Sepakbola Inggris: Paradoks dalam Paradoks
Masyarakat Inggris bagi saya adalah sebuah perwujudan paradoks kehidupan yang puncak. Begitu banyak nilai yang saling berlawanan, berseberangan dan bertabrakan, hidup dalam satu wadah. Sebuah pergumulan yang aneh.
Bagaimana mungkin, misalnya, sebuah negara menganut sistem demokrasi dan meritokrasi --yang konon membuat orang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi-- tetapi mempunyai Ratu/Raja sebagai kepala negara yang tentu saja tidak dipilih dan berdasar pewarisan darah.
Inggris memuja individualitas dan kapitalisme, warisan tidak langsung dari pemberontakan mereka terhadap hirarki Gereja Katolik dan institusi ke-Paus-an 500 tahun lalu, tetapi lihat betapa sistem di Inggris ini menganut sistem kelas sosial yang kaku.
Pemujaan terhadap individualitas itu juga aneh, karena pada saat bersamaan mereka juga sangat altruistik.
Bagaimana menjelaskannya ketika individualitas itu diikuti dengan sebuah sistem di mana biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan --sekarang hanya sampai setingkat SMA--, dua hal esensial untuk keberlangsungan hidup, digratiskan untuk semua orang tanpa memandang bulu status mereka. Itu belum berbicara bantuan keuangan dan fasilitas sosial/pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dan terpuruk secara sosial dan ekonomi.
Mereka katakanlah memuja keserakahan dengan kapitalismenya, tetapi tiap tahun memberikan sumbangan besar-besaran ke negara lain dan ini tidak lewat pemerintah. Ada bencana atau tidak setiap tahun acara pengumpulan dana secara nasional yang nilainya jutaan poundsterling untuk diperbantukan ke siapa saja yang memerlukan di dalam atau luar negeri dilakukan.
Mereka sangat insular dan selalu curiga pada segala sesuatu yang berbau asing, tetapi pada saat bersamaan adalah salah satu bangsa yang torehan pengaruhnya paling kuat menyebar hingga ke seluruh pelosok dunia.
Anda yang Anglofilia akan bisa menyusun sendiri sekian banyak paradoks dari kehidupan bangsa ini. Terlalu banyak.
Saya berkesimpulan --belum pasti benar tentunya dan terbuka untuk perdebatan-- itulah sebabnya mengapa negeri ini, yang jumlah penduduknya hingga kini hanya sekitar 60 juta orang, memunculkan begitu banyak orang eksentrik, maverick --orang yang berpikir dan bertindak merdeka--, dan restless --gelisah alam pikirnya. Sebuah modus operandi untuk bernegosiasi dan berdamai dengan keadaan yang serba paradoks.
Tengoklah dunia sastra, ilmu dan pengetahuan, teknologi, hiburan, dan segala macam bidang, akan tertemukan tokoh-tokoh eksentrik, maverick dan berjiwa gelisah dari Inggris yang sangat berpengaruh di sana. Kalaupun bukan orang Inggris, maka banyak diantara mereka yang datang dan menyerap inspirasi di negeri ini.
Namun demikian, yang menjadi keheranan saya untuk waktu yang lama dan sempat membuat saya sendiri ragu dengan proposisi itu; mengapa di dunia sepakbola hal ini tidak tercerminkan? Kapan terakhir sekali Inggris mempunyai pemain atau manajer (pelatih) yang bisa dikatakan eksentrik, maverick dan gelisah untuk memainkan sepakbola secara berbeda. Bukankah sepakbola ini juga bagian penting dari kehidupan orang Inggris?
Kapan terakhir sekali Inggris melahirkan pemain sekelas Maradona, Pele, Johan Cruyff, Zinedine Zidane, Roberto Baggio atau jawara-jawara sepakbola sehebat mereka ini. Kapan Inggris mempunyai pemain yang bisa mengubah keseimbangan permainan dalam hitungan detik dengan ketidaklumrahan visi, imajinasi, pergerakan, maupun ketrampilan.
Kapan terakhir sekali Inggris mempunyai manajer sekelas Mario Zagalo, Alf Ramsey (orang Inggris), Rinus Michels, Cesar Luis Menotti atau manajer hebat lain yang mampu merumuskan sebuah taktik permainan dan sukses karena berani mengeksekusinya dengan penuh percaya diri, peduli amat kata orang.
Benar saya mereduksinya hanya dalam batas pemain dan manajer. Lebih karena pada akhirnya sepakbola adalah apa yang kita lihat di lapangan. Lebih jauh lagi saya ingin membatasinya di tingkat tim nasional bukan klub.
Beberapa tahun lalu ada pertanyaan bagus yang muncul di kalangan penggemar sepakbola Inggris, hipotetis sifatnya, tetapi sedikit menguak jawaban dan membenturkan saya pada kenyataan bahwa sepakbola Inggris sebetulnya adalah sebuah paradoks dalam bentuk yang berbeda.
Pertanyaannya adalah kalau Maradona lahir dan besar di Inggris, akankah ia bisa menjadi Maradona yang kita kenal di kemudian hari?
Kesepakatan jawaban terbesarnya adalah tidak. Atau setidaknya ia tidak akan sehebat seperti ketika bermain untuk Argentina. Kultur sepakbola di Inggris tidak akan mengijinkannya untuk berbuat "seenaknya" dengan alasan apapun, bahkan dengan bakat yang tidak lumrah. Ia akan dipaksa tunduk pada sistem.
Misal, anda mungkin pernah mendengar bagaimana sesi latihan Maradona dengan tim. Konon ia hanya ikut pemanasan saja dan bergabung secukupnya lalu akan bermain-main dengan bola sendirian. Entah itu berlatih tendangan bebas, menggiring bola atau sekadar bermain-main dengan bola dalam arti yang sesungguhnya.
Ia akan dimusuhi dan kemungkinan disingkirkan oleh pemain dan manajer kalau itu terjadi di Inggris. Pemain Inggris tak bisa membedakan mana latihan dan mana pertandingan, semuanya harus 100 persen. Juga paling benci dengan mereka yang mengabaikan kebersamaan.
Tim Inggris mengakui ada pemain bintang tetapi menuntut yang bersangkutan berperilaku sama dengan yang lain. Katakanlah Wayne Rooney adalah bintang Inggris sekarang dan tugasnya adalah di depan mencetak gol, tetapi kalau ia tidak ikut turun dan membantu pertahanan habis-habisan ketika diserang, ia akan dimaki-maki seluruh rekan satu timnya. Sebuah tanda lain kebersamaan. Anda pasti belum pernah mendengar Maradona dituntut hal yang sama oleh rekan satu timnya.
Begitulah, sepakbola Inggris memang memuja kebersamaan tim hingga tingkat yang ekstrim. Ia sama sekali tidak memberi toleransi pada mereka yang eksentrik, maverick ataupun jiwa-jiwa yang gelisah di lapangan bola.
Sepakbola Inggris memilih mereka yang selalu bisa dipercaya memberi 100 persen tenaga dan pikiran mereka untuk tim, bukan mereka yang bisa memberi pijar permainan –dan mungkin kemenangan-- tetapi tidak berkeringat dan berdarah-darah. Walau tujuan akhir sepakbola adalah kemenangan.
Bahkan seorang Glen Hoddle pun, seorang maverick yang menjadi korban kekakuan kultur sepakbola Inggris yang seperti itu, ketika menjadi manajer tim nasional Inggris juga akhirnya bersikap serupa. Ialah yang ironisnya mengakhiri karir pemain yang bertipe seperti dirinya di tim nasional: Paul Gascoigne dan Matt Le Tissier.
Ada sebuah ilustrasi pribadi yang cukup menarik untuk menggambarkan betapa sikap altruistik yang "menggangu" ini tertanam sejak dari usia anak-anak. Dan bagaimana sejak usia dini anak-anak sudah dihadapkan (dididik untuk mengarungi) dunia penuh paradoks khas Inggris.
Suatu hari saya diminta datang ke sekolah anak saya yang waktu itu masih duduk di kelas lima SD. Sang guru mengatakan bahwa anak saya sebaiknya tidak lagi ikut latihan olahraga kriket di sekolah karena dianggap terlalu bagus dan disarankan untuk dimasukkan ke klub saja. Olahraga disekolah bukan dimaksudkan untuk berkompetisi tetapi belajar kebersamaan. Berpartisipasi bukan berkompetisi, saling membantu bukan unjuk keunggulan, demikian saya diberi penjelasan.
Filosofi berpartisipasi dan bukan berkompetisi bukan hanya untuk persoalan olahraga saja, tetapi juga untuk semua hal bahkan mata pelajaran. Di tingkat SD dalam kebijakan negara masih terlalu awal untuk diperkenalkan dengan yang namanya kompetisi. Saya tersadarkan itulah sebabnya selama anak saya bersekolah di SD itu tidak ada yang namanya juara kelas maupun peringkat.
Saya bisa berdamai untuk urusan pelajaran sekolah bukan untuk berkompetisi. Tetapi masih kesulitan untuk memahami bagaimana olahraga (permainan) dimaknai lebih untuk sekadar berpartisipasi dan bukan berkompetisi. Bukankah olahraga permainan itu terkait langsung dengan urusan menang dan kalah yang berarti berkompetisi-bersaing?
Begitulah Inggris ini. Semakin lama tinggal di negeri, harus saya akui, tak kunjung semakin mengerti. Tetapi saya menikmati.
Sumber
Masyarakat Inggris bagi saya adalah sebuah perwujudan paradoks kehidupan yang puncak. Begitu banyak nilai yang saling berlawanan, berseberangan dan bertabrakan, hidup dalam satu wadah. Sebuah pergumulan yang aneh.
Bagaimana mungkin, misalnya, sebuah negara menganut sistem demokrasi dan meritokrasi --yang konon membuat orang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi-- tetapi mempunyai Ratu/Raja sebagai kepala negara yang tentu saja tidak dipilih dan berdasar pewarisan darah.
Inggris memuja individualitas dan kapitalisme, warisan tidak langsung dari pemberontakan mereka terhadap hirarki Gereja Katolik dan institusi ke-Paus-an 500 tahun lalu, tetapi lihat betapa sistem di Inggris ini menganut sistem kelas sosial yang kaku.
Pemujaan terhadap individualitas itu juga aneh, karena pada saat bersamaan mereka juga sangat altruistik.
Bagaimana menjelaskannya ketika individualitas itu diikuti dengan sebuah sistem di mana biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan --sekarang hanya sampai setingkat SMA--, dua hal esensial untuk keberlangsungan hidup, digratiskan untuk semua orang tanpa memandang bulu status mereka. Itu belum berbicara bantuan keuangan dan fasilitas sosial/pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dan terpuruk secara sosial dan ekonomi.
Mereka katakanlah memuja keserakahan dengan kapitalismenya, tetapi tiap tahun memberikan sumbangan besar-besaran ke negara lain dan ini tidak lewat pemerintah. Ada bencana atau tidak setiap tahun acara pengumpulan dana secara nasional yang nilainya jutaan poundsterling untuk diperbantukan ke siapa saja yang memerlukan di dalam atau luar negeri dilakukan.
Mereka sangat insular dan selalu curiga pada segala sesuatu yang berbau asing, tetapi pada saat bersamaan adalah salah satu bangsa yang torehan pengaruhnya paling kuat menyebar hingga ke seluruh pelosok dunia.
Anda yang Anglofilia akan bisa menyusun sendiri sekian banyak paradoks dari kehidupan bangsa ini. Terlalu banyak.
Saya berkesimpulan --belum pasti benar tentunya dan terbuka untuk perdebatan-- itulah sebabnya mengapa negeri ini, yang jumlah penduduknya hingga kini hanya sekitar 60 juta orang, memunculkan begitu banyak orang eksentrik, maverick --orang yang berpikir dan bertindak merdeka--, dan restless --gelisah alam pikirnya. Sebuah modus operandi untuk bernegosiasi dan berdamai dengan keadaan yang serba paradoks.
Tengoklah dunia sastra, ilmu dan pengetahuan, teknologi, hiburan, dan segala macam bidang, akan tertemukan tokoh-tokoh eksentrik, maverick dan berjiwa gelisah dari Inggris yang sangat berpengaruh di sana. Kalaupun bukan orang Inggris, maka banyak diantara mereka yang datang dan menyerap inspirasi di negeri ini.
Namun demikian, yang menjadi keheranan saya untuk waktu yang lama dan sempat membuat saya sendiri ragu dengan proposisi itu; mengapa di dunia sepakbola hal ini tidak tercerminkan? Kapan terakhir sekali Inggris mempunyai pemain atau manajer (pelatih) yang bisa dikatakan eksentrik, maverick dan gelisah untuk memainkan sepakbola secara berbeda. Bukankah sepakbola ini juga bagian penting dari kehidupan orang Inggris?
Kapan terakhir sekali Inggris melahirkan pemain sekelas Maradona, Pele, Johan Cruyff, Zinedine Zidane, Roberto Baggio atau jawara-jawara sepakbola sehebat mereka ini. Kapan Inggris mempunyai pemain yang bisa mengubah keseimbangan permainan dalam hitungan detik dengan ketidaklumrahan visi, imajinasi, pergerakan, maupun ketrampilan.
Kapan terakhir sekali Inggris mempunyai manajer sekelas Mario Zagalo, Alf Ramsey (orang Inggris), Rinus Michels, Cesar Luis Menotti atau manajer hebat lain yang mampu merumuskan sebuah taktik permainan dan sukses karena berani mengeksekusinya dengan penuh percaya diri, peduli amat kata orang.
Benar saya mereduksinya hanya dalam batas pemain dan manajer. Lebih karena pada akhirnya sepakbola adalah apa yang kita lihat di lapangan. Lebih jauh lagi saya ingin membatasinya di tingkat tim nasional bukan klub.
Beberapa tahun lalu ada pertanyaan bagus yang muncul di kalangan penggemar sepakbola Inggris, hipotetis sifatnya, tetapi sedikit menguak jawaban dan membenturkan saya pada kenyataan bahwa sepakbola Inggris sebetulnya adalah sebuah paradoks dalam bentuk yang berbeda.
Pertanyaannya adalah kalau Maradona lahir dan besar di Inggris, akankah ia bisa menjadi Maradona yang kita kenal di kemudian hari?
Kesepakatan jawaban terbesarnya adalah tidak. Atau setidaknya ia tidak akan sehebat seperti ketika bermain untuk Argentina. Kultur sepakbola di Inggris tidak akan mengijinkannya untuk berbuat "seenaknya" dengan alasan apapun, bahkan dengan bakat yang tidak lumrah. Ia akan dipaksa tunduk pada sistem.
Misal, anda mungkin pernah mendengar bagaimana sesi latihan Maradona dengan tim. Konon ia hanya ikut pemanasan saja dan bergabung secukupnya lalu akan bermain-main dengan bola sendirian. Entah itu berlatih tendangan bebas, menggiring bola atau sekadar bermain-main dengan bola dalam arti yang sesungguhnya.
Ia akan dimusuhi dan kemungkinan disingkirkan oleh pemain dan manajer kalau itu terjadi di Inggris. Pemain Inggris tak bisa membedakan mana latihan dan mana pertandingan, semuanya harus 100 persen. Juga paling benci dengan mereka yang mengabaikan kebersamaan.
Tim Inggris mengakui ada pemain bintang tetapi menuntut yang bersangkutan berperilaku sama dengan yang lain. Katakanlah Wayne Rooney adalah bintang Inggris sekarang dan tugasnya adalah di depan mencetak gol, tetapi kalau ia tidak ikut turun dan membantu pertahanan habis-habisan ketika diserang, ia akan dimaki-maki seluruh rekan satu timnya. Sebuah tanda lain kebersamaan. Anda pasti belum pernah mendengar Maradona dituntut hal yang sama oleh rekan satu timnya.
Begitulah, sepakbola Inggris memang memuja kebersamaan tim hingga tingkat yang ekstrim. Ia sama sekali tidak memberi toleransi pada mereka yang eksentrik, maverick ataupun jiwa-jiwa yang gelisah di lapangan bola.
Sepakbola Inggris memilih mereka yang selalu bisa dipercaya memberi 100 persen tenaga dan pikiran mereka untuk tim, bukan mereka yang bisa memberi pijar permainan –dan mungkin kemenangan-- tetapi tidak berkeringat dan berdarah-darah. Walau tujuan akhir sepakbola adalah kemenangan.
Bahkan seorang Glen Hoddle pun, seorang maverick yang menjadi korban kekakuan kultur sepakbola Inggris yang seperti itu, ketika menjadi manajer tim nasional Inggris juga akhirnya bersikap serupa. Ialah yang ironisnya mengakhiri karir pemain yang bertipe seperti dirinya di tim nasional: Paul Gascoigne dan Matt Le Tissier.
Ada sebuah ilustrasi pribadi yang cukup menarik untuk menggambarkan betapa sikap altruistik yang "menggangu" ini tertanam sejak dari usia anak-anak. Dan bagaimana sejak usia dini anak-anak sudah dihadapkan (dididik untuk mengarungi) dunia penuh paradoks khas Inggris.
Suatu hari saya diminta datang ke sekolah anak saya yang waktu itu masih duduk di kelas lima SD. Sang guru mengatakan bahwa anak saya sebaiknya tidak lagi ikut latihan olahraga kriket di sekolah karena dianggap terlalu bagus dan disarankan untuk dimasukkan ke klub saja. Olahraga disekolah bukan dimaksudkan untuk berkompetisi tetapi belajar kebersamaan. Berpartisipasi bukan berkompetisi, saling membantu bukan unjuk keunggulan, demikian saya diberi penjelasan.
Filosofi berpartisipasi dan bukan berkompetisi bukan hanya untuk persoalan olahraga saja, tetapi juga untuk semua hal bahkan mata pelajaran. Di tingkat SD dalam kebijakan negara masih terlalu awal untuk diperkenalkan dengan yang namanya kompetisi. Saya tersadarkan itulah sebabnya selama anak saya bersekolah di SD itu tidak ada yang namanya juara kelas maupun peringkat.
Saya bisa berdamai untuk urusan pelajaran sekolah bukan untuk berkompetisi. Tetapi masih kesulitan untuk memahami bagaimana olahraga (permainan) dimaknai lebih untuk sekadar berpartisipasi dan bukan berkompetisi. Bukankah olahraga permainan itu terkait langsung dengan urusan menang dan kalah yang berarti berkompetisi-bersaing?
Begitulah Inggris ini. Semakin lama tinggal di negeri, harus saya akui, tak kunjung semakin mengerti. Tetapi saya menikmati.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment