(Agama) Sepakbola Vs Gereja Anglikan?
Suatu saat saya menyaksikan sebuah perselisihan kecil tak jauh dari rumah kami di Charlton, London, yang hampir saja pecah menjadi keributan massal. Penyebabnya sederhana saja: rebutan tempat parkir antara penggemar sepakbola yang menjadi pengunjung sebuah pub, dan mereka yang hendak menunaikan ibadah di sebuah gereja. Kebetulan kedua tempat itu terletak tak berjauhan.
Tidak seperti biasanya yang sepi, umat yang hendak menunaikan ibadah di gereja kala itu meluber, dan beberapa di antara mereka memarkir mobil di halaman pub yang mempunyai tempat parkir yang agak luas. Maklum menjelang Natal.
Celakanya, khusus hari itu, bersamaan dengan jadwal pertandingan sepakbola Liga Inggris. Seperti biasa di hari pertandingan, ada dua tempat yang sibuk: stadion dan pub tempat orang bisa minum bir sambil menonton bola lewat televisi.
Para pengunjung pub marah dengan mereka yang ke gereja karena mengambil tempat parkir para pengunjung pub. Pihak pub meminta mereka yang ke gereja untuk memindahkan mobil. Saya tidak tahu bagaimana awal kejadiannya tetapi situasi menjadi panas, meruncing, saling memaki dan kemudian saling ancam. Untung pihak kepolisian cepat datang untuk melerai dan mengendalikan suasana.
Adalah sebuah kebetulan bahwa kejadian ini hanya seminggu setelah para petinggi Gereja Anglikan di Inggris mengajukan permintaan kepada pemerintah agar melarang penyelenggara sepakbola Inggris untuk tidak lagi memainkan pertandingan seputar hari Natal dan Minggu Paskah maupun (seputar) hari besar keagamaan lain.
Saya tidak tahu apakah permintaan itu keluar karena dilihat jadwal pertandingan sepakbola telah mengganggu kalender hari besar keagamaan, ataukah muncul kekhawatiran bahwa sepakbola telah menjadi godaan buat umat Kristiani untuk berpaling dari gereja.
Karena memang di Inggris seperti diketahui pertandingan bola tidak sekadar dimulai dan berhenti di lapangan bola. Ia juga sebuah rentetan upacara/acara.
Ada yang namanya pembahasan prapertandingan sejak sehari sebelum pertandingan yang ramai di media cetak dan elektronik kengkap dengan acara phone in dan kegiatan interaktif lainnya. Ditambah lagi sekarang dengan adanya internet yang memungkinkan orang membuat acaranya sendiri. Lalu pertandingannya sendiri. Dan setelahnya adalah pembahasan panjang lebar hingga hari berikutnya tentang pertandingan itu sendiri dan konteksnya dalam kompetisi keseluruhan.
Dengan tingkat kepadatan yang seperti itu, tak ada lagi waktu yang lain. Selama sekitar dua atau tiga hari, kalau anda penggemar bola, maka sepakbola adalah segalanya. Dan anda akan termanjakan tanpa batas dan kemungkinan abai terhadap persoalan lain. Termasuk persoalan agama maupun pergi ke gereja. Itulah rutinitas yang terjadi setiap pekannya di Inggris ini bila musim bola.
Persoalannya adalah tingkat ketaatan penggemar bola terhadap rutinitas semacam ini. Semisal ketaatan untuk mendatangi stadion atau setidaknya menonton siaran langsung pertandingan, bersedekah walau imbalannya bukan janji sorga tetapi mungkin kaos dan tiket musiman, menjadi misionaris klub, membahas segala sesuatu pernik peristiwa sepakbola layaknya menelaah kitab suci, dan dengan tekun mencari dan percaya munculnya mesiah-mesiah dalam wujud pemain maupun manajer, dan masih banyak lagi.
Ini belum ditambah kegiatan sepakbola di tingkat akar rumput yang biasanya terselip di antara waktu untuk mengikuti perkembangan persepakbolaan profesional. Praktis sepakbola mengambil seluruh waktu yang ada. Sepakbola memang menjadi fokus rutinitas kehidupan dengan segala eksesnya, baik yang bersifat material, emosional, dan sosial.
Di sinilah ungkapan populer, sepakbola adalah agama yang menemukan konteksnya. Bukan agama konvensional seperti yang dipahami selama ini tentu saja, tetapi lebih menunjuk pada perilaku ritus-sosiologis penggemar bola yang dalam batas tertentu tak beda jauh dengan penganut agama. Minus kepercayaan transendentalnya tentu saja.
Mungkin terlalu berlebihan kalau kemudian menganggap para petinggi Gereja Anglikan betul-betul memaknai sepakbola telah benar menjadi agama tersendiri. Walau menurut saya tak berlebihan kalau kemudian menilai, merujuk pada permintaan larangan pertandingan pada hari besar keagamaan, mereka menganggap sepakbola telah secara langsung menganggu eksistensi Gereja Anglikan?
Karena permintaan agar pemerintah melarang pertandingan di seputar hari besar keagamaan itu juga diikuti dengan seruan agar klub-klub Inggris, termasuk penggemar bola, untuk mengingat kembali akar kekristenan mereka. Libur kegamaan adalah waktu bagi ummat untuk kembali merenungi nilai-nilai keagamaan, kembali ke gereja, kata mereka. Bukankah klub-klub Inggris kebanyakan memang berawal dari komunitas gereja sebelum sepakbola meledak menjadi kegiatan sosial dan kemudian komersial?
Keprihatinan petinggi gereja Anglikan sebetulnya bisa dimaklumi. Cobalah tengok jadwal persepakbolaan Inggris ini. Kapan masa tersibuk dalam kalender tahunan sepakbola Inggris? Jawabnya ditemukan di seputar libur Natal dan Paskah.
Libur Natal dan Paskah jelas pada awalnya diberlakukan untuk memberi kesempatan kepada umat untuk mengonsentrasikan diri merayakan pada dua peristiwa kegamaan paling penting di Inggris ini. Menyegarkan kembali diri pada nilai paling dasar kehadiran Kristus di dunia.
Tetapi kita tahu itu tak berlaku untuk umat sepakbola Inggris yang notabene juga umat Anglikan. Dua minggu libur Natal oleh para administrator sepakbola Inggris secara sengaja diatur menjadi sebuah jejalan jadwal sepakbola yang tanpa kendat.
Di dua minggu sebelum dan sesudah Natal inilah bukannya orang berbicara tentang nilai-nilai dasar kekristenan, tetapi malah yang lebih mengenaskan seringkali menggunakan analogi keagamaan untuk menggambarkan perjuangan yang terjadi kompetisi persepakbolaan.
Periode Natal bukannya berbicara tentang kelahiran Kristus tetapi tentang kelahiran peluang menjuarai liga. Bukan berbicara tentang dunia yang yang terbagi antara masa kegelapan sebelum Yesus lahir dan pencerahan sesudahnya, tetapi malah mengenai masa kompetisi sebelum Desember yang masih belum menentu (masa kegelapan) dan sesudahnya dengan pilahan kelompok yang berkemungkinan menjadi juara, penghuni papan tengah dan yang akan terdegradasi terpetakan (masa pencerahan).
Paskah? Sama saja. Walau tak sesibuk seputar Natal, jadwal pertandingan padat total. Bulan April (saat Paskah) adalah hentakan tenaga terakhir bagi klub untuk bisa jadi juara atau selamat dari degradasi dengan kompetisi berakhir di awal bulan Mei. Di saat ini umat sepakbola tidak berbicara tentang kebangkitan Kristus tetapi mengenai apakah klub yang sepertinya telah terkubur impiannya untuk menjuarai liga ataupun terperam di zona degradasi bisa bangkit kembali.
Jadi bukan hanya kalender keagamaan yang terkooptasi, tetapi juga analogi-analogi suci kegamaanpun turut juga di dalamnya direbut oleh sepakbola. Saya yakin ini sebuah kesengajaan pemanfaatan pengunaan istilah yang bersifat oportunistik saja. Kok sepertinya pas untuk menggunakan analogi-analogi keagamaan untuk menggambarkan dinamika kompetisi sepakbola yang terjadi. Bukan untuk sengaja merebut kaidah agama itu sendiri.
Aih, rumit betul berbicara tentang sepakbola di luar lapangan bola ini….
Selamat Natal bagi anda yang merayakannya. Selamat berpesta bola bagi yang menyukai sepakbola Inggris.
Suatu saat saya menyaksikan sebuah perselisihan kecil tak jauh dari rumah kami di Charlton, London, yang hampir saja pecah menjadi keributan massal. Penyebabnya sederhana saja: rebutan tempat parkir antara penggemar sepakbola yang menjadi pengunjung sebuah pub, dan mereka yang hendak menunaikan ibadah di sebuah gereja. Kebetulan kedua tempat itu terletak tak berjauhan.
Tidak seperti biasanya yang sepi, umat yang hendak menunaikan ibadah di gereja kala itu meluber, dan beberapa di antara mereka memarkir mobil di halaman pub yang mempunyai tempat parkir yang agak luas. Maklum menjelang Natal.
Celakanya, khusus hari itu, bersamaan dengan jadwal pertandingan sepakbola Liga Inggris. Seperti biasa di hari pertandingan, ada dua tempat yang sibuk: stadion dan pub tempat orang bisa minum bir sambil menonton bola lewat televisi.
Para pengunjung pub marah dengan mereka yang ke gereja karena mengambil tempat parkir para pengunjung pub. Pihak pub meminta mereka yang ke gereja untuk memindahkan mobil. Saya tidak tahu bagaimana awal kejadiannya tetapi situasi menjadi panas, meruncing, saling memaki dan kemudian saling ancam. Untung pihak kepolisian cepat datang untuk melerai dan mengendalikan suasana.
Adalah sebuah kebetulan bahwa kejadian ini hanya seminggu setelah para petinggi Gereja Anglikan di Inggris mengajukan permintaan kepada pemerintah agar melarang penyelenggara sepakbola Inggris untuk tidak lagi memainkan pertandingan seputar hari Natal dan Minggu Paskah maupun (seputar) hari besar keagamaan lain.
Saya tidak tahu apakah permintaan itu keluar karena dilihat jadwal pertandingan sepakbola telah mengganggu kalender hari besar keagamaan, ataukah muncul kekhawatiran bahwa sepakbola telah menjadi godaan buat umat Kristiani untuk berpaling dari gereja.
Karena memang di Inggris seperti diketahui pertandingan bola tidak sekadar dimulai dan berhenti di lapangan bola. Ia juga sebuah rentetan upacara/acara.
Ada yang namanya pembahasan prapertandingan sejak sehari sebelum pertandingan yang ramai di media cetak dan elektronik kengkap dengan acara phone in dan kegiatan interaktif lainnya. Ditambah lagi sekarang dengan adanya internet yang memungkinkan orang membuat acaranya sendiri. Lalu pertandingannya sendiri. Dan setelahnya adalah pembahasan panjang lebar hingga hari berikutnya tentang pertandingan itu sendiri dan konteksnya dalam kompetisi keseluruhan.
Dengan tingkat kepadatan yang seperti itu, tak ada lagi waktu yang lain. Selama sekitar dua atau tiga hari, kalau anda penggemar bola, maka sepakbola adalah segalanya. Dan anda akan termanjakan tanpa batas dan kemungkinan abai terhadap persoalan lain. Termasuk persoalan agama maupun pergi ke gereja. Itulah rutinitas yang terjadi setiap pekannya di Inggris ini bila musim bola.
Persoalannya adalah tingkat ketaatan penggemar bola terhadap rutinitas semacam ini. Semisal ketaatan untuk mendatangi stadion atau setidaknya menonton siaran langsung pertandingan, bersedekah walau imbalannya bukan janji sorga tetapi mungkin kaos dan tiket musiman, menjadi misionaris klub, membahas segala sesuatu pernik peristiwa sepakbola layaknya menelaah kitab suci, dan dengan tekun mencari dan percaya munculnya mesiah-mesiah dalam wujud pemain maupun manajer, dan masih banyak lagi.
Ini belum ditambah kegiatan sepakbola di tingkat akar rumput yang biasanya terselip di antara waktu untuk mengikuti perkembangan persepakbolaan profesional. Praktis sepakbola mengambil seluruh waktu yang ada. Sepakbola memang menjadi fokus rutinitas kehidupan dengan segala eksesnya, baik yang bersifat material, emosional, dan sosial.
Di sinilah ungkapan populer, sepakbola adalah agama yang menemukan konteksnya. Bukan agama konvensional seperti yang dipahami selama ini tentu saja, tetapi lebih menunjuk pada perilaku ritus-sosiologis penggemar bola yang dalam batas tertentu tak beda jauh dengan penganut agama. Minus kepercayaan transendentalnya tentu saja.
Mungkin terlalu berlebihan kalau kemudian menganggap para petinggi Gereja Anglikan betul-betul memaknai sepakbola telah benar menjadi agama tersendiri. Walau menurut saya tak berlebihan kalau kemudian menilai, merujuk pada permintaan larangan pertandingan pada hari besar keagamaan, mereka menganggap sepakbola telah secara langsung menganggu eksistensi Gereja Anglikan?
Karena permintaan agar pemerintah melarang pertandingan di seputar hari besar keagamaan itu juga diikuti dengan seruan agar klub-klub Inggris, termasuk penggemar bola, untuk mengingat kembali akar kekristenan mereka. Libur kegamaan adalah waktu bagi ummat untuk kembali merenungi nilai-nilai keagamaan, kembali ke gereja, kata mereka. Bukankah klub-klub Inggris kebanyakan memang berawal dari komunitas gereja sebelum sepakbola meledak menjadi kegiatan sosial dan kemudian komersial?
Keprihatinan petinggi gereja Anglikan sebetulnya bisa dimaklumi. Cobalah tengok jadwal persepakbolaan Inggris ini. Kapan masa tersibuk dalam kalender tahunan sepakbola Inggris? Jawabnya ditemukan di seputar libur Natal dan Paskah.
Libur Natal dan Paskah jelas pada awalnya diberlakukan untuk memberi kesempatan kepada umat untuk mengonsentrasikan diri merayakan pada dua peristiwa kegamaan paling penting di Inggris ini. Menyegarkan kembali diri pada nilai paling dasar kehadiran Kristus di dunia.
Tetapi kita tahu itu tak berlaku untuk umat sepakbola Inggris yang notabene juga umat Anglikan. Dua minggu libur Natal oleh para administrator sepakbola Inggris secara sengaja diatur menjadi sebuah jejalan jadwal sepakbola yang tanpa kendat.
Di dua minggu sebelum dan sesudah Natal inilah bukannya orang berbicara tentang nilai-nilai dasar kekristenan, tetapi malah yang lebih mengenaskan seringkali menggunakan analogi keagamaan untuk menggambarkan perjuangan yang terjadi kompetisi persepakbolaan.
Periode Natal bukannya berbicara tentang kelahiran Kristus tetapi tentang kelahiran peluang menjuarai liga. Bukan berbicara tentang dunia yang yang terbagi antara masa kegelapan sebelum Yesus lahir dan pencerahan sesudahnya, tetapi malah mengenai masa kompetisi sebelum Desember yang masih belum menentu (masa kegelapan) dan sesudahnya dengan pilahan kelompok yang berkemungkinan menjadi juara, penghuni papan tengah dan yang akan terdegradasi terpetakan (masa pencerahan).
Paskah? Sama saja. Walau tak sesibuk seputar Natal, jadwal pertandingan padat total. Bulan April (saat Paskah) adalah hentakan tenaga terakhir bagi klub untuk bisa jadi juara atau selamat dari degradasi dengan kompetisi berakhir di awal bulan Mei. Di saat ini umat sepakbola tidak berbicara tentang kebangkitan Kristus tetapi mengenai apakah klub yang sepertinya telah terkubur impiannya untuk menjuarai liga ataupun terperam di zona degradasi bisa bangkit kembali.
Jadi bukan hanya kalender keagamaan yang terkooptasi, tetapi juga analogi-analogi suci kegamaanpun turut juga di dalamnya direbut oleh sepakbola. Saya yakin ini sebuah kesengajaan pemanfaatan pengunaan istilah yang bersifat oportunistik saja. Kok sepertinya pas untuk menggunakan analogi-analogi keagamaan untuk menggambarkan dinamika kompetisi sepakbola yang terjadi. Bukan untuk sengaja merebut kaidah agama itu sendiri.
Aih, rumit betul berbicara tentang sepakbola di luar lapangan bola ini….
Selamat Natal bagi anda yang merayakannya. Selamat berpesta bola bagi yang menyukai sepakbola Inggris.
0 komentar:
Post a Comment