Berdaya dengan Lidah Buaya
JAKARTA - TAHUN 2002, Tanti Guntari (41) keluar dari perusahaan asing dan banting setir menjadi seorang wirausaha. Setelah menggeluti bisnis penyewaan tanaman, kini Tanti serius mengembangkan usaha olahan lidah buaya (”Aloe vera”) yang bahkan turut memberdayakan warga sekitar.
Awalnya, Tanti mengikuti pelatihan teknologi budidaya tepat guna yang diadakan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Depok, Jawa Barat, serta Universitas Indonesia. Dari sana, Tanti kemudian terinspirasi untuk memulai usaha pengolahan lidah buaya, khususnya jenis chinensis yang dapat dikonsumsi dan berpelepah besar.
Lidah buaya jenis itu disebutkan sangat mudah dibudidayakan. Dalam 3-4 bulan saja, satu tanaman lidah buaya mampu menghasilkan anakan yang jumlahnya banyak sehingga dapat menghasilkan lebih banyak indukan lidah buaya.
Produksi awal manisan lidah buaya dibuat dari 10 kilogram pelepah lidah buaya yang dibelinya di pasar kembang. Pelepah lidah buaya dicuci bersih di air mengalir kemudian direbus di air gula dan dimasukkan dalam plastik kecil panjang, dibuat es mambo. Es mambo itu kemudian dipasarkan di sekolah-sekolah dan ternyata laku keras dengan harga Rp 1.000 per buah.
Tanti memasarkan es mambo itu sambil terus bereksperimen membuat minuman lidah buaya atau nata aloe vera. Ia mencuci lidah buaya di air mengalir hingga bersih, kemudian lidah buaya dipasteurisasi untuk membunuh kuman dan mikroorganisme serta ditambahkan sari buah lychee sebagai perasa. Ia mendapati, lidah buaya harus diperlakukan sangat hati-hati. Ada titik kritis yang harus dijaga agar daging lidah buaya tidak berubah warna, atau bahkan menjadi cair.
Dia juga memilih untuk tidak menambahkan zat-zat kimia tambahan untuk produknya seperti pewarna, pemanis buatan, atau pengawet. Dengan pemrosesan yang benar, Tanti menyebutkan, minuman nata aloe vera yang diberi nama Olavera itu dapat bertahan hingga satu tahun.
Selain menemukan resep untuk minuman lidah buayanya, Tanti pun akhirnya berhasil membudidayakan tanaman lidah buaya di lahan seluas 2.000 meter persegi miliknya. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menunggu panen pertama. Setelah itu, setiap bulan, sebanyak tiga pelepah dapat dipanen per satu tanaman lidah buaya.
Pertama kali, dia menggunakan kemasan dalam cup atau gelas plastik. Semakin lama, dengan banyaknya informasi yang didapat, bahwa kemasan kaca lebih baik dari plastik, ia pun mengemas minuman lidah buayanya di botol kaca agar lebih tahan lama.
”Saya punya beban moral untuk membuat makanan yang sehat, bebas dari bahan kimia berbahaya. Karena itu, saya tidak menggunakan pengawet dan pemanis buatan. Semuanya bahan alami,” ujar Tanti.
Apa yang dia bicarakan itu, kata dia, akan diuji ada atau tidaknya keluhan pembeli. Saat ini, produk yang dibuatnya tak hanya minuman lidah buaya, tetapi juga kerupuk lidah buaya, teh lidah buaya, hingga kue bolu yang dibuat dari lidah buaya. Teh lidah buaya dibuat dari kulit lidah buaya sisa pembuatan minuman lidah buaya. Adapun pada pembuatan bolu, margarin diganti dengan lidah buaya sehingga kue yang dihasilkan rendah lemak.
Pekarangan rumah
”Awalnya banyak orang memandang sebelah mata. Tetapi sekarang mulai banyak yang mengembangkan produk serupa di daerah Depok. Selain itu, ibu-ibu di sekitar rumah saya juga mulai banyak yang membudidayakan lidah buaya, saya siap membeli lidah buaya mereka dengan catatan budidayanya tidak menggunakan bahan kimia,” ujar Tanti yang juga bergabung dalam komunitas organik Indonesia.
Total ada 22 perempuan yang bergabung dalam kelompok yang dinamai Bina Avera. Dari memulai dengan 10 kilogram lidah buaya, Tanti dan empat orang tenaga kerjanya kini setiap bulan mengolah 800 kilogram lidah buaya untuk dijadikan berbagai jenis produk.
Tanti ingin menyampaikan bahwa pekarangan rumah pun dapat menghasilkan uang. Kalaupun seluruh lahan sudah tertutup dengan beton, lidah buaya dapat ditanam di polybag. Dengan menjual pelepah lidah buaya, mereka mendapat Rp 7.500 per kilogram. Tidak sekadar menjual mentah, Tanti juga mengajari kelompok yang dibinanya dengan cara mengolah lidah buaya sehingga mendapat nilai tambah yang jauh lebih tinggi ketimbang menjual mentah.
Saat ini, Tanti telah memasarkan produknya ke sebuah hipermarket, rumah-rumah sehat, pesantren, dan pelanggan di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi yang lebih banyak memesan secara online. Promosi, kata dia, lebih banyak berhasil dari mulut ke mulut. Karena itu, pelayanan dan kualitas yang baik harus tetap dipertahankan.
Tidak hanya memproduksi olahan lidah buaya, Tanti juga membuka kebun lidah buayanya di Cilodong, Depok, seluas 2.000 meter persegi, menjadi kebun edukasi yang terbuka untuk siapa pun yang ingin berkunjung. Kebun itu diharapkan mampu membuka wawasan siapa pun, termasuk anak-anak, bahwa lidah buaya bukan sekadar tanaman hias, tetapi juga dapat dikonsumsi dan bahkan menghasilkan uang.
JAKARTA - TAHUN 2002, Tanti Guntari (41) keluar dari perusahaan asing dan banting setir menjadi seorang wirausaha. Setelah menggeluti bisnis penyewaan tanaman, kini Tanti serius mengembangkan usaha olahan lidah buaya (”Aloe vera”) yang bahkan turut memberdayakan warga sekitar.
Awalnya, Tanti mengikuti pelatihan teknologi budidaya tepat guna yang diadakan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Depok, Jawa Barat, serta Universitas Indonesia. Dari sana, Tanti kemudian terinspirasi untuk memulai usaha pengolahan lidah buaya, khususnya jenis chinensis yang dapat dikonsumsi dan berpelepah besar.
Lidah buaya jenis itu disebutkan sangat mudah dibudidayakan. Dalam 3-4 bulan saja, satu tanaman lidah buaya mampu menghasilkan anakan yang jumlahnya banyak sehingga dapat menghasilkan lebih banyak indukan lidah buaya.
Produksi awal manisan lidah buaya dibuat dari 10 kilogram pelepah lidah buaya yang dibelinya di pasar kembang. Pelepah lidah buaya dicuci bersih di air mengalir kemudian direbus di air gula dan dimasukkan dalam plastik kecil panjang, dibuat es mambo. Es mambo itu kemudian dipasarkan di sekolah-sekolah dan ternyata laku keras dengan harga Rp 1.000 per buah.
Tanti memasarkan es mambo itu sambil terus bereksperimen membuat minuman lidah buaya atau nata aloe vera. Ia mencuci lidah buaya di air mengalir hingga bersih, kemudian lidah buaya dipasteurisasi untuk membunuh kuman dan mikroorganisme serta ditambahkan sari buah lychee sebagai perasa. Ia mendapati, lidah buaya harus diperlakukan sangat hati-hati. Ada titik kritis yang harus dijaga agar daging lidah buaya tidak berubah warna, atau bahkan menjadi cair.
Dia juga memilih untuk tidak menambahkan zat-zat kimia tambahan untuk produknya seperti pewarna, pemanis buatan, atau pengawet. Dengan pemrosesan yang benar, Tanti menyebutkan, minuman nata aloe vera yang diberi nama Olavera itu dapat bertahan hingga satu tahun.
Selain menemukan resep untuk minuman lidah buayanya, Tanti pun akhirnya berhasil membudidayakan tanaman lidah buaya di lahan seluas 2.000 meter persegi miliknya. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menunggu panen pertama. Setelah itu, setiap bulan, sebanyak tiga pelepah dapat dipanen per satu tanaman lidah buaya.
Pertama kali, dia menggunakan kemasan dalam cup atau gelas plastik. Semakin lama, dengan banyaknya informasi yang didapat, bahwa kemasan kaca lebih baik dari plastik, ia pun mengemas minuman lidah buayanya di botol kaca agar lebih tahan lama.
”Saya punya beban moral untuk membuat makanan yang sehat, bebas dari bahan kimia berbahaya. Karena itu, saya tidak menggunakan pengawet dan pemanis buatan. Semuanya bahan alami,” ujar Tanti.
Apa yang dia bicarakan itu, kata dia, akan diuji ada atau tidaknya keluhan pembeli. Saat ini, produk yang dibuatnya tak hanya minuman lidah buaya, tetapi juga kerupuk lidah buaya, teh lidah buaya, hingga kue bolu yang dibuat dari lidah buaya. Teh lidah buaya dibuat dari kulit lidah buaya sisa pembuatan minuman lidah buaya. Adapun pada pembuatan bolu, margarin diganti dengan lidah buaya sehingga kue yang dihasilkan rendah lemak.
Pekarangan rumah
”Awalnya banyak orang memandang sebelah mata. Tetapi sekarang mulai banyak yang mengembangkan produk serupa di daerah Depok. Selain itu, ibu-ibu di sekitar rumah saya juga mulai banyak yang membudidayakan lidah buaya, saya siap membeli lidah buaya mereka dengan catatan budidayanya tidak menggunakan bahan kimia,” ujar Tanti yang juga bergabung dalam komunitas organik Indonesia.
Total ada 22 perempuan yang bergabung dalam kelompok yang dinamai Bina Avera. Dari memulai dengan 10 kilogram lidah buaya, Tanti dan empat orang tenaga kerjanya kini setiap bulan mengolah 800 kilogram lidah buaya untuk dijadikan berbagai jenis produk.
Tanti ingin menyampaikan bahwa pekarangan rumah pun dapat menghasilkan uang. Kalaupun seluruh lahan sudah tertutup dengan beton, lidah buaya dapat ditanam di polybag. Dengan menjual pelepah lidah buaya, mereka mendapat Rp 7.500 per kilogram. Tidak sekadar menjual mentah, Tanti juga mengajari kelompok yang dibinanya dengan cara mengolah lidah buaya sehingga mendapat nilai tambah yang jauh lebih tinggi ketimbang menjual mentah.
Saat ini, Tanti telah memasarkan produknya ke sebuah hipermarket, rumah-rumah sehat, pesantren, dan pelanggan di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi yang lebih banyak memesan secara online. Promosi, kata dia, lebih banyak berhasil dari mulut ke mulut. Karena itu, pelayanan dan kualitas yang baik harus tetap dipertahankan.
Tidak hanya memproduksi olahan lidah buaya, Tanti juga membuka kebun lidah buayanya di Cilodong, Depok, seluas 2.000 meter persegi, menjadi kebun edukasi yang terbuka untuk siapa pun yang ingin berkunjung. Kebun itu diharapkan mampu membuka wawasan siapa pun, termasuk anak-anak, bahwa lidah buaya bukan sekadar tanaman hias, tetapi juga dapat dikonsumsi dan bahkan menghasilkan uang.
0 komentar:
Post a Comment