Indahnya Keberagaman di Kalipuru, 4 Rumah Ibadah Bersandingan
Jalan kampung tak kurang dari 500 meter itu jadi saksi hidup tentang keberagaman di Indonesia. Di sepanjang jalan sepetak itu, berjejer empat rumah ibadah, yang satu di antaranya bediri berdampingan.
Potret keberagaman hidup itu terjadi di Kampung kecil bernama Kalipuru, Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dukuh kecil dari empat dukuh yang ada di Kalirejo, dihuni sekitar 700 orang dari 250 kartu keluarga.
Meski kecil, suasana kehidupannya ternyata lebih beragam dan toleran. Dukuh itu jadi fakta penting tentang keberagaman masyarakat. Perbedaan agama dan keyakinan yang ada, ternyata tidak sekalipun menjadi masalah yang berarti. Justru perbedaan itu dikelola dengan sangat baik hingga muncul rasa menghormati yang amat tinggi.
“Jika ada yang mengusik kami, pasti akan mental, enggak akan kuat. Desa kami sudah terbukti mengedepankan kedamaian,” kata Marsudi, Kepala Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, belum lama ini.
Kalipuru berbeda dari dukuh lain pada umumnya. Jika keberagaman masyarakat terjadi oleh pendatang yang menghuni wilayah tertentu, namun tidak di Kalipuru. Mereka sudah sejak lahir diajakan pluralisme, saling menghormati.
Empat rumah ibadah pun berdiri saling berdekatan. Masjid at-Taqwa untuk umat Islam, kemudian Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja untuk warga Kristen, Musholla Suwuan untuk Islam dan Pura Sita Nirmala Jati untuk Hindu. Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan dengan mereka.
Dukuh Kalipuru berada di tengah hutan Kabupaten Kendal. Butuh waktu dan kerja berlebih untuk sanggup sampai di tempat ini. Jika telah sampai, sekilas memang tidak ada perbedaan dengan desa lainnya.
Ponidjan, 63 tahun, tokoh Hindu Kalipuru, berujar bahwa di dukuhnya tidak ada ada masalah soal kehidupan keberagaman. Dusun ini disebutnya hanya satu-satunya yang punya tiga agama sejak turun temurun.
“Di sini ada tiga agama yang berkembang, Islam (mayoritas), kemudian Hindu dan Kristen. Semua penganut agama tidak ada masalah,” papar Ponidjan, yang juga merangkap sebagai Kaur Keuangan Desa Kalirejo itu.
Mantan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Kendal menambahkan, tempatnya bisa damai karena ruang sosial untuk ajang warga bertemu banyak saluran. Setelah berkumpul, mereka tidak pernah memperbicangkan konflik agama, meski empat rumah ibadah telah berdiri sejak lama.
“Warga di sini sengkuyung-nya dan gotong royong masih sangat tinggi. Ketika satu agama mengadakan hajat, warga umat lain dengan rela hati akan membantu,” paparnya.
Jalan kampung itu seolah jadi penanda akan pentingnya hidup damai di tengah masyarakat. Meski berada di tengah hutan, unsur saling menghormati antara sesamanya lebih tinggi. Mereka lebih mementingkan perdamaian terlebih dulu, dibanding keyakinan agama mereka.
”Harmoni Beragama Empat Rumah Ibadah yang Turun-Temurun”
Keberagaman masyarakat Dukuh Kalipuru, Kabupaten Kendal terpancar jelas dari penghormatannya pada masing-masing agama. Tiga hari dalam seminggu, ada satu hari yang menjadi penanda untuk penghormatan agama lain.
Empat rumah ibadah di dukuh itu berdiri saling berdekatan di sepanjang jalan tak kurang dari 500 meter. Masjid at-Taqwa, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja, Mushala Suwuan, dan Pura Sita Nirmala Jati.
Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan. Ada tiga hari yang disepakati oleh warga untuk sekadar penghormatan. Hari Rabu untuk agama Hindu, Kamis untuk agama Kristen dan Jumat untuk agama Islam.
“Warga sudah tahu ada hari agamanya masing-masing. Warga juga memiliki tempat ibadahnya sendiri-sendiri,” papar Ponidjan, tokoh Hindu dukuh Kalipuru, belum lama ini.
Jalan damai dari warga yang berbeda agama itu buah dari kesepakatan tak tertulis dari warga. Sebelum tahun 1999, kedamaian sudah ada, tapi tidak terjalin dengan baik. Sebelum 1999, warga terbiasa untuk menghadiri perayaan agama tanpa ada aturan.
Mereka yang beragama lain bisa secara berkala mengikuti kegiatan agama lain dengan meninggalkan agama sebelumnya, begitu sebaliknya. Tahun 1999, sebuah kesepakatan itu lahir. Mereka tetap pada agama aslinya, datang untuk sekadar penghormatan.
“Kami sudah ada kesepakatan dari masyarakat, untuk tidak mengejek agama. Traktat itu tak tertulis, namun telah disepakati secara budaya sejak tahun 1999. Sebelum itu, warga terbiasa ikut sana-sini, mengikuti berbagai agama yang ada,” tambah dia.
Selain hal tersebut, keberagamaan di Kalipuru bisa kokoh lantaran sudah terjalin sejak lama. Ponidjan beranggapan bahwa keragaman yang ada bersumber dari turun-temurun.
Masyarakat setempat yakin suatu agama sesungguhnya mengajarkan kebaikan. Hanya, perilaku manusianya memang tidak sama. Ada yang baik dan tidak baik. “Kami murni dari keturanan. Tidak ada pendatang dari luar,” tambahnya.
Secara umum, penganut agama Islam di Kalipuru masih menjadi mayoritas. Agama Hindu nomor dua dengan pengikut sekitar 159 orang dari 45 kartu keluarga. Sementara agama Kristen mempunyai pengikut ketiga, disusul penganut kepercayaan, ada segelintir orang saja.
Warga juga umumnya bermata pencariaan sebagai petani. Baik warga Hindu Kalipuru maupun masyarakat setempat masih sangat mempercayai ada hukum karma. Jika ada orang berlaku baik, diyakini akan mendapat kebaikan, begitu sebaliknya.
Ponidjan memilih untuk memegang prinsip hidup itu apa, setelah hidup mau apa, dan apa yang mau dilakukan di kehidupan. Untuk itu, selagi masih bisa menolong dan membantu, itu akan dilakukan.
“Kami di sini masih yakin pada hukum Karmapala. Jadinya di dusun ini selama ini tidak ada konflik beragama. Jika ada yang mengusik, biasanya akan mental. Dulu pernah ada jaga yang mencoba merusak tatanan, tapi enggak betah,” paparnya.
Namun, seiring perkembangan waktu, harmoni dari warga perlahan memudar. Antara satu agama dengan agama lain komunikasi mereka mulai menurun. Kendati begitu, kehidupan keberagamaan warga masih terjalin baik.
”Indonesia Kecil itu Ada di Kalipuru”
Empat rumah ibadah yang dibangun berdampingan di Dukuh Kalipuru, Kendal, Jawa Tengah menjadi contoh kecil pluralitas masyarakat Indonesia yang begitu tinggi. “Saya pikir Kalipuru ini adalah Indonesia kecil. Semua agama hidup rukun di sini, sesuai Pancasila,” ujar Kepala Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Marsudi, pekan lalu.
Ungkapan Marsudi itu berangkat dari kondisi toleransi antar warga Dukuh Kalipuru yang tinggi. Dia mengakui, bukan kebijakannya sebagai Kades yang membuat toleransi itu menguat. Sikap hormat-menghormati di antara warga di dukuh itu memang sudah ada turun-temurun.
“Agama di Kalipuru tidak pernah dipermasalahkan. Meski pendidikan kami rendah, tapi kami bisa menjaga kebersamaan, itu sudah tertata sejak dulu. Mungkin pendiri desa ingin seperti itu,” papar Marsudi.
Warganya, menurut Marsudi, sudah tidak lagi memikirkan persoalan agama. Hidup lama berdampingan dengan warga berlainan agama sudah cukup dengan tidak menyinggung agama. Apalagi, warga juga sudah terbiasa hidup bersama, berkegiatan bersama.
Di kalangan anak kecil, orangtua juga mendidik anak mereka untuk menjaga sikap toleran tersebut. Sembari belajar di sekolah, anak-anak Dukuh Kalipuru bercengkrama akrab antar penganut agama.
Lingkungan membentuk sang anak untuk belajar toleran. “Anak-anak kecil di sini tidak dijajari soal agama apa yang benar. Mereka sudah faham dengan lingkungan yang ada. Ketika ikut ke gereja atau pura, atau ada acara agama, mereka datang dan makan seperti biasanya. Tidak ada kekawatiran bahwa makanan berasal dari barang yang haram, atau tidak baik. Semua sudah faham, dan hal itu sudah lewat,” tambah dia.
Di atas semua itu, Marsudi ingin agar pola pengajaran anak-anak tetap berbasis lingkungan yang ada. Ia tak ingin ada warga lain yang merusak dengan mengajarkan kefanatikan pada agama tertentu. Baginya, kedamaian dan toleransi antara warga lebih penting dibanding fanatisme atas suatu agama.
“Kunci beragama di Kalipuru ini menurut saya, mengajarkan warga untuk tidak fanatik pada agama. Itu kuncinya,” ujar Marsudi.
Bagi Warga Kalipuru, Agama Tak Boleh Didiskusikan...
SEMARANG — Kerekatan hubungan sosial di kalangan masyarakat Dukuh Kalipuru, Desa Kalirejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, ternyata diakui banyak pihak.
Supriyanto (36), pemuka agama Kristen di desa setempat, mengaku mempunyai pengalaman berharga ketika bersinggungan dengan warga beragama lain. Seperti lazimnya tradisi yang berlaku, membangun sebuah rumah biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga terdekat.
Kala itu, Supri mengundang para tetangga untuk sekadar ikut membantu proses perbaikan. Warga pun diundang, hingga ia tak pernah menyangka bahwa jumlah warga yang datang untuk ikut membantu mencapai tiga kali lipat.
"Hubungan sosial di Kalipuru ini baik. Saat saya punya gawe bangun rumah, dulu saya undang tetangga 15 orang, tetapi yang hadir berapa coba? 50 orang. Artinya, mereka membantu dengan tanpa pamrih. Mereka tidak memandang agama yang dianut warga, meski saya ini Nasrani," kata Supri, awal pekan ini.
Gotong royong
Semangat warga untuk gotong royong diakuinya sangat kuat. Warga tidak membeda-bedakan kepercayaan dan agama yang dianutnya. Bagi masyarakat, agama apa pun diyakini mengajarkan kebaikan dan menolak keburukan.
Hal ini telihat jelas dari setiap kegiatan atau ruang publik tempat warga berkumpul. Masyarakat setempat pun tidak melihat perbedaan agama, serta sudah sepakat tidak akan mempermasalahkan perbedaan agama.
"Agama itu tidak boleh didiskusikan, tetapi dipraktikkan. Kalau diskusi, terus nanti banyak ego yang muncul," ujar pria yang kini merangkap sebagai carik atau sekretaris di Desa Kalirejo.
Secara umum, warga Kristen di Dukuh Kalipuru berjumlah 80 jiwa dari 15 keluarga. Mereka biasanya beribadah di Gereja Kristen Jawa yang terletak di jalan kampung, yang bersebelahan dengan tiga tempat ibadah lain.
Warga Kristen ini melaksanakan kegiatan keagamaan setiap Kamis. Agama Kristen di Kalipuru merupakan agama mayoritas ketiga setelah Islam dan Hindu. Kristen masuk di Kalipuru pada tahun 1980 melalui kakek Supriyanto, Mbah Ayik.
Berdampingan
Seperti kebanyakan warga desa lainnya, mayoritas warga Kristen bermata pencahariaan sebagai petani. Warga dengan agama lain juga mayoritas bekerja sebagai petani. Mereka tetap bisa hidup rukun, damai, tanpa persoalan yang amat berarti.
Supriyanto menjelaskan, tempat tinggal warga satu dan lainnya yang berbeda agama juga tidak ada sekat. Antara penganut satu agama dan agama lain tinggal berdampingan sehingga jalinan toleransi semakin kuat.
"Warga di sini tinggalnya acak, tidak menyendiri atau dikomplekskan jadi satu. Rata-rata warga, entah itu Kristen, Islam, atau Hindu, bertetangga, dan semuanya tidak pernah jadi masalah, berjalan baik seperti biasanya," paparnya.
Empat rumah ibadah yang ada di Kalipuru sudah dibangun berdampingan sejak lama. Jalan kampung yang terbentang tidak lebih dari 500 meter itu menjadi penanda penting keberagaman Kalipuru. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk menjunjung tinggi toleransi dan gotong royong di tengah kehidupan sehari-hari.
Ini Kunci Sukses Pluralisme Agama di Kalipuru
SEMARANG – Indahnya keragaman penganut agama yang hidup berdampingan menunjukkan bahwa Indonesia memang negara Pancasila. Apapun agamanya, kedamaian dan toleransi menjadi hal utama.
Potret keberagaman yang terbangun kampung kecil di Dukuh Kalipuru, Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, bisa menjadi salah satu contohnya. Dukuh kecil yang dihuni 700 orang dari 250 keluarga ini kehidupannya lebih beragam dan toleran. Dukuh itu jadi fakta penting tentang keberagaman masyarakat.
Perbedaan agama dan keyakinan yang ada ternyata tidak sekalipun menjadi masalah yang berarti. Perbedaan yang ada dikelola dengan baik hingga memunculkan rasa saling menghormati.
Empat rumah ibadah pun berdiri saling berdekatan. Masjid at-Taqwa untuk umat Islam, kemudian Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja untuk warga Kristen, Musholla Suwuan untuk Islam dan Pura Sita Nirmala Jati untuk Hindu.
Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan dengan mereka. Menurut tokoh Kristen, Supriyanto, salah satu kunci sukses hidup berdampingan adalah dengan saling memahami. Baik anak-anak maupun orang dewasa sudah sejak kecil diajarkan toleransi beragama, pluralisme, dan saling menghormati.
“Anak-anak di sini juga tidak pernah diajarkan mereka saling menghina satu agama dengan agama lain. Ketika sang anak sudah keluar dari SD melihat perbedaan yang ada di luar desa, mereka sudah tuntas duluan,” ujar Supriyanto.
Kepala Desa Kalirejo, Marsudi berpendapat yang sama. Agama dan kepercayaan yang diyakini masyarakat Kalipuru memberikan arahan bertindak yang baik. Keyakinan agama mampu jadi salah satu sarana untuk rem dan kontrol pada perbuatan yang tidak baik.
Marsudi menjelaskan, keluarganya juga memiliki pluralitas yang tinggi. Mereka tetap rukun, karena jalinan kerukunan dibangun sejak keluarga.
“Keluarga punya peran penting,” kata dia.
Kesepakatan
Untuk menjaga kerukunan, warga Kalipuru membuat sebuah kesepakatan, namun tidak tertulis. Kesepakatan dimaksud adalah penghormatan.
“Jika ada persoalan akan diselesaikan dengan jalan kedewasaan. Kami tidak menerbitkan peraturan desa, karena itu nanti bisa jadi kontroversi, biarlah berjalan sebagaimana adanya. Sudah ada kesepakatan secara adat,” tambahnya.
Tokoh agama Hindu Dukuh Kalipuru, Ponidjan (63) sependapat dengan dua tokoh desa tersebut. Baginya, ajaran agama Hindu yang dianutnya saat ini sangat cocok untuk dipraktikkan dalam toleransi kehidupan. Hidup selama puluhan tahun dengan warga desa juga membentuk perilaku hidup beragama, khususnya dalam menjaga kedamaian.
Salah satu kunci damai, menurut Ponidja, adalah ketika ada persoalan-persoalan, termasuk perkawinan antar-agama disikapi dengan bijak. Pemecahan masalah warga biasanya diselesaikan di tingkat tokoh agama dengan menimbang-nimbang posisi yang bermasalah.
“Harus ada salah satu pihak yang mengalah kalau ingin menikah dengan agama lain. Itu diselesaikan di tingkat tokoh dengan pertimbangan yang matang,” ujar kepala Urusan Keuangan Desa Kalirejo ini.
Para tokoh-tokoh agama inilah yang senantiasa menjaga kedamaian Kalipuru agar terhindar jauh dari konflik agama. Mungkin keberadaan mereka yang menjabat sebagai perwakilan pemerintah desa dalam menjaga perdamaian dan toleransi sesuai cita-cita Pancasila.
Jalan kampung tak kurang dari 500 meter itu jadi saksi hidup tentang keberagaman di Indonesia. Di sepanjang jalan sepetak itu, berjejer empat rumah ibadah, yang satu di antaranya bediri berdampingan.
Potret keberagaman hidup itu terjadi di Kampung kecil bernama Kalipuru, Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dukuh kecil dari empat dukuh yang ada di Kalirejo, dihuni sekitar 700 orang dari 250 kartu keluarga.
Meski kecil, suasana kehidupannya ternyata lebih beragam dan toleran. Dukuh itu jadi fakta penting tentang keberagaman masyarakat. Perbedaan agama dan keyakinan yang ada, ternyata tidak sekalipun menjadi masalah yang berarti. Justru perbedaan itu dikelola dengan sangat baik hingga muncul rasa menghormati yang amat tinggi.
“Jika ada yang mengusik kami, pasti akan mental, enggak akan kuat. Desa kami sudah terbukti mengedepankan kedamaian,” kata Marsudi, Kepala Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, belum lama ini.
Kalipuru berbeda dari dukuh lain pada umumnya. Jika keberagaman masyarakat terjadi oleh pendatang yang menghuni wilayah tertentu, namun tidak di Kalipuru. Mereka sudah sejak lahir diajakan pluralisme, saling menghormati.
Empat rumah ibadah pun berdiri saling berdekatan. Masjid at-Taqwa untuk umat Islam, kemudian Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja untuk warga Kristen, Musholla Suwuan untuk Islam dan Pura Sita Nirmala Jati untuk Hindu. Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan dengan mereka.
Dukuh Kalipuru berada di tengah hutan Kabupaten Kendal. Butuh waktu dan kerja berlebih untuk sanggup sampai di tempat ini. Jika telah sampai, sekilas memang tidak ada perbedaan dengan desa lainnya.
Ponidjan, 63 tahun, tokoh Hindu Kalipuru, berujar bahwa di dukuhnya tidak ada ada masalah soal kehidupan keberagaman. Dusun ini disebutnya hanya satu-satunya yang punya tiga agama sejak turun temurun.
“Di sini ada tiga agama yang berkembang, Islam (mayoritas), kemudian Hindu dan Kristen. Semua penganut agama tidak ada masalah,” papar Ponidjan, yang juga merangkap sebagai Kaur Keuangan Desa Kalirejo itu.
Mantan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Kendal menambahkan, tempatnya bisa damai karena ruang sosial untuk ajang warga bertemu banyak saluran. Setelah berkumpul, mereka tidak pernah memperbicangkan konflik agama, meski empat rumah ibadah telah berdiri sejak lama.
“Warga di sini sengkuyung-nya dan gotong royong masih sangat tinggi. Ketika satu agama mengadakan hajat, warga umat lain dengan rela hati akan membantu,” paparnya.
Jalan kampung itu seolah jadi penanda akan pentingnya hidup damai di tengah masyarakat. Meski berada di tengah hutan, unsur saling menghormati antara sesamanya lebih tinggi. Mereka lebih mementingkan perdamaian terlebih dulu, dibanding keyakinan agama mereka.
”Harmoni Beragama Empat Rumah Ibadah yang Turun-Temurun”
Keberagaman masyarakat Dukuh Kalipuru, Kabupaten Kendal terpancar jelas dari penghormatannya pada masing-masing agama. Tiga hari dalam seminggu, ada satu hari yang menjadi penanda untuk penghormatan agama lain.
Empat rumah ibadah di dukuh itu berdiri saling berdekatan di sepanjang jalan tak kurang dari 500 meter. Masjid at-Taqwa, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja, Mushala Suwuan, dan Pura Sita Nirmala Jati.
Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan. Ada tiga hari yang disepakati oleh warga untuk sekadar penghormatan. Hari Rabu untuk agama Hindu, Kamis untuk agama Kristen dan Jumat untuk agama Islam.
“Warga sudah tahu ada hari agamanya masing-masing. Warga juga memiliki tempat ibadahnya sendiri-sendiri,” papar Ponidjan, tokoh Hindu dukuh Kalipuru, belum lama ini.
Jalan damai dari warga yang berbeda agama itu buah dari kesepakatan tak tertulis dari warga. Sebelum tahun 1999, kedamaian sudah ada, tapi tidak terjalin dengan baik. Sebelum 1999, warga terbiasa untuk menghadiri perayaan agama tanpa ada aturan.
Mereka yang beragama lain bisa secara berkala mengikuti kegiatan agama lain dengan meninggalkan agama sebelumnya, begitu sebaliknya. Tahun 1999, sebuah kesepakatan itu lahir. Mereka tetap pada agama aslinya, datang untuk sekadar penghormatan.
“Kami sudah ada kesepakatan dari masyarakat, untuk tidak mengejek agama. Traktat itu tak tertulis, namun telah disepakati secara budaya sejak tahun 1999. Sebelum itu, warga terbiasa ikut sana-sini, mengikuti berbagai agama yang ada,” tambah dia.
Selain hal tersebut, keberagamaan di Kalipuru bisa kokoh lantaran sudah terjalin sejak lama. Ponidjan beranggapan bahwa keragaman yang ada bersumber dari turun-temurun.
Masyarakat setempat yakin suatu agama sesungguhnya mengajarkan kebaikan. Hanya, perilaku manusianya memang tidak sama. Ada yang baik dan tidak baik. “Kami murni dari keturanan. Tidak ada pendatang dari luar,” tambahnya.
Secara umum, penganut agama Islam di Kalipuru masih menjadi mayoritas. Agama Hindu nomor dua dengan pengikut sekitar 159 orang dari 45 kartu keluarga. Sementara agama Kristen mempunyai pengikut ketiga, disusul penganut kepercayaan, ada segelintir orang saja.
Warga juga umumnya bermata pencariaan sebagai petani. Baik warga Hindu Kalipuru maupun masyarakat setempat masih sangat mempercayai ada hukum karma. Jika ada orang berlaku baik, diyakini akan mendapat kebaikan, begitu sebaliknya.
Ponidjan memilih untuk memegang prinsip hidup itu apa, setelah hidup mau apa, dan apa yang mau dilakukan di kehidupan. Untuk itu, selagi masih bisa menolong dan membantu, itu akan dilakukan.
“Kami di sini masih yakin pada hukum Karmapala. Jadinya di dusun ini selama ini tidak ada konflik beragama. Jika ada yang mengusik, biasanya akan mental. Dulu pernah ada jaga yang mencoba merusak tatanan, tapi enggak betah,” paparnya.
Namun, seiring perkembangan waktu, harmoni dari warga perlahan memudar. Antara satu agama dengan agama lain komunikasi mereka mulai menurun. Kendati begitu, kehidupan keberagamaan warga masih terjalin baik.
”Indonesia Kecil itu Ada di Kalipuru”
Empat rumah ibadah yang dibangun berdampingan di Dukuh Kalipuru, Kendal, Jawa Tengah menjadi contoh kecil pluralitas masyarakat Indonesia yang begitu tinggi. “Saya pikir Kalipuru ini adalah Indonesia kecil. Semua agama hidup rukun di sini, sesuai Pancasila,” ujar Kepala Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Marsudi, pekan lalu.
Ungkapan Marsudi itu berangkat dari kondisi toleransi antar warga Dukuh Kalipuru yang tinggi. Dia mengakui, bukan kebijakannya sebagai Kades yang membuat toleransi itu menguat. Sikap hormat-menghormati di antara warga di dukuh itu memang sudah ada turun-temurun.
“Agama di Kalipuru tidak pernah dipermasalahkan. Meski pendidikan kami rendah, tapi kami bisa menjaga kebersamaan, itu sudah tertata sejak dulu. Mungkin pendiri desa ingin seperti itu,” papar Marsudi.
Warganya, menurut Marsudi, sudah tidak lagi memikirkan persoalan agama. Hidup lama berdampingan dengan warga berlainan agama sudah cukup dengan tidak menyinggung agama. Apalagi, warga juga sudah terbiasa hidup bersama, berkegiatan bersama.
Di kalangan anak kecil, orangtua juga mendidik anak mereka untuk menjaga sikap toleran tersebut. Sembari belajar di sekolah, anak-anak Dukuh Kalipuru bercengkrama akrab antar penganut agama.
Lingkungan membentuk sang anak untuk belajar toleran. “Anak-anak kecil di sini tidak dijajari soal agama apa yang benar. Mereka sudah faham dengan lingkungan yang ada. Ketika ikut ke gereja atau pura, atau ada acara agama, mereka datang dan makan seperti biasanya. Tidak ada kekawatiran bahwa makanan berasal dari barang yang haram, atau tidak baik. Semua sudah faham, dan hal itu sudah lewat,” tambah dia.
Di atas semua itu, Marsudi ingin agar pola pengajaran anak-anak tetap berbasis lingkungan yang ada. Ia tak ingin ada warga lain yang merusak dengan mengajarkan kefanatikan pada agama tertentu. Baginya, kedamaian dan toleransi antara warga lebih penting dibanding fanatisme atas suatu agama.
“Kunci beragama di Kalipuru ini menurut saya, mengajarkan warga untuk tidak fanatik pada agama. Itu kuncinya,” ujar Marsudi.
Bagi Warga Kalipuru, Agama Tak Boleh Didiskusikan...
SEMARANG — Kerekatan hubungan sosial di kalangan masyarakat Dukuh Kalipuru, Desa Kalirejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, ternyata diakui banyak pihak.
Supriyanto (36), pemuka agama Kristen di desa setempat, mengaku mempunyai pengalaman berharga ketika bersinggungan dengan warga beragama lain. Seperti lazimnya tradisi yang berlaku, membangun sebuah rumah biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga terdekat.
Kala itu, Supri mengundang para tetangga untuk sekadar ikut membantu proses perbaikan. Warga pun diundang, hingga ia tak pernah menyangka bahwa jumlah warga yang datang untuk ikut membantu mencapai tiga kali lipat.
"Hubungan sosial di Kalipuru ini baik. Saat saya punya gawe bangun rumah, dulu saya undang tetangga 15 orang, tetapi yang hadir berapa coba? 50 orang. Artinya, mereka membantu dengan tanpa pamrih. Mereka tidak memandang agama yang dianut warga, meski saya ini Nasrani," kata Supri, awal pekan ini.
Gotong royong
Semangat warga untuk gotong royong diakuinya sangat kuat. Warga tidak membeda-bedakan kepercayaan dan agama yang dianutnya. Bagi masyarakat, agama apa pun diyakini mengajarkan kebaikan dan menolak keburukan.
Hal ini telihat jelas dari setiap kegiatan atau ruang publik tempat warga berkumpul. Masyarakat setempat pun tidak melihat perbedaan agama, serta sudah sepakat tidak akan mempermasalahkan perbedaan agama.
"Agama itu tidak boleh didiskusikan, tetapi dipraktikkan. Kalau diskusi, terus nanti banyak ego yang muncul," ujar pria yang kini merangkap sebagai carik atau sekretaris di Desa Kalirejo.
Secara umum, warga Kristen di Dukuh Kalipuru berjumlah 80 jiwa dari 15 keluarga. Mereka biasanya beribadah di Gereja Kristen Jawa yang terletak di jalan kampung, yang bersebelahan dengan tiga tempat ibadah lain.
Warga Kristen ini melaksanakan kegiatan keagamaan setiap Kamis. Agama Kristen di Kalipuru merupakan agama mayoritas ketiga setelah Islam dan Hindu. Kristen masuk di Kalipuru pada tahun 1980 melalui kakek Supriyanto, Mbah Ayik.
Berdampingan
Seperti kebanyakan warga desa lainnya, mayoritas warga Kristen bermata pencahariaan sebagai petani. Warga dengan agama lain juga mayoritas bekerja sebagai petani. Mereka tetap bisa hidup rukun, damai, tanpa persoalan yang amat berarti.
Supriyanto menjelaskan, tempat tinggal warga satu dan lainnya yang berbeda agama juga tidak ada sekat. Antara penganut satu agama dan agama lain tinggal berdampingan sehingga jalinan toleransi semakin kuat.
"Warga di sini tinggalnya acak, tidak menyendiri atau dikomplekskan jadi satu. Rata-rata warga, entah itu Kristen, Islam, atau Hindu, bertetangga, dan semuanya tidak pernah jadi masalah, berjalan baik seperti biasanya," paparnya.
Empat rumah ibadah yang ada di Kalipuru sudah dibangun berdampingan sejak lama. Jalan kampung yang terbentang tidak lebih dari 500 meter itu menjadi penanda penting keberagaman Kalipuru. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk menjunjung tinggi toleransi dan gotong royong di tengah kehidupan sehari-hari.
Ini Kunci Sukses Pluralisme Agama di Kalipuru
SEMARANG – Indahnya keragaman penganut agama yang hidup berdampingan menunjukkan bahwa Indonesia memang negara Pancasila. Apapun agamanya, kedamaian dan toleransi menjadi hal utama.
Potret keberagaman yang terbangun kampung kecil di Dukuh Kalipuru, Desa Kalirejo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, bisa menjadi salah satu contohnya. Dukuh kecil yang dihuni 700 orang dari 250 keluarga ini kehidupannya lebih beragam dan toleran. Dukuh itu jadi fakta penting tentang keberagaman masyarakat.
Perbedaan agama dan keyakinan yang ada ternyata tidak sekalipun menjadi masalah yang berarti. Perbedaan yang ada dikelola dengan baik hingga memunculkan rasa saling menghormati.
Empat rumah ibadah pun berdiri saling berdekatan. Masjid at-Taqwa untuk umat Islam, kemudian Gereja Kristen Jawa (GKJ) Boja untuk warga Kristen, Musholla Suwuan untuk Islam dan Pura Sita Nirmala Jati untuk Hindu.
Selain yang beragama, para penghayat kepercayaan juga hidup berdampingan dengan mereka. Menurut tokoh Kristen, Supriyanto, salah satu kunci sukses hidup berdampingan adalah dengan saling memahami. Baik anak-anak maupun orang dewasa sudah sejak kecil diajarkan toleransi beragama, pluralisme, dan saling menghormati.
“Anak-anak di sini juga tidak pernah diajarkan mereka saling menghina satu agama dengan agama lain. Ketika sang anak sudah keluar dari SD melihat perbedaan yang ada di luar desa, mereka sudah tuntas duluan,” ujar Supriyanto.
Kepala Desa Kalirejo, Marsudi berpendapat yang sama. Agama dan kepercayaan yang diyakini masyarakat Kalipuru memberikan arahan bertindak yang baik. Keyakinan agama mampu jadi salah satu sarana untuk rem dan kontrol pada perbuatan yang tidak baik.
Marsudi menjelaskan, keluarganya juga memiliki pluralitas yang tinggi. Mereka tetap rukun, karena jalinan kerukunan dibangun sejak keluarga.
“Keluarga punya peran penting,” kata dia.
Kesepakatan
Untuk menjaga kerukunan, warga Kalipuru membuat sebuah kesepakatan, namun tidak tertulis. Kesepakatan dimaksud adalah penghormatan.
“Jika ada persoalan akan diselesaikan dengan jalan kedewasaan. Kami tidak menerbitkan peraturan desa, karena itu nanti bisa jadi kontroversi, biarlah berjalan sebagaimana adanya. Sudah ada kesepakatan secara adat,” tambahnya.
Tokoh agama Hindu Dukuh Kalipuru, Ponidjan (63) sependapat dengan dua tokoh desa tersebut. Baginya, ajaran agama Hindu yang dianutnya saat ini sangat cocok untuk dipraktikkan dalam toleransi kehidupan. Hidup selama puluhan tahun dengan warga desa juga membentuk perilaku hidup beragama, khususnya dalam menjaga kedamaian.
Salah satu kunci damai, menurut Ponidja, adalah ketika ada persoalan-persoalan, termasuk perkawinan antar-agama disikapi dengan bijak. Pemecahan masalah warga biasanya diselesaikan di tingkat tokoh agama dengan menimbang-nimbang posisi yang bermasalah.
“Harus ada salah satu pihak yang mengalah kalau ingin menikah dengan agama lain. Itu diselesaikan di tingkat tokoh dengan pertimbangan yang matang,” ujar kepala Urusan Keuangan Desa Kalirejo ini.
Para tokoh-tokoh agama inilah yang senantiasa menjaga kedamaian Kalipuru agar terhindar jauh dari konflik agama. Mungkin keberadaan mereka yang menjabat sebagai perwakilan pemerintah desa dalam menjaga perdamaian dan toleransi sesuai cita-cita Pancasila.
0 komentar:
Post a Comment