Ketika Minoritas Memimpin Desa Rogomulyo
Kemenangan Pendeta Timotius Trimin sebagai kepala sebuah desa di Jawa Tengah membalikkan asumsi yang mengatakan, minoritas tak mungkin terpilih menjadi pemimpin di Indonesia.
Di Desa Rogomulyo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang, Trimin adalah seorang pendatang dan minoritas. Dia pindah ke desa ini (yang mayoritas penduduknya beragama Islam) pada 1994, sesuai penugasan melayani jemaat di Gereja Kristen Jawa Susukan.
Tetapi pada 16 Desember 2012, segala identitas itu ternyata tak menghalangi Trimin memenangi pemilihan kepala desa Rogomulyo. Dia meraup 1559 suara, sementara lawannya — yang disimbolkan dengan sebuah kotak kosong sebab tak ada orang lain yang mencalonkan diri — mendapat 424. Jumlah pemilih terdaftar ada 2600.
Mendekat ke rakyat
Desa Rogomulyo terdiri dari enam dusun, yakni Rogomulyo, Suruhan, Gegunung, Gumuk, Jangkrikan, dan Genting. Desa ini dikenal sebagai desa miskin, antara lain karena sulitnya pasokan air. Penduduk banyak bertani di lahan kering, sehingga hasilnya tidak begitu menguntungkan.
Dalam masa kepemimpinan kepala desa terdahulu, Suryadi (menjabat 10 tahun) dan Salip Suhadi (menjabat 14 tahun) tidak banyak perkembangan berarti yang terwujud di Rogomulyo. Desa ini tertinggal dibandingkan desa lain.
Di desa miskin seperti ini, pemilihan kepala desa rentan disusupi politik uang. Pihak yang berusaha menjegal Trimin (antara lain seorang sesepuh desa dan mantan kepala desa) menyebarkan uang Rp20-30 ribu kepada warga — agar memilih kotak kosong sebagi simbol lawan Trimin.
Tantangan bagi Trimin (yang masih mesti berjuang menepis kampanye negatif soal perbedaan agama) pun bertambah. Tetapi dia berhasil menyiasati tantangan dengan baik.
Dia meraup hasil dari bertahun-tahun mendekat ke rakyat.
Walau sibuk sebagai pendeta, Trimin aktif dalam kegiatan lain. Selama hampir 10 tahun, dia aktif terlibat di Musyawarah Perencanaan Pembangunan — sebuah forum publik di desa yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
Trimin juga menjadi sekretaris LKMD dan aktif dalam kelompok belajar masyarakat. Pengabdiannya bagi desa dan kedekatannya dengan masyarakat ini menjadi modal penting meraih dukungan.
Sejak 16 hari sebelum pemilihan, Trimin merekrut dua orang dari setiap dusun untuk menjadi koordinator perolehan suara. Sehari sebelum pemilihan, dia membuat 12 pos yang tersebar di enam dusun guna mengurangi kecurangan.
“Semua aman, memang ada yang sempat hendak menyebarkan amplop tetapi bisa diamankan warga sendiri,” kata Trimin, yang mengeluarkan Rp600 ribu per pos untuk konsumsi.
Dua program penting
“Saya tahu ada yang tidak suka dengan saya, tapi semua saya gandeng dan ajak bicara. Saya tidak menggunakan gereja demi dukungan, bahkan ada jemaat saya yang tidak mendukung. Ini demi pendidikan politik warga; memilih saya karena memang saya mampu, bukan yang lainnya,” kata Trimin.
Total biaya yang dikeluarkan Trimin untuk pendaftaran hingga kampanye adalah Rp43 juta. Dia merogoh kocek pribadi Rp15 juta, mendapat bantuan Rp5 juta dari Pemda, Rp4,5 juta dari kas desa, dan sisanya dari masyarakat.
Setelah terpilih, Trimin segera mengerjakan dua program penting. Pertama, membangun balai desa dengan uang kas desa dan hasil tanah bengkok (tanah garapan milik desa) seluas 600 hektare.
Kedua, melakukan sertifikasi tanah (225 bidang tanah sudah selesai sejauh ini). Ke depannya, Trimin ingin membangun ekonomi masyarakat dan pendidikan yang baik, salah satunya membangun jaringan internet di desa.
Apa yang terjadi di Rogomulyo menunjukkan, keberagaman di masyarakat Indonesia bisa terwujud. Kesadaran dan pendidikan warga menjadi kunci penting agar umat beragama, dan keragaman budaya, bisa hidup dalam satu wilayah dengan aman dan tenteram.
Kemenangan Pendeta Timotius Trimin sebagai kepala sebuah desa di Jawa Tengah membalikkan asumsi yang mengatakan, minoritas tak mungkin terpilih menjadi pemimpin di Indonesia.
Di Desa Rogomulyo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang, Trimin adalah seorang pendatang dan minoritas. Dia pindah ke desa ini (yang mayoritas penduduknya beragama Islam) pada 1994, sesuai penugasan melayani jemaat di Gereja Kristen Jawa Susukan.
Tetapi pada 16 Desember 2012, segala identitas itu ternyata tak menghalangi Trimin memenangi pemilihan kepala desa Rogomulyo. Dia meraup 1559 suara, sementara lawannya — yang disimbolkan dengan sebuah kotak kosong sebab tak ada orang lain yang mencalonkan diri — mendapat 424. Jumlah pemilih terdaftar ada 2600.
Mendekat ke rakyat
Desa Rogomulyo terdiri dari enam dusun, yakni Rogomulyo, Suruhan, Gegunung, Gumuk, Jangkrikan, dan Genting. Desa ini dikenal sebagai desa miskin, antara lain karena sulitnya pasokan air. Penduduk banyak bertani di lahan kering, sehingga hasilnya tidak begitu menguntungkan.
Dalam masa kepemimpinan kepala desa terdahulu, Suryadi (menjabat 10 tahun) dan Salip Suhadi (menjabat 14 tahun) tidak banyak perkembangan berarti yang terwujud di Rogomulyo. Desa ini tertinggal dibandingkan desa lain.
Di desa miskin seperti ini, pemilihan kepala desa rentan disusupi politik uang. Pihak yang berusaha menjegal Trimin (antara lain seorang sesepuh desa dan mantan kepala desa) menyebarkan uang Rp20-30 ribu kepada warga — agar memilih kotak kosong sebagi simbol lawan Trimin.
Tantangan bagi Trimin (yang masih mesti berjuang menepis kampanye negatif soal perbedaan agama) pun bertambah. Tetapi dia berhasil menyiasati tantangan dengan baik.
Dia meraup hasil dari bertahun-tahun mendekat ke rakyat.
Walau sibuk sebagai pendeta, Trimin aktif dalam kegiatan lain. Selama hampir 10 tahun, dia aktif terlibat di Musyawarah Perencanaan Pembangunan — sebuah forum publik di desa yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat.
Trimin juga menjadi sekretaris LKMD dan aktif dalam kelompok belajar masyarakat. Pengabdiannya bagi desa dan kedekatannya dengan masyarakat ini menjadi modal penting meraih dukungan.
Sejak 16 hari sebelum pemilihan, Trimin merekrut dua orang dari setiap dusun untuk menjadi koordinator perolehan suara. Sehari sebelum pemilihan, dia membuat 12 pos yang tersebar di enam dusun guna mengurangi kecurangan.
“Semua aman, memang ada yang sempat hendak menyebarkan amplop tetapi bisa diamankan warga sendiri,” kata Trimin, yang mengeluarkan Rp600 ribu per pos untuk konsumsi.
Dua program penting
“Saya tahu ada yang tidak suka dengan saya, tapi semua saya gandeng dan ajak bicara. Saya tidak menggunakan gereja demi dukungan, bahkan ada jemaat saya yang tidak mendukung. Ini demi pendidikan politik warga; memilih saya karena memang saya mampu, bukan yang lainnya,” kata Trimin.
Total biaya yang dikeluarkan Trimin untuk pendaftaran hingga kampanye adalah Rp43 juta. Dia merogoh kocek pribadi Rp15 juta, mendapat bantuan Rp5 juta dari Pemda, Rp4,5 juta dari kas desa, dan sisanya dari masyarakat.
Setelah terpilih, Trimin segera mengerjakan dua program penting. Pertama, membangun balai desa dengan uang kas desa dan hasil tanah bengkok (tanah garapan milik desa) seluas 600 hektare.
Kedua, melakukan sertifikasi tanah (225 bidang tanah sudah selesai sejauh ini). Ke depannya, Trimin ingin membangun ekonomi masyarakat dan pendidikan yang baik, salah satunya membangun jaringan internet di desa.
Apa yang terjadi di Rogomulyo menunjukkan, keberagaman di masyarakat Indonesia bisa terwujud. Kesadaran dan pendidikan warga menjadi kunci penting agar umat beragama, dan keragaman budaya, bisa hidup dalam satu wilayah dengan aman dan tenteram.
0 komentar:
Post a Comment