6 Filosofi Bisnis Ala Orang Hokkian
Sejak jaman dahulu kala, bumi Nusantara sudah menjadi jalur lalu-lintas, budaya, agama, seni, ilmu pengetahuan dan juga perdagangan. Apabila daratan Tiongkok dan Asia Tengah dikenal dengan jalan sutera, maka Nusantara dan ASEAN dikenal sebagai jalan rempah-rempah yang tidak kalah berharganya. Itu sebabnya selama beratus-ratus tahun, Indonesia telah dikunjungi bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab.
Malah banyak kaum perantuan Tionghoa atau yang kita kenal dengan sebutan Hoakiao, menjadikan Nusantara akhirnya sebagai tempat kediaman mereka. Dimana mereka membuka usaha, mengadu rejeki, menikah dengan wanita setempat dan meneruskan kehidupan mereka. Kaum perantauan Tionghoa ini, tidak berasal hanya dari satu etnik. Melainkan justru bervariasi, seperti etnik Kong Hu (Cantonese), Hakka, Tio Ciu, dan juga Hok-kian. Distribusi dan penyebaran mereka juga tidak merata. Etnik Hakka misalnya menyebar lebih merata di Jawa. Sementara di Medan didominasi etnik Hok-kian. Dan Kalimantan lebih banyak orang-orang etnik Tio Ciu.
Secara geografis, asal etnik Hok-kian memang berasal dari provinsi Fujian di daratan Tiongkok. Namun bahasa Hok-kian pengaruhnya dalam fusi budaya ternyata jauh lebih dominan dan dalam bahasa dialek Betawi banyak meninggalkan jejak yang sangat unik. Bahasa pergaulan di Betawi sejak jaman dahulu banyak kita dapati kata pinjaman atau ‘loanwords’ dari bahasa dialek Hok-kian. Nominasi mata uang seperti “go-ceng (lima ribu)” - “ce-ban (sepuluh ribu)” - “cepe (seratus)” - “gopeh (limaratus)” semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Hingga penyebutan kata diri seperti “gue” dan “lu” juga berasal dari sumber yang sama.
Menurut sebuah artikel di kampungbetawi.com, banyak istilah sehari-hari Betawi yang berhubungan dengan tradisi dan adat istiadat makanan, yang juga berasal dari bahasa dialek Hok-kian ini. Misalnya saja “kecap” - “mie” - “bihun” - “tauge” - “tauco” - “tahu” “juhi” - “lumpia” dan banyak lagi, semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Kekentalan pengaruh ini juga merembes ke budaya yang lain. Termasuk perdagangan dan ekonomi. Di wilayah-wilayah pusat distribusi barang sejak jaman dulu, seperti Glodok, Pasar Pagi, hingga Senen dan Jatinegara, tanpa tertulis, beredar sebuah kode etik yang mendasari prilaku dan suksesnya orang Tionghoa berbisnis saat itu.
Belum lama ini, seniman beken Teguh Ostenrik mengirimkan sebuah artikel pendek yang mengingatkan saya pada filosofi berbisnis orang Tionghoa ini. Unik dan cukup menggelitik. Bagi orang Tionghoa, ada 3 “C” yang harus dijadikan pilar berbisnis. Dan 3 pantangan “C” lagi yang harus dihindari. “C” yang pertama adalah “Cengli”. Artinya adil. Kelihatan-nya sederhana. Tetapi ini menyangkut kredibilitas dan reputasi. Kalau ada pengusaha yang bisnisnya dianggap tidak “cengli”, mau menang sendiri, suka curang, dan menipu, biasanya dia akan di “black-list” oleh komunitas pengusaha dan akan dijauhi. “Cengli” mirip dengan paspor atau rating perbankan. Seseorang yang “cengli” artinya boleh dan sangat bisa dipercaya. Kalau seseorang dikatakan “cengli”, biasanya dia akan mudah meminjam uang atau meminta pertolongan pengusaha lain. “Cengli” memiliki pengertian yang sangat dalam, bahwa seorang pengusaha yang baik harus selalu berlaku “fair” terhadap teman dan lawan. “Cengli” secara kemasyarakatan mengatur kondisi dan iklim berusaha yang saling menghormati, sportif dan tidak akan ada yang curang dan melanggar peraturan.
“C” yang kedua adalah “cincai”. Sederhana-nya,”Cincai” memiliki arti fleksibel dan mudah kompromi. Dalam kajian filosofis, justru “Cincai” memiliki arti yang dalam sekali. Pertama mengajarkan sikap merendah dan mengalah. Asalkan ada untung sedikit, maka kompromi jalan terus. Inilah strategi ‘win-win’ ala Tionghoa. Kedua, filosofi ini juga mendisplinkan kita agar lebih baik berteman dan membentuk net-work, daripada bermusuhan dan menciptakan lawan dan musuh sebanyak-banyaknya. Pengusaha yang “cincai” seringkali sangat dihormati oleh komunitasnya, karena dianggap pemurah, baik-hati dan mau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama maju. Bilamana ada kawan dan lawan bisnis yang cidera janji, selalu saja ia siap memberikan keluwesan dan tenggang waktu yang lebih lama. Ketika selesai kuliah, saya pernah belajar filosofi ini langsung dari almarhum M.S. Kurnia, pendiri Hero Group. Menurut beliau, orang yang menguasai filosofi ini biasanya sangat pandai sekali bernegosiasi. Sisi buruknya, pengusaha “Cincai” sering dilecehkan oleh lawan bisnisnya, karena dianggap terlalu lembek dan baik hati. Padahal “Cincai” menganut ilmu bambu, yang sangat kuat dan tidak mudah dipatahkan. Kekuatan-nya justru ada pada kemampuan-nya yang lentur dan fleksibel.
“C” yang ketiga dan yang juga terpenting adalah “Coan”, atau artinya “laba”. Kata ini sering dijadikan ledekan dan hina-an. Misalnya seringkali kita mendengar ” Ah, pengusaha anu, yang dipikirkan cuma ‘coan’ doang sih !” Padahal kata inilah yang menjiwai semangat bisnis pengusaha Tionghoa. Baik dari segi kompetitif, atau persaingan, berkembang secara agresif, hingga kekuatan survival yang kokoh. Banyak orang awam, yang tidak mengerti filosofi ini. Padahal filosofi inilah yang mendasari ‘sustainability’ bisnis pengusaha Tionghoa. Mengapa misalnya, pengusaha Tionghoa berperilaku tekun, rajin dan hemat. Itu sebabnya pengusaha Tionghoa seringkali kelihatan sangat kompetitif dan agresif; karena hitungan laba mereka seringkali sangat mepet dan tipis sekali. Tetapi dalam segi jumlah dan tekhnik mereka mengelola ‘cash-flow’, kita jumpai ‘coan’ yang tersembunyi; yang tidak diperhitungkan musuh atau lawan bisnis. Filosofi ini juga mendisplinkan mereka untuk hemat dan menabung. Serta bijaksana melakukan investasi di wilayah-wilayah yang tidak pernah dilirik orang.
Dengan pilar 3 “C” yang semuanya meminjam bahasa dialek Hok-kian, pengusaha Tionghoa mengembangkan bisnisnya. Uniknya 3 “C” menjadi sebuah etika bisnis yang tidak tertulis. Adalah kewajiban tiap pengusaha Tionghoa untuk menghormatinya untuk menciptakan lingkungan berbisnis yang harmonis, tentram dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi setiap pengusaha. Mirip sebuah budaya perusahaan. Seorang konglomerat sepuh, mengeluh pada saya bahwa generasi muda pengusaha Tionghoa yang menikmati pendidikan di luar negeri, cenderung secara filosofis tidak memahami ketiga pilar ini. Maka persaingan menjadi kasar dan semua main kemplang se-enak-nya saja.
Konglomerat yang sepuh ini bercerita bahwa kalau 3 “C” tadi tidak kita hormati lagi, maka bencana-nya semua orang akan melakukan 3 “C” pantangan pengusaha Tionghoa. Pantangan pertama adalah “Ciok” alias hutang. Anda boleh tertawa, jaman sekarang mana ada pengusaha yang tidak berhutang ? Dan menguras kredit dari bank ? Tetapi hutang itu punya akibat mendalam. Yaitu harus berani bertanggung jawab dan membayarnya dengan disiplin. Jangan asal berhutang, kalau nanti tidak bisa bayar, perusahaan dibubarkan saja. Beres sudah. Bilamana ini terjadi, konglomerat sepuh ini mengingatkan kekacauan yang akan terjadi. Yaitu munculnya pantangan “C” yang kedua yaitu “Cia” alias makan. Para pengusaha akhirnya saling makan dan menipu sesama-nya. Kalau sudah morat-marit akhirnya muncul tragedi “C” yang terakhir - yaitu “Cao” alias kabur dan ngilang. Sang konglomerat sepuh lalu menghitung sejumlah nama pengusaha yang sudah minggat keluar negeri. Ternyata jumlahnya sudah melebihi jumlah jari beliau. Saya cuma sanggup senyum-senyum saja. Karena memang tidak terbantahkan. Menurut beliau 6 “C” ini saling berkaitan satu sama lain. Rantai yang mengikat. Sehingga mutlak dijalankan dan diamalkan.
Sejak jaman dahulu kala, bumi Nusantara sudah menjadi jalur lalu-lintas, budaya, agama, seni, ilmu pengetahuan dan juga perdagangan. Apabila daratan Tiongkok dan Asia Tengah dikenal dengan jalan sutera, maka Nusantara dan ASEAN dikenal sebagai jalan rempah-rempah yang tidak kalah berharganya. Itu sebabnya selama beratus-ratus tahun, Indonesia telah dikunjungi bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab.
Malah banyak kaum perantuan Tionghoa atau yang kita kenal dengan sebutan Hoakiao, menjadikan Nusantara akhirnya sebagai tempat kediaman mereka. Dimana mereka membuka usaha, mengadu rejeki, menikah dengan wanita setempat dan meneruskan kehidupan mereka. Kaum perantauan Tionghoa ini, tidak berasal hanya dari satu etnik. Melainkan justru bervariasi, seperti etnik Kong Hu (Cantonese), Hakka, Tio Ciu, dan juga Hok-kian. Distribusi dan penyebaran mereka juga tidak merata. Etnik Hakka misalnya menyebar lebih merata di Jawa. Sementara di Medan didominasi etnik Hok-kian. Dan Kalimantan lebih banyak orang-orang etnik Tio Ciu.
Secara geografis, asal etnik Hok-kian memang berasal dari provinsi Fujian di daratan Tiongkok. Namun bahasa Hok-kian pengaruhnya dalam fusi budaya ternyata jauh lebih dominan dan dalam bahasa dialek Betawi banyak meninggalkan jejak yang sangat unik. Bahasa pergaulan di Betawi sejak jaman dahulu banyak kita dapati kata pinjaman atau ‘loanwords’ dari bahasa dialek Hok-kian. Nominasi mata uang seperti “go-ceng (lima ribu)” - “ce-ban (sepuluh ribu)” - “cepe (seratus)” - “gopeh (limaratus)” semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Hingga penyebutan kata diri seperti “gue” dan “lu” juga berasal dari sumber yang sama.
Menurut sebuah artikel di kampungbetawi.com, banyak istilah sehari-hari Betawi yang berhubungan dengan tradisi dan adat istiadat makanan, yang juga berasal dari bahasa dialek Hok-kian ini. Misalnya saja “kecap” - “mie” - “bihun” - “tauge” - “tauco” - “tahu” “juhi” - “lumpia” dan banyak lagi, semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Kekentalan pengaruh ini juga merembes ke budaya yang lain. Termasuk perdagangan dan ekonomi. Di wilayah-wilayah pusat distribusi barang sejak jaman dulu, seperti Glodok, Pasar Pagi, hingga Senen dan Jatinegara, tanpa tertulis, beredar sebuah kode etik yang mendasari prilaku dan suksesnya orang Tionghoa berbisnis saat itu.
Belum lama ini, seniman beken Teguh Ostenrik mengirimkan sebuah artikel pendek yang mengingatkan saya pada filosofi berbisnis orang Tionghoa ini. Unik dan cukup menggelitik. Bagi orang Tionghoa, ada 3 “C” yang harus dijadikan pilar berbisnis. Dan 3 pantangan “C” lagi yang harus dihindari. “C” yang pertama adalah “Cengli”. Artinya adil. Kelihatan-nya sederhana. Tetapi ini menyangkut kredibilitas dan reputasi. Kalau ada pengusaha yang bisnisnya dianggap tidak “cengli”, mau menang sendiri, suka curang, dan menipu, biasanya dia akan di “black-list” oleh komunitas pengusaha dan akan dijauhi. “Cengli” mirip dengan paspor atau rating perbankan. Seseorang yang “cengli” artinya boleh dan sangat bisa dipercaya. Kalau seseorang dikatakan “cengli”, biasanya dia akan mudah meminjam uang atau meminta pertolongan pengusaha lain. “Cengli” memiliki pengertian yang sangat dalam, bahwa seorang pengusaha yang baik harus selalu berlaku “fair” terhadap teman dan lawan. “Cengli” secara kemasyarakatan mengatur kondisi dan iklim berusaha yang saling menghormati, sportif dan tidak akan ada yang curang dan melanggar peraturan.
“C” yang kedua adalah “cincai”. Sederhana-nya,”Cincai” memiliki arti fleksibel dan mudah kompromi. Dalam kajian filosofis, justru “Cincai” memiliki arti yang dalam sekali. Pertama mengajarkan sikap merendah dan mengalah. Asalkan ada untung sedikit, maka kompromi jalan terus. Inilah strategi ‘win-win’ ala Tionghoa. Kedua, filosofi ini juga mendisplinkan kita agar lebih baik berteman dan membentuk net-work, daripada bermusuhan dan menciptakan lawan dan musuh sebanyak-banyaknya. Pengusaha yang “cincai” seringkali sangat dihormati oleh komunitasnya, karena dianggap pemurah, baik-hati dan mau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama maju. Bilamana ada kawan dan lawan bisnis yang cidera janji, selalu saja ia siap memberikan keluwesan dan tenggang waktu yang lebih lama. Ketika selesai kuliah, saya pernah belajar filosofi ini langsung dari almarhum M.S. Kurnia, pendiri Hero Group. Menurut beliau, orang yang menguasai filosofi ini biasanya sangat pandai sekali bernegosiasi. Sisi buruknya, pengusaha “Cincai” sering dilecehkan oleh lawan bisnisnya, karena dianggap terlalu lembek dan baik hati. Padahal “Cincai” menganut ilmu bambu, yang sangat kuat dan tidak mudah dipatahkan. Kekuatan-nya justru ada pada kemampuan-nya yang lentur dan fleksibel.
“C” yang ketiga dan yang juga terpenting adalah “Coan”, atau artinya “laba”. Kata ini sering dijadikan ledekan dan hina-an. Misalnya seringkali kita mendengar ” Ah, pengusaha anu, yang dipikirkan cuma ‘coan’ doang sih !” Padahal kata inilah yang menjiwai semangat bisnis pengusaha Tionghoa. Baik dari segi kompetitif, atau persaingan, berkembang secara agresif, hingga kekuatan survival yang kokoh. Banyak orang awam, yang tidak mengerti filosofi ini. Padahal filosofi inilah yang mendasari ‘sustainability’ bisnis pengusaha Tionghoa. Mengapa misalnya, pengusaha Tionghoa berperilaku tekun, rajin dan hemat. Itu sebabnya pengusaha Tionghoa seringkali kelihatan sangat kompetitif dan agresif; karena hitungan laba mereka seringkali sangat mepet dan tipis sekali. Tetapi dalam segi jumlah dan tekhnik mereka mengelola ‘cash-flow’, kita jumpai ‘coan’ yang tersembunyi; yang tidak diperhitungkan musuh atau lawan bisnis. Filosofi ini juga mendisplinkan mereka untuk hemat dan menabung. Serta bijaksana melakukan investasi di wilayah-wilayah yang tidak pernah dilirik orang.
Dengan pilar 3 “C” yang semuanya meminjam bahasa dialek Hok-kian, pengusaha Tionghoa mengembangkan bisnisnya. Uniknya 3 “C” menjadi sebuah etika bisnis yang tidak tertulis. Adalah kewajiban tiap pengusaha Tionghoa untuk menghormatinya untuk menciptakan lingkungan berbisnis yang harmonis, tentram dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi setiap pengusaha. Mirip sebuah budaya perusahaan. Seorang konglomerat sepuh, mengeluh pada saya bahwa generasi muda pengusaha Tionghoa yang menikmati pendidikan di luar negeri, cenderung secara filosofis tidak memahami ketiga pilar ini. Maka persaingan menjadi kasar dan semua main kemplang se-enak-nya saja.
Konglomerat yang sepuh ini bercerita bahwa kalau 3 “C” tadi tidak kita hormati lagi, maka bencana-nya semua orang akan melakukan 3 “C” pantangan pengusaha Tionghoa. Pantangan pertama adalah “Ciok” alias hutang. Anda boleh tertawa, jaman sekarang mana ada pengusaha yang tidak berhutang ? Dan menguras kredit dari bank ? Tetapi hutang itu punya akibat mendalam. Yaitu harus berani bertanggung jawab dan membayarnya dengan disiplin. Jangan asal berhutang, kalau nanti tidak bisa bayar, perusahaan dibubarkan saja. Beres sudah. Bilamana ini terjadi, konglomerat sepuh ini mengingatkan kekacauan yang akan terjadi. Yaitu munculnya pantangan “C” yang kedua yaitu “Cia” alias makan. Para pengusaha akhirnya saling makan dan menipu sesama-nya. Kalau sudah morat-marit akhirnya muncul tragedi “C” yang terakhir - yaitu “Cao” alias kabur dan ngilang. Sang konglomerat sepuh lalu menghitung sejumlah nama pengusaha yang sudah minggat keluar negeri. Ternyata jumlahnya sudah melebihi jumlah jari beliau. Saya cuma sanggup senyum-senyum saja. Karena memang tidak terbantahkan. Menurut beliau 6 “C” ini saling berkaitan satu sama lain. Rantai yang mengikat. Sehingga mutlak dijalankan dan diamalkan.
0 komentar:
Post a Comment