Di Balik DPR, Tukang Tambal Ban Eks Preman Jadi Pemberantas Kejahatan
Jakarta - Suatu ketika para anggota dewan reses untuk kembali ke konstituen, geliat kegiatan di sekitarnya tak ikut reses. Lalu-lalang kendaraan melintas seperti memang sudah sewajarnya di sekeliling gedung berbentuk seperti tempurung kura-kura itu.
Tersembunyi di balik kemegahan wakil rakyat terselip hunian seorang tukang tambal ban. Rambut kusut, wajah sangar, baju kumal, tapi tak berkorelasi sama sekali dengan pribadi Erwin Purba (62) yang gemar menolong orang lain.
“Malam di sini gelap, sepi. Tapi banyak orang yang nunggu bus di halte situ. Nggak jarang ada orang ditodong kalau malam-malam sepi. Biasanya diminta tas sama HP nya. Belum lama ini juga ada yang begitu,” kata Erwin di pinggiran lalu lalang kendaraan melintasi Jl Raya Palmerah, Jakarta di siang hari.
Tapi siang itu nampak seperti aman-aman saja, orang-orang sibuk menghilangkan kesibukan rutin yang sekiranya menghantui mereka. Tak terpikir bagi siapapun berbuat jahat di tengah kesibukan orang-orang masa kini.
“Waktu itu sekitar jam 11 malam. Polisi yang patroli tidak ada, tapi ada cewek ditodong pakai pisau sama dua orang. Cewek itu teriak pas saya lagi tidur. Dengar begitu saya langsung bangun dan ambil golok yang biasa saya pakai buat potong-potong ban bekas. Saya teriak ke penodong itu, ‘apa-apaan ini? Cari masalah jangan di sini. Kalau mau kita satu lawan satu’, pikir saya cuma ada dua kemungkinan antara saya yang celaka atau penodong itu,” cerita Erwin.
“Sekali pukul sama saya, penjahat itu langsung masuk ke selokan itu. Saya pukul dua sampai tiga kali sehabis itu saya bawa ke Polsek Tanah Abang. Sudah beberapa kali saya begitu dan polisi juga menganggap saya sebagai teman. Karena mungkin kalau ada polisi, si penjahat tidak muncul jadi susah ditangkap,” kata Erwin.
Keberanian Erwin tak begitu saja dia dapatkan dari pinggir jalan. Adalah masa lalu kelam yang mengawali keberanian melawan orang jahat. Sebuah masa lalu yang tak ingin lagi dia ulangi.
“Dulunya saya preman. Makanya saya bisa tahu gelagat orang mau berbuat jahat karena saya juga dari dunia gelap itu. Saya dulunya kerja di diskotik di Mangga Besar. Tugas saya mengamankan orang-orang yang nyari ribut di kelab malam. Atau kadang juga mengamankan cewek-cewek yang begitu itu. Tapi gaji sama risiko nyawa tidak sebanding,” kata Erwin.
Bukan itu saja, enam kali sudah Erwin menjadi pelanggan hotel prodeo karena kasus-kasus kekerasan. Masih untuk kata Erwin korban-korban dia tak ada yang sampai meninggal dunia. Paling-paling ambulans datang dan seminggu kemudian si korban dipulangkan, dan pastinya kedua tangan Erwin sudah dililitkan besi oleh polisi.
“Awalnya sih si Bos selalu mem-backing-i, jadi paling ancaman dua sampai tiga tahun tapi vonis 10 bulan. Namanya penjahat seperti kita dulu itu tidak takut kalau sekedar ancaman hukuman. Kita cuman nungguin vonis saja lalu masuk penjara. Begitu keluar ya balik lagi,” ucap Erwin.
Terakhir kali dia dipenjara bukan kasus kekerasan yang melibatkan kawanan preman diskotik. Terpaksa dia merampok rumah dengan kekerasan untuk membayar biaya rumah sakit sang istri sebesar Rp 3 juta.
“Kena pasal 365, dikurung 2 tahun. Itu saya tertangkap gara-gara dicepuin sama teman saya sendiri. Waktu itu ceritanya saya cari pinjeman ke mana-mana termasuk pegadaian tidak dapat. Malah teman-teman saya yang penjahat ngasih duit dengan ikhlas tapi ditotal baru dapat Rp 800.000, masih kurang. Lalu salah satu teman saya ngajak ngerampok rumah kosong di Tambun, Bekasi. Jadilah saya merampok demi mengeluarkan istri dari rumah sakit,” kata Erwin.
Keluar dari penjara itu sang istri pun memohon kepada Erwin untuk segera insyaf dan tak mengulangi lagi perbuatannya. Lebih baik bekerja kecil-kecilan, tak perlu memberi mimpi miliuner, asalkan uang halal dan layak untuk dibelikan makanan.
“Istri juga mengingatkan kalau saya sudah mualaf dan harusnya menjalankan ajaran dengan benar, jangan main-main. Pas itu tiba-tiba kawan lama saya sama-sama orang Medan nawarin untuk jagain tempat tambal ban dia ini. Tapi karena tidak punya uang untuk menggaji, makanya hasilnya dibagi sama rata. Misalkan satu hari saya dapat Rp 100.000, maka hak saya Rp 50.000,” tutur Erwin.
Bertekad tak mengulangi aksi jahatnya, Erwin pun berniat menebus kesalahan dengan membantu penegak hukum. Tak dibayar pun tak mengapa yang penting menjadi berguna bagi masyarakat sekitar.
“Tidak seperti orang yang mengaku wakil rakyat di belakang sana tapi kerjanya tidur sama bolos, saya rasa lebih terhormat saya,” ujar lelaki yang menjadi seperti pahlawan dari dunia kegelapan itu.
Jakarta - Suatu ketika para anggota dewan reses untuk kembali ke konstituen, geliat kegiatan di sekitarnya tak ikut reses. Lalu-lalang kendaraan melintas seperti memang sudah sewajarnya di sekeliling gedung berbentuk seperti tempurung kura-kura itu.
Tersembunyi di balik kemegahan wakil rakyat terselip hunian seorang tukang tambal ban. Rambut kusut, wajah sangar, baju kumal, tapi tak berkorelasi sama sekali dengan pribadi Erwin Purba (62) yang gemar menolong orang lain.
“Malam di sini gelap, sepi. Tapi banyak orang yang nunggu bus di halte situ. Nggak jarang ada orang ditodong kalau malam-malam sepi. Biasanya diminta tas sama HP nya. Belum lama ini juga ada yang begitu,” kata Erwin di pinggiran lalu lalang kendaraan melintasi Jl Raya Palmerah, Jakarta di siang hari.
Tapi siang itu nampak seperti aman-aman saja, orang-orang sibuk menghilangkan kesibukan rutin yang sekiranya menghantui mereka. Tak terpikir bagi siapapun berbuat jahat di tengah kesibukan orang-orang masa kini.
“Waktu itu sekitar jam 11 malam. Polisi yang patroli tidak ada, tapi ada cewek ditodong pakai pisau sama dua orang. Cewek itu teriak pas saya lagi tidur. Dengar begitu saya langsung bangun dan ambil golok yang biasa saya pakai buat potong-potong ban bekas. Saya teriak ke penodong itu, ‘apa-apaan ini? Cari masalah jangan di sini. Kalau mau kita satu lawan satu’, pikir saya cuma ada dua kemungkinan antara saya yang celaka atau penodong itu,” cerita Erwin.
“Sekali pukul sama saya, penjahat itu langsung masuk ke selokan itu. Saya pukul dua sampai tiga kali sehabis itu saya bawa ke Polsek Tanah Abang. Sudah beberapa kali saya begitu dan polisi juga menganggap saya sebagai teman. Karena mungkin kalau ada polisi, si penjahat tidak muncul jadi susah ditangkap,” kata Erwin.
Keberanian Erwin tak begitu saja dia dapatkan dari pinggir jalan. Adalah masa lalu kelam yang mengawali keberanian melawan orang jahat. Sebuah masa lalu yang tak ingin lagi dia ulangi.
“Dulunya saya preman. Makanya saya bisa tahu gelagat orang mau berbuat jahat karena saya juga dari dunia gelap itu. Saya dulunya kerja di diskotik di Mangga Besar. Tugas saya mengamankan orang-orang yang nyari ribut di kelab malam. Atau kadang juga mengamankan cewek-cewek yang begitu itu. Tapi gaji sama risiko nyawa tidak sebanding,” kata Erwin.
Bukan itu saja, enam kali sudah Erwin menjadi pelanggan hotel prodeo karena kasus-kasus kekerasan. Masih untuk kata Erwin korban-korban dia tak ada yang sampai meninggal dunia. Paling-paling ambulans datang dan seminggu kemudian si korban dipulangkan, dan pastinya kedua tangan Erwin sudah dililitkan besi oleh polisi.
“Awalnya sih si Bos selalu mem-backing-i, jadi paling ancaman dua sampai tiga tahun tapi vonis 10 bulan. Namanya penjahat seperti kita dulu itu tidak takut kalau sekedar ancaman hukuman. Kita cuman nungguin vonis saja lalu masuk penjara. Begitu keluar ya balik lagi,” ucap Erwin.
Terakhir kali dia dipenjara bukan kasus kekerasan yang melibatkan kawanan preman diskotik. Terpaksa dia merampok rumah dengan kekerasan untuk membayar biaya rumah sakit sang istri sebesar Rp 3 juta.
“Kena pasal 365, dikurung 2 tahun. Itu saya tertangkap gara-gara dicepuin sama teman saya sendiri. Waktu itu ceritanya saya cari pinjeman ke mana-mana termasuk pegadaian tidak dapat. Malah teman-teman saya yang penjahat ngasih duit dengan ikhlas tapi ditotal baru dapat Rp 800.000, masih kurang. Lalu salah satu teman saya ngajak ngerampok rumah kosong di Tambun, Bekasi. Jadilah saya merampok demi mengeluarkan istri dari rumah sakit,” kata Erwin.
Keluar dari penjara itu sang istri pun memohon kepada Erwin untuk segera insyaf dan tak mengulangi lagi perbuatannya. Lebih baik bekerja kecil-kecilan, tak perlu memberi mimpi miliuner, asalkan uang halal dan layak untuk dibelikan makanan.
“Istri juga mengingatkan kalau saya sudah mualaf dan harusnya menjalankan ajaran dengan benar, jangan main-main. Pas itu tiba-tiba kawan lama saya sama-sama orang Medan nawarin untuk jagain tempat tambal ban dia ini. Tapi karena tidak punya uang untuk menggaji, makanya hasilnya dibagi sama rata. Misalkan satu hari saya dapat Rp 100.000, maka hak saya Rp 50.000,” tutur Erwin.
Bertekad tak mengulangi aksi jahatnya, Erwin pun berniat menebus kesalahan dengan membantu penegak hukum. Tak dibayar pun tak mengapa yang penting menjadi berguna bagi masyarakat sekitar.
“Tidak seperti orang yang mengaku wakil rakyat di belakang sana tapi kerjanya tidur sama bolos, saya rasa lebih terhormat saya,” ujar lelaki yang menjadi seperti pahlawan dari dunia kegelapan itu.
0 komentar:
Post a Comment