Terinspirasi dari budaya elok kuliner Minangkabau yang tidak hanya terbatas pada rendang dan nasi kapau, saya, beberapa rekan chef, serta pecinta makanan sepakat untuk melakukan sebuah kolaborasi untuk menggali lebih dalam nilai-nilai citarasa khas Sumatra Barat di awal tahun 2013. Perjalanan kali ini dimulai lewat sebuah ekspedisi citarasa menuju daerah pedalaman Sumatra Barat di kabupaten Solok, kabupaten Tanah Datar, kecamatan Situjuah, kecamatan Batipuh, dan banyak daerah lainnya. Alih-alih sekedar berwisata kuliner mencicipi hidangan khas Sumatra barat di warung makan, restoran, dan pasar-pasar terkenal, kami sepakat mengunjungi sentra-sentra agrikultur, menyapa para petani dan pengrajin makanan istimewa, dan mempelajari teknik-teknik budidaya serta pengolahan tradisional langsung dari sumbernya.
Perjalanan ini ternyata berhasil menjawab sejumlah keraguan, mematahkan banyak cibiran, dan mengukuhkan kejayaan budaya kuliner artisanal Minangkabau. Bahwa sesungguhnya citarasa asli kuliner Minangkabau bukan hanya terletak pada teknik memasak yang istimewa, namun juga tergantung pada bahan-bahan pangan berkualitas yang dihasilkan secara berkelanjutan dan alamiah.
Manisnya Gula Merah Indonesia
Dan kalibrasi paradigma terbuka ketika kami berkenalan dengan banyak agen gula merah di Pasar Bukit Tinggi. Satu deret penuh dengan spektrum warna coklat, deretan blok gula, junjungan batok, dan tentu saja cerita manis mengalir kayaknya sadapan aren yang segar.
Gula merah ternyata memiliki indeks glikemik rendah sehingga aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes. Banyak pecinta rasa manis juga mengetahui klasifikasi gula merah Indonesia yang terbuat dari keluarga palem, mulai dari kelapa, aren, lontar, nipah, dan yang terakhir terbuat banyak terbuat dari tebu (di luar keluarga palem). Setiap varian palem dari daerah yang berbeda menghasilkan citarasa yang berbeda, layaknya anggur merah dan keju dari benua Eropa. Mengapa demikian?
Sebuah konsep keberlanjutan berawal mula dari cara penanaman varian palem di Indonesia, bahwa pohon-pohon ini banyak ditemukan di daerah pesisir maupun pedalaman sejak ratusan tahun yang lalu, tanpa peran serta pupuk kimia, pestisida, maupun bibit rekayasa genetika. Alamiah dan berkelanjutan, sebuah konsep yang seksi bukan?
Lebih seksi lagi untuk diketahui bahwa proses pengolahan gula merah Indonesia tidaklah akan pernah distandarisasi dalam skala industri, semua tahapan masih melibatkan seni kerajinan manual padat karya tanpa peran serta mesin bermodal besar, gaya inilah yang sering diterjemahkan menjadi budaya artisanal. Para pengrajin gula merah mewarisi pengetahuan berbasis kearifan lokal dalam memperlakukan pohon-pohon tersebut dengan penuh kasih sayang, menyadap getah, menyaringnya, memanaskan cairan kental, mencetak gula, mengemas, dan mengantarnya kepada agen penjual terpercaya. Agen penjual inilah yang akan menjadi pakar gula merah, mereka mampu menilai gula mana yang berkualitas tinggi dan mana yang berkualitas rendah berdasarkan kandungan bahan dasar, kekayaan citarasa yang terkandung, berapa lama proses, dan kepadatan serta tekstur gula tersebut.
Di Pasar Bawah Bukit Tinggi, saya menemukan agen penjual gula merah artisanal Sumatra Barat yang dengan sangat bangga menjabarkan karakter gula aren terbaik dari Situjuah, Payakumbuh karena teksturnya yang lembut dan mudah lumer terkena suhu badan, serta citarasa yang kaya dengan sentuhan alami kekayuan dan manisnya tanah. Sementara gula merah berkualitas rendah dengan nuansa warna coklat yang berbeda biasanya merupakan campuran dari gula kelapa dan gula tebu yang memiliki tekstur keras dan lebih cendrung datar dalam rasa manis, seringkali gula merah ini tinggi sekali kandungan sulfitnya. Gula kelapa dari Pulau Jawa memiliki karakter yang berbeda, biasanya lebih pekat dan ada rasa gurih asin serta asam, karena tingginya kandungan protein. Gula nipah dari Pulau Halmahera, Maluku memiliki kepekatan tinggi dengan citarasa karamel coklat yang membumi. Memang benar, setiap gula merah Indonesia memiliki cerita..Bukan hanya cerita mengenai keberlanjutan, tapi juga mengenai sebuah cerita mengenai penciptaan masa depan baru akan potensi produk pangan artisanal Indonesia yang kaya rasa.
Sapi Lokal khas Sumatra Barat
Beranjak dari gula, saya mencicipi gurihnya diet Minangkabau yang tinggi akan protein hewani lewat hidangan dendeng tiga rupa yang dibakar, digoreng kering, dan dikukus dengan varian bumbu sambal yang nendang pedasnya. Yang unik adalah penggunaan bahan baku langka : pado dari Bukit Tinggi, berupa fermentasi daging buah kluwak (Pangium edule), parutan kelapa, dan bagian-bagian ikan air tawar yang terbentuk selama 14 hari. Pado sudah sangat amat jarang ditemukan, bahkan banyak warga lokal kehilangan cerita mengenai cara mengolah ini.
Isu daging sapi impor yang sempat muncul dalam perdebatan nasional sempat kami bahas dengan pakar peternakan setempat. Ternyata bibit unggulan sapi lokal Indonesia, salah satunya adalah sapi Sumatera, berasal dari persilangan sapi-sapi turunan Zebu dari India (Bos indicus) dengan sapi lokal, yang bernama sapi Pesisir. Sapi Pesisir ini sudah dianggap sapi lokal karena sudah sangat beradaptasi dengan kondisi daerah pesisir Sumatera, bahkan sampai ke Bengkulu dan Lampung. Sapi Pesisir disebut ‘sapi Ratuih” karena dulunya jumlahnya banyak (ratusan ekor) karena cepat berkembang biak. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2005-2006 oleh Balai Peternakan Payakumbuh menunjukkan bahwa tingkat reproduksi sapi Pesisir milik seorang petani di Nagari Surantiah, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan mencapai 75%. Berarti dari 100 ekor induk, setiap tahunnya 75 ekor melahirkan anak dengan pemeliharaan yang masih tradisional tanpa suntikan hormon dan antibiotik berbahaya. Luar biasa, bukan? Namun mengapa Sumatra Barat yang dulu terkenal sebagai sentra peternakan perlahan-lahan pudar reputasinya dan daging sapi serta benih sapi impor meraja disana?
Ternyata posisi pekerjaan seorang peternak sapi haruslah ditata ulang bila keterbatasan lahan hijau dan area rerumputan menjadi kendala, seperti sekarang yang terjadi di Sumatra Barat. Karena kualitas citarasa daging sapi memang sangat tergantung pada perpaduan pakan ternak alami, berupa aneka jenis rerumputan sebesar 70% dan aneka jenis biji-bijian sebesar 30%, seperti biji turi, jamal, dan lamtoro, maka posisi pekerjaan seorang petani rumput dan biji-bijian yang dibudidayakan secara alami haruslah dikedepankan, seorang petani rumput dan biji-bijian yang handal, sudah pasti dapat memetik hasil dari ternakan sapi yang ia miliki. Maka jangan heran, bila peternakan sapi artisanal di benua Amerika dan Eropa, yang mengedepankan slogan grass fed beef, menawarkan daging sapi yang jauh lebih mahal karena memang lebih rendah kolestrol dan teksturnya yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan industrialized grain fed beef. Dan memberi makan sapi dengan diet berimbang antara rerumputan dan biji-bijian sudah pasti menerapkan konsep kesejahteraan hewan, karena pada dasarnya sistem pencernaan sapi didesain untuk memamah biak, dan yang pasti citarasa daging yang dihasilkan lebih gurih dan manis, seperti banyak diklaim oleh juru-juru masak piawai di Sumatra Barat yang sempat saya temui. Kejayaan peternakan sapi lokal Sumatra Barat dapat dibangkitkan kembali karena memang nilai-nilai keberlanjutan dan alamiah yang sudah dimiliki terbukti dapat membimbing ke nilai citarasa tinggi.
Industri penggemukan sapi di Indonesia juga marak ditemukan (di Sumatra Barat program ini mulai diperkenalkan), dengan mengimpor jenis sapi Limousine, Simmental, bahkan Jersey, sapi-sapi betina itu dibiakkan di Indonesia lewat IB (Inseminasi Buatan) demi menekan bea impor dan tentunya ongkos produksi.
Tapi selintiran kabar saya dengar dari temen-teman peternak sapi saya, bahwa sapi-sapi tersebut hanya berat di bobot tapi rendah di produktifitas. Bahkan ada jenis-jenis sapi tertentu yang sudah pasti rusak rahimnya ketika baru melahirkan anak pertama, membuat banyak peternak rugi.
Jamak masalahnya bila petani banyak dibuat tergantung oleh perusahaan bibit transgenik dan hibrida dengan harus membeli bibit baru setiap mau semai/tanam baru karena tumbuhan yang habis panen sudah dibuat mandul (belum lagi bibit itu sudah dipasangkan genetikanya dengan pupuk kimia dan pestisida untuk satu masa tanam). Ternyata bukan hanya jagung atau gandum yang transgenik, sapi juga bisa!
Sumatra Barat Punya Keju Parmesan
Salah satu contoh nyata dari citarasa berkualitas yang didapat dari penerapan konsep kesejahteraan hewan, keberlanjutan, dan alamiah, saya temui di nagari Gaduik dekat Payakumbuh. Saya berkenalan dengan seekor kerbau lumpur lokal yang diternakkan dengan penuh kasih sayang oleh warga disana. Kerbau betina ini hidup sangat bahagia di tengah hamparan lembah berumput hijau yang menjadi kandang sehari-harinya sekaligus tempat ia menyantap segarnya aneka rumput alami di sekitarnya.
Bayangkan betapa sengsaranya hidup seekor hewan ternak di kandang sempit industri ternak, namun hal itu tidak terjadi pada kerbau betina di Gaduik. Ia hidup bahagia dan dengan sukarela memberikan susu segarnya sebanyak 2.5 – 3 liter/hari yang kemudian akan diolah menjadi dadiah, susu kerbau fermentasi dalam batang bambu, yang kerap dijadikan penganan warga Sumatra Barat, baik dalam campuran bumbu masakan rendang atau sebagai hidangan penutup. Saya memiliki kesempatan untuk mencicipi susu kerbau segar yang rasanya luar biasa manis, bukan karena gula, tapi karena laktosa (gula susu) dengan tekstur yang ringan dan tidak berlemak seperti layaknya susu sapi olahan. Tidak ada bau-bauan menganggu, seperti dugaan yang saya temukan pada susu kambing atau susu domba. Aroma bunga dan rumput segar samar-samar tercium di ujung penciuman saya. Dadiah akan siap dimakan setelah mengalami proses fermentasi alami selama 1 – 2 hari, dengan tekstur yang sedikit padat dan asam, cocok dimakan dengan lelehan gula aren spesial khas Sumatra Barat.
Rekan perjalanan saya berhasil mengeringkan dadiah ini setelah ia simpan 3 bulan dalam bulu bambu di suhu kulkas, sehingga memiliki tekstur dan citarasa alami mirip dengan keju parmesan Italia! Rancak...
Beras Tradisional Sumatra Barat
Saya sempat menambah teman baru, dua orang petani dari pedalaman Sumatra Barat yang produk-produknya berhasil digunakan dalam menu. Salah satu petani tersebut adalah Pak Hesri Yeldi, petani beras tradisional organik dari Sariak Alahan Tigo, Solok, Sumatra Barat. Usianya masih cukup muda, sekitar 28 tahun, namun semangatnya dalam mempertahankan varietas beras tradisional Sumatra Barat seperti Anak Daro, Cisokan, Ciserek, dan masih banyak lagi, perlu diacungi jempol. Karakter beras Sumatra Barat ini memanglah berbeda bila dibandingkan dengan beras di Jawa, yang cendrung pulen dan sedikit lengket. Berderai namun pulen, itulah karakter beras Anak Daro. Pak Hesri Yeldi bertutur kata dengan bangga pada kami mengenai segala jerih payahnya menanam beras unggulan ini dan tentu saja, kami dibuat kagum oleh kualitas beras yang disajikan.
Sawo Kualitas Terbaik ada di Sumpu
Bukan tanpa alasan saya ngotot berkunjung ke desa ini, hanya demi sebuah sawo. Sawo Sumpu pantas diberikan predikat sawo unggulan Sumatra Barat karena teksturnya yang lembut seperti sutra, dan kulitnya yang tipis sehingga bisa langsung dikunyah tanpa menimbulkan citarasa getir di lidah. Pak Agus, salah satu petani sawo asal Sumpu, bertutur bahwa pohon-pohon sawo di daerah Sumpu sudah tumbuh turun temurun secara alami tanpa bantuan pupuk kimia apalagi pestisida. Bibit sawo yang sama ditanam di penjuru Sumatra Barat, tapi hanya di daerah Sumpu citarasa madu karamel yang membumi dan juga tesktur daging selembut sutra dihasilkan.Sawo Sumpu bisa dimakan berikut dengan kulitnya, membuat kami terpana.
Tertegun dengan buaian manis sawo Sumpu, kami bertanya-tanya mengapa kami tidak menemukan buah ini di Jakarta walaupun Pak Agus bersikukuh bahwa truk-truk pengepul mengantar sawo ini sampai ke Kramat Jati.
Ternyata, dari hasil obrolan kami dengan polisi lokal dan pak lurah (kedatangan tiba-tiba kami disambut oleh mereka, katanya baru sekali ini desa mereka dikunjungi tamu dari Jakarta hanya demi sawo), mereka berkata bahwa sawo-sawo itu kerap habis di perjalanan, selepas Bengkulu menuju Lampung, dibeli oleh warga lokal disana. Ohhh, pantas kalau begitu...
Perjalanan singkat kami ke Sumatra Barat membuahkan pemikiran-pemikiran baru, tentunya ditinjau dari aspek ekologi, keberlanjutan, keanekaragaman hayati. Semua aspek itu bermuara pada satu endapan, yakni citarasa.
Tidak bisa dibohongi bila daerah memberikan kontribusi pada rasa yang spesifik, dan rasa alami pada bahan baku itulah yang memberikan kontribusi pada sebuah budaya makanan, di luar teknik memasak, pengaruh luar, dan adat istiadat.
Sangat tidak berlebihan bila budaya makanan Minang mendapat hati tersendiri di bangsa ini, karena memang terlihat sekali, bahkan di desa terpencil sekalipun, pasar tradisional mereka masih menyimpan aneka ragam produk hutan yang unik, hasil kebun, dan ternak yang melimpah.
Perjalanan ini ternyata berhasil menjawab sejumlah keraguan, mematahkan banyak cibiran, dan mengukuhkan kejayaan budaya kuliner artisanal Minangkabau. Bahwa sesungguhnya citarasa asli kuliner Minangkabau bukan hanya terletak pada teknik memasak yang istimewa, namun juga tergantung pada bahan-bahan pangan berkualitas yang dihasilkan secara berkelanjutan dan alamiah.
Manisnya Gula Merah Indonesia
Dan kalibrasi paradigma terbuka ketika kami berkenalan dengan banyak agen gula merah di Pasar Bukit Tinggi. Satu deret penuh dengan spektrum warna coklat, deretan blok gula, junjungan batok, dan tentu saja cerita manis mengalir kayaknya sadapan aren yang segar.
Gula merah ternyata memiliki indeks glikemik rendah sehingga aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes. Banyak pecinta rasa manis juga mengetahui klasifikasi gula merah Indonesia yang terbuat dari keluarga palem, mulai dari kelapa, aren, lontar, nipah, dan yang terakhir terbuat banyak terbuat dari tebu (di luar keluarga palem). Setiap varian palem dari daerah yang berbeda menghasilkan citarasa yang berbeda, layaknya anggur merah dan keju dari benua Eropa. Mengapa demikian?
Sebuah konsep keberlanjutan berawal mula dari cara penanaman varian palem di Indonesia, bahwa pohon-pohon ini banyak ditemukan di daerah pesisir maupun pedalaman sejak ratusan tahun yang lalu, tanpa peran serta pupuk kimia, pestisida, maupun bibit rekayasa genetika. Alamiah dan berkelanjutan, sebuah konsep yang seksi bukan?
Lebih seksi lagi untuk diketahui bahwa proses pengolahan gula merah Indonesia tidaklah akan pernah distandarisasi dalam skala industri, semua tahapan masih melibatkan seni kerajinan manual padat karya tanpa peran serta mesin bermodal besar, gaya inilah yang sering diterjemahkan menjadi budaya artisanal. Para pengrajin gula merah mewarisi pengetahuan berbasis kearifan lokal dalam memperlakukan pohon-pohon tersebut dengan penuh kasih sayang, menyadap getah, menyaringnya, memanaskan cairan kental, mencetak gula, mengemas, dan mengantarnya kepada agen penjual terpercaya. Agen penjual inilah yang akan menjadi pakar gula merah, mereka mampu menilai gula mana yang berkualitas tinggi dan mana yang berkualitas rendah berdasarkan kandungan bahan dasar, kekayaan citarasa yang terkandung, berapa lama proses, dan kepadatan serta tekstur gula tersebut.
Di Pasar Bawah Bukit Tinggi, saya menemukan agen penjual gula merah artisanal Sumatra Barat yang dengan sangat bangga menjabarkan karakter gula aren terbaik dari Situjuah, Payakumbuh karena teksturnya yang lembut dan mudah lumer terkena suhu badan, serta citarasa yang kaya dengan sentuhan alami kekayuan dan manisnya tanah. Sementara gula merah berkualitas rendah dengan nuansa warna coklat yang berbeda biasanya merupakan campuran dari gula kelapa dan gula tebu yang memiliki tekstur keras dan lebih cendrung datar dalam rasa manis, seringkali gula merah ini tinggi sekali kandungan sulfitnya. Gula kelapa dari Pulau Jawa memiliki karakter yang berbeda, biasanya lebih pekat dan ada rasa gurih asin serta asam, karena tingginya kandungan protein. Gula nipah dari Pulau Halmahera, Maluku memiliki kepekatan tinggi dengan citarasa karamel coklat yang membumi. Memang benar, setiap gula merah Indonesia memiliki cerita..Bukan hanya cerita mengenai keberlanjutan, tapi juga mengenai sebuah cerita mengenai penciptaan masa depan baru akan potensi produk pangan artisanal Indonesia yang kaya rasa.
Sapi Lokal khas Sumatra Barat
Beranjak dari gula, saya mencicipi gurihnya diet Minangkabau yang tinggi akan protein hewani lewat hidangan dendeng tiga rupa yang dibakar, digoreng kering, dan dikukus dengan varian bumbu sambal yang nendang pedasnya. Yang unik adalah penggunaan bahan baku langka : pado dari Bukit Tinggi, berupa fermentasi daging buah kluwak (Pangium edule), parutan kelapa, dan bagian-bagian ikan air tawar yang terbentuk selama 14 hari. Pado sudah sangat amat jarang ditemukan, bahkan banyak warga lokal kehilangan cerita mengenai cara mengolah ini.
Isu daging sapi impor yang sempat muncul dalam perdebatan nasional sempat kami bahas dengan pakar peternakan setempat. Ternyata bibit unggulan sapi lokal Indonesia, salah satunya adalah sapi Sumatera, berasal dari persilangan sapi-sapi turunan Zebu dari India (Bos indicus) dengan sapi lokal, yang bernama sapi Pesisir. Sapi Pesisir ini sudah dianggap sapi lokal karena sudah sangat beradaptasi dengan kondisi daerah pesisir Sumatera, bahkan sampai ke Bengkulu dan Lampung. Sapi Pesisir disebut ‘sapi Ratuih” karena dulunya jumlahnya banyak (ratusan ekor) karena cepat berkembang biak. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2005-2006 oleh Balai Peternakan Payakumbuh menunjukkan bahwa tingkat reproduksi sapi Pesisir milik seorang petani di Nagari Surantiah, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan mencapai 75%. Berarti dari 100 ekor induk, setiap tahunnya 75 ekor melahirkan anak dengan pemeliharaan yang masih tradisional tanpa suntikan hormon dan antibiotik berbahaya. Luar biasa, bukan? Namun mengapa Sumatra Barat yang dulu terkenal sebagai sentra peternakan perlahan-lahan pudar reputasinya dan daging sapi serta benih sapi impor meraja disana?
Ternyata posisi pekerjaan seorang peternak sapi haruslah ditata ulang bila keterbatasan lahan hijau dan area rerumputan menjadi kendala, seperti sekarang yang terjadi di Sumatra Barat. Karena kualitas citarasa daging sapi memang sangat tergantung pada perpaduan pakan ternak alami, berupa aneka jenis rerumputan sebesar 70% dan aneka jenis biji-bijian sebesar 30%, seperti biji turi, jamal, dan lamtoro, maka posisi pekerjaan seorang petani rumput dan biji-bijian yang dibudidayakan secara alami haruslah dikedepankan, seorang petani rumput dan biji-bijian yang handal, sudah pasti dapat memetik hasil dari ternakan sapi yang ia miliki. Maka jangan heran, bila peternakan sapi artisanal di benua Amerika dan Eropa, yang mengedepankan slogan grass fed beef, menawarkan daging sapi yang jauh lebih mahal karena memang lebih rendah kolestrol dan teksturnya yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan industrialized grain fed beef. Dan memberi makan sapi dengan diet berimbang antara rerumputan dan biji-bijian sudah pasti menerapkan konsep kesejahteraan hewan, karena pada dasarnya sistem pencernaan sapi didesain untuk memamah biak, dan yang pasti citarasa daging yang dihasilkan lebih gurih dan manis, seperti banyak diklaim oleh juru-juru masak piawai di Sumatra Barat yang sempat saya temui. Kejayaan peternakan sapi lokal Sumatra Barat dapat dibangkitkan kembali karena memang nilai-nilai keberlanjutan dan alamiah yang sudah dimiliki terbukti dapat membimbing ke nilai citarasa tinggi.
Industri penggemukan sapi di Indonesia juga marak ditemukan (di Sumatra Barat program ini mulai diperkenalkan), dengan mengimpor jenis sapi Limousine, Simmental, bahkan Jersey, sapi-sapi betina itu dibiakkan di Indonesia lewat IB (Inseminasi Buatan) demi menekan bea impor dan tentunya ongkos produksi.
Tapi selintiran kabar saya dengar dari temen-teman peternak sapi saya, bahwa sapi-sapi tersebut hanya berat di bobot tapi rendah di produktifitas. Bahkan ada jenis-jenis sapi tertentu yang sudah pasti rusak rahimnya ketika baru melahirkan anak pertama, membuat banyak peternak rugi.
Jamak masalahnya bila petani banyak dibuat tergantung oleh perusahaan bibit transgenik dan hibrida dengan harus membeli bibit baru setiap mau semai/tanam baru karena tumbuhan yang habis panen sudah dibuat mandul (belum lagi bibit itu sudah dipasangkan genetikanya dengan pupuk kimia dan pestisida untuk satu masa tanam). Ternyata bukan hanya jagung atau gandum yang transgenik, sapi juga bisa!
Sumatra Barat Punya Keju Parmesan
Salah satu contoh nyata dari citarasa berkualitas yang didapat dari penerapan konsep kesejahteraan hewan, keberlanjutan, dan alamiah, saya temui di nagari Gaduik dekat Payakumbuh. Saya berkenalan dengan seekor kerbau lumpur lokal yang diternakkan dengan penuh kasih sayang oleh warga disana. Kerbau betina ini hidup sangat bahagia di tengah hamparan lembah berumput hijau yang menjadi kandang sehari-harinya sekaligus tempat ia menyantap segarnya aneka rumput alami di sekitarnya.
Bayangkan betapa sengsaranya hidup seekor hewan ternak di kandang sempit industri ternak, namun hal itu tidak terjadi pada kerbau betina di Gaduik. Ia hidup bahagia dan dengan sukarela memberikan susu segarnya sebanyak 2.5 – 3 liter/hari yang kemudian akan diolah menjadi dadiah, susu kerbau fermentasi dalam batang bambu, yang kerap dijadikan penganan warga Sumatra Barat, baik dalam campuran bumbu masakan rendang atau sebagai hidangan penutup. Saya memiliki kesempatan untuk mencicipi susu kerbau segar yang rasanya luar biasa manis, bukan karena gula, tapi karena laktosa (gula susu) dengan tekstur yang ringan dan tidak berlemak seperti layaknya susu sapi olahan. Tidak ada bau-bauan menganggu, seperti dugaan yang saya temukan pada susu kambing atau susu domba. Aroma bunga dan rumput segar samar-samar tercium di ujung penciuman saya. Dadiah akan siap dimakan setelah mengalami proses fermentasi alami selama 1 – 2 hari, dengan tekstur yang sedikit padat dan asam, cocok dimakan dengan lelehan gula aren spesial khas Sumatra Barat.
Rekan perjalanan saya berhasil mengeringkan dadiah ini setelah ia simpan 3 bulan dalam bulu bambu di suhu kulkas, sehingga memiliki tekstur dan citarasa alami mirip dengan keju parmesan Italia! Rancak...
Beras Tradisional Sumatra Barat
Saya sempat menambah teman baru, dua orang petani dari pedalaman Sumatra Barat yang produk-produknya berhasil digunakan dalam menu. Salah satu petani tersebut adalah Pak Hesri Yeldi, petani beras tradisional organik dari Sariak Alahan Tigo, Solok, Sumatra Barat. Usianya masih cukup muda, sekitar 28 tahun, namun semangatnya dalam mempertahankan varietas beras tradisional Sumatra Barat seperti Anak Daro, Cisokan, Ciserek, dan masih banyak lagi, perlu diacungi jempol. Karakter beras Sumatra Barat ini memanglah berbeda bila dibandingkan dengan beras di Jawa, yang cendrung pulen dan sedikit lengket. Berderai namun pulen, itulah karakter beras Anak Daro. Pak Hesri Yeldi bertutur kata dengan bangga pada kami mengenai segala jerih payahnya menanam beras unggulan ini dan tentu saja, kami dibuat kagum oleh kualitas beras yang disajikan.
Sawo Kualitas Terbaik ada di Sumpu
Bukan tanpa alasan saya ngotot berkunjung ke desa ini, hanya demi sebuah sawo. Sawo Sumpu pantas diberikan predikat sawo unggulan Sumatra Barat karena teksturnya yang lembut seperti sutra, dan kulitnya yang tipis sehingga bisa langsung dikunyah tanpa menimbulkan citarasa getir di lidah. Pak Agus, salah satu petani sawo asal Sumpu, bertutur bahwa pohon-pohon sawo di daerah Sumpu sudah tumbuh turun temurun secara alami tanpa bantuan pupuk kimia apalagi pestisida. Bibit sawo yang sama ditanam di penjuru Sumatra Barat, tapi hanya di daerah Sumpu citarasa madu karamel yang membumi dan juga tesktur daging selembut sutra dihasilkan.Sawo Sumpu bisa dimakan berikut dengan kulitnya, membuat kami terpana.
Tertegun dengan buaian manis sawo Sumpu, kami bertanya-tanya mengapa kami tidak menemukan buah ini di Jakarta walaupun Pak Agus bersikukuh bahwa truk-truk pengepul mengantar sawo ini sampai ke Kramat Jati.
Ternyata, dari hasil obrolan kami dengan polisi lokal dan pak lurah (kedatangan tiba-tiba kami disambut oleh mereka, katanya baru sekali ini desa mereka dikunjungi tamu dari Jakarta hanya demi sawo), mereka berkata bahwa sawo-sawo itu kerap habis di perjalanan, selepas Bengkulu menuju Lampung, dibeli oleh warga lokal disana. Ohhh, pantas kalau begitu...
Perjalanan singkat kami ke Sumatra Barat membuahkan pemikiran-pemikiran baru, tentunya ditinjau dari aspek ekologi, keberlanjutan, keanekaragaman hayati. Semua aspek itu bermuara pada satu endapan, yakni citarasa.
Tidak bisa dibohongi bila daerah memberikan kontribusi pada rasa yang spesifik, dan rasa alami pada bahan baku itulah yang memberikan kontribusi pada sebuah budaya makanan, di luar teknik memasak, pengaruh luar, dan adat istiadat.
Sangat tidak berlebihan bila budaya makanan Minang mendapat hati tersendiri di bangsa ini, karena memang terlihat sekali, bahkan di desa terpencil sekalipun, pasar tradisional mereka masih menyimpan aneka ragam produk hutan yang unik, hasil kebun, dan ternak yang melimpah.
0 komentar:
Post a Comment