Dulu Pengangguran, Wanita Ini Sekarang Pengusaha Beromset Miliaran
Jakarta -'Kalau Ingin Berhasil Jangan Punya Rasa Malu' kalimat penyemangat itu menginspirasi Suntiah (39), pembatik asal Desa Tegalrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Terlahir dari keluarga sederhana, wanita berhijab ini mengawali karir dari berjualan kain batik keliling dari kampung ke kampung. Namun berkat kerja kerasnya, kini ibu 2 anak ini telah menjadi pembatik sekaligus pengusaha batik tulis di Tuban beromset miliaran rupiah.
"Omset saya tertinggi pada bulan Juli lalu Rp 1,009 miliar. Kalau keuntungan bersih Rp 137 juta. Semua selalu saya bukukan," ungkap Suntiah.
Suntiah mengaku dahulu sempat bekerja di pabrik di wilayah Sidoarjo. Namun setelah menikah, ia keluar dari pekerjaannya untuk menjadi ibu rumah tangga alias menganggur di rumah saja. "Setelah itu kami berdua posisinya sama-sama pengangguran tidak bekerja," katanya.
Sekitar tahun 1998, Suntiah dan suami diberikan oleh mertuanya dagangan berupa 1 kantong batik untuk dijual. Suntiah pun kemudian menjajakan kain batik tersebut keliling desa. Tak jarang wanita kelahiran 1 Juli 1974 itu juga merambah desa tetangga.
"Lumayan laris. Kemudian saya ngobrol dengan suami bagaimana kalau saya belajar membatik. Karena saat itu saya memang nggak bisa batik sama sekali," lanjutnya.
Selanjutnya awal tahun 2000-an, Suntiah belajar membatik pada seorang pembatik profesional. uang belajar yang harus dibayar kala itu sebesar Rp 300.000, jumlah yang sangat berlimpah bagi keluarganya.
"Sebenarnya saya sayang dengan uang segitu, karena kalau saya belikan kain batik bisa dapat banyak untuk dijual lagi keliling kampung," kenangnya menerawang jauh ke masa lalu.
Berkat kegigihannya untuk bisa membatik, hanya dalam waktu 1 minggu, Suntiah sudah mampu membuat pola dan memberi isen-isen (teknik membatik). Setelah itu Suntiah membuat batik berupa kaos sendiri hingga menghasilkan 5 potong.
Batik pertama buatan Suntiah itu kemudian ditawarkan ke pedagang kaki lima di lokasi wisata religi Komplek Makam Sunan Bonang. Alhasil batiknya dibeli seharga Rp 12.000 per potong. "Modal Rp 300.000 dapat Rp 60.000," ujarnya mengenang.
"Pokoknya saya punya prinsip itu, Kalau ingin berhasil jangan punya rasa malu. Jadi makanya saya nggak malu menawarkan batik saya ke sana kemari. Namun setelah itu pesanan dari pedagang di Sunan Bonang (komplek pemakaman) banyak berdatangan. Tapi saya kesulitan dapat bahan kaos," sambungnya.
Diketahui pada saat itu belum ada satupun produsen kaos di wilayah Tuban. Untuk mendapat kaos polos, pembatik Tuban harus pergi ke daerah Babat, Lamongan. Itupun hanya ada seorang penjahit kaos yang menjadi langganan banyak pengusaha konveksi, sehingga terkadang mengesampingkan calon pelanggan baru.
"Suami saya mengantre dari pagi sampai sore, tapi nggak dapat barang. Setelah itu saya dapat arisan, uangnya saya belikan mesin jahit di Surabaya. Sedikit demi sedikit pesanan bisa terpenuhi," katanya.
Perjalanan hidup Suntiah tak semulus itu. Beberapa kali usahanya nyaris mengalami gulung tikar. Tapi berkat upaya dan kerja kerasnya, Suntiah berhasil membenahi usahanya kembali. "Sempat akan gulung tikar tahun 2003," ujarnya.
Kini selain menjadi pembatik, Suntiah juga menggeluti usaha batik dengan mempekerjakan sekitar 200 orang karyawan. Usaha yang diberi nama Royyan Batik tersebut dipusatkan di Desa Sumurgung, Kabupaten Tuban.
"Tahun 2007 pernah dapat bantuan pinjaman modal dari Semen Gresik yang sekarang sudah berubah menjadi Semen Indonesia itu saya buat beli tambahan mesin jahit," terangnya.
Batik buatan Suntiah tak hanya dipasarkan di wilayah Tuban, batik dengan merek Royyan itu kini telah merambah pasar Jakarta, Bandung, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara omsetnya perbulan mencapai Rp 1 miliar lebih.
Suntiah ingin membangun generasi baru pembatik tulis khas Tuban. Ia sudah mulai mengumpulkan anak-anak untuk diajari membatik. Bahkan beberapa sekolah kerap mengirimkan siswanya untuk belajar membatik selama beberapa pekan.
"Ingin meregenerasi, tapi anak zaman sekarang sulit diajak," ucapnya.
Jakarta -'Kalau Ingin Berhasil Jangan Punya Rasa Malu' kalimat penyemangat itu menginspirasi Suntiah (39), pembatik asal Desa Tegalrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Terlahir dari keluarga sederhana, wanita berhijab ini mengawali karir dari berjualan kain batik keliling dari kampung ke kampung. Namun berkat kerja kerasnya, kini ibu 2 anak ini telah menjadi pembatik sekaligus pengusaha batik tulis di Tuban beromset miliaran rupiah.
"Omset saya tertinggi pada bulan Juli lalu Rp 1,009 miliar. Kalau keuntungan bersih Rp 137 juta. Semua selalu saya bukukan," ungkap Suntiah.
Suntiah mengaku dahulu sempat bekerja di pabrik di wilayah Sidoarjo. Namun setelah menikah, ia keluar dari pekerjaannya untuk menjadi ibu rumah tangga alias menganggur di rumah saja. "Setelah itu kami berdua posisinya sama-sama pengangguran tidak bekerja," katanya.
Sekitar tahun 1998, Suntiah dan suami diberikan oleh mertuanya dagangan berupa 1 kantong batik untuk dijual. Suntiah pun kemudian menjajakan kain batik tersebut keliling desa. Tak jarang wanita kelahiran 1 Juli 1974 itu juga merambah desa tetangga.
"Lumayan laris. Kemudian saya ngobrol dengan suami bagaimana kalau saya belajar membatik. Karena saat itu saya memang nggak bisa batik sama sekali," lanjutnya.
Selanjutnya awal tahun 2000-an, Suntiah belajar membatik pada seorang pembatik profesional. uang belajar yang harus dibayar kala itu sebesar Rp 300.000, jumlah yang sangat berlimpah bagi keluarganya.
"Sebenarnya saya sayang dengan uang segitu, karena kalau saya belikan kain batik bisa dapat banyak untuk dijual lagi keliling kampung," kenangnya menerawang jauh ke masa lalu.
Berkat kegigihannya untuk bisa membatik, hanya dalam waktu 1 minggu, Suntiah sudah mampu membuat pola dan memberi isen-isen (teknik membatik). Setelah itu Suntiah membuat batik berupa kaos sendiri hingga menghasilkan 5 potong.
Batik pertama buatan Suntiah itu kemudian ditawarkan ke pedagang kaki lima di lokasi wisata religi Komplek Makam Sunan Bonang. Alhasil batiknya dibeli seharga Rp 12.000 per potong. "Modal Rp 300.000 dapat Rp 60.000," ujarnya mengenang.
"Pokoknya saya punya prinsip itu, Kalau ingin berhasil jangan punya rasa malu. Jadi makanya saya nggak malu menawarkan batik saya ke sana kemari. Namun setelah itu pesanan dari pedagang di Sunan Bonang (komplek pemakaman) banyak berdatangan. Tapi saya kesulitan dapat bahan kaos," sambungnya.
Diketahui pada saat itu belum ada satupun produsen kaos di wilayah Tuban. Untuk mendapat kaos polos, pembatik Tuban harus pergi ke daerah Babat, Lamongan. Itupun hanya ada seorang penjahit kaos yang menjadi langganan banyak pengusaha konveksi, sehingga terkadang mengesampingkan calon pelanggan baru.
"Suami saya mengantre dari pagi sampai sore, tapi nggak dapat barang. Setelah itu saya dapat arisan, uangnya saya belikan mesin jahit di Surabaya. Sedikit demi sedikit pesanan bisa terpenuhi," katanya.
Perjalanan hidup Suntiah tak semulus itu. Beberapa kali usahanya nyaris mengalami gulung tikar. Tapi berkat upaya dan kerja kerasnya, Suntiah berhasil membenahi usahanya kembali. "Sempat akan gulung tikar tahun 2003," ujarnya.
Kini selain menjadi pembatik, Suntiah juga menggeluti usaha batik dengan mempekerjakan sekitar 200 orang karyawan. Usaha yang diberi nama Royyan Batik tersebut dipusatkan di Desa Sumurgung, Kabupaten Tuban.
"Tahun 2007 pernah dapat bantuan pinjaman modal dari Semen Gresik yang sekarang sudah berubah menjadi Semen Indonesia itu saya buat beli tambahan mesin jahit," terangnya.
Batik buatan Suntiah tak hanya dipasarkan di wilayah Tuban, batik dengan merek Royyan itu kini telah merambah pasar Jakarta, Bandung, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara omsetnya perbulan mencapai Rp 1 miliar lebih.
Suntiah ingin membangun generasi baru pembatik tulis khas Tuban. Ia sudah mulai mengumpulkan anak-anak untuk diajari membatik. Bahkan beberapa sekolah kerap mengirimkan siswanya untuk belajar membatik selama beberapa pekan.
"Ingin meregenerasi, tapi anak zaman sekarang sulit diajak," ucapnya.
0 komentar:
Post a Comment