Jejak Tionghoa di Madura
Jejak Tionghoa bisa ditemukan dengan mudah di tanah air, termasuk Pulau Madura. Belum lama ini komunitas Jejak Petjinan mengadakan wisata sejarah bertajuk Melantjong Petjinan Madoera ke Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep.
Pada 1958, sejarawan asal Surabaya, Ong Hok Ham (sekarang almarhum) bersama Dr William Skinner dari Cornell University, Amerika Serikat, pernah melakukan riset di Pulau Madura. Kedua pakar ini menemukan banyak fakta menarik. Meski masyarakat Tionghoa di Madura nyaris sudah terasimilasi total dalam kultur lokal---beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Madura, fisik seperti bumiputra---jejak-jejak Tionghoa masih bisa diendus.
Kota Sumenep, menurut Ong, menunjukkan pengaruh Tionghoa yang besar. Ini terlihat dari bangunan keraton dan masjid yang kental dengan nuansa Tionghoa. Dekorasi pada pintu masjid Sumenep menunjukkan bahwa pembuatnya adalah tukang-tukang Tionghoa.
Atap keraton juga demikian. Bentuknya memperlihatkan pengaruh Tionghoa. “Mungkin para tukang Tionghoa itu diminta membuat atap keraton bergaya Madura, tapi tukang-tukang itu mengikuti intuisi ketionghoannya. Dan hasilnya adalah setengah Indonesia dan setengah Tionghoa,” tulis almarhum Ong Hok Ham dalam buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa.
Selain keraton dan masjid, pengaruh Tionghoa juga bisa dilihat pada bentuk dan atap rumah-rumah di Sumenep. Bagi Ong, pengaruh Tionghoa di Sumenep ini tidak mengherankan karena Sumenep merupakan kota di Madura yang punya penduduk Tionghoa terbanyak. Ketika masih berlaku wijkenstelsel---sistem perkampungan berdasar kelompok etnis, di mana orang Tionghoa tinggal di pecinan---di Sumenep terdapat dua wijk (perkampungan) Tionghoa. Satu wijk di dalam kota Sumenep dan satu lagi di Pabean.
Menurut salah satu sumber yang dikutip Ong, orang Tionghoa datang ke Sumenep karena dipanggil Panembahan Sumenep pada 1790. Saat itu sang panembahan memerlukan tukang-tukang untuk mendirikan keraton dan masjid Sumenep. Sesudah bangunan keraton dan masjid itu selesai, para tukang asal negeri naga itu dikonsentrasikan di Desa Pajurangan.
Tukang-tukang yang semuanya laki-laki itu kemudian menikah dengan perempuan setempat. Mereka pun otomatis memeluk agama Islam, sehingga kemudian melahirkan generasi ‘peranakan’ yang terasimilasi dengan kultur lokal.
Ada juga versi lain yang menyebutkan, nenek moyang orang peranakan di Sumenep berasal dari Semarang. Saat itu terjadi pemberontakan orang Tionghoa disusul pembunuhan massal warga Tionghoa.
Beberapa orang Tionghoa dari Semarang bersembunyi di pesisir Sumenep. Mereka kemudian mengganti nama seperti penduduk Madura umumnya dan menganut agama Islam.
“Cerita ini mungkin benar karena pada 1740 memang ada pemberontakan Tionghoa. Dan di Semarang memang ada pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa,” papar sejarawan yang biasa menulis namanya dengan Onghokham (tanpa spasi) itu.
Maka, Ong menyimpulkan bahwa warga peranakan di Sumenep bisa jadi keturunan tukang-tukang Tionghoa dan orang-orang Tionghoa pelarian dari Semarang.
Masih menurut Ong, panembahan-panembahan yang sangat berkuasa di Sumenep juga mengadakan politik asimilasi terhadap orang-orang Tionghoa di Sumenep. Maksudnya untuk memberi perlindungan kepada orang-orang Tionghoa yang sudah menikah dengan wanita setempat dan sudah berganti nama. Oleh panembahan, mereka diberi izin berdagang, tinggal di pedalaman, dan tanah.
Orang-orang peranakan di Sumenep itu juga terdapat di pulau-pulau kecil seperti Pulau Raas, Pulau Sapudi, dan Pulau Kangean. Begitu hebatnya proses asimilasi selama beberapa generasi, kini kita tak bisa lagi mengidentifikasi mereka sebagai keturunan Tionghoa.
Jejak Tionghoa di Sumenep juga terdapat di kawasan Pajurangan. Asimilasi dengan kultur lokal pun sudah sangat jauh. Mereka tak bisa berbahasa Tionghoa dan juga tak bisa menulis dalam aksara Tionghoa. Hal yang sebetulnya umum bagi orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia.
Di Pajurangan ini terdapat beberapa orang Tionghoa beragama Islam dan menggunakan nama Islam layaknya penduduk Madura. Makam-makam Tionghoa kurang terawat dengan baik. Padahal, tradisi Tionghoa sangat menekankan perawatan makam orang tua atau leluhur. Sehingga, suatu ketika camat setempat mengingatkan warga Tionghoa untuk merawat makam-makam leluhur mereka.
Ong Hok Ham dalam tulisannya mengaku terkesan dengan sebuah kampung Tionghoa yang sangat indah dan penting dari sudut sejarah. Sebab, bentuk rumah-rumah di sana dapat dikata hampir masih asli Tionghoa. Kampung itu terletak di tepi laut dan menghadap ke laut. Sebuah wujud pecinan yang masih asli dari imigran Tionghoa.
Orang-orang Tiongkok yang datang ke Asia Tenggara memang selalu membuat kampung Tionghoa di tepi laut atau sungai dengan rumah menghadap ke air. Kelenteng juga harus menghadap ke sungai atau laut. Di Pajurangan tidak ada kelenteng, tapi ada satu arca Siwa yang menghadap ke laut.
“Daerah Sumenep sebetulnya penting untuk sejarah orang Tionghoa di Indonesia,” kata Ong.
Sumber: http://hurek.blogspot.com
Jejak Tionghoa bisa ditemukan dengan mudah di tanah air, termasuk Pulau Madura. Belum lama ini komunitas Jejak Petjinan mengadakan wisata sejarah bertajuk Melantjong Petjinan Madoera ke Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep.
Pada 1958, sejarawan asal Surabaya, Ong Hok Ham (sekarang almarhum) bersama Dr William Skinner dari Cornell University, Amerika Serikat, pernah melakukan riset di Pulau Madura. Kedua pakar ini menemukan banyak fakta menarik. Meski masyarakat Tionghoa di Madura nyaris sudah terasimilasi total dalam kultur lokal---beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Madura, fisik seperti bumiputra---jejak-jejak Tionghoa masih bisa diendus.
Kota Sumenep, menurut Ong, menunjukkan pengaruh Tionghoa yang besar. Ini terlihat dari bangunan keraton dan masjid yang kental dengan nuansa Tionghoa. Dekorasi pada pintu masjid Sumenep menunjukkan bahwa pembuatnya adalah tukang-tukang Tionghoa.
Atap keraton juga demikian. Bentuknya memperlihatkan pengaruh Tionghoa. “Mungkin para tukang Tionghoa itu diminta membuat atap keraton bergaya Madura, tapi tukang-tukang itu mengikuti intuisi ketionghoannya. Dan hasilnya adalah setengah Indonesia dan setengah Tionghoa,” tulis almarhum Ong Hok Ham dalam buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa.
Selain keraton dan masjid, pengaruh Tionghoa juga bisa dilihat pada bentuk dan atap rumah-rumah di Sumenep. Bagi Ong, pengaruh Tionghoa di Sumenep ini tidak mengherankan karena Sumenep merupakan kota di Madura yang punya penduduk Tionghoa terbanyak. Ketika masih berlaku wijkenstelsel---sistem perkampungan berdasar kelompok etnis, di mana orang Tionghoa tinggal di pecinan---di Sumenep terdapat dua wijk (perkampungan) Tionghoa. Satu wijk di dalam kota Sumenep dan satu lagi di Pabean.
Menurut salah satu sumber yang dikutip Ong, orang Tionghoa datang ke Sumenep karena dipanggil Panembahan Sumenep pada 1790. Saat itu sang panembahan memerlukan tukang-tukang untuk mendirikan keraton dan masjid Sumenep. Sesudah bangunan keraton dan masjid itu selesai, para tukang asal negeri naga itu dikonsentrasikan di Desa Pajurangan.
Tukang-tukang yang semuanya laki-laki itu kemudian menikah dengan perempuan setempat. Mereka pun otomatis memeluk agama Islam, sehingga kemudian melahirkan generasi ‘peranakan’ yang terasimilasi dengan kultur lokal.
Ada juga versi lain yang menyebutkan, nenek moyang orang peranakan di Sumenep berasal dari Semarang. Saat itu terjadi pemberontakan orang Tionghoa disusul pembunuhan massal warga Tionghoa.
Beberapa orang Tionghoa dari Semarang bersembunyi di pesisir Sumenep. Mereka kemudian mengganti nama seperti penduduk Madura umumnya dan menganut agama Islam.
“Cerita ini mungkin benar karena pada 1740 memang ada pemberontakan Tionghoa. Dan di Semarang memang ada pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa,” papar sejarawan yang biasa menulis namanya dengan Onghokham (tanpa spasi) itu.
Maka, Ong menyimpulkan bahwa warga peranakan di Sumenep bisa jadi keturunan tukang-tukang Tionghoa dan orang-orang Tionghoa pelarian dari Semarang.
Masih menurut Ong, panembahan-panembahan yang sangat berkuasa di Sumenep juga mengadakan politik asimilasi terhadap orang-orang Tionghoa di Sumenep. Maksudnya untuk memberi perlindungan kepada orang-orang Tionghoa yang sudah menikah dengan wanita setempat dan sudah berganti nama. Oleh panembahan, mereka diberi izin berdagang, tinggal di pedalaman, dan tanah.
Orang-orang peranakan di Sumenep itu juga terdapat di pulau-pulau kecil seperti Pulau Raas, Pulau Sapudi, dan Pulau Kangean. Begitu hebatnya proses asimilasi selama beberapa generasi, kini kita tak bisa lagi mengidentifikasi mereka sebagai keturunan Tionghoa.
Jejak Tionghoa di Sumenep juga terdapat di kawasan Pajurangan. Asimilasi dengan kultur lokal pun sudah sangat jauh. Mereka tak bisa berbahasa Tionghoa dan juga tak bisa menulis dalam aksara Tionghoa. Hal yang sebetulnya umum bagi orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia.
Di Pajurangan ini terdapat beberapa orang Tionghoa beragama Islam dan menggunakan nama Islam layaknya penduduk Madura. Makam-makam Tionghoa kurang terawat dengan baik. Padahal, tradisi Tionghoa sangat menekankan perawatan makam orang tua atau leluhur. Sehingga, suatu ketika camat setempat mengingatkan warga Tionghoa untuk merawat makam-makam leluhur mereka.
Ong Hok Ham dalam tulisannya mengaku terkesan dengan sebuah kampung Tionghoa yang sangat indah dan penting dari sudut sejarah. Sebab, bentuk rumah-rumah di sana dapat dikata hampir masih asli Tionghoa. Kampung itu terletak di tepi laut dan menghadap ke laut. Sebuah wujud pecinan yang masih asli dari imigran Tionghoa.
Orang-orang Tiongkok yang datang ke Asia Tenggara memang selalu membuat kampung Tionghoa di tepi laut atau sungai dengan rumah menghadap ke air. Kelenteng juga harus menghadap ke sungai atau laut. Di Pajurangan tidak ada kelenteng, tapi ada satu arca Siwa yang menghadap ke laut.
“Daerah Sumenep sebetulnya penting untuk sejarah orang Tionghoa di Indonesia,” kata Ong.
Sumber: http://hurek.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment