728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Tionghoa Miskin Makan Tanah

    Siapa yang paling kaya di kota Anda? Siapa yang punya mal, plaza, hotel berbintang, real estat, mobil miliaran rupiah?

    Jawabannya hampir pasti: orang Tionghoa. Mereka memang berhak kaya-raya karena punya ETOS kerja keras, ulet, pantang menyerah, pandai membaca peluang. Kerja pakai otak, bukan hanya pakai otot dan dengkul. Bikin jaringan ke mana-mana. Wawasan luas.

    Bangsa yang hanya mengandalkan hidup sebagai petani, tukang kebun, pegawai negeri, guru, buruh, tentara, karyawan... tak akan pernah kaya. Kecuali, barangkali jadi anggota DPR di Indonesia, yang doyan korupsi dan nyolong uang rakyat.

    "Kalau mau kaya, kalian harus jadi pengusaha. Buka usaha sendiri. Kalau kalian kerja ikut orang, sampai mati pun ekonomi kalian tidak akan mapan," demikian wejangan seorang pengusaha Tionghoa kaya kepada anak-anak penerima beasiswa di Koowlon Surabaya belum lama ini.

    Hehehe.... Baba Tionghoa ini lagi nyindir ya? Celetukane sampeyan kok iso titis banget sih!

    Saya kira bapak pengusaha ini benar. Karena menjadi pengusaha selama lima sampai tujuh generasi, orang Tionghoa di Surabaya pun kaya-raya. Hampir semua pusat perbelanjaan mewah, hotel mewah, restoran kelas atas, real estat mewah... milik Tionghoa. Saking kayanya, banyak orang yang bingung mau diapakan uangnya.

    Sebaliknya, para buruh di Surabaya dan Sidoarjo masih terus unjuk rasa agar bayarannya dinaikkan menjadi minimal Rp 1 juta per bulan. "Orang kaya itu sekali makan bisa habis Rp 5 juta lho. Sampean paling sekali makan Rp 5.000," begitu gurauan populer di kampung pinggiran Surabaya.

    Tapi benarkah semua orang Tionghoa di Surabaya/Sidoarjo kaya-raya?

    Hmmm.... nanti dulu.

    "Siapa bilang orang Cina itu semuanya kaya? Banyak banget wong Cino sing miskine gak karua-karuan. Aku sampek gak mentolo," ujar Mbak Siti.

    Tiap minggu Mbak Siti membagi-bagikan sedekah kepada ratusan kaum miskin di Surabaya. Dan sebagian di antaranya TIONGHOA.

    "Wong Cino iku kalau sudah miskin, miskinnya luarrrr biasa. Lebih parah ketimbang orang kita yang miskin," kata Mbak Siti. Orang KITA itu maksudnya Jawa, Madura, Sunda, Batak, Flores... atau istilah Orde Barunya: PRIBUMI.

    Andrea Hirata dalam novel MARYAMAH KARPOV melukiskan kehidupan orang-orang Khek, Hokian, dan Tongsan (alias Tionghoa) di Pulau Belitong. Saya kutip tulisan Andrea di halaman 131 novel keempat tetralogi LASKAR PELANGI tersebut:

    "Orang-orang Khek, Hokian, atau Tongsan di kampung kami adalah suku yang serius.... Orang-orang itu selalu berada di kutub-kutub EKSTREM. Jika kaya, kayanya tiada banding. Jika miskin, ibaratnya sampai makan tanah.

    "Jika berwajah jelek, mohon maaf, wajahnya rata. Namun, jika cantik--A Ling contohnya--tatapannya mampu mencairkan tembaga.

    "Begitu pula jika baik, demawan lebih dari siapa pun: memberi pada siapa saja tak pandang bulu, mulia sekali bak santa-santa. Di kampung kami beberapa konfusius Tionghoa tak sungkan menyumbang pada orang Melayu untuk membangun masjid.

    "Bahkan, ada yang membangun sendiri masjid itu. Namun, jika sudah jahat, tak sekadar menggarong, tapi merekalah gembongnya."

    MAKAN TANAH.

    Deskripsi Andrea Hirata memang selalu hiperbolis, tapi kalau mau jujur, begitulah kondisi orang-orang Tionghoa. Tidak hanya di Belitong, tapi juga di Jawa Timur. Ada kutub-kutub ekstrem yang luar biasa. Kalau tidak kaya sekali, ya, miskin sampai harus MAKAN TANAH.

    Saya beberapa kali mengikuti acara pembagian sedekah mingguan di Jalan Pahlawan Surabaya. Amboi, kondisi Tionghoa-Tionghoa miskin ini memang jauh lebih mengenaskan. Wajahnya lesu.

    Mata sayu. Sulit bicara. Frustrasi. Bahkan, ada yang ingin mati saja karena merasa sudah tak ada gunanya lagi hidup di dunia.

    "Lho, Sampean kan Tionghoa kok ikut-ikutan ngemis?" pancing saya.

    "Aku ini gak punya apa-apa. Kalau punya ya aku gak akan ngemis. Wong ngemis itu malu lho. Tapi kalau gak ngemis, mau makan apa? Mangan watu ta?" balas perempuan 50-an tahun yang mengaku bernama Xiao.

    Ibu ini punya satu anak remaja, tinggal di kawasan Jalan Kenjeran. Suaminya minggat, kawin dengan perempuan lain. Tak ada nafkah lahir batin untuk Ibu Xiao. "Rumah saya mau ambruk. Aku gak punya apa-apa untuk benerin. Itu pun bukan rumah saya, tapi milik orang. Sewaktu-waktu saya bisa diusir," keluh ibu ini, masih berusaha tersenyum.

    Ibu Xiao masih lumayan, mau bicara meskipun sangat emosional. Macam orang marah. Tionghoa-Tionghoa miskin yang lain kontan naik darah ketika saya ajak wawancara.

    "Wis, gak usah wawancara-wawancara. Saiki aku perlu uang, perlu makan. Wawancara iku gak ono gunane. Aku gak butuh difoto, gak butuh masuk koran. Wartawan iku gak ono gunane!" ujar seorang bapak 70-an tahun, Tionghoa kurus kering.

    Nah, menjelang tahun baru Imlek 2560 ini sejumlah pengusaha memberikan bingkisan untuk 247 anak-anak Tionghoa miskin. Panitia Imlek di ITC Mega Grosir mengadakan survei di kampung-kampung Tionghoa untuk menemukan orang-orang Hokian, Khek, Tongsan, dan entah apa lagi yang masuk GAKIN, keluarga miskin.

    Dari sini banyak orang Tionghoa, yang tidak miskin, terkaget-kaget, melihat kenyataan di lapangan. Ternyata, keluarga Tionghoa miskin di Surabaya tidak sedikit. Ada keluarga yang tinggal di satu kamar petak sangat sempit. Ayah, ibu, anak... sesak-sesakkan di kamar itu. Fasilitas air minum, listrik... seadanya.

    Ada lagi yang puasa tiap hari karena tak punya uang untuk membeli makanan. "Imlek tahun ini makin membuka mata kami bahwa saudara-saudara kami, sesama Tionghoa, yang miskin itu masih banyak," kata seorang pengusaha Tionghoa kaya.

    Baru tahu ya?
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Tionghoa Miskin Makan Tanah Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top