II jelas Franco lebih condong kepada kelompok poros Hitler dan Mussolini. Karena berkat dua diktator itulah Franco berhasil memenangkan perang saudara melawan kaum republikan yang mendapat sokongan dari komunis Soviet.
Semestinya ia membalas budi atas bantuan puluhan ribu tentara, tank-tank, senjata dan artileri dari Nazi Jerman dan Italia. Berkat Nazi dan Mussolini, Franco mampu meredam kekuasaan kerajaan di Spanyol dan menjadikan kekuasaan multak miliknya.
Tapi, meski dekat dengan Nazi, ia membuat Spanyol sebagai "negara yang tidak berperang" dalam Perang Dunia II. Dan sikap ini yang lalu membuat Spanyol dipandang sebuah negara yang mencla-mencle.
Ada dua sikap Franco pada gejolak Perang Dunia II. Terhadap perang Eropa Barat antara Nazi dan Inggris, ia enggan terlibat lebih dalam karena itu adalah perang komersial dan daerah kekuasaan.
Sementara itu, saat Nazi membuka peperangan ke front timur melawan "gerombolan tak bertuhan" di Rusia, jelas Franco memihak Nazi. Tidakan itu sebagai upaya membalas komunis Soviet yang memporak-porandakan Spanyol dalam perang saudara. Tak tanggung, Franco bahkan kirimkan 200.000 tentara sukarela untuk membantu Nazi membasmi tentara merah.
Saat Nazi mulai takluk dan Reich Ketiga bubar, Franco beralih mulai menjilat pada negara sekutu. Eksesnya saat fasisme mati di Eropa, di Spanyol hal itu malah terus tumbuh subur.
Pragmatisme Franco dalam Sepakbola
Sebagaimana sikap poltiknya yang mencla-mencle, dalam sepakbola pun Franco menjelma jadi politikus yang cerdik dan oportunis. Ia melihat potensi besar dari sepakbola Spanyol yang berkembang menjadi budaya massa. Franco sadar bahwa sepakbola bisa dijadikan sebuah alat mengalihkan perhatian orang dari kekejaman rezim.
Visi Franco adalah penciptaan identitas tunggal Spanyol. Ideologinya itu berbenturan dengan keragaman Spanyol yang memiliki banyak bangsa seperti Catalunya, Basque, Andalusia dll. Rezim Franco berkehendak agar nasionalisme yang bangkit adalah keseluruhan dan bukan nasionalisme regional.
Hal ini tentu saja ditolak keras oleh bangsa Catalunya dan Basque. Keduanya memposisikan diri sebagai oposisi serta menuntut kemerdekaan dari kerajaan di Madrid.
Dan sepakbola-lah yang membuat bangsa Catalan dan Basque sedikit tunduk. Stadion dipakai untuk mengisolir rakyat Spanyol dari gairahnya untuk membuat keonaran di jalan-jalan.
Dalam stadion, bangsa Basque dan Catalunya dibiarkan bebas bangga dengan identitas mereka: memakai bahasa, lagu, bendera, dan lagu kebangsaan. Lain cerita jika hal itu dilakukan di luar stadion. Polisi nasional dan guardia civil siap menangkapi dan mengadili secara instan para pembuat rusuh.
Ini sesungguhnya sebuah paradoks. Lewat sepakbola Franco melestarikan sejarah dan budaya bangsa-bangsa di Spanyol. Sementara pada saat bersamaan ia membunuh kalangan budayawan dan tak segan membakar buku-buku berbahasa Catalan dan Euskera untuk menghapus semua jejak karakteristik sebuah bangsa.
Menjadikan Real Madrid sebagai Alat
El Real sejatinya hanyalah sebuat alat untuk melanggengkan kebijakan-kebijakan politik yang Franco lakukan. Teori menarik ini ditelorkan Simon Kuper dalam buku Football Against The Enemies. Adalah hal konyol jika menganggap Real Madrid adalah tim yang fasis. Franco tak perlu berlaku curang atau menyogok wasit guna membuat El Real menjadi juara. Toh, bagi Franco, peduli amat dengan Real Madrid.
Hanya saja, dengan perhatian-perhatian palsunya, Franco menciptakan suatu iklim yang bisa membuat Madrid bisa berkembang sedemikian rupa.
Sudah jadi kecenderungan diktator akan selalu memusatkan sumber daya mereka di ibukota. Baik itu resource berupa polisi, militer, dan atau alat birokrasi. Dalam sepakbola hal itu terjadi juga. Dan ini tak berlaku bagi El Real saja. Atletico Madrid pun mendapatkan perhatian yang serupa.
Jika dicermati, teori Kuper ini ada benarnya. Pada 15 tahun pertama kediktatorannya (1939-1944), Real Madrid malah selalu gagal meraih gelar La Liga. Bahkan Titel lebih banyak didominasi oleh klub-klub pemberontak macam Barcelona, Bilbao, ataupun Valencia. Hal ini jadi penanda bahwa sepakbola Spanyol memasuki fase sepakbola sebagai fase pengalih kekejaman rezim seperti yang dipapar di atas.
Semua itu berubah drastis pada 1955, saat Real Madrid bangkit dan menjadi raksasa Eropa lewat Liga Champions Eropa. Apa yang didapat Madrid ini sejatinya saat El Real berhasil dioptimasi oleh Franco jadi sebuah alat.
Pada dekade 40-50-an, Spanyol adalah bangsa yang secara fisik dan emosional sudah hancur lebur akibat perang saudara. Beban itu ditambah lewat Perang Dunia II karena seluruh sumber daya dipaksa untuk melayani dua pihak akibat sikap politik Franco yang mendua.
Kemenangan sekutu pun tak membuat Spanyol mengalami perbaikan. Usai Perang Dunia II, mereka malah dikucilkan dari dunia luar sehingga Spanyol jadi negara miskin.
Pertengahan dekade 50-an, Franco mulai melunak. Amerika dan PBB mulai kembali menjalin hubungan diplomatik. Untuk membuka bantuan internasional, Franco butuh alat untuk mencitra bahwa negaranya baik-baik saja dan setara dengan negara-negara Eropa lainnya. Dan tugas itu dibebankan pada Real Madrid.
"Franco sadar bahwa sepakbola dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik selama masa-masa sulit Spanyol. Lewat sepakbola, dia menyebarkan propaganda bahwa Spanyol adalah bangsa berprestasi yang layak diterima di dunia internasional. Lewat Real Madrid, Spanyol disulap menjadi sebuah negara yang memiliki tim sepakbola yang hebat, bukan negara yang identik politik represif dan reyot secara finansial," ucap Phill Ball dalam buku Morbo: the Story of Spanish Football.
Pada masa-masa itu, hubungan Franco dengan Madrid amatlah begitu erat. Dia gelontorkan dana besar bagi Madrid untuk mendatangkan pemain-pemain top seperti Raymond Kopa, French Puskas, hingga Aldredo Di Stefano. Ia pun tak pernah absen hadir saat Madrid bertanding di Bernabeu.
Franco juga menggunakan televisi untuk memberikan porsi lebih kepada Madrid agar propagandanya tak hanya diserap oleh masyarakat luar saja. Seluruh Spanyol dipaksa untuk bangga atas identitas Real Madrid. Pada akhirnya, bersama Franco, Madrid menyabet gelar Piala Champions hingga 5 kali berturut-turut. Sebuah sejarah yang tak akan pernah terulang.
Tapi mengatakan Franco adalah fans Real Madrid sesungguhnya adalah salah besar. Ia tak tertarik dengan segala macam tetek bengek lapangan hijau dan hanya peduli akan satu hal: kelanggengan kekuasannya. Entah itu dengan menyediakan stadion untuk meredam suara tuntutan kemerdekaan, membuat Real Madrid tim yang berjaya di Eropa, atau membunuh ratusan ribu orang. Semua itu hanya alat belaka.
Lantas, masih pantaskah jika nama Franco masih sering disebut-sebut setiap kali El Clasico menjelang?
Dalam laga El Clasico, adakah tokoh antagonis yang sering disebut-sebut selain Francisco Franco Bahamonde?
Padahal, kubu Real Madrid menolak untuk diasosiasikan dengannya, sementara Barcelona menaruh sakit hati padanya. Tapi, jika kedua klub itu sama-sama membenci Franco, mengapa nama sang jendreal selalu hadir dan memantik api pertikaian setiap El Clasico akan digelar?
Franco sendiri kerap dikaitkan dengan penindasan bangsa Catalunya dan sering dibilang sebagai bangsat Castilia yang habis-habisan pro-Real Madrid. Namun apakah betul itu demikian?
Jimmy Burns, penulis buku La Roja: Historian Spanish Football, kepada majalah Time menegaskan bahwa menyebut Franco sebagai fans Real Madrid itu adalah sebuah ironi karena pada dasarnya Franco adalah penggemar Athletic Bilbao.
Agak mencengangkan memang. Pada satu sisi Franco adalah diktator yang kejam pada bangsa Basque --yang merupakan elemen pembentuk Bilbao. Bahkan ratusan ribu dari mereka meregang nyawa di tangan Franco. Tapi di sisi lain Franco pun ternyata mengagumi bangsa Basque. Dan kekaguman itu diutarakan lewat sepakbola. Lewat Athletic Bilbao.
"Dia menyukai bagaimana sepakbola dimainkan oleh bangsa Basque. Dengan permainan fisik mirip-mirip seperti Inggris. Itulah yang menurutnya teladan bagi bangsa Hispanik. Sebuah nilai-nilai adiluhur kerajaaan Spanyol, yang mesti ditiru dan diaplikasikan dalam lapangan sepakbola," ucap Burns.
Tapi ada pendapat lain prihal Franco dan sepakbola Spanyol. Sejarawan Paul Preston dalam buku biografi Franco menegaskan bahwa diktator yang satu ini sebenarnya tak terlalu gila-gila amat dengan sepakbola.
Para sejarawan Spanyol sepakat tentang hal ini. "Franco haus darah. Dia lebih suka menonton film di istana El Pardo, ketimbang menonton sepakbola. Baginya menandatangani hukuman mati kepada lawan politik lebih menarik ketimbang bermain sepak bola atau menonton pertandingan di stadion."
Kelicikan Franco Mengibuli Hitler dan Mussolini
Franco adalah politisi yang picik dan licin. Tanpa dua hal itu dia tak akan mungkin jadi diktator fasis yang bisa bertahan sampai Perang Dunia II usai. Saat Mussolini tewas di tiang gantungan dan Hitler mati bunuh diri di bungkernya, Franco malah ongkang-ongkang hidup nyaman menikmati kekuasaan di istananya.
Dalam Perang Dunia II jelas Franco lebih condong kepada kelompok poros Hitler dan Mussolini. Karena berkat dua diktator itulah Franco berhasil memenangkan perang saudara melawan kaum republikan yang mendapat sokongan dari komunis Soviet.
Semestinya ia membalas budi atas bantuan puluhan ribu tentara, tank-tank, senjata dan artileri dari Nazi Jerman dan Italia. Berkat Nazi dan Mussolini, Franco mampu meredam kekuasaan kerajaan di Spanyol dan menjadikan kekuasaan multak miliknya.
Tapi, meski dekat dengan Nazi, ia membuat Spanyol sebagai "negara yang tidak berperang" dalam Perang Dunia II. Dan sikap ini yang lalu membuat Spanyol dipandang sebuah negara yang mencla-mencle.
Ada dua sikap Franco pada gejolak Perang Dunia II. Terhadap perang Eropa Barat antara Nazi dan Inggris, ia enggan terlibat lebih dalam karena itu adalah perang komersial dan daerah kekuasaan.
Sementara itu, saat Nazi membuka peperangan ke front timur melawan "gerombolan tak bertuhan" di Rusia, jelas Franco memihak Nazi. Tidakan itu sebagai upaya membalas komunis Soviet yang memporak-porandakan Spanyol dalam perang saudara. Tak tanggung, Franco bahkan kirimkan 200.000 tentara sukarela untuk membantu Nazi membasmi tentara merah.
Saat Nazi mulai takluk dan Reich Ketiga bubar, Franco beralih mulai menjilat pada negara sekutu. Eksesnya saat fasisme mati di Eropa, di Spanyol hal itu malah terus tumbuh subur.
Pragmatisme Franco dalam Sepakbola
Sebagaimana sikap poltiknya yang mencla-mencle, dalam sepakbola pun Franco menjelma jadi politikus yang cerdik dan oportunis. Ia melihat potensi besar dari sepakbola Spanyol yang berkembang menjadi budaya massa. Franco sadar bahwa sepakbola bisa dijadikan sebuah alat mengalihkan perhatian orang dari kekejaman rezim.
Visi Franco adalah penciptaan identitas tunggal Spanyol. Ideologinya itu berbenturan dengan keragaman Spanyol yang memiliki banyak bangsa seperti Catalunya, Basque, Andalusia dll. Rezim Franco berkehendak agar nasionalisme yang bangkit adalah keseluruhan dan bukan nasionalisme regional.
Hal ini tentu saja ditolak keras oleh bangsa Catalunya dan Basque. Keduanya memposisikan diri sebagai oposisi serta menuntut kemerdekaan dari kerajaan di Madrid.
Dan sepakbola-lah yang membuat bangsa Catalan dan Basque sedikit tunduk. Stadion dipakai untuk mengisolir rakyat Spanyol dari gairahnya untuk membuat keonaran di jalan-jalan.
Dalam stadion, bangsa Basque dan Catalunya dibiarkan bebas bangga dengan identitas mereka: memakai bahasa, lagu, bendera, dan lagu kebangsaan. Lain cerita jika hal itu dilakukan di luar stadion. Polisi nasional dan guardia civil siap menangkapi dan mengadili secara instan para pembuat rusuh.
Ini sesungguhnya sebuah paradoks. Lewat sepakbola Franco melestarikan sejarah dan budaya bangsa-bangsa di Spanyol. Sementara pada saat bersamaan ia membunuh kalangan budayawan dan tak segan membakar buku-buku berbahasa Catalan dan Euskera untuk menghapus semua jejak karakteristik sebuah bangsa.
Menjadikan Real Madrid sebagai Alat
El Real sejatinya hanyalah sebuat alat untuk melanggengkan kebijakan-kebijakan politik yang Franco lakukan. Teori menarik ini ditelorkan Simon Kuper dalam buku Football Against The Enemies. Adalah hal konyol jika menganggap Real Madrid adalah tim yang fasis. Franco tak perlu berlaku curang atau menyogok wasit guna membuat El Real menjadi juara. Toh, bagi Franco, peduli amat dengan Real Madrid.
Hanya saja, dengan perhatian-perhatian palsunya, Franco menciptakan suatu iklim yang bisa membuat Madrid bisa berkembang sedemikian rupa.
Sudah jadi kecenderungan diktator akan selalu memusatkan sumber daya mereka di ibukota. Baik itu resource berupa polisi, militer, dan atau alat birokrasi. Dalam sepakbola hal itu terjadi juga. Dan ini tak berlaku bagi El Real saja. Atletico Madrid pun mendapatkan perhatian yang serupa.
Jika dicermati, teori Kuper ini ada benarnya. Pada 15 tahun pertama kediktatorannya (1939-1944), Real Madrid malah selalu gagal meraih gelar La Liga. Bahkan Titel lebih banyak didominasi oleh klub-klub pemberontak macam Barcelona, Bilbao, ataupun Valencia. Hal ini jadi penanda bahwa sepakbola Spanyol memasuki fase sepakbola sebagai fase pengalih kekejaman rezim seperti yang dipapar di atas.
Semua itu berubah drastis pada 1955, saat Real Madrid bangkit dan menjadi raksasa Eropa lewat Liga Champions Eropa. Apa yang didapat Madrid ini sejatinya saat El Real berhasil dioptimasi oleh Franco jadi sebuah alat.
Pada dekade 40-50-an, Spanyol adalah bangsa yang secara fisik dan emosional sudah hancur lebur akibat perang saudara. Beban itu ditambah lewat Perang Dunia II karena seluruh sumber daya dipaksa untuk melayani dua pihak akibat sikap politik Franco yang mendua.
Kemenangan sekutu pun tak membuat Spanyol mengalami perbaikan. Usai Perang Dunia II, mereka malah dikucilkan dari dunia luar sehingga Spanyol jadi negara miskin.
Pertengahan dekade 50-an, Franco mulai melunak. Amerika dan PBB mulai kembali menjalin hubungan diplomatik. Untuk membuka bantuan internasional, Franco butuh alat untuk mencitra bahwa negaranya baik-baik saja dan setara dengan negara-negara Eropa lainnya. Dan tugas itu dibebankan pada Real Madrid.
"Franco sadar bahwa sepakbola dapat digunakan untuk mempengaruhi opini publik selama masa-masa sulit Spanyol. Lewat sepakbola, dia menyebarkan propaganda bahwa Spanyol adalah bangsa berprestasi yang layak diterima di dunia internasional. Lewat Real Madrid, Spanyol disulap menjadi sebuah negara yang memiliki tim sepakbola yang hebat, bukan negara yang identik politik represif dan reyot secara finansial," ucap Phill Ball dalam buku Morbo: the Story of Spanish Football.
Pada masa-masa itu, hubungan Franco dengan Madrid amatlah begitu erat. Dia gelontorkan dana besar bagi Madrid untuk mendatangkan pemain-pemain top seperti Raymond Kopa, French Puskas, hingga Aldredo Di Stefano. Ia pun tak pernah absen hadir saat Madrid bertanding di Bernabeu.
Franco juga menggunakan televisi untuk memberikan porsi lebih kepada Madrid agar propagandanya tak hanya diserap oleh masyarakat luar saja. Seluruh Spanyol dipaksa untuk bangga atas identitas Real Madrid. Pada akhirnya, bersama Franco, Madrid menyabet gelar Piala Champions hingga 5 kali berturut-turut. Sebuah sejarah yang tak akan pernah terulang.
Tapi mengatakan Franco adalah fans Real Madrid sesungguhnya adalah salah besar. Ia tak tertarik dengan segala macam tetek bengek lapangan hijau dan hanya peduli akan satu hal: kelanggengan kekuasannya. Entah itu dengan menyediakan stadion untuk meredam suara tuntutan kemerdekaan, membuat Real Madrid tim yang berjaya di Eropa, atau membunuh ratusan ribu orang. Semua itu hanya alat belaka.
Lantas, masih pantaskah jika nama Franco masih sering disebut-sebut setiap kali El Clasico menjelang?
0 komentar:
Post a Comment