Urung Jadi Karyawan, Bambang Sukses Jadi Pengusaha Logam
Lingkungan sekitar memberi banyak pengaruh dalam kehidupan seseorang. Tak sedikit orang meraih sukses, berkat kemampuan melihat potensi atau peluang yang berkembang di sekitar lingkungannya sehari-hari.
Bambang Budiarto salah satunya. Besar dalam lingkungan perajin logam, Bambang berhasil menjadi pengusaha logam sukses. Ia memasok komponen logam ke sejumlah produsen kompor gas, baik yang berlokasi di Surabaya maupun Jakarta. Dalam sebulan, usahanya bisa menangguk omzet berkisar Rp 500 juta–Rp 600 juta.
Bambang merintis usaha logam ini dari nol. Namun, lantaran besar di lingkungan perajin logam, ia punya sedikit keterampilan mengolah logam, layaknya pemuda lain di Ngingas, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.
Meski begitu, terjun menjadi pengusaha logam, sejatinya, bukan cita-cita pria kelahiran Blitar, 6 September 1969 ini. Seperti teman-temannya, Bambang yang kuliah di Jurusan Akuntansi Universitas Gajayana, Malang, ingin berkarier sebagai pekerja kantoran.
Setelah mendapat gelar sarjana ekonomi pada 1994, Bambang merantau ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Dia juga sempat mengadu nasib ke Jakarta karena tergiur ajakan teman, kendati sebenarnya ada keraguan di dalam dirinya.
Nyatanya benar, sesampai di Jakarta, Bambang justru merasa minder. Dia berpikir akan kesulitan mendapat pekerjaan karena nilainya yang pas-pasan. “Jadi, saya malah tidak mengirim lamaran ke mana-mana dan memilih pulang ke Surabaya saja,” kenang dia.
Untung saja, perasaan rendah diri Bambang tidak berkepanjangan. Dari secuil pengalamannya mencari kerja, dia mulai berpikir untuk mendirikan perusahaan sendiri. Apalagi, saat masih tinggal di Waru, dia sempat bekerja membantu para perajin logam di desanya.
Awalnya, Bambang hanya mengerjakan order yang diberikan oleh tetangganya, seorang perajin skala besar. Sudah menjadi kebiasaan para perajin logam di desanya mengalihkan order ke perajin lain. “Misalnya, ada sebuah perusahaan yang meminta 1.000 item komponen, pekerjaan itu dioper ke para tetangga. Saya pun jadi ikut-ikut bekerja sebagai perajin,” jelas pria yang kini genap berusia 44 tahun ini.
Meski hanya menerima order serabutan, Bambang tetap tekun mempelajari berbagai teknik pembuatan produk logam. Sesekali, dia juga mencoba membuat sampel sendiri, berupa berbagai komponen kompor minyak yang saat itu banyak dibutuhkan.
Dari beberapa sampel yang ia buat, Bambang mulai memburu oder. “Saya datang dari pintu ke pintu. Ya, ada yang menolak. Ada juga yang menerima, meski yang menerima juga tak semua memberi order,” tutur pria yang suka bersepeda ini.
Akhirnya, sekitar tahun 2000, datang order langsung dari produsen kompor minyak, PT Arto Metal. Puas dengan hasil kerja Bambang, perusahaan itu terus mengulang order berikutnya. Bambang yang waktu itu dibantu oleh adiknya, merekrut beberapa pemuda, karena mereka berdua sudah kewalahan menggarap order.
Hubungan dengan Arto Metal pun terus berkembang. Dari yang semula menjadi pemasok tunggal, Bambang menjadi mitra bisnis perusahaan tersebut. “Sebagai mitra, saya bisa mengantongi keuntungan yang lebih besar,” cetus dia.
Konversi kompor
Melihat hasil yang makin mantap, Bambang mulai membeli mesin sendiri pada 2001. Selain banyak order yang datang, pembelian mesin itu juga untuk menandai keseriusannya di bisnis logam. Apalagi, pada tahun itu dia juga menikahi Chalimatus Sa’diyah.
Tak hanya membuat komponen kompor minyak, Bambang juga menerima pesanan dari seorang produsen dipan kayu di Malang yang membutuhkan penyangga logam.
Pesanan lain juga menghampiri Bambang dari Jakarta. Pada 2004, dia mendapat pesanan komponen kompor minyak dengan nilai ratusan juta rupiah dari PT Arga Artha Utama.
Dari situ, usaha logam ini terus berkembang karena pelanggan terus mengulang order mereka. Menyadari bahwa bisnisnya semakin serius, Bambang melegalkan usahanya dengan membentuk PT Elang Jagad. Jumlah karyawannya terus bertambah, dari hanya dibantu adik hingga 60 orang dan memproduksi ribuan item logam.
Sayang, kesuksean ini tak berlangsung lama. Dampak dari program konversi minyak tanah ke gas ikut menimpanya. Pada 2007, order menurun drastis. Bambang sempat memangkas karyawan hingga tersisa 20 orang saja. “Saya tak sanggup bayar mereka,” ujar dia.
Beruntung, para produsen kompor langganannya cepat menyesuaikan diri dan lantas membuat kompor gas. Mereka juga melakukan transfer ilmu pembuatan kompor gas ini kepada Bambang. “Setahun, kami belajar sama-sama, baik konsumen maupun perajin,” kata dia.
Baru pertengahan 2008, perusahaan mulai pulih. Konversi minyak ternyata tidak berimbas negatif, tetapi membawa dampak baik bagi usahanya. Order melonjak drastis sejak 2009, karena pelanggan juga terus bertambah.
Kondisi ini pun memaksa Bambang untuk membeli beberapa mesin. Kini, pabrik Elang Jagad punya mesin kapasitas 25 ton dan 40 ton untuk memproduksi 25.000 hingga 30.000 item logam saban bulan.
Meski tak jadi pegawai kantoran, Bambang membuktikan kemampuannya menjadi pengusaha sukses. Tak lagi minder, dia terus bermimpi. “Ke depan, kami ingin menjadi produsen produk, bukan hanya komponen,” katanya.
Lingkungan sekitar memberi banyak pengaruh dalam kehidupan seseorang. Tak sedikit orang meraih sukses, berkat kemampuan melihat potensi atau peluang yang berkembang di sekitar lingkungannya sehari-hari.
Bambang Budiarto salah satunya. Besar dalam lingkungan perajin logam, Bambang berhasil menjadi pengusaha logam sukses. Ia memasok komponen logam ke sejumlah produsen kompor gas, baik yang berlokasi di Surabaya maupun Jakarta. Dalam sebulan, usahanya bisa menangguk omzet berkisar Rp 500 juta–Rp 600 juta.
Bambang merintis usaha logam ini dari nol. Namun, lantaran besar di lingkungan perajin logam, ia punya sedikit keterampilan mengolah logam, layaknya pemuda lain di Ngingas, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.
Meski begitu, terjun menjadi pengusaha logam, sejatinya, bukan cita-cita pria kelahiran Blitar, 6 September 1969 ini. Seperti teman-temannya, Bambang yang kuliah di Jurusan Akuntansi Universitas Gajayana, Malang, ingin berkarier sebagai pekerja kantoran.
Setelah mendapat gelar sarjana ekonomi pada 1994, Bambang merantau ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Dia juga sempat mengadu nasib ke Jakarta karena tergiur ajakan teman, kendati sebenarnya ada keraguan di dalam dirinya.
Nyatanya benar, sesampai di Jakarta, Bambang justru merasa minder. Dia berpikir akan kesulitan mendapat pekerjaan karena nilainya yang pas-pasan. “Jadi, saya malah tidak mengirim lamaran ke mana-mana dan memilih pulang ke Surabaya saja,” kenang dia.
Untung saja, perasaan rendah diri Bambang tidak berkepanjangan. Dari secuil pengalamannya mencari kerja, dia mulai berpikir untuk mendirikan perusahaan sendiri. Apalagi, saat masih tinggal di Waru, dia sempat bekerja membantu para perajin logam di desanya.
Awalnya, Bambang hanya mengerjakan order yang diberikan oleh tetangganya, seorang perajin skala besar. Sudah menjadi kebiasaan para perajin logam di desanya mengalihkan order ke perajin lain. “Misalnya, ada sebuah perusahaan yang meminta 1.000 item komponen, pekerjaan itu dioper ke para tetangga. Saya pun jadi ikut-ikut bekerja sebagai perajin,” jelas pria yang kini genap berusia 44 tahun ini.
Meski hanya menerima order serabutan, Bambang tetap tekun mempelajari berbagai teknik pembuatan produk logam. Sesekali, dia juga mencoba membuat sampel sendiri, berupa berbagai komponen kompor minyak yang saat itu banyak dibutuhkan.
Dari beberapa sampel yang ia buat, Bambang mulai memburu oder. “Saya datang dari pintu ke pintu. Ya, ada yang menolak. Ada juga yang menerima, meski yang menerima juga tak semua memberi order,” tutur pria yang suka bersepeda ini.
Akhirnya, sekitar tahun 2000, datang order langsung dari produsen kompor minyak, PT Arto Metal. Puas dengan hasil kerja Bambang, perusahaan itu terus mengulang order berikutnya. Bambang yang waktu itu dibantu oleh adiknya, merekrut beberapa pemuda, karena mereka berdua sudah kewalahan menggarap order.
Hubungan dengan Arto Metal pun terus berkembang. Dari yang semula menjadi pemasok tunggal, Bambang menjadi mitra bisnis perusahaan tersebut. “Sebagai mitra, saya bisa mengantongi keuntungan yang lebih besar,” cetus dia.
Konversi kompor
Melihat hasil yang makin mantap, Bambang mulai membeli mesin sendiri pada 2001. Selain banyak order yang datang, pembelian mesin itu juga untuk menandai keseriusannya di bisnis logam. Apalagi, pada tahun itu dia juga menikahi Chalimatus Sa’diyah.
Tak hanya membuat komponen kompor minyak, Bambang juga menerima pesanan dari seorang produsen dipan kayu di Malang yang membutuhkan penyangga logam.
Pesanan lain juga menghampiri Bambang dari Jakarta. Pada 2004, dia mendapat pesanan komponen kompor minyak dengan nilai ratusan juta rupiah dari PT Arga Artha Utama.
Dari situ, usaha logam ini terus berkembang karena pelanggan terus mengulang order mereka. Menyadari bahwa bisnisnya semakin serius, Bambang melegalkan usahanya dengan membentuk PT Elang Jagad. Jumlah karyawannya terus bertambah, dari hanya dibantu adik hingga 60 orang dan memproduksi ribuan item logam.
Sayang, kesuksean ini tak berlangsung lama. Dampak dari program konversi minyak tanah ke gas ikut menimpanya. Pada 2007, order menurun drastis. Bambang sempat memangkas karyawan hingga tersisa 20 orang saja. “Saya tak sanggup bayar mereka,” ujar dia.
Beruntung, para produsen kompor langganannya cepat menyesuaikan diri dan lantas membuat kompor gas. Mereka juga melakukan transfer ilmu pembuatan kompor gas ini kepada Bambang. “Setahun, kami belajar sama-sama, baik konsumen maupun perajin,” kata dia.
Baru pertengahan 2008, perusahaan mulai pulih. Konversi minyak ternyata tidak berimbas negatif, tetapi membawa dampak baik bagi usahanya. Order melonjak drastis sejak 2009, karena pelanggan juga terus bertambah.
Kondisi ini pun memaksa Bambang untuk membeli beberapa mesin. Kini, pabrik Elang Jagad punya mesin kapasitas 25 ton dan 40 ton untuk memproduksi 25.000 hingga 30.000 item logam saban bulan.
Meski tak jadi pegawai kantoran, Bambang membuktikan kemampuannya menjadi pengusaha sukses. Tak lagi minder, dia terus bermimpi. “Ke depan, kami ingin menjadi produsen produk, bukan hanya komponen,” katanya.
0 komentar:
Post a Comment