Thian Siang Seng Bo, Pelindung Bahaya Laut di Kelenteng Cu An Kiong
REMBANG - Banyak bangunan di bantaran Sungai Babagan, Lasem, Kabupaten Rembang, Jateng, menjadi saksi bisu perkembangan wilayah pesisir Jawa sejak awal pemerintahan Hindia-Belanda. Salah satu bangunan adalah kelenteng yang dipercaya tertua di Jawa, yaitu Kelenteng Cu An Kiong, di jalan Dasun.
Wangi hio langsung menyeruak tatkala jurnalis Tribun memasuki halaman Kelenteng Cu An Kiong, Sebenarnya selain Tribun ada beberapa pengunjung yang berniat masuk lebih dalam ke kelenteng. Namun, langkah mereka tertahan karena wangi hio yang tajam menandakan kelenteng sedang digunakan untuk beribadah.
"Ssst, jangan masuk dulu. Kata pengurus kelenteng, setelah ibadah baru boleh masuk," kata seorang Anggota Panitia Program Heritage Walk (Perjalanan Cagar Budaya) Yayasan Widya Mitra, Leisa.
Maka beberapa pengunjung yang hendak mengabadikan gambar kelenteng memakai kamera akhirnya memilih berisitirahat di teras kelenteng. Sebelumnya, alas kaki mereka dicopot terlebih dahulu. Ada yang memilih mengambil gambar dari kejauhan, ada pula yang memilih melihat tiang-tiang teras yang memuat pahatan huruf Cina.
Sedikit memasukki kawasan ibadah, di dinding kiri maupun kanan terdapat bangunan cerita yang digambar di ubin. Setiap ubin mewakili satu lukisan. Total ada 50 lukisan yang disusun hingga ke langit-langit.
Para umat yang beribadah pada Minggu siang itu terlihat khusyuk. Mulai dari anak-anak hingga orangtua, menjalani ibadah di kelenteng tertua di Jawa tersebut.
"Dulu ada teman saya yang pergi ke Den Haag (Belanda) dan sempat mampir ke museum khusus Indonesia. Di sana ada peta Lasem buatan 1477, dan Kelenteng Cu An Kiong sudah masuk di dalamnya. Tentu kelenteng itu sudah dibangun sebelumnya," kata Pemimpin Kelenteng Cu An Kiong, Gandor Sugiharto, seusai memimpin ibadah.
Kelenteng Cu An Kiong diperkirakan dibangun jauh sebelum tahun 1477. Ada yang menyebut kelenteng itu dibangun pada 1335. Sampai sekarang mayoritas bangunan fisik Cu An Kiong masih asli, dan pernah dipakai syuting film Ca Bau Kan.
Cu An Kiong merupakan tempat sembahyang utama warga Tiong Hoa di Lasem, yang menjadi tempat pendaratan utama warga Cina kala itu. Kelenteng ini mempunyai dewi pelindung, yaitu Dewi Laut Thian Siang Seng Bo, pelindung para perantau dari bahaya di lautan.
Hal menarik adalah, di antara kongco-kongco (dewa-dewa) ada nama berbau Jawa, yaitu Raden Panji Margono. Berbeda dari kongco lain yang asli Cina, kongco Raden Panji Margono setiap kali arak-arakan tidak diberi sesembahan semisal daging babi. Bentuknya pun lengkap dengan beskapnya.
Raden Panji Margono merupakan pahlawan yang berjuang mengusir penjajah Belanda bersama tokoh Tionghoa saat itu, Tan Kee Wie, dan Raden Ngabehi. Di tempat itulah mereka menyusun strategi penyerangan, meskipun akhirnya kalah. Belakangan umat Tionghoa membuat kongco Raden Panji Margono sebagai bentuk penghormatan.
Perjalanan kelenteng Cu An Kiong cukup berliku, khususnya saat Orde Baru. Saat itu, mengecat tembok pun dipersulit oleh aparat pemerintah setempat. Namun, selepas Ore Baru, banyak pejabat mendatangi kelenteng tersebut.
"Tidak perlu saya sebutkan, yang pasti ada jenderal, menteri dan anggota DPR RI ke sini. Oh iya, Poppy Darsono (perancang mode yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI, Red) pun pernah ke sini. Katanya kalau terpilih mau bagi kaus, tapi sudah lima tahun ngilang. Saya dengar sih kesandung masalah," cerita Gandor, lalu tertawa.
Pasti Terkabul
Menurutnya, ada tulisan huruf Cina di depan kelenteng yang menjadi daya tarik. Ia tidak bisa membacanya, namun tahu dari sesepuhnya bahwa isinya kira-kira "semua permohonan pasti terkabul". Maksudnya, meskipun doa seseorang jelek, juga akan terkabul tetapi orang yang berdoa harus berani menanggung akibatnya.
Seorang pengunjung asal Semarang, Rita, tertarik kepada cerita Gandor. Beberapa kali ia manggut-manggut, kemudian berkeliling mengamati berbagai ornamen bertuliskan huruf Cina di tiang-tiang teras Kelenteng Cu An Kiong. Dosen Bahasa Inggris di Universitas 17 Agustus Semarang itu serius menyimak penjelasan gandor.
Adapun Ketua Yayasan Widya Mitra, Widjajanti Dharmowijono, yang menggelar Heritage Walk ke-6, secara singkat menjelaskan sejarah Lasem. Menurut dia Lasem dikenal sebagai "Tiongkok kecil". Bahkan sekitar tahun 1815, Lasem menjadi kota dengan proporsi penduduk keturunan Tionghoa terbesar di Pantura.
Bahkan anak buah kapal (ABK) Chengho bernama Bi Nang Un merupakan orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem pada abad 15. Warga Lasem percaya bahwa Bi Nang Un juga menyebarkan Islam, seperti Cheng Ho, dan ahli ukiran.
"Akulturasi dan persaudaraan antara Tionghoa dan Jawa bukanlah istilah kosong di Lasem. Tahukah Anda bahwa di samping berjuluk Kota Batik dan Tiongkok Kecil, lasem juga menyandang gelar Kota Santri?" ucapnya.
REMBANG - Banyak bangunan di bantaran Sungai Babagan, Lasem, Kabupaten Rembang, Jateng, menjadi saksi bisu perkembangan wilayah pesisir Jawa sejak awal pemerintahan Hindia-Belanda. Salah satu bangunan adalah kelenteng yang dipercaya tertua di Jawa, yaitu Kelenteng Cu An Kiong, di jalan Dasun.
Wangi hio langsung menyeruak tatkala jurnalis Tribun memasuki halaman Kelenteng Cu An Kiong, Sebenarnya selain Tribun ada beberapa pengunjung yang berniat masuk lebih dalam ke kelenteng. Namun, langkah mereka tertahan karena wangi hio yang tajam menandakan kelenteng sedang digunakan untuk beribadah.
"Ssst, jangan masuk dulu. Kata pengurus kelenteng, setelah ibadah baru boleh masuk," kata seorang Anggota Panitia Program Heritage Walk (Perjalanan Cagar Budaya) Yayasan Widya Mitra, Leisa.
Maka beberapa pengunjung yang hendak mengabadikan gambar kelenteng memakai kamera akhirnya memilih berisitirahat di teras kelenteng. Sebelumnya, alas kaki mereka dicopot terlebih dahulu. Ada yang memilih mengambil gambar dari kejauhan, ada pula yang memilih melihat tiang-tiang teras yang memuat pahatan huruf Cina.
Sedikit memasukki kawasan ibadah, di dinding kiri maupun kanan terdapat bangunan cerita yang digambar di ubin. Setiap ubin mewakili satu lukisan. Total ada 50 lukisan yang disusun hingga ke langit-langit.
Para umat yang beribadah pada Minggu siang itu terlihat khusyuk. Mulai dari anak-anak hingga orangtua, menjalani ibadah di kelenteng tertua di Jawa tersebut.
"Dulu ada teman saya yang pergi ke Den Haag (Belanda) dan sempat mampir ke museum khusus Indonesia. Di sana ada peta Lasem buatan 1477, dan Kelenteng Cu An Kiong sudah masuk di dalamnya. Tentu kelenteng itu sudah dibangun sebelumnya," kata Pemimpin Kelenteng Cu An Kiong, Gandor Sugiharto, seusai memimpin ibadah.
Kelenteng Cu An Kiong diperkirakan dibangun jauh sebelum tahun 1477. Ada yang menyebut kelenteng itu dibangun pada 1335. Sampai sekarang mayoritas bangunan fisik Cu An Kiong masih asli, dan pernah dipakai syuting film Ca Bau Kan.
Cu An Kiong merupakan tempat sembahyang utama warga Tiong Hoa di Lasem, yang menjadi tempat pendaratan utama warga Cina kala itu. Kelenteng ini mempunyai dewi pelindung, yaitu Dewi Laut Thian Siang Seng Bo, pelindung para perantau dari bahaya di lautan.
Hal menarik adalah, di antara kongco-kongco (dewa-dewa) ada nama berbau Jawa, yaitu Raden Panji Margono. Berbeda dari kongco lain yang asli Cina, kongco Raden Panji Margono setiap kali arak-arakan tidak diberi sesembahan semisal daging babi. Bentuknya pun lengkap dengan beskapnya.
Raden Panji Margono merupakan pahlawan yang berjuang mengusir penjajah Belanda bersama tokoh Tionghoa saat itu, Tan Kee Wie, dan Raden Ngabehi. Di tempat itulah mereka menyusun strategi penyerangan, meskipun akhirnya kalah. Belakangan umat Tionghoa membuat kongco Raden Panji Margono sebagai bentuk penghormatan.
Perjalanan kelenteng Cu An Kiong cukup berliku, khususnya saat Orde Baru. Saat itu, mengecat tembok pun dipersulit oleh aparat pemerintah setempat. Namun, selepas Ore Baru, banyak pejabat mendatangi kelenteng tersebut.
"Tidak perlu saya sebutkan, yang pasti ada jenderal, menteri dan anggota DPR RI ke sini. Oh iya, Poppy Darsono (perancang mode yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD RI, Red) pun pernah ke sini. Katanya kalau terpilih mau bagi kaus, tapi sudah lima tahun ngilang. Saya dengar sih kesandung masalah," cerita Gandor, lalu tertawa.
Pasti Terkabul
Menurutnya, ada tulisan huruf Cina di depan kelenteng yang menjadi daya tarik. Ia tidak bisa membacanya, namun tahu dari sesepuhnya bahwa isinya kira-kira "semua permohonan pasti terkabul". Maksudnya, meskipun doa seseorang jelek, juga akan terkabul tetapi orang yang berdoa harus berani menanggung akibatnya.
Seorang pengunjung asal Semarang, Rita, tertarik kepada cerita Gandor. Beberapa kali ia manggut-manggut, kemudian berkeliling mengamati berbagai ornamen bertuliskan huruf Cina di tiang-tiang teras Kelenteng Cu An Kiong. Dosen Bahasa Inggris di Universitas 17 Agustus Semarang itu serius menyimak penjelasan gandor.
Adapun Ketua Yayasan Widya Mitra, Widjajanti Dharmowijono, yang menggelar Heritage Walk ke-6, secara singkat menjelaskan sejarah Lasem. Menurut dia Lasem dikenal sebagai "Tiongkok kecil". Bahkan sekitar tahun 1815, Lasem menjadi kota dengan proporsi penduduk keturunan Tionghoa terbesar di Pantura.
Bahkan anak buah kapal (ABK) Chengho bernama Bi Nang Un merupakan orang Tionghoa pertama yang mendarat di Lasem pada abad 15. Warga Lasem percaya bahwa Bi Nang Un juga menyebarkan Islam, seperti Cheng Ho, dan ahli ukiran.
"Akulturasi dan persaudaraan antara Tionghoa dan Jawa bukanlah istilah kosong di Lasem. Tahukah Anda bahwa di samping berjuluk Kota Batik dan Tiongkok Kecil, lasem juga menyandang gelar Kota Santri?" ucapnya.
0 komentar:
Post a Comment