Hantu Sejarah Bernama Fergie
"Inilah saatnya untuk bermain seperti Manchster United lagi," begitu kira-kira yang diucapkan Ryan Giggs soal rencananya memimpin United sampai akhir musim.
Dan untuk itu Giggs hanya perlu mengingat kembali tahun-tahun penuh kejayaan bersama diktator yang akan selamanya dia anggap sebagai "ayah" -- setiap diktator memang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai pengayom: Sir Alex Ferguson. Selanjutnya, Giggs tinggal memutar jarum jam dan mengembalikannya pada kalender tahun 1992.
Jumat (25/4), hari di mana manajer United menggelar konferensi pers untuk menghadapi laga di akhir pekan, Giggs sudah memulai aksinya memutar jarum jam: dia akan menggelar konferensi pers dengan cara seperti yang dilakukan oleh Fergie selama dua dekade yaitu mulai pada pukul 09.30 pagi, di tempat yang sama persis, di ruangan yang desainnya pun sama.
Saat David Moyes menjadi manajer, dia mengubah kebiasaan dan gaya konferensi pers ala Fergie. Moyes bahkan juga mengganti semua staf pelatih yang pernah bekerja untuk Fergie. Karena Moyes hanya memimpin United kurang dari setahun [itulah kenapa istilah "era" tidak tepat digunakan untuk kekuasaan/kepemimpinan Moyes di United], maka perubahan-perubahan drastis Moyes tak lebih hanyalah suatu interupsi.
Tak sekadar tetek-bengek konferensi pers [seorang perfeksionis dan control freak seperti Fergie pasti tak mau urusan konferensi pers disebut "tetek bengek"], Giggs bahkan melakukan aksi tambahan dengan mengajak Philip Neville, Nicky Butt, dan Paul Scholes sebagai kavaleri tambahan yang akan menemaninya duduk di bench. Ini jelas bukan gerak progresi, suatu langkah yang melesat ke lorong masa lalu, kembali ke kalender 1992, ketika Giggs menjadi yang senior dari suatu generasi yang masyhur dengan sebutan "class of 92".
Maka kita akan menyaksikan, dalam empat laga terakhir United di musim yang dijangkiti wabah sampar kejatuhan ini, suatu pertunjukkan nostalgia: parade masa lalu yang coba untuk berderap maju tapi langkahnya dilakukan dengan mundur.
Nostalgia, kata yang terdengar indah dan melankolik ini, berasal dari dua kata Yunani yaitu "nostos" (kembali ke rumah/asal) dan "algos" (kerinduan). Nostalgia, dengan demikian, kira-kira berarti "suatu kerinduan akan rumah, pada segala asal dan muasal, terhadap sangkan paraning dumadi".
Dan bagi Giggs, juga bagi Phil Neville-Butt-Scholes, "rumah asal" itu adalah Fergie. Tanpa Fergie, mereka tak akan pernah menjadi seperti sekarang. Fergie adalah awal mula kejadian. Bukan Manchester United yang menjadi nostalgia Giggs, tapi Fergie-lah yang menjadi nostalgia.
Ketika Giggs mengatakan dia akan membuat United bermain seperti gaya United yang sebenarnya, di situ Giggs sebenarnya sedang berbicara "gaya Fergie", bukan "gaya Matt Busby" atau "gaya Ernest Mangnall". Lagi-lagi bukan United yang pokok, tapi yang pokok adalah Fergie, sang-asal-muasal bagi Giggs.
Dengan cara berpikir ini, bagi Giggs agaknya sudah jelas: sejarah United bisa dipilah menjadi dua bagian besar yaitu "Before Fergie" dan "After Fergie" -- mirip seperti Eropa menyusun sejarah dunia menjadi "Sebelum (kelahiran) Masehi" dan "Sesudah (kelahiran) Masehi".
Untuk itulah, kepemimpinan (interim) Giggs ini mungkin tidak terlalu tepat disebut "kepemimpinan", melainkan lebih masuk akal disebut sebagai sebuah "pendekatan" - persisnya sebuah "pendekatan sejarah".
Ada tiga cara dalam mempraktekkan sejarah, setidaknya menurut Friedrich Nietzsche: (1) sejarah monumental (monumental history), (2) sejarah antikuarian (antiquarian history) dan (3) sejarah kritis (critical history). Dan seturut pembacaan saya terhadap esai Nietzsche yang berjudul "On the Use and Abuse of History for Life", Giggs rupanya sangat fasih mempraktekkan sejarah dengan pendekatan antikuarian.
Pendekatan antikuarian digunakan oleh mereka yang punya libido untuk menjunjung, memuja dan menghormati dengan sangat tinggi semua hal yang dianggap sebagai mata air identitas, asal usul diri dan kelompok, pohon silsilah yang menautkan segala yang-kini dengan yang-silam. Sejarah di sini melulu dipahami sebagai sumber yang tak terbantah, inspirasi yang harus terus dipraktekkan, juga doktrin yang tak boleh disanggah.
Lewat sejarah antikuarian semacam ini, orang menemukan kesinambungan (atau semacam "pohon" atau "sajara") antara hidupnya di masa sekarang dengan hidup para pendahulu mereka – para pendahulu yang mereka kagumi dan hormati – para pendahulu yang dianggap sebagai akar dan asal-usul hidup mereka.
Praktis sejarah antikuarian ini menempatkan Giggs sebagai guru sejarah yang berteriak lantang bahwa United tak bisa dan tak boleh memutuskan hubungan dengan sejarah United -- dan itu artinya sejarah Fergie. Kekinian United, bagi Giggs, adalah kesinambungan yang tak terputus dengan asal muasal. Jika United sedang jatuh, terpuruk, dan kehilangan elan vital, maka solusi Giggs adalah kembali pada asal usul itu, pada Fergie "Sang Nostos". Giggs mencoba memastikan bahwa United di bawah asuhannya adalah United yang menempatkan "hikmat kebijaksanaan Fergie" di altar yang suci.
Giggs sebagai manajer interim United adalah pengejawantahan dari apa yang dituliskan Nietzsche dalam salah satu pasasenya sebagai "seseorang yang dengan penuh iman dan cinta melihat kembali dari mana eksistensinya datang dan dengan itulah dia hendak terus berterimakasih untuk eksistensinya". Dan dengan itu pula Giggs menjadi seorang perawat sejarah.
Persoalannya kemudian: sebagai asal muasal, Fergie bukanlah potongan sejarah yang sempat hilang. Fergie tak pernah pergi sejak pensiun. Fergie masih ada di Old Trafford, rutin duduk di tribun kehormatan, dan (manalah kita tahu) juga di kamar ganti. Fergie adalah salah satu direktur sekaligus duta United. Fergie adalah masa-lalu sekaligus bukan-masa-lalu. Karena sebagai masa-lalu itu Fergie masih terus-menerus membayangi, maka Fergie adalah sejenis – dengan memplesetkan istilah Nietzsche yang lain—"hantu sejarah".
Moyes mengalami benar teror Fergie sebagai "masa-lalu sekaligus bukan-masa-lalu", Fergie sebagai "hantu sejarah" ini. Dia selalu dibandingkan dengan Fergie, selalu dibayang-bayangi oleh Fergie, selalu dihantu oleh Fergie. Moyes adalah bukti sedih dari keberadaan hantu-sejarah bernama Fergie.
Dan sebagai hantu sejarah di Old Trafford, Fergie adalah hantu yang kelewat mengerikan. Cobalah anda ucapkan hantu berulang-ulang tanpa jeda, nanti anda akan terkejut ketika "hantu-hantu-hantu-hantu-han-tuhan" bisa berakhir dengan lafal "tuhan".
"Inilah saatnya untuk bermain seperti Manchster United lagi," begitu kira-kira yang diucapkan Ryan Giggs soal rencananya memimpin United sampai akhir musim.
Dan untuk itu Giggs hanya perlu mengingat kembali tahun-tahun penuh kejayaan bersama diktator yang akan selamanya dia anggap sebagai "ayah" -- setiap diktator memang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai pengayom: Sir Alex Ferguson. Selanjutnya, Giggs tinggal memutar jarum jam dan mengembalikannya pada kalender tahun 1992.
Jumat (25/4), hari di mana manajer United menggelar konferensi pers untuk menghadapi laga di akhir pekan, Giggs sudah memulai aksinya memutar jarum jam: dia akan menggelar konferensi pers dengan cara seperti yang dilakukan oleh Fergie selama dua dekade yaitu mulai pada pukul 09.30 pagi, di tempat yang sama persis, di ruangan yang desainnya pun sama.
Saat David Moyes menjadi manajer, dia mengubah kebiasaan dan gaya konferensi pers ala Fergie. Moyes bahkan juga mengganti semua staf pelatih yang pernah bekerja untuk Fergie. Karena Moyes hanya memimpin United kurang dari setahun [itulah kenapa istilah "era" tidak tepat digunakan untuk kekuasaan/kepemimpinan Moyes di United], maka perubahan-perubahan drastis Moyes tak lebih hanyalah suatu interupsi.
Tak sekadar tetek-bengek konferensi pers [seorang perfeksionis dan control freak seperti Fergie pasti tak mau urusan konferensi pers disebut "tetek bengek"], Giggs bahkan melakukan aksi tambahan dengan mengajak Philip Neville, Nicky Butt, dan Paul Scholes sebagai kavaleri tambahan yang akan menemaninya duduk di bench. Ini jelas bukan gerak progresi, suatu langkah yang melesat ke lorong masa lalu, kembali ke kalender 1992, ketika Giggs menjadi yang senior dari suatu generasi yang masyhur dengan sebutan "class of 92".
Maka kita akan menyaksikan, dalam empat laga terakhir United di musim yang dijangkiti wabah sampar kejatuhan ini, suatu pertunjukkan nostalgia: parade masa lalu yang coba untuk berderap maju tapi langkahnya dilakukan dengan mundur.
Nostalgia, kata yang terdengar indah dan melankolik ini, berasal dari dua kata Yunani yaitu "nostos" (kembali ke rumah/asal) dan "algos" (kerinduan). Nostalgia, dengan demikian, kira-kira berarti "suatu kerinduan akan rumah, pada segala asal dan muasal, terhadap sangkan paraning dumadi".
Dan bagi Giggs, juga bagi Phil Neville-Butt-Scholes, "rumah asal" itu adalah Fergie. Tanpa Fergie, mereka tak akan pernah menjadi seperti sekarang. Fergie adalah awal mula kejadian. Bukan Manchester United yang menjadi nostalgia Giggs, tapi Fergie-lah yang menjadi nostalgia.
Ketika Giggs mengatakan dia akan membuat United bermain seperti gaya United yang sebenarnya, di situ Giggs sebenarnya sedang berbicara "gaya Fergie", bukan "gaya Matt Busby" atau "gaya Ernest Mangnall". Lagi-lagi bukan United yang pokok, tapi yang pokok adalah Fergie, sang-asal-muasal bagi Giggs.
Dengan cara berpikir ini, bagi Giggs agaknya sudah jelas: sejarah United bisa dipilah menjadi dua bagian besar yaitu "Before Fergie" dan "After Fergie" -- mirip seperti Eropa menyusun sejarah dunia menjadi "Sebelum (kelahiran) Masehi" dan "Sesudah (kelahiran) Masehi".
Untuk itulah, kepemimpinan (interim) Giggs ini mungkin tidak terlalu tepat disebut "kepemimpinan", melainkan lebih masuk akal disebut sebagai sebuah "pendekatan" - persisnya sebuah "pendekatan sejarah".
Ada tiga cara dalam mempraktekkan sejarah, setidaknya menurut Friedrich Nietzsche: (1) sejarah monumental (monumental history), (2) sejarah antikuarian (antiquarian history) dan (3) sejarah kritis (critical history). Dan seturut pembacaan saya terhadap esai Nietzsche yang berjudul "On the Use and Abuse of History for Life", Giggs rupanya sangat fasih mempraktekkan sejarah dengan pendekatan antikuarian.
Pendekatan antikuarian digunakan oleh mereka yang punya libido untuk menjunjung, memuja dan menghormati dengan sangat tinggi semua hal yang dianggap sebagai mata air identitas, asal usul diri dan kelompok, pohon silsilah yang menautkan segala yang-kini dengan yang-silam. Sejarah di sini melulu dipahami sebagai sumber yang tak terbantah, inspirasi yang harus terus dipraktekkan, juga doktrin yang tak boleh disanggah.
Lewat sejarah antikuarian semacam ini, orang menemukan kesinambungan (atau semacam "pohon" atau "sajara") antara hidupnya di masa sekarang dengan hidup para pendahulu mereka – para pendahulu yang mereka kagumi dan hormati – para pendahulu yang dianggap sebagai akar dan asal-usul hidup mereka.
Praktis sejarah antikuarian ini menempatkan Giggs sebagai guru sejarah yang berteriak lantang bahwa United tak bisa dan tak boleh memutuskan hubungan dengan sejarah United -- dan itu artinya sejarah Fergie. Kekinian United, bagi Giggs, adalah kesinambungan yang tak terputus dengan asal muasal. Jika United sedang jatuh, terpuruk, dan kehilangan elan vital, maka solusi Giggs adalah kembali pada asal usul itu, pada Fergie "Sang Nostos". Giggs mencoba memastikan bahwa United di bawah asuhannya adalah United yang menempatkan "hikmat kebijaksanaan Fergie" di altar yang suci.
Giggs sebagai manajer interim United adalah pengejawantahan dari apa yang dituliskan Nietzsche dalam salah satu pasasenya sebagai "seseorang yang dengan penuh iman dan cinta melihat kembali dari mana eksistensinya datang dan dengan itulah dia hendak terus berterimakasih untuk eksistensinya". Dan dengan itu pula Giggs menjadi seorang perawat sejarah.
Persoalannya kemudian: sebagai asal muasal, Fergie bukanlah potongan sejarah yang sempat hilang. Fergie tak pernah pergi sejak pensiun. Fergie masih ada di Old Trafford, rutin duduk di tribun kehormatan, dan (manalah kita tahu) juga di kamar ganti. Fergie adalah salah satu direktur sekaligus duta United. Fergie adalah masa-lalu sekaligus bukan-masa-lalu. Karena sebagai masa-lalu itu Fergie masih terus-menerus membayangi, maka Fergie adalah sejenis – dengan memplesetkan istilah Nietzsche yang lain—"hantu sejarah".
Moyes mengalami benar teror Fergie sebagai "masa-lalu sekaligus bukan-masa-lalu", Fergie sebagai "hantu sejarah" ini. Dia selalu dibandingkan dengan Fergie, selalu dibayang-bayangi oleh Fergie, selalu dihantu oleh Fergie. Moyes adalah bukti sedih dari keberadaan hantu-sejarah bernama Fergie.
Dan sebagai hantu sejarah di Old Trafford, Fergie adalah hantu yang kelewat mengerikan. Cobalah anda ucapkan hantu berulang-ulang tanpa jeda, nanti anda akan terkejut ketika "hantu-hantu-hantu-hantu-han-tuhan" bisa berakhir dengan lafal "tuhan".
0 komentar:
Post a Comment