”The Act of Killing” Picu Kegaduhan di China
HONGKONG — Film dokumenter The Act of Killing (Jagal), yang menggambarkan peristiwa berdarah di Indonesia pada periode 1965-1966, dilaporkan memicu kegaduhan di China, Selasa (21/1). Warga China menyatakan keterkejutan dan kemarahan mereka di media sosial di internet setelah menonton film yang masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Dokumenter Terbaik tersebut.
Menurut laman surat kabar Hongkong, South China Morning Post (SCMP), edisi Selasa, kemarahan dan sentimen nasionalisme warga China muncul setelah mengetahui bahwa banyak warga etnik China yang menjadi korban dalam peristiwa berdarah tersebut.
Sejumlah penulis blog China bahkan membandingkan peristiwa yang mengawali Orde Baru di Indonesia itu dengan tragedi Pembantaian Nanking tahun 1937, saat tentara imperial Jepang membantai sekitar 300.000 warga China semasa pendudukan Jepang atas China.
Menurut perkiraan sejumlah organisasi hak asasi manusia, 500.000-1 juta orang tewas dalam peristiwa 1965 di Indonesia itu. Hubungan diplomatik Indonesia-China juga sempat dibekukan selama 23 tahun setelah peristiwa tersebut, tepatnya sejak 30 Oktober 1967 hingga 8 Agustus 1990.
Buku sejarah
Para bloger dan aktivis media sosial di China kemudian menuntut Pemerintah China bersikap lebih keras terhadap Indonesia. Mereka juga menuntut peristiwa yang tidak terlalu diketahui oleh khalayak luas di China itu dimasukkan ke dalam buku sejarah.
SCMP menyebut, banyak warga China baru tahu mengenai film buatan sutradara Amerika-Inggris, Joshua Oppenheimer, itu setelah banyak media di daratan China mengulasnya. Bahkan, surat kabar People’s Daily, koran resmi Partai Komunis China (PKC), turut menulis soal film yang banyak memperoleh penghargaan itu.
Menurut SCMP, di laman mikroblog Sina Weibo, diskusi mengenai peristiwa 1965 tersebut berkembang hingga peristiwa kerusuhan 1998, saat banyak warga etnis China juga menjadi korban.
”Sebrutal apakah kau, Indonesia?” tulis seorang pengguna Weibo. Pengguna lain mengusulkan agar Pemerintah China menghentikan bantuan luar negerinya ke Indonesia. Sejumlah pengguna bahkan menyerukan agar warga China melakukan ”boikot pariwisata” terhadap Bali.
SCMP mengutip Chen Zonghe, seorang konsultan asal Shanghai, yang menulis, ”Baik Indonesia maupun China harus bertindak dan memberikan penjelasan atas sejarah ini.”
Pengakuan Anwar Congo, Algojo di Masa PKI 1965
Jakarta- Untuk pertama kalinya dalam sejarah film Indonesia, sebuah film dokumenter menampilkan pengakuan seorang algojo PKI. Namanya Anwar Congo. Ia preman bioskop Medan. Dalam film The Act of Killing yang dibesut sutradara Joshua Oppenheimer itu, ia memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya.
Film itu menampilkan kesadaran Anwar tentang bagaimana menjadi seorang pembunuh dan bagaimana seandainya menjadi korban yang dibunuh. Saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto, pers Barat menyebut film itu mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar tampak bangga dengan tindakannya. Bisakah film ini mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965? Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011 berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut.
Pembawaannya riang. Ia dikenal jago dansa. Penggemar Elvis Presley dan James Dean itu mengatakan sering membunuh sembari menari cha-cha. "Saya menghabisi orang PKI dengan gembira," katanya. Dalam sebuah adegan, bersama rekannya sesama algojo 1965, ia terlihat naik mobil terbuka menyusuri jalan-jalan di Medan. Mereka bernostalgia ke tempat-tempat mereka pernah membunuh di antaranya sepotong jalan tempat ia menyembelih banyak warga keturunan Tionghoa. "Setiap ketemu Cina, langsung saya tikam ."
Pengakuan "jujur" preman bernama Anwar Congo dalam film yang bakal ditayangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta pada Oktober tahun ini tersebut bisa membuat siapa saja terperangah. Ada heroisme di situ. Anwar mengesankan dirinya penyelamat bangsa. Satu versi menyebutkan hampir satu juta orang PKI terbunuh pasca-1965. Ini pelanggaran hak asasi berat. Anwar hanyalah salah satu pelaku pembunuhan. Di berbagai daerah, masih banyak "Anwar" lain.
Tempo kali ini mencoba melihat peristiwa 1965 dari perspektif para algojo. Tak ada niat kami membuka aib atau menyudutkan para pelaku. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik PKI dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi pada masa itu pula.
Tapi kita juga tahu betapa tak simetris informasi tentang tragedi 1965. Saat itu, semua koran dikuasai militer. Masyarakat dicekoki cerita bahwa komunis adalah musuh negara yang identik dengan ateisme. Militer menyebarkan daftar anggota PKI yang harus dihabisi. Militer melindungi para pelaku, bahkan menyuplai mereka dengan senjata. Di beberapa tempat, ada narapidana yang sengaja dilepaskan untuk memburu "sang musuh negara". Itu membuat para algojo menganggap wajar tindakan mereka.
Sejarah berulang: di sini dan di tempat lain. Di Israel, pernah seorang aparat kamp konsentrasi Nazi bernama Adolph Eichmann diadili. Ia pelaku pembantaian ratusan orang Yahudi. Ia merasa tak bersalah karena menganggap itu tugas negara. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, yang mengamati sidang itu pada 1963, menulis buku terkenal Eichmann in Jerusalem: A Report of the Banality of Evil. Arendt melihat para eksekutor seperti Eichmann bukan pengidap skizofrenia atau psikopat, melainkan warga biasa yang menganggap wajar tindakannya karena dibenarkan negara. Arendt menyebut fenomena ini sebagai kedangkalan yang akut.
Seorang algojo menyatakan moralitas itu sesuatu yang relatif. Pembunuhan memang dilarang, tapi harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dan agama. Ada pula yang diam-diam menyadari kesalahannya. Anwar, yang dalam film terlihat brutal, mengalami pergolakan batin tentang apa yang diperbuatnya. Menurut Oppenheimer, sang sutradara, sepanjang pembuatan film, Anwar ada kalanya seperti menyesali perbuatannya. Rasa heroik dan bersalah bersitegang di dalam diri mantan algojo. Seorang mantan jagal harus dipasung keluarganya karena, bila mengingat-ingat pembunuhan yang dilakukannya, ia ke luar rumah mengayun-ayunkan parang dan celurit.
Anwar Congo berharap bisa nonton The Act of Killing
Anwar Congo mendadak jadi selebritis. Sesepuh Pemuda Pancasila (PP) ini menjadi kejaran awak media nasional maupun internasional menyusul mencuatnya kontroversi film The Act of Killing.
Puluhan wartawan berkumpul di Kantor MPW PP Sumut, Jalan Thamrin, Medan. Bukan hanya dari media lokal dan nasional, tim dari stasiun televisi Aljazeera juga datang untuk mewawancarai tokoh utama dalam film yang diyakini bisa memantik kontroversi itu.
Anwar mengaku khawatir menyusul penayangan film yang berkisah tentang pembantaian PKI dari pelaku langsung. "Ya khawatirlah. Saya khawatir generasi dari orang itu merasa ini, merasa itu," ucapnya di Kantor MPW PP Sumut, Jalan Thamrin, Medan, Rabu (26/9).
Anwar masih menyimpan kekecewaan kepada Joshua Openheimer. Kata dia, sutradara asal Amerika Serikat itu tidak pernah lagi menghubunginya.
Pada konferensi pers, Anwar mengaku bingung karena tidak pernah nonton film The Act of Killing. Dia menyatakan ingin sekali menonton film The Act of Killing secara penuh. "Siapa yang tidak ingin? Tapi sampai sekarang saya belum mendapatkannya," ujar Anwar.
Seorang jurnalis yang ikut dalam temu pers itu mengaku sudah menonton film ini di Jakarta. "Filmnya bagus banget, layak dapat penghargaan. Tapi diputarnya masih secara rahasia," ujarnya.
Sementara, Anwar juga kembali mengaku merasa tertipu dengan pembuatan film itu. "Soal langkah hukum, saya akan bicarakan dengan penasihat hukum saya," sebut dia.
Saat memberikan keterangan, Anwar didampingi Ketua MPW PP Sumut Anuar Shah, tokoh pemuda yang biasa disapa Aweng. Dia menilai film yang dibuat Joshua itu tidak lengkap. "Hanya sepotong-sepotong. Seharusnya dia juga menceritakan ulama dan tokoh PP yang jadi korban PKI. Seharusnya wartawan berimbang," ucap Aweng yang mengaku belum menonton film itu.
Menurut dia, Act of Killing mendiskreditkan PP. Dia pun tidak ingin film itu diputar di Sumut. "Terus terang saya keberatan jika film itu tidak berimbang. Kalau disetujui kita akan buat film sebenar-benarnya," katanya.
Seperti diberitakan The Act of Killing memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku.
Cuplikan film sudah beredar di internet. Trailer ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi pendukug PKI. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan.
Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing. "Dari judul saja saya sudah ditipu," ucapnya.
Nominasi Oscar
NEW YORK - Film dokumentar "The Act of Killing" yang bercerita mengenai pembantaian massal di Indonesia di tahun 1960-an masuk nominasi Oscar 2014.
Film tersebut akan bertarung ketat mendapatkan penghargaan Film Dokumenter Terbaik versi Academy Awards ke-86 atau Oscar 2014 bersama empat film lainnya, "Cutie and the Boxer", "Dirty Wars", "The Square", dan "20 Feet from Stardom".
"The Act of Killing" adalah karya sutradara Joshua Oppenheimer. Film ini mengangkat kisah pilu mengenai pembunuhan massal dan impunitas di Indonesia oleh seorang pemimpin pasukan kematian bernama Anwar Congo yang dikenal keji mencekik ratusan orang hanya dengan menggunakan kawat.
Karya Oppenheimer yang juga melibatkan Werner Herzog dan Errol Morris sebagai produser eksekutif dan dibuat oleh sebagian besar kru Indonesia, juga menimbulkan kontroversi karena kisah yang tidak lazim tersebut. Apalagi reka ulang peristiwa selalu menjadi biang perselisihan dalam dunia dokumenter.
Namun, sebelumnya Oppenheimer telah melakukan perdebatan panjang untuk ke tingkatan yang baru dengan mendorong para pelaku pelanggar hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka di film dan khalayak global.
"Saya pikir itu kewajiban kita sebagai pembuat film, sebagai orang-orang menyelidiki dunia, untuk menciptakan realitas yang paling mendalam terhadap isu-isu," Oppenheimer seperti yang dikutip New York Times.
"Ini adalah manusia, seperti kita, membual tentang kekejaman yang harus terbayangkan. Dan pertanyaannya adalah, 'Mengapa mereka melakukan ini? Untuk siapa yang mereka lakukan ini? Apa artinya bagi mereka? Bagaimana mereka ingin dilihat? Bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri?' Dan metode ini (film) adalah cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan," lanjutnya.
"The Act of Killing" yang dikenal negara Barat sebagai pembantaian massal satu juta orang di Indonesia di era kekuasaan militer pada 1960-an, di mana para korbannya diberi label komunis, namun juga menyasar para pemimpin buruh, etnis China dan intelektual. Kelompok-kelompok paramiliter yang melakukan pembunuhan atas perintah dari Tentara Nasional Indonesia dan dengan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya hanya dengan alasan khawatir bahwa Indonesia akan seperti Vietnam dan jatuh ke tangan komunis.
Di Indonesia, peristiwa sudah menjadi rahasia umum. "Semacam rahasia umum, terus diam-diam tersembunyi sehingga jika Anda ingin, Anda bisa berpura-pura itu tidak terjadi," kata John Roosa, seorang sarjana sejarah Indonesia di University of British Columbia, sekaligus penulis buku "Pretext for Mass Murder", buku terkemuka tentang pembantaian 1965.
"Jadi film ini telah menjadi meprovokasi, mendorong, warga Indonesia untuk bertanya, 'Beritahu kami apa yang terjadi?'" lanjutnya.
Ketika itu pembunuhan terorganisir terjadi di seluruh Indonesia yang merupakan negara terpadat keempat di dunia, tapi Oppenheimer berfokus pada Medan, Sumatera Utara. Dalam film itu dikisahkan pula tentang kelompok yang disebut "gengster film", penggemar John Wayne dan Marlon Brando, yang melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari film-film yang mereka sukai. "Rasanya seperti kita membunuh dengan senang hati," kata Oppenheimer.
Pengakuan Anwar Congo sang Pembantai PKI
Jakarta – Sebuah pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.
TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu. “Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.
Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.
Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal ataupun PKI.
Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI. Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia. Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.
Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.
Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat sebagai sebuah prestasi .
Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.
Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu. Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.
…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…
Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.
Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.
Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.
The Act of Killing merupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah.
Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.
Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.
“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya”
Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.
Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya. Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. “Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar. Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.
Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PP
Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Quote:
Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Bagaimana tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang menggambarkan adegan Pemuda Pancasila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?
Begini, yang namanya Joshua Oppenheimer ini, dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di Indonesia tentang kepemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu katanya. Nah, kebetulan kita di sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil gambarnya. Juga waktu acara di DKI Jakarta, waktu itu acara pelepasan di kantor Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun untuk mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun 1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.
Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?
Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.
Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?
Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.
Apakah PP akan mempersoalkan film ini?
Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.
Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggambaran PP bagaimana?
Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja.
Anwar Congo Merasa Ditipu
AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing” besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah ditipu oleh sang sutradara. Berikut pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan.
Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua, kirakira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?
Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965.
Saat itu situasinya seperti apa?
Kita akui situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.
Berarti ada ancaman?
Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu.
Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?
Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu.
Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang mengatur?
Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu, Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya kocar-kacir kita buat.
Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masyarakat?
Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.
Anda ingin melihat film itu secara utuh?
Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?
Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.
Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?
Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.
Anda punya berkasnya?
Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.
Kapan Anda gabung dengan komando aksi?
Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.
Inisiatif sendiri?
Inisiatif sendiri.
Anda merasa ditipu dengan film ini?
Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya.
Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada Kontroversi
Quote:
Berikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:
Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The Act of Killing?
Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi Pemuda Pancasila.
Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.
Berapa Anwar Congo dibayar?
Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.
Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan Anda?
Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.
Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan.
Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kontroversi?
Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.
Berapa lama pembuatan film ini?
Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.
Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.
Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indonesia? Kapan?
Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.
Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepada Anwar?
Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya.
Film The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri pencatut karcis bioskop, tempat mereka nongkrong. Ketika pemerintahan Sukarno digulingkan pada 1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari satu juta orang. Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan kawan-kawa selama satu tahun.
Anwar Congo selaku pemeran utama dalam film itu belum pernah sekali pun melihat film ‘The Act of Killing’. Dia merasa kecewa pada sutradara. Apalagi saat pembuatan dia diberitahu film itu berjudul ‘Arsan dan Aminah’, bukan ‘The Act of Killing’. Anwar pun merasa ditipu. Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) menilai film itu melenceng dari kebenaran karena disajikan sepotong-sepotong. Dia pun berencana membuat film tandingan. Anwar Congo yang oleh MPW PP dianggap sebagai sesepuh Pemuda Pancasila di Medan, Sumut dinilai hanya korban.
Takut Intimidasi, Nama Sutradara "The Act of Killing" Asal Indonesia Dihilangkan
LOS ANGELES — Bagi insan perfilman, diundang hadir ke acara penganugerahan Oscar merupakan kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Terlebih lagi jika film yang mereka buat atau bintangi masuk menjadi salah satu unggulan dalam ajang tahunan bergengsi itu.
Namun, ternyata kesempatan emas ini harus dilepas oleh salah seorang sutradara film The Art of Killing yang berasal dari Indonesia. Bagi dia, publisitas bukanlah hal yang baik.
Tak hanya sang sutradara yang memutuskan untuk menjadi "tak dikenal", sebanyak 60 kru film asal Indonesia juga memilih langkah yang sama.
Nama-nama para pekerja film Indonesia ini tak akan muncul dalam credit title karena memang sengaja dihapus karena khawatir menjadi sasaran kelompok-kelompok anti-komunis di Indonesia.
"Bagi saya menghadiri Oscar sudah tidak mungkin lagi. Terlalu banyak publisitas dan tak terlalu aman bagi saya untuk diketahui secara terbuka sebagai salah seorang sutradara film itu," kata sang sutradara kepada harian The Independent.
"Saya bukan tipe orang yang suka menonjolkan pencapaian saya. Anonimitas cocok bagi saya," tambah dia.
Film dokumenter yang disutradarai Joshua Oppenheimer itu banyak mendapat pujian karena penggambarannya akan sosok orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan massal pasca-kudeta gagal Gerakan 30 September 1965.
Film ini menampilkan sosok para pelaku pembantaian yang sudah menua. Dalam film ini mereka menceritakan kisah seram yang tak pernah dimunculkan dalam sejarah Indonesia.
Pengambilan gambar film ini dilakukan di 120 kota di seluruh Indonesia. Sebanyak 11.000 orang sudah mengunduh film ini dari internet setelah pengunduhan tak dikenakan biaya sejak November lalu.
Film "The Act of Killing" Bisa Perburuk Citra Indonesia
JAKARTA - Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter "The Act of Killing" yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik.
Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.
"Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.
"Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film," tambah Faizasyah.
Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.
"Kita ingat sejarah perbudakan di Amerika Serikat, diskriminasi suku Aborigin di Australia, pengeboman Vietnam oleh AS. Ada elemen kekerasan terhadap kemanusiaan dalam semua peristiwa itu," lanjut Faizasyah.
"Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme," Faizasyah menegaskan.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.
Film "The Act of Killing" yang disutradai Joshua Oppenheimer itu berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan tersebut.
Tak hanya Indonesia yang "meradang", masuknya "The Act of Killing" dalam nominasi Oscars juga memicu kemarahan di China. Sebab, dalam film itu, komunitas warga keturunan China ikut menjadi korban pembantaian pada 1960-an itu.
HONGKONG — Film dokumenter The Act of Killing (Jagal), yang menggambarkan peristiwa berdarah di Indonesia pada periode 1965-1966, dilaporkan memicu kegaduhan di China, Selasa (21/1). Warga China menyatakan keterkejutan dan kemarahan mereka di media sosial di internet setelah menonton film yang masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Dokumenter Terbaik tersebut.
Menurut laman surat kabar Hongkong, South China Morning Post (SCMP), edisi Selasa, kemarahan dan sentimen nasionalisme warga China muncul setelah mengetahui bahwa banyak warga etnik China yang menjadi korban dalam peristiwa berdarah tersebut.
Sejumlah penulis blog China bahkan membandingkan peristiwa yang mengawali Orde Baru di Indonesia itu dengan tragedi Pembantaian Nanking tahun 1937, saat tentara imperial Jepang membantai sekitar 300.000 warga China semasa pendudukan Jepang atas China.
Menurut perkiraan sejumlah organisasi hak asasi manusia, 500.000-1 juta orang tewas dalam peristiwa 1965 di Indonesia itu. Hubungan diplomatik Indonesia-China juga sempat dibekukan selama 23 tahun setelah peristiwa tersebut, tepatnya sejak 30 Oktober 1967 hingga 8 Agustus 1990.
Buku sejarah
Para bloger dan aktivis media sosial di China kemudian menuntut Pemerintah China bersikap lebih keras terhadap Indonesia. Mereka juga menuntut peristiwa yang tidak terlalu diketahui oleh khalayak luas di China itu dimasukkan ke dalam buku sejarah.
SCMP menyebut, banyak warga China baru tahu mengenai film buatan sutradara Amerika-Inggris, Joshua Oppenheimer, itu setelah banyak media di daratan China mengulasnya. Bahkan, surat kabar People’s Daily, koran resmi Partai Komunis China (PKC), turut menulis soal film yang banyak memperoleh penghargaan itu.
Menurut SCMP, di laman mikroblog Sina Weibo, diskusi mengenai peristiwa 1965 tersebut berkembang hingga peristiwa kerusuhan 1998, saat banyak warga etnis China juga menjadi korban.
”Sebrutal apakah kau, Indonesia?” tulis seorang pengguna Weibo. Pengguna lain mengusulkan agar Pemerintah China menghentikan bantuan luar negerinya ke Indonesia. Sejumlah pengguna bahkan menyerukan agar warga China melakukan ”boikot pariwisata” terhadap Bali.
SCMP mengutip Chen Zonghe, seorang konsultan asal Shanghai, yang menulis, ”Baik Indonesia maupun China harus bertindak dan memberikan penjelasan atas sejarah ini.”
Pengakuan Anwar Congo, Algojo di Masa PKI 1965
Jakarta- Untuk pertama kalinya dalam sejarah film Indonesia, sebuah film dokumenter menampilkan pengakuan seorang algojo PKI. Namanya Anwar Congo. Ia preman bioskop Medan. Dalam film The Act of Killing yang dibesut sutradara Joshua Oppenheimer itu, ia memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya.
Film itu menampilkan kesadaran Anwar tentang bagaimana menjadi seorang pembunuh dan bagaimana seandainya menjadi korban yang dibunuh. Saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto, pers Barat menyebut film itu mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar tampak bangga dengan tindakannya. Bisakah film ini mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965? Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011 berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut.
Pembawaannya riang. Ia dikenal jago dansa. Penggemar Elvis Presley dan James Dean itu mengatakan sering membunuh sembari menari cha-cha. "Saya menghabisi orang PKI dengan gembira," katanya. Dalam sebuah adegan, bersama rekannya sesama algojo 1965, ia terlihat naik mobil terbuka menyusuri jalan-jalan di Medan. Mereka bernostalgia ke tempat-tempat mereka pernah membunuh di antaranya sepotong jalan tempat ia menyembelih banyak warga keturunan Tionghoa. "Setiap ketemu Cina, langsung saya tikam ."
Pengakuan "jujur" preman bernama Anwar Congo dalam film yang bakal ditayangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta pada Oktober tahun ini tersebut bisa membuat siapa saja terperangah. Ada heroisme di situ. Anwar mengesankan dirinya penyelamat bangsa. Satu versi menyebutkan hampir satu juta orang PKI terbunuh pasca-1965. Ini pelanggaran hak asasi berat. Anwar hanyalah salah satu pelaku pembunuhan. Di berbagai daerah, masih banyak "Anwar" lain.
Tempo kali ini mencoba melihat peristiwa 1965 dari perspektif para algojo. Tak ada niat kami membuka aib atau menyudutkan para pelaku. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik PKI dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi pada masa itu pula.
Tapi kita juga tahu betapa tak simetris informasi tentang tragedi 1965. Saat itu, semua koran dikuasai militer. Masyarakat dicekoki cerita bahwa komunis adalah musuh negara yang identik dengan ateisme. Militer menyebarkan daftar anggota PKI yang harus dihabisi. Militer melindungi para pelaku, bahkan menyuplai mereka dengan senjata. Di beberapa tempat, ada narapidana yang sengaja dilepaskan untuk memburu "sang musuh negara". Itu membuat para algojo menganggap wajar tindakan mereka.
Sejarah berulang: di sini dan di tempat lain. Di Israel, pernah seorang aparat kamp konsentrasi Nazi bernama Adolph Eichmann diadili. Ia pelaku pembantaian ratusan orang Yahudi. Ia merasa tak bersalah karena menganggap itu tugas negara. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, yang mengamati sidang itu pada 1963, menulis buku terkenal Eichmann in Jerusalem: A Report of the Banality of Evil. Arendt melihat para eksekutor seperti Eichmann bukan pengidap skizofrenia atau psikopat, melainkan warga biasa yang menganggap wajar tindakannya karena dibenarkan negara. Arendt menyebut fenomena ini sebagai kedangkalan yang akut.
Seorang algojo menyatakan moralitas itu sesuatu yang relatif. Pembunuhan memang dilarang, tapi harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dan agama. Ada pula yang diam-diam menyadari kesalahannya. Anwar, yang dalam film terlihat brutal, mengalami pergolakan batin tentang apa yang diperbuatnya. Menurut Oppenheimer, sang sutradara, sepanjang pembuatan film, Anwar ada kalanya seperti menyesali perbuatannya. Rasa heroik dan bersalah bersitegang di dalam diri mantan algojo. Seorang mantan jagal harus dipasung keluarganya karena, bila mengingat-ingat pembunuhan yang dilakukannya, ia ke luar rumah mengayun-ayunkan parang dan celurit.
Anwar Congo berharap bisa nonton The Act of Killing
Anwar Congo mendadak jadi selebritis. Sesepuh Pemuda Pancasila (PP) ini menjadi kejaran awak media nasional maupun internasional menyusul mencuatnya kontroversi film The Act of Killing.
Puluhan wartawan berkumpul di Kantor MPW PP Sumut, Jalan Thamrin, Medan. Bukan hanya dari media lokal dan nasional, tim dari stasiun televisi Aljazeera juga datang untuk mewawancarai tokoh utama dalam film yang diyakini bisa memantik kontroversi itu.
Anwar mengaku khawatir menyusul penayangan film yang berkisah tentang pembantaian PKI dari pelaku langsung. "Ya khawatirlah. Saya khawatir generasi dari orang itu merasa ini, merasa itu," ucapnya di Kantor MPW PP Sumut, Jalan Thamrin, Medan, Rabu (26/9).
Anwar masih menyimpan kekecewaan kepada Joshua Openheimer. Kata dia, sutradara asal Amerika Serikat itu tidak pernah lagi menghubunginya.
Pada konferensi pers, Anwar mengaku bingung karena tidak pernah nonton film The Act of Killing. Dia menyatakan ingin sekali menonton film The Act of Killing secara penuh. "Siapa yang tidak ingin? Tapi sampai sekarang saya belum mendapatkannya," ujar Anwar.
Seorang jurnalis yang ikut dalam temu pers itu mengaku sudah menonton film ini di Jakarta. "Filmnya bagus banget, layak dapat penghargaan. Tapi diputarnya masih secara rahasia," ujarnya.
Sementara, Anwar juga kembali mengaku merasa tertipu dengan pembuatan film itu. "Soal langkah hukum, saya akan bicarakan dengan penasihat hukum saya," sebut dia.
Saat memberikan keterangan, Anwar didampingi Ketua MPW PP Sumut Anuar Shah, tokoh pemuda yang biasa disapa Aweng. Dia menilai film yang dibuat Joshua itu tidak lengkap. "Hanya sepotong-sepotong. Seharusnya dia juga menceritakan ulama dan tokoh PP yang jadi korban PKI. Seharusnya wartawan berimbang," ucap Aweng yang mengaku belum menonton film itu.
Menurut dia, Act of Killing mendiskreditkan PP. Dia pun tidak ingin film itu diputar di Sumut. "Terus terang saya keberatan jika film itu tidak berimbang. Kalau disetujui kita akan buat film sebenar-benarnya," katanya.
Seperti diberitakan The Act of Killing memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku.
Cuplikan film sudah beredar di internet. Trailer ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi pendukug PKI. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan.
Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing. "Dari judul saja saya sudah ditipu," ucapnya.
Nominasi Oscar
NEW YORK - Film dokumentar "The Act of Killing" yang bercerita mengenai pembantaian massal di Indonesia di tahun 1960-an masuk nominasi Oscar 2014.
Film tersebut akan bertarung ketat mendapatkan penghargaan Film Dokumenter Terbaik versi Academy Awards ke-86 atau Oscar 2014 bersama empat film lainnya, "Cutie and the Boxer", "Dirty Wars", "The Square", dan "20 Feet from Stardom".
"The Act of Killing" adalah karya sutradara Joshua Oppenheimer. Film ini mengangkat kisah pilu mengenai pembunuhan massal dan impunitas di Indonesia oleh seorang pemimpin pasukan kematian bernama Anwar Congo yang dikenal keji mencekik ratusan orang hanya dengan menggunakan kawat.
Karya Oppenheimer yang juga melibatkan Werner Herzog dan Errol Morris sebagai produser eksekutif dan dibuat oleh sebagian besar kru Indonesia, juga menimbulkan kontroversi karena kisah yang tidak lazim tersebut. Apalagi reka ulang peristiwa selalu menjadi biang perselisihan dalam dunia dokumenter.
Namun, sebelumnya Oppenheimer telah melakukan perdebatan panjang untuk ke tingkatan yang baru dengan mendorong para pelaku pelanggar hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka di film dan khalayak global.
"Saya pikir itu kewajiban kita sebagai pembuat film, sebagai orang-orang menyelidiki dunia, untuk menciptakan realitas yang paling mendalam terhadap isu-isu," Oppenheimer seperti yang dikutip New York Times.
"Ini adalah manusia, seperti kita, membual tentang kekejaman yang harus terbayangkan. Dan pertanyaannya adalah, 'Mengapa mereka melakukan ini? Untuk siapa yang mereka lakukan ini? Apa artinya bagi mereka? Bagaimana mereka ingin dilihat? Bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri?' Dan metode ini (film) adalah cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan," lanjutnya.
"The Act of Killing" yang dikenal negara Barat sebagai pembantaian massal satu juta orang di Indonesia di era kekuasaan militer pada 1960-an, di mana para korbannya diberi label komunis, namun juga menyasar para pemimpin buruh, etnis China dan intelektual. Kelompok-kelompok paramiliter yang melakukan pembunuhan atas perintah dari Tentara Nasional Indonesia dan dengan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya hanya dengan alasan khawatir bahwa Indonesia akan seperti Vietnam dan jatuh ke tangan komunis.
Di Indonesia, peristiwa sudah menjadi rahasia umum. "Semacam rahasia umum, terus diam-diam tersembunyi sehingga jika Anda ingin, Anda bisa berpura-pura itu tidak terjadi," kata John Roosa, seorang sarjana sejarah Indonesia di University of British Columbia, sekaligus penulis buku "Pretext for Mass Murder", buku terkemuka tentang pembantaian 1965.
"Jadi film ini telah menjadi meprovokasi, mendorong, warga Indonesia untuk bertanya, 'Beritahu kami apa yang terjadi?'" lanjutnya.
Ketika itu pembunuhan terorganisir terjadi di seluruh Indonesia yang merupakan negara terpadat keempat di dunia, tapi Oppenheimer berfokus pada Medan, Sumatera Utara. Dalam film itu dikisahkan pula tentang kelompok yang disebut "gengster film", penggemar John Wayne dan Marlon Brando, yang melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari film-film yang mereka sukai. "Rasanya seperti kita membunuh dengan senang hati," kata Oppenheimer.
Pengakuan Anwar Congo sang Pembantai PKI
Jakarta – Sebuah pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.
TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu. “Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.
Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.
Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.
Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal ataupun PKI.
Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI. Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia. Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.
Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.
Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat sebagai sebuah prestasi .
Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.
Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu. Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.
…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…
Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.
Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.
Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.
The Act of Killing merupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah.
Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.
Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.
“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya”
Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.
Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya. Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. “Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar. Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.
Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PP
Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Quote:
Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.
Bagaimana tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang menggambarkan adegan Pemuda Pancasila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?
Begini, yang namanya Joshua Oppenheimer ini, dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di Indonesia tentang kepemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu katanya. Nah, kebetulan kita di sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil gambarnya. Juga waktu acara di DKI Jakarta, waktu itu acara pelepasan di kantor Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun untuk mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun 1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.
Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?
Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.
Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?
Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.
Apakah PP akan mempersoalkan film ini?
Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.
Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggambaran PP bagaimana?
Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja.
Anwar Congo Merasa Ditipu
AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing” besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah ditipu oleh sang sutradara. Berikut pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan.
Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua, kirakira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?
Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965.
Saat itu situasinya seperti apa?
Kita akui situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.
Berarti ada ancaman?
Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu.
Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?
Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu.
Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang mengatur?
Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu, Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya kocar-kacir kita buat.
Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masyarakat?
Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.
Anda ingin melihat film itu secara utuh?
Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat.
Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?
Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.
Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?
Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.
Anda punya berkasnya?
Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.
Kapan Anda gabung dengan komando aksi?
Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.
Inisiatif sendiri?
Inisiatif sendiri.
Anda merasa ditipu dengan film ini?
Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya.
Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada Kontroversi
Quote:
Berikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:
Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The Act of Killing?
Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi Pemuda Pancasila.
Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.
Berapa Anwar Congo dibayar?
Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.
Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan Anda?
Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.
Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan.
Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kontroversi?
Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.
Berapa lama pembuatan film ini?
Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.
Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?
Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.
Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indonesia? Kapan?
Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.
Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepada Anwar?
Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya.
Film The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri pencatut karcis bioskop, tempat mereka nongkrong. Ketika pemerintahan Sukarno digulingkan pada 1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari satu juta orang. Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan kawan-kawa selama satu tahun.
Anwar Congo selaku pemeran utama dalam film itu belum pernah sekali pun melihat film ‘The Act of Killing’. Dia merasa kecewa pada sutradara. Apalagi saat pembuatan dia diberitahu film itu berjudul ‘Arsan dan Aminah’, bukan ‘The Act of Killing’. Anwar pun merasa ditipu. Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) menilai film itu melenceng dari kebenaran karena disajikan sepotong-sepotong. Dia pun berencana membuat film tandingan. Anwar Congo yang oleh MPW PP dianggap sebagai sesepuh Pemuda Pancasila di Medan, Sumut dinilai hanya korban.
Takut Intimidasi, Nama Sutradara "The Act of Killing" Asal Indonesia Dihilangkan
LOS ANGELES — Bagi insan perfilman, diundang hadir ke acara penganugerahan Oscar merupakan kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Terlebih lagi jika film yang mereka buat atau bintangi masuk menjadi salah satu unggulan dalam ajang tahunan bergengsi itu.
Namun, ternyata kesempatan emas ini harus dilepas oleh salah seorang sutradara film The Art of Killing yang berasal dari Indonesia. Bagi dia, publisitas bukanlah hal yang baik.
Tak hanya sang sutradara yang memutuskan untuk menjadi "tak dikenal", sebanyak 60 kru film asal Indonesia juga memilih langkah yang sama.
Nama-nama para pekerja film Indonesia ini tak akan muncul dalam credit title karena memang sengaja dihapus karena khawatir menjadi sasaran kelompok-kelompok anti-komunis di Indonesia.
"Bagi saya menghadiri Oscar sudah tidak mungkin lagi. Terlalu banyak publisitas dan tak terlalu aman bagi saya untuk diketahui secara terbuka sebagai salah seorang sutradara film itu," kata sang sutradara kepada harian The Independent.
"Saya bukan tipe orang yang suka menonjolkan pencapaian saya. Anonimitas cocok bagi saya," tambah dia.
Film dokumenter yang disutradarai Joshua Oppenheimer itu banyak mendapat pujian karena penggambarannya akan sosok orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan massal pasca-kudeta gagal Gerakan 30 September 1965.
Film ini menampilkan sosok para pelaku pembantaian yang sudah menua. Dalam film ini mereka menceritakan kisah seram yang tak pernah dimunculkan dalam sejarah Indonesia.
Pengambilan gambar film ini dilakukan di 120 kota di seluruh Indonesia. Sebanyak 11.000 orang sudah mengunduh film ini dari internet setelah pengunduhan tak dikenakan biaya sejak November lalu.
Film "The Act of Killing" Bisa Perburuk Citra Indonesia
JAKARTA - Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter "The Act of Killing" yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik.
Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.
"Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.
"Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film," tambah Faizasyah.
Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.
"Kita ingat sejarah perbudakan di Amerika Serikat, diskriminasi suku Aborigin di Australia, pengeboman Vietnam oleh AS. Ada elemen kekerasan terhadap kemanusiaan dalam semua peristiwa itu," lanjut Faizasyah.
"Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme," Faizasyah menegaskan.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.
Film "The Act of Killing" yang disutradai Joshua Oppenheimer itu berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan tersebut.
Tak hanya Indonesia yang "meradang", masuknya "The Act of Killing" dalam nominasi Oscars juga memicu kemarahan di China. Sebab, dalam film itu, komunitas warga keturunan China ikut menjadi korban pembantaian pada 1960-an itu.
0 komentar:
Post a Comment