Peranakan dan Totok
Baiklah saya ceritakan disini yang sebenarnya
diartikan sebagai Peranakan dan Totok untuk jelasnya.
Peranakan adalah suatu perkataan yang tidak jelas,
bisa peranakan Tionghoa, Belanda, Arab yang umumnya ada di Indonesia. Tetapi
karena jumlahnya Peranakan Tionghoa paling banyak dan media massa banyak
menulis tentang persoalan integrasi dan asimilasi, maka kalau kita mengatakan
sebutan Peranakan yang dimaksud adalah peranakan Tionghoa, Maka saya pakai
sebutan itu dengan arti yang terakhir ini.
Tionghoa Peranakan adalah Orang Tionghoa yang turun
menurun sudah tinggal di Indonesia, pendatang ke Nusantara yang terdahulu.
Diantara mereka ada banyak yang mempunyai darah Indonesia dari pihak ibu.
Karena waktu itu wanita dilarang ikut serta berimigrasi keluar negeri, lagipula
oleh kerajaan Tiongkok pada waktu itu melarang penduduknya berimigrasi keluar
negeri dan kalau tertangkap hukumannya berat. Sampai di Nanyang mereka
“menika”dengan wanita pribumi, dari suku Jawa, Bali atau Sunda dsb. Anak-anak
mereka berbicara bahasa ibunya dan putri-putrinya berpakean sarung kebaya.
Orientasinya adalah pada negara dimana mereka tinggal, dalam hal cerita saya
ini adalah Negara Indonesia.
Kemudian generasi mudanya tetap menikah dengan
sukunya yang dinamakan Hua Yi atau Hua Ren; keturunan Hua Yi ini jarang sekali
menikah dengan orang pribumi. Karena itu mereka mempertahankan identitasnya
yang telah tercampur dengan identitas negara atau daerah dimana mereka tinggal.
Ada pula yang menikah dengan kaum elite ( bangsawan – Priyayi ) Indonesia ,
keturunannya memakai nama Indonesia dan menjadi Pribumi. Yang terakhir ini dulu
sering bertemu di Prajekan dengan keluarganya yang tergolong Peranakan (daerah
Prajekan ingatan saya, kalau salah harap dimaafkan), kebanyakan orang-orang pribumi
ini tergolong Priyayi dan Huayinya tergolong kaum intelektual. Contoh yang lain
ialah Bapak mantan presiden Abdulrachman Wahid beliau mengatakan bahwa dirinya
adalah keturunan Hakka. Saya juga pernah bercakap-cakap dengan seorang guru
besar di Surabaya , seorang pribumi, beliau mengatakan pada saya:”pak Han saya
baru saja datang dari RRT, yah ini karena saya mau melihat roots ( akar ) saya.
Leluhur saya kan orang Tionghoa.” Saya mengangguk-angguk pertanda setuju pada
perkataan beliau itu. Pendatang-pendatang yang baru, menikah dengan
nyonya-nyonya keturunan Tionghoa yang sudah ada di Indonesia .
Di Indonesia juga di Malaysia dan Singapura,
orang-orang ini dipanggil Peranakan atau lebih khusus lagi yang laki dipanggil
Baba dan yang wanita dipanggil Nyonya. Saya membicarakan mereka yang tinggal di
Indonesia untuk memperkecil ruangan yang kita bicarakan. Mereka ini umumnya
tidak pandai lagi apa bahasa Tionghoa, dirumah mereka dengan keluarganya bicara
dalam bahasa lokal atau yang Tempo Doeloe dikatakan Bahasa Melajoe Tionghoa.
Mereka sudah mengambil banyak identitas Indonesia,
karenanya kebudayaannya sudah campuran . Nyonya doeloe pakai Sarong Kebaya.
Tetapi lain motifnya dengan sarung orang pribumi, sarung ini dinamakan Sarong
Nyonya dan terutama dibuat di Pekalongan. Karena keaktifan Nyonya dalam
masak-memasak maka banyak masakan yang disebut masakan Nyonya, seperti lontong
cap go meh, bak-cang, kwee-cang, lemper dsb.
Karena sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia ,
dan waktu itu komunikasi yang masih belum semaju sekarang, maka mereka pada
umumnya sudah tidak punya lagi keluarga di Tiongkok ( kehilangan akar/root nya
) dan orientasinya ialah Negara Indonesia, dimana mereka menetap. Dijaman
Doeloe mereka sekolah Belanda, karenanya bisa meneruskan pelajarannya ke
universitas dan banyak diantara mereka yang tergolong intelek seperti dokter,
insinyur, ekonom, pengacara, dan guru sekolah, sedikit yang berdagang
kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai di perusahaan internasional,
bank dan perusahaan orang Tionghoa lainnya.
Tionghoa Totok adalah mereka yang datang ke Indonesia
sesudah wanita juga diperbolehkan oleh kerajaan Ching untuk bepergian keluar
negeri dan para suami diijinkan untuk membawa istrinya. Dalam keluarga mereka
tetap bicara bahasa Tionghoa, dialek asal dimana mereka datang dari Tiongkok.
Anak-anak mereka tetap sekolah Tionghoa, karena lulusan sekolah Tionghoa tidak
diakui baik oleh pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia . Maka mereka
yang lulus pada jaman Tempo Doeloe dari sekolah menengah tidak bisa
meneruskan ke universitas dan untuk mempertahankan penghidupannya banyak dari
mereka berdagang. Sesudah berdirinya Res Publica di beberapa kota-kota besar
diantaranya Jakarta ( sekarang bernama Universitas Trisakti – Jakarta ) dan
Surabaya, mereka bisa meneruskan studinya di universitas Res Publica. Dalam
bidang perdagangan, karena mereka giat bekerja, bisa bekerja sama diantara
mereka dari satu provinsi dan sifat-sifat yang menghemat banyak diantaranya
sukses dalam bisnisnya.
Jelas mereka mempertahankan kebudayaan Tiongkok dan
orientasi mereka terutama pada Tiongkok. Mereka masih mempunyai keluarga dekat
di Tiongkok dan yang mempunyai uang sering berkunjung ke Tiongkok untuk
mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Anak-anak mereka pada jaman sesudah
berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, karena sokolahan mereka tidak diakui oleh
pemerintah, karena guru-gurunya tidak dianggap berkwalifikasi sebagai guru,
karena lulusan sekolah menengah mengajar disekolah menengah juga. Banyak
generasi mudanya, karena masih berorientasi kuat ke negara leluhur mereka ,
maka untuk meneruskan pelajarannya mereka Wei-guo (pulang ke negeri leluhur)
tidak ke Singapore atau Malaysia atau Taiwan, meskipun mereka harus
menanda-tangani perjanjian tidak boleh menetap kembali di Indonesia. Orang
Tionghoa Totok ini karena mempunyai sifat provinsialisme yang kuat maka mereka
menikah antar sukunya sendiri, yaitu orang Hok Jia menikah dengan orang Hok Jia
dan orang Hakka menikah dengan orang Hakka dsb.
Dalam sejarah Hua Yi pada jaman Hindia Belanda dan kemudian
pada Jaman Indonesia merdeka terjadilah kerja sama yang erat antara Golongan
Peranakan didikan Barat dan Golongan Totok dari berbagai provinsi dan kota .
Kita di Indonesia senantiasa mendengar bahwa Penguasa Belanda memberikan
privelege, fasilitas, keuntungan bagi orang Tionghoa, tetapi sejarah
memperlihatkan keadaan yang tidak demikian. Orang Tionghoa sangat dibatasi
kemungkinan dan ruang geraknya, ke-mobil-annya untuk usaha. Orang Tionghoa
seperti diatas telah saya bahas, tetapi baiklah saya ulangi lagi untuk
jelasnya. Setiap orang Tionghoa yang berpergian, meninggalkan Pecinan harus
meminta ijin dari penguasa Belanda, dimana ditulis pergi kemana, dan jam yang
ditentukan harus sudah pulang. Kalau mereka pergi tanpa surat ijin bisa ditahan
oleh polisi. Ini sangat menghalangi perdagangan orang Tionghoa. Dengan ijin
surat jalan dapat kita analisa bagaimana sukarnya bagi pedagang untuk
mempromosikan perdagangannya, mengerjakan marketingnya dan pengurusannya.
Contoh kedua dari diskriminasi penguasa Belanda terhadap orang Tionghoa ialah
dalam bidang pendidikan. Bagi orang Tionghoa yang kaya atau anak-anak dari
opsir-opsir Tionghoa, mayor, kapten, letnan (pengangkatan orang Tionghoa oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus masyarakat Tionghoa diberi gelar
militer tetapi bukan militer) sekolah disekolah-sekolah Barat swasta.
Pemerintah tidak memperdulikan pendidikan orang Tionghoa, padahal bagi
anak-anak pribumi diadakan sekolahan khusus pada tahun 1871.
Pemimpin-pemimpin Tionghoa Peranakan didikan Barat,
diantaranya ada seorang yang terkenal kaya raya dan bekerja untuk masyarakat
Phoa Keng Hek menunjukkan ketidak puasannya terhadap hukum yang diskriminatif
ini. Mereka membalas dengan mendirikan organisasi massa Tiong Hoa Hwee Kuan
pada tahun 1900, terkenal dengan singkatan THHK. Dalam pengurusan THHK terdapat
orang-orang Totok. Tujuan dari THHK ialah pendidikan, merubah
kebiasaan-kebiasaan hidup yang merugikan masyarakat Tionghoa dan keluarganya,
seperti menghisap candu, pergi ke tempat pelacuran, menghambur-hamburkan uang
pada waktu pesta perkawinan, kematian dsb. Mempropagandakan ajaran Guru Besar
Kong Fu Zi, dan mendirikan sekolahan-sekolahan yang modern untuk memenuhi
kebutuhan perdagangan bagi orang Tionghoa.
Pendirian THHK adalah satu reformasi yang besar, satu
impak bagi kedinamikan orang-orang Tionghoa dalam bidang sosial, budaya dan
perdagangan. Sekolahan-sekolahan itu berbahasa pengantar bahasa Mandarin,
mempromosikan budaya Tionghoa dan guru-gurunya adalah orang-orang Totok yang
didatangkan dari Tiongkok. Sekolahan ini berkembang dengan cepat dan tersebar
diseluruh Nusantara. Tiong Hoa Hwee Kuan dikunjungi oleh seorang reformasi
Tiongkok yang besar Kang Yu Wei, bahkan tulisan Tionghoa dari Tiong Hoa Hwee
Kuan ditulis dengan pensil oleh Kang sendiri. Karena suksesnya dalam bidang
pendidikan THHK kemudian menjadi lembaga pendidikan. Pemerintah kerajaan Qing
mengirimkan para pejabat-pejabat pemerintahnya ke Hindia Belanda untuk membantu
pendidikan Hua Yi, bahkan mereka memberi beasiswa untuk meneruskan
pendidikannya ke universitas di daratan Tiongkok. Karena ini orang Tionghoa mau
tidak mau berorientasi ke Tiongkok.Tidak seorangpun akan meragukan bahwa Tiong
Hoa Hwee Kuan yang pertama-tama didirikan oleh Peranakan Tionghoa berpendidikan
Barat hanya bisa sukses kalau mereka bekerja sama dengan golongan totok, baik
dalam pengurusan pendidikan maupun dalam bidang finansial.
Kalau kita lihat usaha kegiatan dari Tiong Hoa Hwee Kuan,
dapat disimpulkan bahwa Tiong Hoa Hwee Kuan adalah organisasi yang mendongkrak
pikiran yang kuno dan tidak cocok dengan keadaan pada jamannya, lalu membangun
pikiran-pikiran yang baru, guna kemajuan masyarakat Tionghoa, karenanya sejarah
menganggap THHK sebagai ormas yang pertama di Indonesia yang menganjurkan “
Nation dan Character Building”. Tetapi tidak disebut demikian sebelum Perang
Dunia II, karena pengertian tentang Ilmu Politik dan Tata Negara masih belum
sampai disitu. Tetapi pendirian THHK mendapatkan sambutan yang baik dari semua
golongan yang ada di Hindia Belanda dan mendirikan ormas-ormas yang serupa
dengan THHK. Salah satu pemuka-pemuka Tionghoa Peranakan pendidikan Barat yang
merupakan lokomotif dari pendirian THHK adalah ketuanya yang bernama Phoa Keng
Hek. Phoa akan diangkat oleh Gubernur Jendral Belanda untuk menjadi Kapitan
Tionghoa, tetapi beliau menolak fungsi yang tinggi itu, dengan alasan yang
halus. Phoa mengerti fungsi sebagai kapitan Tionghoa, beliau tidak dapat dengan
bebas mengabdi pada masyarakat Tionghoa. Nasionalisme Phoa yang terpengaruh
oleh perkembangan nasionalisme di Tiongkok diantaranya, Kang Yu-Wei, Liang
Chi-Chao dan Dr. Sun Yat-Sen, yang juga disebut oleh Bung Karno mempunyai
pengaruh terhadap pandangan politik beliau.
Pendirian THHK adalah “Gerakan yang mengkhawatirkan”
bagi penguasa Belanda, mereka takut kehilangan kontrol terhadap orang-orang
Tionghoa dan dengan merasa terpaksa pemerintah Hindia Belanda membuka
pendidikan khusus bagi orang Tionghoa yang terkenal dengan nama
Hollandsch-Chineesche School (HCS) pada tahun 1908. Lulus dari HCS dapat
meneruskan ke MULO dan lalu ke AMS untuk kemudian bisa meneruskan ke
universitas. Dan menurut hukum orang Peranakan dimasukkan dalam onderdaan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan adanya HCS yang bisa meneruskan sekolahannya
ke sekolah teknik menengah dan universitas, anak-anak dari peranakan kebanyakan
masuk ke HCS dan anak-anak Totok tetap sekolah di THHK atau sekolahan Tionghoa
lainnya yang baru mereka dirikan.
Contoh lain dari hasil yang baik dari kerjasama antar
dua golongan Hua Yi ini, dapat dilihat di Rumah sakit-rumah sakit yang
didirikan di kota-kota besar oleh para dokter peranakan Tionghoa seperti RS.
Tiong Hoa Ie Wan di Semarang dan Surabaya ( yang di Semarang sekarang bernama
RS. Telogo Rejo ), RS. Yang Seng Ie ( sekarang RS. Husada ) di Jakarta, Rs. Dr.
Oen di Solo dsb. bisa berkembang baik karena kerja sama antar dua golongan
masyarakat Peranakan dan Totok. Kerja sama ini tampak lebih jelas pada jaman
modern sekarang ini.
Seperti di Surabaya kegiatan dari almarhum bapak Yap
Eng Kie, seorang totok yang bekerja sosial untuk Tiong Hoa Ie Wan sampai akhir
hidupnya. Demikian pula dalam mendirikan sekolah-sekolah rendah, menengah dan
universitas di Indonesia melihatkan kerja sama yang unik antara golongan Totok
dan Peranakan. Tidak salah kalau kita gunakan bahasa sepak bola, bahwa
masyarakat Hua Yi di Indonesia merupakan sebuah team yang kuat dan indah dengan
kekayaan jiwa yang besar. Mereka bermain dengan indah seperti bintang-bintang
dilangit dan karena kwalitas yang tinggi mereka mendapatkan historical success.
Di Eropa civilisasi mereka ialah civilisasi
perjuangan, katakanlah orang Eropa mempunyai agama, tetapi agama ini memberi
kepuasan pada hatinya tetapi tidak pada otaknya. Dan filosofi mereka memberi
kepuasan kepalanya tetapi tidak hatinya. Sifat perjuangan ini dapat kita lihat
dalam banyak segmen-segmen penghidupan mereka, dari literatur, seni, politik
dsb. Juga filosofi mereka tidak menunjukkan kesatuan, ambil seumpamanya
Socrates adalah guru dari Plato, tetapi filosofi Plato bukan filosofi dengan
nama socratoisme. Demikian pula dengan Aristoteles yang belajar dan hidup
selama duapuluh tahun dengan Plato menamakan teorinya dengan namanya sendiri.
Karena adanya kontradiksi-kontradiksi ini maka mereka mendapatkan kemajuan
dalam bidang teknologi dan dalam banyak bidang keilmuan. Kemajuan dalam bidang
materi tetapi kurang dalam bidang jasmani, kebalikan dengan Tiongkok
ketenangan, kekayaan dalam jiwa, tetapi kurang dalam materi.
Dengan otak orang bisa merobah keadaan, kehidupan
untuk kemajuan dengan penemuan-penemuan teknologi. Bisa dikatakan bahwa orang
Tionghoa hidup sebagai anak kecil yang hidup dengan perasaan, tetapi jujur dan
tidak kompleks, sama dimulut sesuai dihati. Dapat saya katakan dengan singkat
bahwa Orang Tionghoa adalah seorang dewasa dengan hati anak. Seperti filsuf
kenamaan Meng Ke (Mencius) mengatakan, apakah yang kami ini kehilangan? Beliau
berkata: Orang itu pada siang hari mencari apa yang kehilangan, yang dia
cari-cari disiang hari ini ialah hati seorang anak! Kejujuran dan spontanitas
seorang anak.
Tetapi kalian akan setuju dengan saya bahwa identitas
suatu bangsa, suku selalu berubah dengan perubahan waktu. Sifat-sifat dan norma-norma
hidup yang kuno, sudah “tua” akan hilang dan akan datang manusia Tionghoa yang
baru yang sudah mengadaptasikan dengan keadaan dimana mereka tinggal atau
pernah tinggal dengan jangka waktu yang lama. Yang datang ialah manusia
Tionghoa yang modern dan progressif dengan orientasi diri ke jurusan Indonesia
dan menerima Indonesia sebagai negaranya. Saya beranggapan bahwa kontradiksi
antar kedua golongan ini dalam badan masyarakat Tionghoa janganlah lagi
disebut-sebut, atau disentil-sentil pada faktor-faktor yang sensitif yang bisa
menyebabkan perpecahan dalam dua kubu pro dan kontra, seperti yang sudah kita
alami. Kita harus mengerti bahwa kesuksesan dari persatuan ini tergantung
pada motivasi dari Hua Yi!
Saya pernah berdiskusi dengan teman-teman saya, dimana
saya katakan pada mereka bahwa perbedaan yang dulu-dulu adalah satu tahapan
yang sudah dilewati! Perbedaan selalu akan timbul dalam perjalanan kehidupan
manusia, dan kontradiksi yang timbul harus diselesaikan dalam suasana
kekeluargaan dan diusahakan jangan sampai menjadi rumit. Saya mempunyai
pendirian bahwa kwalitas dan hasil harus berjalan bersama, karenanya saya harap
mengingat hal praktis dan sosial semua “konflik”dalam tubuh masyarakat Tionghoa
secepatnya diselesaikan. Saya berpendapat bahwa satu kemiskinan kejiwaan kalau
persatuan ini tidak berjalan dengan langgeng. Sebetulnya masyarakat Tionghoa
adalah satu kesatuan yang pandai dan indah, mengapa tidak? Golongan yang dulu
disebut Peranakan mempunyai intelektualitas, profesional yang tinggi dan
golongan Totok mempunyai sifat busines kuat dan cara mengelolanya yang
simpatik, maka permainan dalam lapangan sosial, budaya, economis dan politik
perlu adanya pimpinan yang kharismatis dan pandai.
Analisa saya tersebut diatas tidak berdasarkan hanya
dari satu kejadian yang sukses bahkan sukses yang sangat spektakuler dari THHK,
tetapi kesuksesan pada banyak institusi-institusi dan ormas-ormas pada periode
yang tidak sama dalam sejarah Indonesia. Yang perlu saya katakana disini ialah
agar kerjasama itu perlu dilanggengkan dan dengan pengertian bahwa karena
masing-masing golongan mempunyai kelebihan-kelebihan, persatuan mereka telah
membuahkan kesuksesan yang besar dalam bidang sosial, budaya, kesehatan dan
ekonomi bangsa dan negara Indonesia. Negara dimana mereka dilahirkan dan
merasakan kecintaan dan kesenangan untuk menetap, sebagai home sweet home
mereka. Kami lihat bahwa universitas-universitas swasta dan rumah
sakit-rumah sakit yang didirikan oleh masyarakat Tionghoa tetap berdiri dan berkembang
baik dalam kwantitas maupun dalam kwalitas.
Dengan demikian dalam tubuh masyarakat Tionghoa tidak
ada lagi pembagian antara Peranakan dan Totok yang ada ialah peranakanisasi
dari orang-orang Tionghoa Totok. Perubahan yang prodresif ini sangat diperlukan
tidak saja bagi WNI keturunan juga pada mayoritas, pemerintah dan media cetak
pada umumnya. Perubahan yang tidak boleh ditunda bahkan sekarang juga harus ada
perubahan yang saya maksudkan diatas.
Pada jaman Orde Baru semua sekolahan Tionghoa ditutup,
dan orang Tionghoa "diharuskan" untuk mengganti namanya dengan nama
Indonesia, dilarang mempertunjukan kebudayaan Tionghoa keluar, diluar rumah
mereka dipaksa harus berbicara bahasa Indonesia. Paman dari istri saya, seorang
Totok Hokjia bahasa Indonesianya lancar, juga teman teman saya (golongan
seniornya) yang dulu hampir tidak kenal bahasa Indonesia, umumnya mereka bicara
dalam bahasa “jawa ngoko” / jawa kasaran, sekarang lancar bicara bahasa
Indonesia. Saya harus mengakui kekalahan saya dalam hal berbahasa Indonesia
dari mereka. Generasi mudanya bersekolah di sekolah Indonesia , yang didirikan
oleh golongan Peranakan. Dengan demikian mereka kenal sejarah dan kebudayaan
Indonesia lebih baik dari ayah dan ibunya.
Tidak berkelebihan kalau saya katakan sesudah saya
setiap tahun berkunjung ke Indonesia , terutama sesudah periode Gus Dur,
terjadilah proses integrasi yang berjalan lancar. Bahkan dapat dikatakan bahwa
situasi orang Tionghoa dalam hal sosial budayanya jauh lebih baik dari
sebelumnya. Dalam pertanyaan saya pada generasi muda anaknya totok, banyak dari
mereka yang tidak tahu lagi asal provinsi mereka di Tiongkok daratan. Diantara
mereka ini sekarang banyak yang sekolah ke universitas dalam dan luar negeri.
Banyak diantara mereka sesudah lulus tidak menerjunkan dirinya dalam usaha
ayahnya tetapi bekerja di perusahan internasional asing dan bank-bank. Ada
seorang pemuda lulusan USA yang berkata: “saya sekolah fakultas perekonomian,
masa saya harus meneruskan perusahaan ayah saya jualan minyak di Semarang. Kan
lebih baik sejak dulu saja saya kerjakan dan tidak usah ke USA untuk
mendapatkan gelar ekonom. Mungkin saya sekarang sudah punya uang simpanan
.” Banyak generasi mudah lulusan universitas yang tidak mau kembali
meneruskan pekerjaan ayahnya apalagi kalau didesa atau kota kecil, mereka lebih
baik bekerja di Bank atau perusahan Multi Nasional di Jakarta atau Surabaya dan
tidak sedikit jumlahnya yang menetap di Negara-negara Barat dan di
Negara-negara maju lainnya. Terjadilah proses yang dinamakan Peranakanisasi
dari generasi muda totok.
Bagaimanapun saya percaya pada hari depan Huayi,
orang- orang Tionghoa dari segala golongan dan suku bisa tetap bersatu tiada
perbedaan antara suku, Peranakan dan Totok, dengan persatuan ini mereka bisa
meningkat dalam tangga masyarakat, baik dalam tingkat intelek, ekonomi dan
budaya. Seperti keadaan pada jaman Orde Lama, kalian bisa membanggakan
kebudayaan dan ekonomi, yang berguna bagi bangsa dan negara Indonesia , karena
kalian masing-masing memepunyai kemampuan. Reformasi yang dimulai oleh
mantan presiden Abdulrachman Wahid dan pemerintahan selanjutnya dapat membantu
dalam perkembangan yang saya maksud diatas. Dengan perkataan singkat bisa
saya jelaskan disini bahwa kerja sama, saling respek dan toleransi adalah satu
kebenaran dimana kita bersama berusaha mengerjakan setiap hari.
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan saya ini, yang dapat
dipertanyakan adalah apakah problem dalam masyarakat Tionghoa adalah problem
orang Tionghoa ataukah problem bangsa dan negara Indonesia ? Jelas ini adalah
problem bangsa dan negara Indonesia . Indonesia pada jaman reformasi ini akan
menuju ke negara yang demokratis, stabil dan makmur. Dan ini hanya bisa
terlaksana kalau semua rakyat, termasuk suku Tionghoa ikut dengan aktif dan
banyak kreatifitas bekerja sama dengan segala suku yang ada di Indonesia .
Hanya dengan kreatifitas dan efisiensi, ekonomi bisa berjalan dengan dinamis.
Kemajuan materiil dari ekonomi ada hubungan erat dengan kepandaian manusia,
karena itu Indonesia diharapkan berani memakai orang yang pandai tanpa pandang
rasnya.
Dr. Han Hwie-Song
Breda 9 Juni 2008 Nederland
======
Admin Note : Dr. Han adalah kelahiran Surabaya sampai
akhirnya beliau pindah ke Hong Kong dan akhirnya menetap di Nederland disana
karena pengabdiannya beliau di hadiahi Bintang Penghargaan oleh Ratu Belanda
tetapi Semangat dan Pikiran beliau masihlah tertuju pada Indonesia sehingga
beliau masih banyak menulis artikel ttg Indonesia.Ini semua bisa dibaca dalam
Memoar DR. Han Hwie Song ( seperti pada foto ini ) .Kami secara pribadi
mengenal beliau , sampai pada akhirnya beliau direnggut hidupnya oleh Tumor
Otak tetapi penyakitnya seperti tidak dirasakan dan beliau tetaplah menulis
artikel utk dikirimkan ke berbagai media di seluruh dunia dan beliau berhasil
menyelesaikan Buku Memoarnya .Kami Salut atas dedikasi , ketabahan dan
kesabaran beliau .
0 komentar:
Post a Comment