728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Penjaga Tambal Ban Yang Go Internasional

    Arfi’an dan Arie, dari Penjaga Tambal Ban hingga Wirausahawan yang Mendunia

    Di ruang seluas 2,5 meter x 3 meter di Canden, Kota Salatiga, Jawa Tengah, kakak beradik Arfi’an Fuadi (28) dan M Arie Kurniawan (23) beserta timnya mendesain jet engine bracket, salah satu komponen pengangkat mesin pesawat. Desain ini keluar sebagai juara pertama dalam kompetisi desain tiga dimensi yang diadakan General Electric dan GrabCAD. Mereka mengalahkan kompetitor yang bertitel doktor dan lulusan universitas terkemuka dunia.

    Ini adalah kali pertama dua putra dari pasangan Akhmad Sya’roni dan Arumi ini mengikuti lomba, tetapi tanpa diduga mereka keluar sebagai juara pertama. Mereka mengalahkan para peserta dari 56 negara dengan total 700 desain.

    Arfi’an dan Arie dapat membuat desain yang jauh lebih ringan 84 persen, dari 2 kilogram pada komponen asli menjadi hanya 327 gram.

    Namun, semua itu mereka raih bukan secara instan. Semuanya melalui perjuangan panjang mereka bergelut di dunia design engineering. Bertahun-tahun sebelum mengikuti lomba, mereka sudah dipercaya banyak perusahaan asing untuk mendesain berbagai produk. Salah satu desain yang mereka buat adalah pesawat ringan (ultralight aircraft) untuk sebuah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

    Semua bermula ketika Arfi’an lulus dari SMK Negeri 7 Semarang tahun 2005 dan mencoba berwirausaha. Banyak hal dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari berjualan susu segar keliling Kota Semarang, menjaga tambal ban, menjaga bengkel, hingga menjadi tukang cetak foto. Hingga tahun 2009, dia bekerja di Kantor Pos sebagai penjaga malam.

    "Walaupun saat itu hanya menjadi penjaga malam, saya punya mimpi yang besar. Saya tak mau hidup begini-begini saja. Saya ingin berbuat sesuatu yang bisa mengubah hidup saya dan keluarga," kata Arfi’an.

    Gaji pertamanya di Kantor Pos digunakan untuk membeli komputer bekas senilai Rp 1,5 juta. Itu pun masih ditambah dari tabungan ayahnya dan kebaikan hati kerabatnya yang memberi hard disk bekas. Memiliki komputer saat itu adalah kemewahan baginya. Sebelumnya, Arfi’an belajar menggunakan komputer dengan meminjam komputer milik sepupunya.

    Karena kerjanya bagus, dia mulai dipercaya menjadi petugas di loket pengiriman. Sambil bekerja, Arfi’an, yang menyenangi dunia desain sejak kecil, mencoba-coba mengakses situs freelance. Ada banyak proyek yang ditawarkan di situs tersebut. Dia mulai memberanikan diri menggarap proyek yang ditawarkan.

    Fokus pada proyek

    Seiring waktu, pekerjaan pun semakin banyak berdatangan. Arfi’an memberanikan diri untuk fokus pada pekerjaan barunya di dunia desain dan memutuskan keluar dari Kantor Pos.

    Hampir semua proyek yang ditawarkan dia sanggupi. Mulai dari mendesain gantungan kunci, kaus tangan, anting-anting, sasis mobil, engine bracket, hingga pesawat ringan. Hingga kini, setidaknya 150 proyek sudah dia kerjakan bersama adiknya.

    Arie, si adik, yang lulus dari SMK Negeri 2 Salatiga, juga tertarik mengikuti jejak kakaknya. Mereka mendirikan DTECH-ENGINEERING, usaha jasa desain dan engineering. Karena banyaknya proyek yang harus digarap, mereka lalu mempekerjakan dua orang untuk membantu proses riset dan desain.

    Apa yang mereka alami tak selalu mulus. Tahun 2012, Arfi’an dan Arie ditipu seorang pemberi proyek dari AS. Proyek mereka diterima, tetapi pembayaran tidak juga dilakukan.

    Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan langkah mereka. Tahun 2013, Arfi’an bekerja sama dengan warga AS menggarap proyek Coco Pen, pulpen eksklusif yang dibuat dari aluminium solid dan batok kelapa. Produksinya dilakukan di Salatiga.

    Mereka menjual produk tersebut di www.kickstarter.com dalam jumlah terbatas. Target mereka hanya memproduksi 500 Coco Pen dan kini sekitar 300 Coco Pen sudah terjual ke seluruh penjuru dunia dengan harga 79-99 dollar AS per unit.

    Selain itu, mereka juga membuat Puter Pen, pulpen dari titanium yang dibuka dengan cara diputar. Berbeda dengan Coco Pen, penutup Puter Pen tak akan dapat terlepas dari badannya. Keduanya merupakan produk kerajinan tangan dan eksklusif yang dibuat oleh dua tenaga kerja mereka.

    Membangun rumah

    Hasil kerja keras mereka sudah dirasakan dampaknya. Mereka bisa membangun rumah untuk orangtua yang sebelumnya berdinding kayu dan atapnya bocor. Mereka juga membeli mobil dan lahan untuk membangun kantor DTECH-ENGINEERING serta tempat untuk membuat Coco Pen, Puter Pen, dan produk lainnya.

    "Awalnya, kami melakukan ini semua untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi kini uang bukan lagi yang utama. Saya tertantang mempelajari hal baru, membuat hal baru, dan mendapat informasi baru. Betapa banyak peluang dan kesempatan di pasar global yang bisa kita raih kalau mau berusaha," kata Arfi’an.

    Dia mencontohkan saat sebuah perusahaan besar memintanya menggarap proyek. Mereka dapat mempelajari strategi perusahaan tersebut, bagaimana standar kualitas mereka, bagaimana kontrol mereka terhadap produknya, termasuk bagaimana mereka memandang konsumen.

    ”Kami belajar banyak sekali dari mereka. Perusahaan-perusahaan besar itu memiliki bagian riset dan pengembangan sendiri. Namun, mereka kadang ingin mendapat opini kedua dari pihak lain yang tidak terbelenggu rutinitas dan biasanya justru bisa menghasilkan sesuatu yang baru,” ujar Arfi’an.

    Melalui apa yang mereka lakukan, mereka ingin membuka mata anak muda untuk mau berbuat sesuatu di luar kebiasaan. Kita bekerja tak harus di kantor dan mendapat gaji bulanan layaknya pegawai. Asalkan memiliki kemauan dan bekerja keras, mereka percaya apa pun dapat diraih.

    "Modal kami awalnya hanya keras kepala, mau belajar, dan anti mainstream," kata Arie. Oleh karena itu, sejak tahun lalu, mereka membuka kelas gratis bagi siapa pun yang ingin belajar mengenai design engineering atau mengenai pasar global. Anak muda pun berdatangan ke rumah mereka.

    Dari setiap proyek yang mereka garap, hanya satu proyek yang dibuat untuk perusahaan lokal. Arie mengatakan, perusahaan di Indonesia masih belum bisa menerima latar belakang mereka yang lulusan SMK, bukan perguruan tinggi.

    Kini, uang tidak lagi menjadi masalah, tetapi mereka tetap ingin kuliah. Sekarang masalahnya justru waktu mereka yang habis untuk menggarap pesanan.

    "Tidak apa-apa, mungkin jalan kami memang harus seperti ini. Oleh karena pasar lokal belum dapat menerima, kami harus go global. Setelah itu, kami percaya, pasar Indonesia akan mengikuti," ujar Arfi’an.

    DTECH ENGINEERING M Arie Kurniawan (kiri) dan Arfi'an Fuadi, pendiri DTECH ENGINEERING, Salatiga. Foto kanan adalah desain jet engine bracket rancangan mereka yang menjadi juara dalam kompetisi desain yang diadakan oleh General Electric dan GrabCAD.

    +++

    M Arie Kurniawan
    Lahir: Salatiga, 11 Juli 1991
    Pendidikan:
    - SD Kutowinangun 12 Salatiga
    - SMP Negeri 9 Salatiga
    - SMK Negeri 2 Salatiga
    Penghargaan: Juara I General Electric 3D Printing Challenge, Agustus 2013-April 2014

    Arfi’an Fuadi
    Lahir: Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juni 1986
    Pendidikan:
    - SD Kutowinangun 12 Salatiga
    - SMP Negeri 3 Salatiga
    - SMK Negeri 7 Semarang

    Pemuda Salatiga Lulusan SMA Kalahkan Insinyur Oxford di Lomba Desain Komponen Jet

    JAKARTA – Bangsa Indonesia tak boleh kehilangan semangat sebagai bangsa yang kreatif dan inovatif. Lihatlah, pemuda lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA-SMK) asal Salatiga ini mampu mengalahkan insinyur-insinyur dunia. Sungguh, kekayaan bangsa ini tidak terletak pada sumber daya alamnya, tapi pada sumber daya manusiannya.

    Arfian Fuadi (28) dan Arie Kurniawan (23), kakak beradik asal Salatiga, menyabet juara pertama dalam "3D Printing Challenge" yang diadakan General Electric (GE) tahun ini. Tidak cuma itu, dalam kompetisi tersebut, karya Arfian dan Arie berhasil mengalahkan karya insinyur lulusan universitas terkemuka dunia.

    "Arfian dan Arie berhasil mendesain jet engine bracket  yaitu salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang yang paling ringan dari komponen serupa yang pernah dibuat di dunia. Bahkan, mereka berhasil mengalahkan peserta dengan gelar Ph.D dari Swedia yang menyabet peringkat kedua dan insinyur lulusan University of Oxford yang meraih juara ketiga," ujar Handry Satriago, CEO General Electric Indonesia, Jakarta.

    Dua pemuda lulusan SMA Negeri 7 Semarang dan SMK Negeri 2 Salatiga, Jawa Tengah, ini berhasil menyisihkan 700 karya dari 50 negara peserta yang mengikuti kompetisi tersebut.

    Keunggulan jet engine bracket yang didesain Arfian dan Arie adalah komponennya yang hanya berbobot 327 gram atau 84 persen lebih ringan dari pascaproses pembuatan cetak biru atau prototipe Jet engine bracket saat ini yang seberat 2 kilogram.

    Jualan Susu dan Tukang Tambal Ban

    Apa yang dicapai Arfian dan Arie dalam kancah internasional tidak terjadi tiba-tiba. Sebelum berkecimpung di dunia desain engineering  mereka adalah pedagang susu dan tukang tambal ban.

    Kehidupan ekonomi  keluarga yang tidak mencukupi membuat mereka harus bekerja apa saja untuk mendapatkan penghasilan. 

    “Rumah sudah hampir rubuh jadi kita butuh kerjaan. Dari kecil memang kita diwajibkan berwirausaha, bahkan pernah jualan susu, pernah juga jadi tukang tambal ban,” kata Arie kepada kompas.com.

    Lucunya, kalau lah boleh dibilang begitu, baik Arfian dan Arie tak memiliki latar belakang akademis di dunia desain engineering. Arfian yang lahir pada 2 Juli 1986 lulusan SMA, sedang Arie yang lahir pada 11 Juli 1991 lulusan SMK jurusan otomotif.

    Arfian lah yang pertama-tama tertarik dengan dunia ini. Ia semata-mata hobi, belajar sendiri dengan meminjam komputer milik sepupunya. Komputer adalah barang yang amat mewah yang tidak mungkin mereka miliki.

    “Dulu ketika masih sekolah, sering pinjam komputer sepupu untuk belajar. Tapi minjem-nya kalau sepupu sudah tidur,” kata dia.

    Arie mengenal desain engineering dari kakaknya. Arie mengaku secara akademis dirinya tidak cemerlang di bangku sekolah. Ia mengalami kesulitan memahami setiap pelajaran. Kata dia, materi pelajaran di sekolah kebanyak disampaikan dalam bentuk teori tanpa praktik. Siswa di kelas hanya membayangakan apa yang diajarkan oleh guru.

    Proyek pertama senilai Rp 90 ribu

    Mereka bercerita, proyek pertama membuat desain dimulai dari seringnya mengunjungi salah satu situs tempat para klien mereka berkumpul dan berbincang di dunia maya.

    Pada tahun 2005, proyek pertama yang mereka kerjakan adalah membuat jarum untuk alat ukur yang berfungsi sebagai alat medis. Pemesannya adalah perusahaan asal Jerman. Mereka mendapat honor perdana sebesar 10 dollar AS atau sekitar Rp 90 ribuan kala itu.

    Sejak proyek pertama itu, mereka terus mendapat permintaan untuk membuat desain-desain alat-alat lain yang semakin canggih. Bahkan, mereka sempat ditawari membuat senjata namun mereka menolak karena senjata dapat digunakan untuk tindakan kriminal.

    Selanjutnya, mereka juga pernah membuat desain pesawat ringan yang dipesan oleh perusahaan asal Amerika Serikat. Mereka mendapat bayaran ribuan dollar dari proyek itu.

    Mereka kini adalah pemilik usaha Dtech Engineering, bisnis jasa desain yang mendunia. Mereka melayani pemesanan desain tiga dimensi dari seluruh penjuru bumi.

    sumber:
    kompas.com
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Penjaga Tambal Ban Yang Go Internasional Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top