Saat datang ke kantor Yahoo Indonesia pada Januari 2014 lalu, capres Konvensi Partai Demokrat Gita Wirjawan mengatakan bahwa dalam upayanya menjadi seorang capres, “Pekerjaan saya adalah menjual tesis, narasi. Semuanya tentang narasi. Ada penjual, ada pembeli.”
Meski Partai Demokrat kemudian tak bisa mengajukan capres sendiri, dan impian Gita Wirjawan untuk menjadi capres harus gugur, ada sesuatu yang penting muncul dari jawabannya tentang menjual narasi tersebut.
Politik, terutama pemilihan presiden, adalah soal menjual narasi ketokohan si capres. Tentu semua sudah tahu itu, tapi, entah karena terlalu jujur atau naif, dari Gita-lah kita mendapat jawaban gamblang akan sesuatu yang tak mau diakui secara terbuka oleh capres lain. Bahwa ada proses manipulasi citra yang terjadi di belakang layar.
Dalam kurang lebih 50 hari ke depan, kita akan melihat narasi ketokohan seperti apa yang dijual masing-masing capres, dan pada akhirnya, menentukan seberapa meyakinkan mereka menjual narasi tersebut ke calon pemilih. Baik Jokowi maupun Prabowo akan menegaskan bahwa narasi ketokohan yang mereka jual itu benar adalah diri mereka sehari-hari, bahwa mereka adalah sosok yang asli, genuine, autentik. Dan dalam upaya menunjukkan autentisitas diri, tampaknya Jokowi punya keunggulan karena kisah hidupnya yang relatif tak diketahui.
Mari kita bandingkan.
Sebelum Prabowo suka memakai pakaian safari seperti Soekarno, bahkan menggunakan mic khusus yang membuat dia seperti pria dikirim oleh mesin waktu langsung dari dari era Kemerdekaan Indonesia, ia adalah anak dari Begawan Ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo.
Julukan Begawan Ekonomi tak melebih-lebihkan semua pencapaian Sumitro. Ia sudah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada usia 34, menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada usia 33. Sebagai dekan FE-UI, ia berperan dalam mendidik orang-orang yang kemudian menentukan dan mengambil keputusan penting dalam ekonomi Indonesia.
Singkatnya, dialah yang meletakkan fondasi dan menentukah arah sistem ekonomi Indonesia modern. Ayah Sumitro, Margono Djojohadikusumo bahkan menjadi pendiri, pembentuk, dan Direktur Utama Bank Negeri Indonesia (BNI).
Pada masa kuliahnya di Universitas Sorbonne, Paris, Sumitro dikabarkan berinteraksi dengan filsuf pemenang Nobel Henri Bergson, fotografer yang kemudian dikenal sebagai Bapak Jurnalisme Foto Henri Cartier-Bresson, dan pemimpin dunia Jawaharlal Nehru. Dengan sosok ayah yang terhubung ke lingkaran pergaulan intelektual dunia seperti inilah Prabowo tumbuh besar dan terbentuk.
Prabowo sendiri bukannya tak punya pergaulan kelas dunia. Raja Yordania, Abdullah II, adalah salah satu sahabatnya. Saat sang raja datang ke Jakarta pada akhir Februari lalu, ia lebih dulu menemui Prabowo daripada menemui kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam situs Gerindra Sulawesi Selatan, kedekatan Prabowo dan Raja Abdullah II dibahas lebih jauh.
“Kisah persahabatan Prabowo dan Abdullah dituangkan dalam buku berjudul “Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana”. Dalam salah satu bab, dikatakan bahwa Yordania adalah negara kedua bagi Prabowo, terutama setelah kisruh 1998 pecah. Saat itu, Abdullah yang masih menjadi pangeran menawari Prabowo untuk tinggal sementara di negaranya. Prabowo disambut hangat oleh Abdullah. Bahkan Prabowo sempat diundang ke markas tentara Yordania Dia tiba dengan pakaian kasual, namun disambut secara militer. “Di sini Anda tetap Jenderal,” kata Abdullah sambil memeluk Prabowo. Bahkan, Abdullah II yang saat itu memimpin Komando Pasukan Khusus Kerajaan Yordania memaksa Prabowo menginspeksi pasukannya. Sejak saat itu, Prabowo mengaku jatuh cinta dengan Yordania.”
Bukan hanya persahabatannya kini, sosok Prabowo dulu juga tak lepas dari keterkaitannya dengan salah satu (atau malah satu-satunya) keluarga paling berkuasa di Indonesia.
Kiprah Prabowo sendiri di Kopassus (dan akhirnya yang tak menyenangkan buat dia) sudah banyak dibahas media.
Meski dengan kegagalannya, kehidupan Prabowo, baik dari sisi didikan keluarga, lingkungan sosial, status pernikahannya (dulu), membuat dia dekat dan menjadi bagian dari kekuasaan. Maka wajar saja jika di rumahnya di Sentul, Bogor, Jawa Barat, dia punya pendopo seperti layaknya keraton raja-raja Jawa. Dalam wawancara dengan Financial Times pada Juni 2013 lalu, Prabowo bahkan disebut bisa melacak garis keturunannya sampai sultan-sultan Mataram, penguasa Jawa terakhir sebelum jatuh ke kekuasaan East India Company milik Belanda pada abad 18.
Maka, posisi presiden, atau ‘raja’, buat Prabowo bukanlah lompatan yang fantastis karena orang-orang yang dekat dengan dia (pernah) berada di posisi tersebut. Buat Prabowo, punya kuda-kuda berharga miliaran, punya pendopo, menjadi penguasa bukanlah ilusi atau fantasi akan kebesaran (grandeur) tapi sekadar memenuhi takdirnya.
Sekarang mari kita lihat Jokowi.
Sosoknya pertama muncul di media sebagai Wali Kota Solo yang berhasil memindahkan PKL ke lokasi baru dengan cara tidak biasa, mengajak mereka makan bersama untuk membujuk sampai akhirnya mau pindah. Berbeda dengan cara-cara pemimpin daerah lainnya yang memindahkan PKL dengan cara penggusuran paksa.
Dalam esai ini, ada lima tip yang bisa ditiru calon pemimpin daerah untuk menjadi Jokowi berikutnya, (1)bertarunglah di pilkada, (2)utamakan bertarung di daerah-daerah atau kota-kota besar yang populer dan dekat dengan media, (3)menangkan pilkada itu, (4)bekerjalah dengan sebaik-baiknya dan tunjukkan perubahan yang berarti dan kasat mata, (5) sedari awal begitu terpilih langsung rancang tim komunikasi yang terus menerus mengkampanyekan gerak-gerik dan perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dengan cara yang cantik, cerdik, dan sadar media.
Poin lima inilah yang terpenting dalam membentuk dan menjaga konsistensi narasi seorang tokoh.
Selama ini, Jokowi selalu dicitrakan sebagai seorang yang sederhana, tidak neko-neko, apa adanya, polos, dan lugu. Namun, dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia pada Februari 2012 lalu, Jokowi sekilas memberi gambaran akan sosoknya yang sebenarnya.
Wawancara itu dilakukan menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jokowi pun ditanya, apakah ia berminat untuk mencalonkan diri jadi gubernur ibu kota? Saat itu, pencalonannya sebagai gubernur baru wacana dan harapan semata. Belum ada sosok atau tokoh atau petinggi parpol yang menganggap ide itu serius.
Jokowi menjawab, “Dalam setiap keputusan harus ada kalkulasi matang. Semua harus dihitung detil, data harus dikuasai benar, lapangannya dikuasai benar. Sehingga saat memutuskan, "Ya, saya maju", saya bukan maju untuk kalah. Kerja harus seperti itu, maju ya untuk menang.”
Saat wawancara. ia mengaku belum menghitung kemungkinannya. Namun saat ditanya tentang dukungan yang terus mengalir, dia bilang, “Kalau nanti PDIP menugaskan, hmm... Saya akan kalkulasi kemungkinannya, tetap harus ngukur. Maju harus untuk menang.”
Jawaban-jawaban ini bisa kita terima dari permukaan saja, bahwa memang segalanya harus diperhitungkan, namun kita mendapat gambaran akan seorang Jokowi yang sebenarnya sangat berhati-hati dan kalkulatif dalam berhitung untung rugi tindakannya. Jauh dari kesan sederhana, polos, dan apa adanya. Dia adalah seorang penghitung dan penganalisis risiko meski menampilkan kesan seseorang yang sederhana.
Dalam analisisnya akan bintang pop Lorde, akademisi Anne Helen Petersen menyebut bahwa setiap selebritas punya dua komponen utama dalam pembentukan citra, yaitu produk (atau sosok si seleb sendiri) dan pencitraan yang dibangun di sekitar si seleb, yang biasanya dikenal sebagai publisitas.
Dalam kasus Lorde, dia menjadi bintang pop yang berbeda dari Justin Bieber atau Selena Gomez atau Taylor Swift karena yang dia lakukan dengan menjadi tidak sempurna dengan menunjukkan hasil Photoshop majalah akan jerawat di wajahnya, dengan bicara apa adanya dan berani mengritik bintang lain, adalah dirinya yang sebenarnya, bukan hasil manipulasi pencitraan tim komunikasi.
Namun, yang tak disadari, dan yang kemudian disoroti oleh Petersen, bahwa ketiadaan pencitraan, yang seolah-olah spontan, wajar, dan tidak neko-neko, sendirinya adalah sebuah citra.
Jokowi (dan timnya) cukup tahu bahwa ada stereotipe yang muncul di masyarakat akan pejabat di Indonesia—bahwa mereka manja, selalu mau dilayani, ingin enaknya saja, dan diutamakan. Maka, muncul berita-berita dan foto penumpang yang naik satu pesawat ekonomi dengan Jokowi. Ia naik pesawat tanpa pengawalan istimewa dan membawa kopernya sendiri.
Masalahnya, menurut Petersen, autentisitas seorang selebritas sebenarnya hanyalah ilusi, atau produk buatan juga. Bertemu seorang selebritas (atau capres) secara langsung (atau di pesawat ekonomi) awalnya disebut sebagai satu-satunya cara melihat selebritas itu sebenarnya seperti apa saat jadi orang biasa. Tapi tentu selebritas itu tahu, bahwa dia punya citra yang harus dijaga, maka “mereka tidak langsung akan menjadi diri mereka sebenarnya hanya ketika Anda berada satu lift dengan mereka.”
Mungkin memang Gubernur DKI dan capres PDIP ini sering naik pesawat sendiri, namun dengan kemampuan kalkulasi Jokowi, tentu kita bisa (dan harus) bertanya, apakah itu memang dirinya yang sebenarnya—sederhana, apa adanya—atau dia dan timnya tahu bagaimana membangun citra sederhana dengan cara yang sangat halus?
Dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia, Jokowi tak memunculkan kata itu, tapi dia menegaskan bahwa dia tak punya potongan untuk jadi pemimpin. “Waktu baru 6 bulan jadi walikota, saya memilih ajudan yang secara performa ganteng dan bagus. Eh malah kalau ada tamu, yang disalamin dia dulu. (tertawa) Malah dia yang dikira walikota, saya nggak. Artinya saya nggak punya potongan jadi walikota, apalagi jadi gubernur.”
Tak sulit membayangkan Jokowi akan menjawab seperti ini juga jika ditanya, apakah ia berminat jadi presiden. Buktinya, pada berita Januari 2012 ini, ia menjawab, jangankan jadi calon presiden, jadi walikota saja dia tak punya potongan. Cocoknya cuma jadi Ketua RT. Seolah dia tak punya ambisi kekuasaan jika dibandingkan dengan sosok lain yang begitu ngotot jadi presiden seperti Aburizal Bakrie.
Ada satu kata yang sering diucapkan Jokowi untuk menegaskan posisinya sebagai kebalikan dari kebanyakan tokoh politik atau capres di Indonesia, yaitu ‘ndeso’.
Narasi ‘ndeso’ itu ia tegaskan lagi saat tampil kampanye di Lampung pada Maret 2014. “Saya itu enggak punya duit, ndeso, miskin koneksi pusat,” kata Jokowi. Beberapa hari kemudian, di Banten, dia menggunakan lagi kata itu, “"Wajah saya capek nggak? Wajah ndeso nggak? Ya nggak apa-apa wajah ndeso. Tapi nanti...," ujarnya tanpa melanjutkan perkataannya.”
‘Ndeso’ tak muncul dari julukan media, tapi malah dari Jokowi sendiri. Kata ini seolah menjadi inti pemosisian (anti-)citra Jokowi. Dengan 'ndeso', dia berupaya tampil merendah sekaligus meninggikan dirinya, karena itulah caranya menjadi berbeda dengan para pesaing politik. Bahwa dibandingkan dengan Prabowo yang memposisikan diri sebagai elite negara, tumbuh besar di lingkungan orang cerdas dunia, dan kekuasaan, Jokowi bak Daud yang tengah melawan Goliath.
Tapi, ketika kita melihat harta kekayaan Jokowi dan pendidikan serta pengalaman kerjanya, dia jauh dari sosok ‘ndeso’ dan sederhana. Dia bisa berkuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, salah satu universitas bergengsi di Indonesia. Ia pernah ke Aceh dan bekerja di PLN sebelum kemudian memiliki CV sendiri yang membuat dan mengekspor mebel jati.
Harta kekayaan Jokowi per 2010 saja tercatat Rp18,47 miliar dan $9483. Tanah dan bangunannya sejumlah Rp15,7 miliar tersebar di Kabupaten Sragen, Kota Surakarta, Kota Balikpapan, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali. Dia juga punya 11 mobil dan 1 motor yang bernilai Rp893 juta yaitu mobil Isuzu Panther (2), Isuzu (3), Honda City, Mercedes Benz, Nissan Terrano, Daihatsu Espass, Suzuki dan motor Yamaha Vino E. Dia juga punya usaha peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan dan pertambangan senilai Rp1,004 miliar. Ditambah harta bergerak lain berupa logam mulia, batu mulia dan benda bergerak lain sejumlah Rp689,42 juta. Harta lainnya masih ada berbentuk giro dan setara kas lain senilai Rp186,724 juta.
Dengan semua perhitungan ini, sebenarnya Jokowi adalah bagian dari kelas menengah kaya Indonesia yang kemunculannya beberapa tahun terakhir jadi sorotan media. Memang, hartanya tak berada di kelas yang sama dengan Prabowo, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, atau Jusuf Kalla, tapi kelas ekonomi Jokowi sebenarnya juga berada di atas rata-rata penduduk Indonesia.
Ada narasi lain sebenarnya yang bisa dipilih Jokowi untuk memunculkan dirinya. Namun, jika dia menampilkan dirinya sebagai bagian dari kelas menengah atau saudagar, tentu tak akan semenonjol dengan pilihannya saat ini, ‘ndeso’. Citra yang kemudian diperkuat dengan aksen Jawanya yang kental.
Dalam pemilihan presiden kali ini, kita melihat dua citra berbeda yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat dan mungkin akan jadi simbol buat Indonesia ke depan. Antara seorang keturunan penguasa dengan didikan lingkungan dan pergaulan serta wawasan internasional untuk membangun visi kebangsaan atau seorang pria dengan latar belakang seperti kebanyakan orang Indonesia yang merambat naik di jabatan pemerintahan.
Jika Anda percaya dengan salah satunya, mungkin karena Anda merasa apa yang mereka tawarkan terasa lebih jujur, lebih asli dibanding yang lain. Namun, seperti kata Gita Wirjawan, menjadi presiden adalah soal menjual narasi.
Baik Prabowo, maupun Jokowi, sama-sama sedang berjualan (anti-)pencitraan. Sebagai calon pembeli, sudah sepatutnya kita mempertanyakan lagi, apa sebenarnya yang membuat kita tertarik ke salah satu kandidat ini dan kenapa.
Analisis tak berarti kita menghancurkan kepercayaan dan kekaguman kita pada seorang tokoh, tapi justru membuat kita menemukan dasar dan alasan kuat untuk percaya pada apa yang mereka tawarkan.
Oleh: Isyana Artharini
Meski Partai Demokrat kemudian tak bisa mengajukan capres sendiri, dan impian Gita Wirjawan untuk menjadi capres harus gugur, ada sesuatu yang penting muncul dari jawabannya tentang menjual narasi tersebut.
Politik, terutama pemilihan presiden, adalah soal menjual narasi ketokohan si capres. Tentu semua sudah tahu itu, tapi, entah karena terlalu jujur atau naif, dari Gita-lah kita mendapat jawaban gamblang akan sesuatu yang tak mau diakui secara terbuka oleh capres lain. Bahwa ada proses manipulasi citra yang terjadi di belakang layar.
Dalam kurang lebih 50 hari ke depan, kita akan melihat narasi ketokohan seperti apa yang dijual masing-masing capres, dan pada akhirnya, menentukan seberapa meyakinkan mereka menjual narasi tersebut ke calon pemilih. Baik Jokowi maupun Prabowo akan menegaskan bahwa narasi ketokohan yang mereka jual itu benar adalah diri mereka sehari-hari, bahwa mereka adalah sosok yang asli, genuine, autentik. Dan dalam upaya menunjukkan autentisitas diri, tampaknya Jokowi punya keunggulan karena kisah hidupnya yang relatif tak diketahui.
Mari kita bandingkan.
Sebelum Prabowo suka memakai pakaian safari seperti Soekarno, bahkan menggunakan mic khusus yang membuat dia seperti pria dikirim oleh mesin waktu langsung dari dari era Kemerdekaan Indonesia, ia adalah anak dari Begawan Ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo.
Julukan Begawan Ekonomi tak melebih-lebihkan semua pencapaian Sumitro. Ia sudah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada usia 34, menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada usia 33. Sebagai dekan FE-UI, ia berperan dalam mendidik orang-orang yang kemudian menentukan dan mengambil keputusan penting dalam ekonomi Indonesia.
Singkatnya, dialah yang meletakkan fondasi dan menentukah arah sistem ekonomi Indonesia modern. Ayah Sumitro, Margono Djojohadikusumo bahkan menjadi pendiri, pembentuk, dan Direktur Utama Bank Negeri Indonesia (BNI).
Pada masa kuliahnya di Universitas Sorbonne, Paris, Sumitro dikabarkan berinteraksi dengan filsuf pemenang Nobel Henri Bergson, fotografer yang kemudian dikenal sebagai Bapak Jurnalisme Foto Henri Cartier-Bresson, dan pemimpin dunia Jawaharlal Nehru. Dengan sosok ayah yang terhubung ke lingkaran pergaulan intelektual dunia seperti inilah Prabowo tumbuh besar dan terbentuk.
Prabowo sendiri bukannya tak punya pergaulan kelas dunia. Raja Yordania, Abdullah II, adalah salah satu sahabatnya. Saat sang raja datang ke Jakarta pada akhir Februari lalu, ia lebih dulu menemui Prabowo daripada menemui kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam situs Gerindra Sulawesi Selatan, kedekatan Prabowo dan Raja Abdullah II dibahas lebih jauh.
“Kisah persahabatan Prabowo dan Abdullah dituangkan dalam buku berjudul “Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana”. Dalam salah satu bab, dikatakan bahwa Yordania adalah negara kedua bagi Prabowo, terutama setelah kisruh 1998 pecah. Saat itu, Abdullah yang masih menjadi pangeran menawari Prabowo untuk tinggal sementara di negaranya. Prabowo disambut hangat oleh Abdullah. Bahkan Prabowo sempat diundang ke markas tentara Yordania Dia tiba dengan pakaian kasual, namun disambut secara militer. “Di sini Anda tetap Jenderal,” kata Abdullah sambil memeluk Prabowo. Bahkan, Abdullah II yang saat itu memimpin Komando Pasukan Khusus Kerajaan Yordania memaksa Prabowo menginspeksi pasukannya. Sejak saat itu, Prabowo mengaku jatuh cinta dengan Yordania.”
Bukan hanya persahabatannya kini, sosok Prabowo dulu juga tak lepas dari keterkaitannya dengan salah satu (atau malah satu-satunya) keluarga paling berkuasa di Indonesia.
Kiprah Prabowo sendiri di Kopassus (dan akhirnya yang tak menyenangkan buat dia) sudah banyak dibahas media.
Meski dengan kegagalannya, kehidupan Prabowo, baik dari sisi didikan keluarga, lingkungan sosial, status pernikahannya (dulu), membuat dia dekat dan menjadi bagian dari kekuasaan. Maka wajar saja jika di rumahnya di Sentul, Bogor, Jawa Barat, dia punya pendopo seperti layaknya keraton raja-raja Jawa. Dalam wawancara dengan Financial Times pada Juni 2013 lalu, Prabowo bahkan disebut bisa melacak garis keturunannya sampai sultan-sultan Mataram, penguasa Jawa terakhir sebelum jatuh ke kekuasaan East India Company milik Belanda pada abad 18.
Maka, posisi presiden, atau ‘raja’, buat Prabowo bukanlah lompatan yang fantastis karena orang-orang yang dekat dengan dia (pernah) berada di posisi tersebut. Buat Prabowo, punya kuda-kuda berharga miliaran, punya pendopo, menjadi penguasa bukanlah ilusi atau fantasi akan kebesaran (grandeur) tapi sekadar memenuhi takdirnya.
Sekarang mari kita lihat Jokowi.
Sosoknya pertama muncul di media sebagai Wali Kota Solo yang berhasil memindahkan PKL ke lokasi baru dengan cara tidak biasa, mengajak mereka makan bersama untuk membujuk sampai akhirnya mau pindah. Berbeda dengan cara-cara pemimpin daerah lainnya yang memindahkan PKL dengan cara penggusuran paksa.
Dalam esai ini, ada lima tip yang bisa ditiru calon pemimpin daerah untuk menjadi Jokowi berikutnya, (1)bertarunglah di pilkada, (2)utamakan bertarung di daerah-daerah atau kota-kota besar yang populer dan dekat dengan media, (3)menangkan pilkada itu, (4)bekerjalah dengan sebaik-baiknya dan tunjukkan perubahan yang berarti dan kasat mata, (5) sedari awal begitu terpilih langsung rancang tim komunikasi yang terus menerus mengkampanyekan gerak-gerik dan perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dengan cara yang cantik, cerdik, dan sadar media.
Poin lima inilah yang terpenting dalam membentuk dan menjaga konsistensi narasi seorang tokoh.
Selama ini, Jokowi selalu dicitrakan sebagai seorang yang sederhana, tidak neko-neko, apa adanya, polos, dan lugu. Namun, dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia pada Februari 2012 lalu, Jokowi sekilas memberi gambaran akan sosoknya yang sebenarnya.
Wawancara itu dilakukan menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jokowi pun ditanya, apakah ia berminat untuk mencalonkan diri jadi gubernur ibu kota? Saat itu, pencalonannya sebagai gubernur baru wacana dan harapan semata. Belum ada sosok atau tokoh atau petinggi parpol yang menganggap ide itu serius.
Jokowi menjawab, “Dalam setiap keputusan harus ada kalkulasi matang. Semua harus dihitung detil, data harus dikuasai benar, lapangannya dikuasai benar. Sehingga saat memutuskan, "Ya, saya maju", saya bukan maju untuk kalah. Kerja harus seperti itu, maju ya untuk menang.”
Saat wawancara. ia mengaku belum menghitung kemungkinannya. Namun saat ditanya tentang dukungan yang terus mengalir, dia bilang, “Kalau nanti PDIP menugaskan, hmm... Saya akan kalkulasi kemungkinannya, tetap harus ngukur. Maju harus untuk menang.”
Jawaban-jawaban ini bisa kita terima dari permukaan saja, bahwa memang segalanya harus diperhitungkan, namun kita mendapat gambaran akan seorang Jokowi yang sebenarnya sangat berhati-hati dan kalkulatif dalam berhitung untung rugi tindakannya. Jauh dari kesan sederhana, polos, dan apa adanya. Dia adalah seorang penghitung dan penganalisis risiko meski menampilkan kesan seseorang yang sederhana.
Dalam analisisnya akan bintang pop Lorde, akademisi Anne Helen Petersen menyebut bahwa setiap selebritas punya dua komponen utama dalam pembentukan citra, yaitu produk (atau sosok si seleb sendiri) dan pencitraan yang dibangun di sekitar si seleb, yang biasanya dikenal sebagai publisitas.
Dalam kasus Lorde, dia menjadi bintang pop yang berbeda dari Justin Bieber atau Selena Gomez atau Taylor Swift karena yang dia lakukan dengan menjadi tidak sempurna dengan menunjukkan hasil Photoshop majalah akan jerawat di wajahnya, dengan bicara apa adanya dan berani mengritik bintang lain, adalah dirinya yang sebenarnya, bukan hasil manipulasi pencitraan tim komunikasi.
Namun, yang tak disadari, dan yang kemudian disoroti oleh Petersen, bahwa ketiadaan pencitraan, yang seolah-olah spontan, wajar, dan tidak neko-neko, sendirinya adalah sebuah citra.
Jokowi (dan timnya) cukup tahu bahwa ada stereotipe yang muncul di masyarakat akan pejabat di Indonesia—bahwa mereka manja, selalu mau dilayani, ingin enaknya saja, dan diutamakan. Maka, muncul berita-berita dan foto penumpang yang naik satu pesawat ekonomi dengan Jokowi. Ia naik pesawat tanpa pengawalan istimewa dan membawa kopernya sendiri.
Masalahnya, menurut Petersen, autentisitas seorang selebritas sebenarnya hanyalah ilusi, atau produk buatan juga. Bertemu seorang selebritas (atau capres) secara langsung (atau di pesawat ekonomi) awalnya disebut sebagai satu-satunya cara melihat selebritas itu sebenarnya seperti apa saat jadi orang biasa. Tapi tentu selebritas itu tahu, bahwa dia punya citra yang harus dijaga, maka “mereka tidak langsung akan menjadi diri mereka sebenarnya hanya ketika Anda berada satu lift dengan mereka.”
Mungkin memang Gubernur DKI dan capres PDIP ini sering naik pesawat sendiri, namun dengan kemampuan kalkulasi Jokowi, tentu kita bisa (dan harus) bertanya, apakah itu memang dirinya yang sebenarnya—sederhana, apa adanya—atau dia dan timnya tahu bagaimana membangun citra sederhana dengan cara yang sangat halus?
Dalam wawancara dengan Yahoo Indonesia, Jokowi tak memunculkan kata itu, tapi dia menegaskan bahwa dia tak punya potongan untuk jadi pemimpin. “Waktu baru 6 bulan jadi walikota, saya memilih ajudan yang secara performa ganteng dan bagus. Eh malah kalau ada tamu, yang disalamin dia dulu. (tertawa) Malah dia yang dikira walikota, saya nggak. Artinya saya nggak punya potongan jadi walikota, apalagi jadi gubernur.”
Tak sulit membayangkan Jokowi akan menjawab seperti ini juga jika ditanya, apakah ia berminat jadi presiden. Buktinya, pada berita Januari 2012 ini, ia menjawab, jangankan jadi calon presiden, jadi walikota saja dia tak punya potongan. Cocoknya cuma jadi Ketua RT. Seolah dia tak punya ambisi kekuasaan jika dibandingkan dengan sosok lain yang begitu ngotot jadi presiden seperti Aburizal Bakrie.
Ada satu kata yang sering diucapkan Jokowi untuk menegaskan posisinya sebagai kebalikan dari kebanyakan tokoh politik atau capres di Indonesia, yaitu ‘ndeso’.
Narasi ‘ndeso’ itu ia tegaskan lagi saat tampil kampanye di Lampung pada Maret 2014. “Saya itu enggak punya duit, ndeso, miskin koneksi pusat,” kata Jokowi. Beberapa hari kemudian, di Banten, dia menggunakan lagi kata itu, “"Wajah saya capek nggak? Wajah ndeso nggak? Ya nggak apa-apa wajah ndeso. Tapi nanti...," ujarnya tanpa melanjutkan perkataannya.”
‘Ndeso’ tak muncul dari julukan media, tapi malah dari Jokowi sendiri. Kata ini seolah menjadi inti pemosisian (anti-)citra Jokowi. Dengan 'ndeso', dia berupaya tampil merendah sekaligus meninggikan dirinya, karena itulah caranya menjadi berbeda dengan para pesaing politik. Bahwa dibandingkan dengan Prabowo yang memposisikan diri sebagai elite negara, tumbuh besar di lingkungan orang cerdas dunia, dan kekuasaan, Jokowi bak Daud yang tengah melawan Goliath.
Tapi, ketika kita melihat harta kekayaan Jokowi dan pendidikan serta pengalaman kerjanya, dia jauh dari sosok ‘ndeso’ dan sederhana. Dia bisa berkuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, salah satu universitas bergengsi di Indonesia. Ia pernah ke Aceh dan bekerja di PLN sebelum kemudian memiliki CV sendiri yang membuat dan mengekspor mebel jati.
Harta kekayaan Jokowi per 2010 saja tercatat Rp18,47 miliar dan $9483. Tanah dan bangunannya sejumlah Rp15,7 miliar tersebar di Kabupaten Sragen, Kota Surakarta, Kota Balikpapan, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali. Dia juga punya 11 mobil dan 1 motor yang bernilai Rp893 juta yaitu mobil Isuzu Panther (2), Isuzu (3), Honda City, Mercedes Benz, Nissan Terrano, Daihatsu Espass, Suzuki dan motor Yamaha Vino E. Dia juga punya usaha peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan dan pertambangan senilai Rp1,004 miliar. Ditambah harta bergerak lain berupa logam mulia, batu mulia dan benda bergerak lain sejumlah Rp689,42 juta. Harta lainnya masih ada berbentuk giro dan setara kas lain senilai Rp186,724 juta.
Dengan semua perhitungan ini, sebenarnya Jokowi adalah bagian dari kelas menengah kaya Indonesia yang kemunculannya beberapa tahun terakhir jadi sorotan media. Memang, hartanya tak berada di kelas yang sama dengan Prabowo, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, atau Jusuf Kalla, tapi kelas ekonomi Jokowi sebenarnya juga berada di atas rata-rata penduduk Indonesia.
Ada narasi lain sebenarnya yang bisa dipilih Jokowi untuk memunculkan dirinya. Namun, jika dia menampilkan dirinya sebagai bagian dari kelas menengah atau saudagar, tentu tak akan semenonjol dengan pilihannya saat ini, ‘ndeso’. Citra yang kemudian diperkuat dengan aksen Jawanya yang kental.
Dalam pemilihan presiden kali ini, kita melihat dua citra berbeda yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat dan mungkin akan jadi simbol buat Indonesia ke depan. Antara seorang keturunan penguasa dengan didikan lingkungan dan pergaulan serta wawasan internasional untuk membangun visi kebangsaan atau seorang pria dengan latar belakang seperti kebanyakan orang Indonesia yang merambat naik di jabatan pemerintahan.
Jika Anda percaya dengan salah satunya, mungkin karena Anda merasa apa yang mereka tawarkan terasa lebih jujur, lebih asli dibanding yang lain. Namun, seperti kata Gita Wirjawan, menjadi presiden adalah soal menjual narasi.
Baik Prabowo, maupun Jokowi, sama-sama sedang berjualan (anti-)pencitraan. Sebagai calon pembeli, sudah sepatutnya kita mempertanyakan lagi, apa sebenarnya yang membuat kita tertarik ke salah satu kandidat ini dan kenapa.
Analisis tak berarti kita menghancurkan kepercayaan dan kekaguman kita pada seorang tokoh, tapi justru membuat kita menemukan dasar dan alasan kuat untuk percaya pada apa yang mereka tawarkan.
Oleh: Isyana Artharini
0 komentar:
Post a Comment